Harimau nan Salapan dari Agam Tuo, Kian Dikaburkan
Taktik Tuanku nan Renceh membuat Tuanku nan Tuo tidak bisa menghambat gerakan Harimau nan Salapan. Sebab, Tuanku Mansiangan nan Mudo adalah kemenakan dari Tuanku Mansiangan nan Tuo, yang adalah guru Tuanku nan Tuo,
bakaba.co, – ‘Harimau nan Salapan‘, delapan orang ulama penting dari Agam Tuo di zaman pergerakan Perang Tuak dan ‘pemurnian Islam di Minangkabau’ dan perlawanan terhadap kolonial Belanda, semakin dikaburkan.[1]
Salah satunya terbaca dalam tulisan/buku ‘Minangkabau Dalam Catatan
Sejarah yang Tercecer’ yang ditulis Ampera Salim, Zulkifli (Citra
Budaya, 2005).
Dalam
buku tersebut penulis memaparkan bahwa Harimau Nan Salapan adalah
sebutan untuk pimpinan beberapa perguruan yang tersebar di nagari yang
ada dalam Kerajaan Pagaruyung, yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum
Padri.
Ditulis
juga, Harimau Nan Salapan karena jumlah anggotanya delapan orang.
Mereka adalah: Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku
Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek dan
Tuanku Barumun.
“Ulama
yang dikenal dengan Harimau nan Salapan semuanya berasal dari Agam Tuo.
Tidak ada dari daerah lain,” kata H. Asbir Dt. Rajo Mangkuto, 82 tahun,
dalam perbincangan dengan bakaba.co
Tokoh-tokoh
Harimau nan Salapan yang benar kata Dt. Rajo Mangkuto adalah:
1. Tuanku
nan Renceh (Kamang),
2. Tuanku Kubu Sanang (Pasia, Ampek Angkek),
3.
Tuanku Ladang Laweh (Banuhampu),
4. Tuanku Padang Lua (Banuhampu),
5.
Tuanku Galuang (Nagari Sungaipua),
6. Tuanku Koto Ambalau (Canduang Koto
Laweh),
7. Tuanku Lubuk Aua (Batu Balantai, Canduang) dan
8. Tuanku
Biaro (Biaro, Ampek Angkek)
Tidak
hanya penulis Ampera Salim, Zulkifli, bahkan penulis A.A. Navis dalam
buku ‘Alam Takambang Jadi Guru’ menulis bahwa pemimpin Harimau nan
Salapan adalah Tuanku Mansiangan. Dalam aktivitas, yang menonjol Tuanku
nan Renceh.
Begitu
juga dalam buku ‘Tuanku Rao: Antara Fakta dan Khayal”, 1974, yang
ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar menempatkan Tuanku Haji
Miskin sebagai seorang anggota Harimau nan Salapan.[2]
Dari
nama-nama yang disebut dalam buku ‘Minangkabau Dalam Catatan Sejarah
yang Tercecer’ kata Asbir, hanya satu nama yang benar yakni Tuanku nan
Renceh. Tujuh Tuanku yang lain bukan anggota Harimau nan Salapan.
Menurut
Asbir Dt. Rajo Mangkuto yang menulis buku ‘Direktori Minangkabau’,
Tuanku Mansiangan berasal dari Mansiangan, Nagari Paninjauan, IX Koto,
Tanah Datar. Bahkan, Tuanku Mansiangan ada dua orang. Tuanku Mansiangan
nan Tuo, dan kemenakannya Tuanku Mansiangan nan Mudo. Nama lain dari
ulama asal Paninjauan ini adalah Tuanku Pamansiangan.
Sementara
Haji Miskin, berasal dari Pandai Sikek, Tanah Datar,[3] tidak termasuk
sebagai anggota Harimau nan Salapan. Haji Miskin, juga Haji Sumaniak dan
Haji Piobang adalah pelatih di sekolah kadet, militer, yang didirikan
Tuanku nan Renceh di Bansa, Kamang.
