gambar: equator |
Bukti tertua keberadaan kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Indonesia ditemukan di Pualau Borneo. Dalam sejarah nasional Indonesia disebutkan Kutai adalah kerajaan bercorak Hindu yang memiliki bukti sejarah tertua berupa prasasti Yupa. Kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-4 dengan pusat pemerintahan terletak di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Nama Kerajaan ini diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti.
Tercatat hanya ada tiga orang di Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan dua orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Kerajaan ini kemudian lenyap entah karena perang saudara, invasi dari kerajaan lain ataupun sebab lainnya. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 orang raja didapatkan dari ucapan meranyau seorang dukun dalam upacara adat belian.
Tidak jauh dari situs purbakala Candi Laras, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan pada aliran sungai Amas ditemukan sebuah arca Buddha Dīpankara dan potongan batu yang bertuliskan aksara Pallawa yang berkaitan dengan agama Buddha. Inskripsi pendek tersebut berbunyi 'siddha'. Frase yang tidak lengkap itu seharusnya berbunyi 'jaya siddha yatra' artinya 'perjalanan suci untuk mendapat berkat'. kalimat tersebut mengingatkan pada baris ke sepuluh prasasti kedukan bukit (683M) : 'Srivijaya jaya siddha yatra subhiksa'. kemiripan kalimat pada kedua prasasti menunjukan adanya pengaruh kerajaan Sriwijaya di Pulau Borneo bagian selatan.
Ekspedisi Kerajaan Sriwijaya antara abad ke 7-8 juga menjangkau Pulau Borneo. Sriwijaya kemudian membagi Pulau Borneo menjadi menjadi 3 Mandala : Brunei, Santubong dan Tanjungpura. Matan atau Sukadana adalah perbatasan Mandala Santubong dan Sambaliung adalah batas dengan Mandala Brunei. Mandala Tanjungpura diperkirakan menempati kawasan wilayah bekas Kerajaan Kutai. Tanjungpura juga memiliki memiliki sumber daya alam yang melimpah. Utamanya adalah hasil tambang dan hutan yang bernilai tinggi seperti lada, emas, intan, rotan, kayu besi dan damar.
Pada 978M Ratu Betung naik tahta menjadi pemimpin di kerajaan Tanjungpura. Ia kemudian menikah dengan seorang penguasa Dayak Ma'anyan (Dayak Sungai) yang bernama Singa Siak Bahulun. Bersama Brunei mereka mengirimkan utusan ke Cina untuk pertama kalinyanya. Pengiriman utusan ini adalah sebagai upaya memperoleh legitimsi untuk melepaskan diri dari Pengaruh Sriwijaya. Dengan lepasnya Tanjungpura dan Brunei, Sriwijaya hanya menyisakan Santubong sebagai koloni terakhir di Pulau Borneo.
Antara 1017 hingga 1030M secara mendadak armada Chola melakukan Invasi secara bergelombang terhadap Kerajaan Sriwijaya. Satu persatu kota-kota bandar utama milik Kerajaan Sriwijaya diduduki atau dihancurkan. Berturut-turut Palembang, Bangka, Jambi, Gelanggi, Panai, Muar, Gangga Negara, hingga pusat pemerintahan Sriwijaya yang kala itu berkedudukan di Kedah takluk. Maharaja Sangrama Wijayaotunggawarman (memerintah 1017-1030M) ditangkap dan dibawa ke Chola sebagai tawanan perang. Salah satu putrinya, Onang Kiu diambil sebagai istri oleh Rajendra Chola. Sejak saat itu Kerajaan Sriwijaya pun untuk sementara waktu takluk dan menjadi bawahan Kerajaan Chola. Sementara koloni-koloni Sriwijaya yang tersisa di Filipina dan Borneo kemungkinan besar melepaskan diri dan menjadi negara merdeka.
