Gambar Ilustrasi: business law |
Mewaspadai Hantu Haatzaai Artikelen
FB Hanibal WY Wijaya - Bulan depan, konon Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHP) akan disahkan. Di satu sisi ini sebuah perkembangan yang menggembirakan, karena berarti Rancangan yang umurnya sudah hampir 30 tahun dibahas --saya mulai ikut mengabarkan pembahasannya ketika saya masih jadi reporter junior di Majalah Forum Keadilan-- akan disahkan.
Namun yang agak mengkhawatirkan adalah tentang beberapa hal krusial yang kembali dimasukkan dalam Pancangan KUHP itu. Salah satunya adalah menghidupkan kembali pasal-pasal karet Haatzaai Artikelen yang semula sudah akan dibuang jauh-jauh dari Rancangan KUHP. Apalagi pasal-pasal karet sisa kolonial itu sudah dihilangkan oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2006.
Haatzaai artikelen adalah pasal-pasal tertentu dalam KUHP jaman kolonial Belanda yang disebut Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie. Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie diundangkan dalam Staatsblad nomor 732, tahun 1915, dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 di Kepulauan Nusantara. Saat itu, Wilayah Kepulauan Nusantara bernama Nederlandsche Indie --Hindia Belanda-- dan masih dijajah pemerintahan Kerajaan Belanda, dengan Kepala Pemerintahan berpangkat Gubernur Jenderal.
Pasca Kemerdekaan, Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie tetap diberlakukan, setelah diterjemahkan dan disertai penyelarasan dan pencabutan pasal-pasal yang dinilai tidak relevan lagi. Nah, untuk pasal-pasal haatzaai artikelen, beberapa pasal dihilangkan, sementara pasal-pasal tindak pidana kejahatan terhadap Martabat Kerajaan disesuaikan menjadi kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Khusus tentang pasal kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru sering memanfaatkan penafsirannya untuk memberangus dan membungkam kaum oposisi serta lawan-lawan politik mereka. Banyak korban berjatuhan. Karena itu, pada masa reformasi, pasal-pasal karet ini terus diupayakan untuk dihapuskan. Upaya itu baru berhasil tahun 2006, ketika pengacara Eggy Sudjana dan Pandapotan Lubis mengajukan judicial review.
Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, di bawah pimpinan Ketua Jimly Ashshidiqie, Mahkamah Konstitusi akhirnya “membunuh” haatzaai artikelen, terutama pasal 134, 136, dan 137 KUHP. Menurut MK, pasal-pasal itu dinilai bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
Karena itu, ketika pasal-pasal karet itu kini ternyata akan dihidupkan lagi, maka reaksi masyarakat pun muncul. Diduga pasal-pasal itu hanya akan dipakai untuk menindas para pengritik rezim dan kaum oposisi untuk melanggengkan kekuasaan.
Berikut ini tulisan saya hampir lima tahun yang lalu. Tulisan ini semula ada di fitur note di facebook yang sekarang sudah tak bisa dibuka lagi. Agar selalu bisa diupdate dan dibaca kawan-kawan, maka tulisan ini saya unggah lagi sebagai status di Facebook. Jika anda ingin membacanya, saya persilakan.
Terima kasih...
Hanibal Wijayanta
===
Mewaspadai Hantu Haatzaai Artikelen
Pasal represif peninggalan zaman Hindia Belanda hendak dihidupkan kembali dalam Rancangan KUHP. Padahal, pasal-pasal itu telah dibunuh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu.
Kata Sahibul Hikayat, benggol kecu sakti mandraguna bernama Ki Wilawuk adalah musuh bebuyutan Ki Tumenggung Wiralaga. Mereka hidup pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo di era Mataram Islam, empat ratus tahun yang lalu. Dengan ilmu hitam bernama Rawarontek yang dimilikinya, Ki Wilawuk mampu hidup kembali setelah tubuhnya menyentuh tanah. Apalagi setelah ia berhasil menyesap darah manusia. Ki Wilawuk menjadi hantu haus darah yang enteng menyiksa dan mencabut nyawa manusia.
Agar tak bisa bangkit kembali, tubuh dan kepala mayat bromocorah paling kejam dalam cerita rakyat Jawa itu kemudian dipenggal dan dipisahkan oleh Ki Tumenggung Wiralaga. Potongan kepala dan tubuhnya pun harus dikuburkan secara terpisah, dan jangan pernah disatukan kembali. Sebab, jika kuburnya digali dan jazadnya disatukan lagi, Ki Wilawuk akan bangkit dan kembali menghantui Nusantara, seperti yang terjadi di masa-masa Orde Baru, sebelum kemudian dikalahkan oleh Gundala Putra Petir, dalam komik rekaan Hasmi terbitan tahun 1975.