“Menulis
sejarah berkaitan suatu peristiwa serta pelaku sejarahnya bukanlah
pekerjaan ringan dan tidak bisa disederhanakan. Perlu kecermatan,
ketelitian sehingga sejarah tidak kabur atau salah,” kata Asbir Dt. Rajo
Mangkuto.
Gerakan Radikal
Gerakan para tokoh ulama, kaum adat di Minangkabau antara tahun 1803 sampai 1844 ditulis dalam banyak versi sehingga sejarah jadi kabur. Dalam rentang waktu 41 tahun itu disimpulkan sebagai Perang Paderi. Istilah Paderi, yang diciptakan Belanda dengan merujuk pada sorban yang dikenakan para ulama. Ulama dijadikan simbol sentral sebagai pihak yang memerangi kaum adat, dan yang melawan kolonial Belanda.[4]
Gerakan para tokoh ulama, kaum adat di Minangkabau antara tahun 1803 sampai 1844 ditulis dalam banyak versi sehingga sejarah jadi kabur. Dalam rentang waktu 41 tahun itu disimpulkan sebagai Perang Paderi. Istilah Paderi, yang diciptakan Belanda dengan merujuk pada sorban yang dikenakan para ulama. Ulama dijadikan simbol sentral sebagai pihak yang memerangi kaum adat, dan yang melawan kolonial Belanda.[4]
Harimau
nan Salapan dikenal berkaitan dengan gerakan ‘pemurnian agama Islam’ di
Minangkabau antara tahun 1809-1821. Gerakan Harimau nan Salapan dalam
kurun waktu itu tidak berkaitan dengan Perang Paderi. Tetapi Perang
Tuak.
Gerakan
Harimau nan Salapan bukan perang memerangi kaum adat atau para niniak
mamak dan panghulu. Tetapi memerangi aktivitas anggota masyarakat yang
masih berjudi, sabuang ayam, mengisap candu, santo/tembakau yang tidak sejalan dengan syariat Islam.
“Dalam
pandangan Tuanku nan Renceh dan ulama sepaham dengannya, orang Minang
beragama Islam dan semua yang dilarang agama Islam harus ditinggalkan.
Jika tidak, akan diperangi,” ujar Asbir Dt. Rajo Mangkuto.
Tuanku
nan Renceh (1780-1833), ulama asal Kamang, Agam, dan anggota Harimau
nan Salapan lain, semuanya adalah murid Tuanku nan Tuo, Koto Tuo, Balai
Gurah, Ampek Angkek, Agam.
Tuanku
nan Renceh dan anggota Harimau Nan Salapan memahami dukungan ulama
senior sangat penting. Untuk itu, nan Renceh meminta guru mereka: Tuanku
nan Tuo, untuk menjadi pemimpin/imam Harimau nan Salapan. Tuanku Nan
Tuo menolak permintaan Harimau nan Salapan karena gerakan para muridnya
itu akan memaksa dijalankannya syari’at Islam di setiap nagari. Caranya,
dengan kekuatan dan kekuasaan.
Tuanku
Nan Tuo berpendapat, jika di suatu nagari telah ada orang beriman,
meski hanya satu orang, nagari tersebut tidak boleh diserang. Lebih baik
menguatkan peran dan pengaruh ulama di satu nagari, tanpa kekerasan.
Pengaruh ulama ditujukan kepada para penghulu, imam, khatib, manti dan dubalang yang ada di nagari-nagari.
Kecewa
dengan penolakan Tuanku nan Tuo, akhirnya Tuanku nan Renceh meminta
Tuanku Mansiangan nan Mudo untuk menjadi imam meski tidak langsung
menjadi pemimpin yang berada di depan.
Taktik
Tuanku nan Renceh membuat Tuanku nan Tuo tidak bisa menghambat gerakan
Harimau nan Salapan. Sebab, Tuanku Mansiangan nan Mudo adalah kemenakan
dari Tuanku Mansiangan nan Tuo, yang adalah guru Tuanku nan Tuo, Koto
tuo.
Keliru sejarah
Pengaburan penulisan sejarah dan catatan tentang Harimau nan Salapan menurut Asbir, perlu dijernihkan. Pertama, Harimau nan Salapan semuanya ulama dari Agam Tuo, dengan pimpinan Tuanku nan Renceh.