Akibat invasi Chola ini beberapa orang bangsawan Sriwijaya disertai para pengikutnya dikabarkan hijrah ke Borneo dan Filipina. Dimana mereka menjadi penguasa dari beberapa koloni Sriwijaya di sana. Salah satunya adalah Datu Putih yang mendirikan Kedatuan Madyaas di Filipina Tengah. Adapun di Pulau Borneo, orang-orang Melayu yang sudah berasimilasi dengan orang Dayak Ma’anyan diperikrakan bersama-sama mendirikan Kerajaan Nan Sarunai.[1] Walau sudah berdiri sebagai kerajaan yang berdaulat, namun dimasa itu Borneo sebelah selatan dan timur tetap dikenal dengan nama lamanya yakni Tanjung Negara atau Tanjung Pura.
Kehadiran orang Jawa ke Bhumi Tanjung Pura atau Tanjung Negara adalah untuk mengklaim bekas daerah taklukkan Kerajaan Sriwijaya ini. Kedatangan orang-orang diyakini terjadi dalam beberapa gelombang. Ekspedisi pertama dilaksanakan semasa kekuasaan Raja Kertajaya sebelum Tahun 1222M. Yang kedua terjadi pada masa Kertanegara setelah tahun 1289M. Namun kekuasaan Kertajaya (memerintah 1194-1222M) dan Kertanegara (memerintah 1268-1292M) diyakini hanya bersifat simbolis saja. Ekspedisi lanjutan dan yang paling dahsyat terjadi berkali-kali terjadi di Era Majapahit.
Dimasa selanjutnya Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu, Pulau Borneo tidak terlewatkan sebagai sasaran perluasan pengaruhnya. Majapahit mengklaim bekas daerah-daerah taklukan Sriwijaya di pulau Borneo dan sekitarnya. Melalui Sumpah Palapanya yang terkenal itu, Mahapatih Gajah Mada dimasa kekuasaan Rani Tribhuwana Wijayottunggadewi (memerintah 1328-1351M) kononnya diikuti dengan sejumlah agrersi militer. Setelah tahun 1336M Kemudian agresi-agresi aktif militer Majapahit terus-menerus dilakukan dibawah Maharaja Hayam Wuruk (memerintah 1351-1389). Pada akhirnya Kerajaan Majapahit berhasil mencapai puncak kejayaannya.
Agresi-agresi militer Majapahit ke Pulau Borneo untuk menaklukkan kerajaan Dayak Ma'anyan (Dayak Sungai) Nan Sarunai, menurut M. Yamin, diperkiraka terjadi secara bertahap selama 80 Tahun, yakni antara tahun 1309 sampai 1389M. Sedangkan menurut Tjilik Riwut mengutip literatur pada zaman Belanda memperkirakan dimulai tahun 1350M dan berakhir pada 1365M. Kerajaan Majapahit berhasil menduduki kawasan pesisir Tanjungpura kira-kira tahun 1350M. Dengan demikian Gajahmada menghabiskan seluruh karirnya sebagai Mahapatih Majapahit untuk menaklukkan Kerajaan Orang Dayak ini.
Ekspansi militer Majapahit rupanya tidak berhenti sampai ditakluknya sejumlah pelabuhan utama di kawasan di pesisir saja. Kerajaan Nan Sarunai kembali digempur ulang oleh tentara Majapahit. Kerajaan orang Dayak ini diserang dan dihancurkan hingga tak tersisa. Semua pemimpin suku Dayak Ma’anyan dikabarkan tewas berbela pati. Tokoh yang berperang melawan Majapahit itu adalah Ambah Idung dan Ambah Jarang. Sedangkan Idung, Jarang dan anak-anak para pembesar Dayak lainnya beserta kaum wanita diungsikan dan disembunyikan di dalam hutan di gunung. Peristiwa ini dikenang dalam Syair 'Nansarunai Usak Jawa' sebuah sastra lisan dalam literatur Suku Dayak Ma'anyan.
Akibat perlawanan dahsat itu, Nan Sarunai akhirnya hancur lebur tanpa sisa. Semua pimpinan dan tentara Nan Sarunai tewas berbela pati. Tinggallah anak-anak, orang tua dan kaum wanita yang selamat mengungsi ke dalam hutan. Menurut Tjilik Riwut, pada tahun 1365M sebagian besar bekas Kerajaan Nan Sarunai atau Kerajaan Tanjung Negara ini sudah berhasil ditaklukkan. Pada saat itu wilayah yang ditaklukkan meliputi Kotawaringin, Sampit, Katingan, Kapuas dan Banjarmasin yang pada saat itu beribukota di Kayutangi disekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Barito. Sejak saat itu Tanjung Pura dimasuki oleh Kerajaan Hindu Majapahit meliputi sebelah selatan Sukadana, Sebuku, Pulau Laut, Pasir, Kutai, Berau atau seluruh pesisir Pulau Borneo bagian selatan dan timur.