Ternyata, ilmu Rawarontek andalan Ki Wilawuk, kini juga hendak dirapalkan pada pasal-pasal karet kolonial, yang dikenal dengan sebutan Haatzaai Artikelen. Betapa tidak, jika pasal-pasal represif yang semula berlaku di masa kolonial, kemudian sempat diberlakukan di rezim Orde Lama dan dimanfaatkan pula oleh rezim Orde Baru, akhirnya dibunuh oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006, hendak dibangkitkan kembali dari kuburnya, oleh rezim Pascareformasi.
Haatzaai artikelen sesungguhnya adalah pasal-pasal tertentu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana jaman kolonial Belanda yang disebut Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie. Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie diundangkan dalam Staatsblad nomor 732, tahun 1915, dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 di Kepulauan Nusantara. Saat itu, Wilayah Kepulauan Nusantara bernama Nederlandsche Indie --Hindia Belanda-- dan masih dijajah pemerintahan Kerajaan Belanda, dengan Kepala Pemerintahan berpangkat Gubernur Jenderal.
Di dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie juga dimuat ketentuan-ketentuan hukum tentang tindak pidana kejahatan terhadap (a) Negara, (b) Martabat Kerajaan dan – di Indonesia, (c) Martabat Gubernur Jenderal. Ketentuan hukum itu dimuat dalam Pasal-pasal 104 – 129 (terhadap Negara), dan 130 – 139 (terhadap Martabat Kerajaan dan Gubernur Jenderal). Pasal-pasal inilah yang disebut sebagai pasal-pasal tentang penyebaran kebencian atau haatzaai artikelen.
Menurut pasal-pasal itu, serangan fisik terhadap Raja (Koning), Ratu yang memerintah (regerende Koningin) atau Wali Raja (Regent) (Pasal 104) dan terhadap Gubernur Jenderal (Pasal 105) adalah tindak pidana kejahatan terhadap Negara. Adapun serangan fisik terhadap Permaisuri, suami Ratu yang memerintah atau ahli waris tahta adalah tindak pidana kejahatan terhadap Martabat Kerajaan.
Secara rinci, pasal-pasal tentang penyebaran kebencian alias haatzaai artikelen terhadap Martabat Kerajaan dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie diatur dalam pasal-pasal:
• Pasal 134 tentang “opzettelijke belediging den Koning of der Koningin” (penghinaan yang disengaja terhadap Raja atau Ratu);
• Pasal 135 “opzettelijke belediging den gemaal der regerende Koningin, den troonopvolger, een lid van het Koninklijk Huis of den Regent” (penghinaan yang disengaja terhadap suami Ratu yang memerintah, ahli waris tahta, anggota Keluarga Kerajaan atau Wali Raja); dan
• Pasal 136 “opzettelijke belediging den Gouverneur-Generaal of den waarnemende Gouverneur-Generaal” (penghinaan yang disengaja terhadap Gubernur Jenderal atau Gubernur Jenderal ad-interim).
Adapun yang disebut sebagai penghinaan, bisa dilakukan secara lisan, tulisan, gambar, terbuka ataupun tertutup, di hadapan yang dihina ataupun tidak di hadapan yang dihina adalah tindak pidana terhadap Martabat Kerajaan.
Di masa kolonial, Haatzaai Artikelen telah menjadi senjata paling ampuh bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menindas, menghancurkan, dan memberangus para penentang pemerintah Hindia Belanda dan Ratu Belanda, lewat tangan hukum mereka, Politieke Inlichtingen Dienst (PID) alias Departemen Intelijen Politik. Ribuan tokoh pergerakan nasional dibunuh, dipenjara, dibuang dan diasingkan gara-gara dianggap melanggar hukum gara-gara pasal-pasal karet ini.
Pasca Kemerdekaan, Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie tetap diberlakukan, setelah diterjemahkan dan disertai penyelarasan dan pencabutan pasal-pasal yang dinilai tidak relevan lagi. Untuk pasal-pasal haatzaai artikelen, beberapa pasal dihilangkan, sementara pasal-pasal tindak pidana kejahatan terhadap Martabat Kerajaan disesuaikan menjadi kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie ini didasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945: “Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ketentuan Peralihan ini menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan di masa kolonial pada masa kemerdekaan.
Untuk menegaskan pemberlakuan hukum pidana kolonial setelah Indonesia merdeka, pada 26 Februari 1946, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang menjadi dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam Pasal XVII UU Nomor 2 Tahun 1946 terdapat ketentuan bahwa: “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Karena tak ada penetapan lagi oleh Presiden, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht saat itu sebenarnya hanya terbatas di wilayah Jawa dan Madura.
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di seluruh wilayah Republik Indonesia baru dilakukan pada 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menurut Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958, “Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Praktis, selama Indonesia merdeka, hukum yang diterapkan di Indonesia adalah hukum warisan Belanda. Tahun ini Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie tepat berusia 100 tahun.
