“Sumur itu dalamnya 12 meter, lebarnya 75 sentimeter. Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan mayat meninggal, mereka langsung ditembak lagi. Lalu jasad ditutup dengan sampah pohon karet, dan ditutup tanah serta ditanah pohon pisang utuh di atasnya seakan-akan di bawah itu tak ada mayat.” Saat jasad para jenderal itu terkubur di sumur Lubang Buaya itu, hari telah berganti. Satu Oktober 1965.
Sepandai-pandainya sesuatu disembunyikan, kata Yutharyani, pasti ketahuan juga. Akhirnya, ujar dia, sumur dapat ditemukan pada sore, 3 Oktober. Sumur lalu digali pakai tangan. Keesokannya, 4 Oktober, mayat diangkat.
Jasad divisum dan diautopsi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Tanggal 4 sore, jenazah dibawa ke Markas Besar AD untuk disemayamkan semalam, dan akhirnya dimakamkan dengan upacara kenegaraan 5 Oktober, tepat pada peringatan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata Republik Inndonesia.
Yutharyani menceritakan itu semua dengan lancar, seperti baru terjadi sehari sebelumnya. Angkatan Darat, kata dia, merasa hancur dengan terbunuhnya para jenderal terbaik mereka.
Menjelma Keramat
Sejak 30 September 1965, Lubang Buaya berubah wujud. Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto “menyulapnya” menjadi kompleks memorial megah.
Dua tahun setelah Gerakan 30 September, 1967, Soeharto membebaskan 14 hektare lahan di Lubang Buaya dari permukiman warga. Enam tahun kemudian, 1973, di atas lahan itu diresmikan Kompleks Monumen Pancasila Sakti.
Kompleks tersebut berisi antara lain Monumen Pancasila Sakti, sumur maut, Museum Paseban, dan –yang paling mengerikan– Museum Pengkhianatan PKI yang berisi 40 lebih diorama tentang sepak terjang PKI sejak Indonesia merdeka, termasuk kekejaman mereka terhadap para jenderal.
.
--
.
Follow @wowfact.id dan temukan informasi unik, menarik dari seluruh dunia!
Disalin dari kiriman IG Wow Fact