Dalam Hikayat Banjar dikisahkan bahwa pada gelombang serangan terakhir sekelompok armada kapal layar dari Keling (Majapahit) dibawah pimpinan Ampu Jatmika yang bergelar Ratu Penggir berlayar dengan kapal dan tentaranya untuk menaklukkan beberapa tempat di Pulau Borneo yang sekarang dikenal dengan nama Sukadana, Pasir, Pulau Laut, Sebuku, dan Banjarmasin. mendarat di pulau Hujung Tanah. Disana ia mendirikan Candi Laras di Margasari. Kemudian sebagian rombongan lainnya terus menyusuri ke hulu dan mendarat di tanah yang panas dan harum' lalu mendirikan Candi Agung dan Kerajaan Koripan Jaya atau Negara Dipa. Sisa sisa tapak candi bergaya arsitektur Hindu-Jawa Timur ditemukan disudut kota Amuntai, Kalimatman Selatan. Diperkirakan Candi ini didirikan tidak lama setelah penaklukkan.
Pendiri Negeri Negara Dipa dan Candi Agung bernama Ampu Jatmika yang berasal dari Majapahit. Ampu Jatmika kemudian menjemput keluarga dan hartanya ke Negeri Keling (Majapahit). Ampu Jatmika menaklukkan daerah-daerah lain disekitar Negara Dipa dipimpin oleh seorang Puteri bernama Junjung Buih yang bersuamikan pangeran dari Majapahit bernama Suryanata (Cakranegara). Setelah ibukota Kayutangi ditaklukkan oleh Majapahit, terjadi gelombang pengungsuian besar-besaran meninggalkan kawasan hilir DAS Sungai Barito. Dalam pelarian itu orang-orang Dayak ke pedalaman mengikuti pemimpin kaum masing-masing.
Pangeran Suryanata berhasil menaklukkan negeri-negeri di Borneo yang sebagian sudah disebut dalam Kakawin Nagarakrtagama. Dapat disimpulkan kisah penaklukkan Kerajaan Nan Sarunai kemudian diikuti dengan berdirinya Negara Dipa sebagai Negara Taklukkan (Vassal) dari Kerajaan Majapahit. Hal ini ditandai dengan kehancuran dan kekalahan Kerajaan Nan Sarunai serta leburnya rakyat Nan Sarunai kebawah kekuasaan baru. Rakyat Nan Sarunai yang memilih untuk bertahan terpaksa menerima perdamaian dibawah pemerintahan orang lain. Negara Dipa didirikan diatas puing-puing Negara Nan Sarunai oleh Ampu Jatmika asal Negri Keling (Majapahit).
Dalam Kakawin Nagarakretagama, Negeri Tanjungpura adalah ibukota bagi daerah-daerah yang diklaim sebagai taklukan Majapahit di Pulau Borneo bagian selatan dan timur. Letak ibukota Tanjungpura diperkirakan berada di Kalimantan bagian Selatan. Sebagai pangkalan, bekas ibukota Kerajaan Nan Sarunai ini strategis untuk menguasai wilayah yang lebih luas lagi juga cukup mudah dijangkau dari pulau Jawa bagian timur. Menurut Prasasti Waringin Pitu (1447M) Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang memerintah antara 1429-1464M. Ia adalah putri raja majapahit Dyah Kertawijaya (memerintah 1447-1453M). Dengan demikian sejak saat itu hingga runtuhnya Kerajaan Majapahit, Tanjungpura bukan lagi sebagai Negara Vassal, melainkan jadi bagian dari Negara Agung yang diperintah langsung dari Jawa.
Disalin dari kiriman FB Riff ben Dahl
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Lihat juga Garis Waktu Sriwijaya No. 32