Khusus tentang pasal kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru sering memanfaatkan penafsirannya untuk memberangus dan membungkam kaum oposisi serta lawan-lawan politik mereka. Banyak korban berjatuhan. Karena itu, pada masa reformasi, pasal-pasal karet ini terus diupayakan untuk dihapuskan. Upaya itu baru berhasil tahun 2006, ketika pengacara Eggy Sudjana dan Pandapotan Lubis mengajukan judicial review. Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, di bawah pimpinan Ketua Jimly Ashshidiqie, Mahkamah Konstitusi akhirnya “membunuh” haatzaai artikelen, terutama pasal 134, 136, dan 137 KUHP. Menurut MK, pasal-pasal itu dinilai bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
Semangat dan upaya untuk merevisi KUHP --yang pada dasarnya merupakan ketentuan hukum warisan Belanda bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlansche-Indie-- tentu patut didukung. Meski berkali-kali kandas, semua rezim pemerintah di Indonesia terus berupaya merevisi KUHP. Namun kini, entah bisikan hantu dari mana, tiba-tiba pemerintah ngebet banget untuk memasukkan kembali pasal-pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di dalam Rancangan KUHP yang sedang dibahas DPR. Maka, silang pendapat pun berlangsung seru.
Ketua Tim Pemerintah dalam Pembahasan Rancangan KUHP Enny Nurbaningsih mengatakan, ada 14 isu krusial dalam rapat Panitia Kerja RKUHP. Salah satunya Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Menurut dia, pasal itu bertujuan melindungi pemimpin negara. Sebab dalam KUHP ada pasal tentang perlindungan wakil pimpinan negara asing beserta lambangnya. “Apa iya pimpinan negara sendiri, presiden dan wakil presiden, tidak kita rumuskan yang sejenis dengan itu,” ujarnya di Senayan, Senin 5 Februari 2018. Dalam rapat di DPR, tim perumus RUU KUHP dengan pemerintah menyepakati pasal penghinaan presiden masuk dalam Rancangan KUHP. Sedangkan pasal penghinaan melalui media sosial masih ditunda pembahasannya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun berpendapat bahwa pasal itu sangat penting dan relevan. “Jangan kita menjadi sangat liberal. Harus tetap ada itu. Tetapi akan kami soft down (pelaksanannya),” ujarnya di Jakarta, Rabu 7 Februari 2018. Partai-partai pendukung pemerintah sangat mendukung pemasukan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Rancangan KUHP. “Dengan demokrasi yang kebablasan, yang simbol negara pun kadang dilecehkan, maka itu perlu pengaturan,” kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, 4 Februari 2018.
Namun, pendapat mereka dipertanyakan dan disanggah pakar Hukum Tata Negara Moh Mahfud MD. Menurut Mahfud, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden telah diputuskan dan dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat,” kata Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini. Karena itu, perlu ada alasan baru jika pemerintah dan DPR memang ingin menghidupkan kembali pasal itu. Pasal baru dimaksud apabila dalam putusan MK dianggap masih memiliki celah dan kurang sempurna.
Alasan baru itu, menurut Mahfud, juga sangat penting agar mereka tidak mencampuradukan hukum dengan politik. “Tapi bicara teorinya harus ada alasan-alasan baru. Alasan barunya apa?" tanya Mahfud retoris. Mahfud pun menyarankan agar sebelum membahas revisi KUHP, terutama berkaitan dengan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, mereka terlebih dahulu meminta masukan atau pertimbangan publik. “Karena ini menyangkut putusan MK, kalo putusan MK ditolak, ya buat apa ada MK,” ujarnya.
Mahfud mengaku khawatir terhadap rencana pemerintah dan partai-partai pendukung pemerintah di DPR yang ingin memasukkan kembali pasal-pasal haatzaai artikelen itu. “Karena kalau dihidupkan lagi, nanti dikhawatirkan akan dimanfaatkan untuk menangkapi oposisi,” ujarnya Selasa, 6 Februari 2018 lalu.
Jadi, jika jenazah Ki Wilawuk harus digali, disatukan, dan ditetesi darah manusia dulu agar bisa bangkit kembali dengan ilmu Rawarontek-nya, tampaknya pasal-pasal haatzai artikelen pun akan dibangkitkan kembali dengan menggali dan menyatukannya lagi dalam Rancangan KUHP 2018, bersama tetesan keringat, anggaran negara, serta hembusan gelora nafsu kekuasaan manusia. Karena itu, haruskah kita meminta bantuan Gundala Sang Putra Petir untuk menghempang bangkitnya kembali pasal-pasal kolonial itu, sebelum menghantui Nusantara?
Hanibal WY Wijayanta