Foto: niadilova.wordpress
niadilova.wordpress.com - Abdoel Moeis adalah nama yang tidak asing lagi bagi kita. Lahir di Sungai Puar, 3 Juli 1883, Moeis dikenal sebagai sastrawan, wartawan dan politikus. Ayah Moeis, Datoek Toemanggoeng Soetan Soelaiman, adalah laras Sungai Puar yang kritis kepada Belanda (lihat Minang saisuak, 6 Februari 2011).
Sebagai sastrawan, Moeis menjadi kondang karena novelnya Salah Asoehan (1928) yang difilmkan Asrul Sani tahun 1972. Novel-novelnya yang lain adalah Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), dan Robert Anak Surapati (1953). Ia juga menerjemahkan beberapa novel asing ke dalam Bahasa Indonesia.
Sebagai wartawan, Moeis berpengalaman bekerja sebagai anggota redaksi beberapa surat kabar, antara lain Bintang Hindia, Preanger Bode, dan Neratja.
Sebagai politikus, kiprah Moeis di Sarekat Islam (SI) sudah dicatat dalam sejarah. Ia adalah salah seorang leading organisator SI yang sering mengkhawatirkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Keterlibatan aktif dalam politik itu pulalah yang membawa Moeis terpilih menjadi anggota Volksraad pada 1918 mewakili partainya.
Rubrik Minang saisuak nomor ini tidak akan mendedahkan riwayat hidup Abdoel Moeis secara lengkap. Tentang hal ini tentu Anda tinggal mencigap internet dan akan menemukan banyak informasi mengenai putra Minangkabau yang dikukuhkan oleh Pemerintah Indonesia menjadi pahlawan nasional pada 30 Agustus 1959 ini (lihat misalnya: https://id.wikipedia.org/wiki/Abdoel_Moeis).
Yang ingin kami sorot dalam kesempatan ini adalah kritik Abdoel Moeis terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengenai peraturan pajak yang sangat memberatkan rakyat Minangkabau. Akibatnya, gerak-gerik Moeis diawasi Pemerintah. Pandji Poestaka No. 3, Tahoen II, 17 Januari 1924:59 menulis: “Raad van IndiĆ« soedah memberi timbangan: Abdoel Moeis dilarang tinggal ditanah Seberang. S. p. t. b. G. G. Beloem lagi maoe mengambil kepoetoesan sebab masih ada hal-hal lain jang perloe diketahoeinja. Maka k. t. Welterlah jang akan membitjarakannja dengan Resident Padang.”
Jadi, rupanya Moeis akan berkunjung ke Sumatera Barat. Tapi tahun 1923, ia sudah mengunjungi ranah bundanya itu. Di sana ia mengadakan rapat yang mengkritisi peraturan pajak tanah di Minangkabau. Majalah Pandji Poestaka , No. 44, Tahoen I, 1 November 1923:12 menulis (lihat juga: “Paco-paco Minangkabau”, Padang Ekspres, Minggu, 17 Mei 2015): “Abdoel Moeis ditahan di Padang. Sepandjang kabar ia akan diinterneer. Pertanjaan-pertanjaan jang mesti didjawabnja, teroetama berhoeboengan dengan Nationaal Indisch Congres jang diadakan olĆ©h Centrale Sarekat Islam di Bandoeng pada tahoen 1916, perkara Toli-toli dan tentang openbare vergadering jang diadakannja di Padang dalam boelan April j.b.l. [1923]. Dalam vergadering itoe ia soedah membitjarakan tentang padjak tanah.”
Akhirnya Moeis dilarang juga bepergian ke laur Jawa dan Madura. Dalam Pandji Poestaka , No. 5, Tahoen II, 31 Januari 1924:89 disebutkan: “Menoeroet kekoeatan pasal 47 dari ReglemĆ©nt Pemerintah, dan lagi oentoek keamanan dan kesedjahteraan ‘oemoem, maka toean Abdoel Moeis tiada diizinkan tinggal diseberang (diloear poelau Djawa dan Madoera).
Jang mendjadi sebab jang teristimĆ©wa, jaitoe karena perlawanan toean Abdoel Moeis kepada peratoeran padjak tanah di Soematera barat, demikian poela kepada roeman-roemah adat dan persediaan hoetan.”
Demikianlah sedikit tambahan infomasi historis mengenai Abdoel Moeis, yang meninggal di Bandung pada 17 Juni 1959 dalam usia 75 tahun (Chaniago 2010:126).
Suryadi – Leiden University, Belanda. | Singgalang, Minggu, 27 September 2015 (Sumber foto: Pandji Poestaka, No. 5, Tahoen II, 31 Januari 1924:89).