Pengaburan penulisan sejarah dan catatan tentang Harimau nan Salapan menurut Asbir, perlu dijernihkan. Pertama, Harimau nan Salapan semuanya ulama dari Agam Tuo, dengan pimpinan Tuanku nan Renceh.
Kedua,
para ulama: Tuanku Mansiangan nan Mudo, Haji Miskin (Tuanku Pandai
Sikek), Imam Bonjol, Rao, Lintau, Barumun, Lintau (Tuanku Pasaman), dan
Tuanku Tambusai bukan anggota Harimau nan Salapan.
Ketiga,
Harimau nan Salapan tidak memerangi kaum adat atau penghulu tetapi
memerangi perilaku masyarakat yang tidak sesuai ajaran Islam.
“Periode gerakan Perang Tuak yang digerakkan Harimau nan Salapan berlanjut memerangi Belanda,” kata Asbir.
Tuanku
nan Renceh mati ditembak Belanda dalam pertempuran di Kamang, 19 Juni
1833. Tuanku nan Renceh tidak digantikan Tuanku Imam Bonjol. Sebab,
dalam perlawanan para ulama terhadap Belanda di Minangkabau, Imam Bonjol
hanya salah seorang panglima perang. Imam Bonjol menjadi panglima
perang dengan wilayah pertahanan di Palupuah, Agam dan memiliki benteng
di Bonjol. Tuanku nan Renceh panglima perang untuk wilayah Agam Tuo,
Tuanku Lintau panglima wilayah Tanah Datar.
Perang
ini dicatat dalam sejarah dengan nama Perang Paderi, di mana kaum ulama
bersama kaum adat dan masyarakat Minangkabau pedalaman melawan Belanda.
Imam
Bonjol ditangkap Belanda, Oktober 1837 dengan janji bertemu untuk
berunding, tetapi justru ditahan. Dan dibuang ke Jawa Barat, dan
akhirnya diasingkan ke Minahasa dan meninggal di sana, 8 November 1864.
Perlawanan
masyarakat Minangkabau, setelah Imam Bonjol ditangkap tidak berhenti.
Para ulama bersama pemimpin adat, para penghulu terus melawan Belanda.
Puncaknya tahun 1844, terjadi pemberontakan Batipuah. Masyarakat kalah
dalam bertempur, tetapi tidak pernah tunduk dan mengakui kekuasaan
Belanda.
» asra f. sabri
________________________
Disalin dari:https://bakaba.co
Diterbitkan pada 10 September 2017
_______________________
Catatan Kaki dari Agam van Minangkabau:
[1] Harimau Nan Salapan atau terjemahan bebas Delapan Harimau merupakan sebuah Majelis Pimpinan Tertinggi Ulama Ahlul Sunnah Waljama'ah di Minangkabau. Harimau, kemungkinan besar mengacu ke "Harimau Champa" yang merupakan lambang (totem) orang Minangkabau dari Luhak Agam. Selama ini para ahli memperkenalkan istilah Gerakan Paderi (Perang Tuak) terjadi antara Golongan Ulama dengan Agdat, dan Perang Paderi yang terjadi antara Rakyat Minangkabau melawan Belanda. Sebenarnya orang Minangkabau sendiri tidak mengenal istilah Paderi karena bukan berasal dari Bahasa Minang. Paderi atau Pedr kemungkinan berasal dari Bahasa Portugis yang berarti Pendeta. Istilah ini dilahirkan oleh para Orientalis yang mempelajari sejarah Minangkabau yang langsung diamini dan ditiru tanpa bertanya oleh sarjana pribumi.
[2] Tuanku Rao: Antara Fakta dan Khayal ditulis oleh Buya Hamka sebagai kritikan terhadap buku Mangaraja Onggang Parlindungan yang berjudul "Tuanku Rao".
[3] Nagari Pandai Sikek dalam administrasi pemerintahan masa kini merupakan bagian dari Kabupaten Tanah Datar tapi bukan bagian dari Luhak Tanah Data. Nagari Pandai Sikek merupakan bagian dari Luhak Agam.
[4] Baca kembali catatan kaki no.1