Sumber Foto: https://koleksibpcbsumbar.wordpress.com |
Surat Sultan Alam Bagagar Syah
Sejarah rupanya menghendaki lain. Cita-cita Sultan rupanya belum akan berhasil di waktu itu. Akhirnya Belanda mengetahui juga Gerakan Rahasia "Tiga Segi" ini, karena Surat Edaran Sultan (Regen Tanah Datar)[1] yang dikirimkan kepada Yang Dipertuan di Parit Batu, Tuanku Sembah di Batang Sikilang dan Tuanku di Air Batu, menyampaikan seruan agar dengan serentak seluruh pimpinan, baik Raja-raja, atau Pengulu-pengulu, dan seluruh Tuanku-tuanku Ulama, agar bersatu mengusir Belanda. Dan disebutkan di dalam surat bahwa Sultan telah bersepakat dengan Sentot Mohammad Ali Basya Raja Jawa dan Tuanku Imam.
Setengah dari isi surat Sultan itu berbunyi:
"Kami mempermaklumkan kepada Tuanku-tuanku dan semua Penghulu bahwa semua yang telah diputuskan tempo hari wajib kita lanjutkan dengan segenap kekuatan, supaya kita tidak menanggung kerugian.”
Di surat itupun Sultan menyebutkan:
"Kami yang dari Tiga Luhak telah bersatu dengan Daulat Yang Dipertuan di Pagaruyung dan Ali Basva Raja dari Jawa yang telah kita muliakan seperti Daulat Yang Dipertuan Pagaruyung jua adanya, dan kita telah berjanji akan mengusir Kompeni Belanda dari Tanah Datar, hingga kita ada harapan akan hidup berbahagia.”
Karena Belanda telah mengetahui rahasia ini dari mata-matanya yang disebarkan di seluruh front perjuangan, maka satu demi satu orang-orang yang dicurigai, disingkirkan. Tuanku Alam Koto Tuo, seorang Tuanku Paderi yang telah dipercayai Belanda, tetapi namanya tersebut dalam surat Sultan itu, ditangkap dan dipenggal lehernya. Tuanku Nan Cerdik di Naras Pariaman yang terdapat bukti-bukti bahwa dia turut menghadiri pertemuan-pertemuan rahasia Tiga Segi itu, yang beberapa waktu lamanya telah dipercayai Belanda dan telah digaji, ditangkap pula, lalu dibuang ke Betawi (Jakarta). Sentot Ali Basya diperintahkan segera berangkat ke Jawa, katanya untuk memanggil serdadu- serdadu yang baru, tetapi sesampai di Jawa, diasingkan ke Bengkulu.
Dan pada 2 hari bulan Mei 1833 Sultan sendiripun ditangkap oleh Residen Civil dan Militer Belanda, Letnan Kolonel Elout di Batusangkar di dalam satu pertemuan ramah-tamah di rumah Residen, itu sendiri. Pengawal-pengawal dan Pengulu-pengulu yang mengiringkan Sultan tidak dapat berbuat apa-apa, karena siasat penangkapan telah diatur begitu cerdik. Setelah itu Sultan diiringkan sebagai seorang tangkapan dari Batusangkar ke Padang dengan satu peleton serdadu di bawah pimpinan seorang Kapten Belanda. Akhirnya dibuang ke Betawi, dengan suatu penghinaan yang tiada taranya, yaitu kaki Sultan dipasung kedua-duanya dengan kayu sempedak.
Kecintaan Rakyat
Kebesaran Sultan dalam hati rakyat Minangkabau setelah Sultan diasingkan tambah terasa.Meskipun Belanda mengatakan bahwa Sultan hanya Regen Tanah Datar, bagi rakyat Tuanku adalah Rajanya, yang belum pernah hilang dari hatinya.
Bertambah Tuanku dijauhkan dari mata mereka, bertambah Tuanku bersemayam dalam ingatan mereka.
Penangkapan Sultan menyebabkan perang berkobar lebih hebat. Nagari-nagari yang telah dikuasai Belanda langsung memberontak dan menyatukan diri dengan Kaum Paderi. Rajo Buo sendiri, yaitu yang sedaulat dengan ikatan "Rajo Tigo Selo" dengan Sultan, bersama dengan Rajo Sumpu Kudus, memimpin sendiri pemberontakan di Tanah Datar. Kemudian beliau menggabungkan diri dengan Kaum Paderi melanjutkan perjuangan beliau di Pangkalan Koto Baru. Dan setelah Rajo Buo berangkat ke Pangkalan Koto Baru, perjuangan dipimpin oleh pengulu-pengulu di Pagaruyung sendiri. Sampai untuk mengejar 'pemberontak-pemberontak' itu Belanda mendatangkan Pengulu-pengulu yang berpihak kepadanya dari Batipuh dan Simabur.
Bukan hingga itu saja. Bahkan terjadilah penyerbuan Kaum Paderi ke benteng Belanda di Guguk Sigandang. Di situlah pertempuran paling hebat. Setelah pertempuran yang banyak memusnahkan serdadu Belanda itu, banyak pemuka rakyat tertangkap dan dihukum mati, dipancung leher.
Pada 29 Juli 1833, tidak cukup 3 bulan setelah Sultan diasingkan Belanda, telah dipenggal leher 11 orang Pemuka Adat, 3 orang Pemuka Paderi (Ulama) dan seorang Hulubalang. Pemuka Adat ialah:
1). Dt. Bandaro, dari Gunung.
2). Dt. Bandaro Nan Gapuk Laras IV Koto.
3). Dt. Nan Gelek, Koto Lawas.
4). Dt. Bandaro Putih, Koto Lawas.
5). Dt. Bandaro, Koto Baru.
6). Dt. Sinaro Panjang, Air Hangat.
7). Rangkayo Tuo dari Singgalang.
8). Dt. Putih, dari Singgalang.
9). Dt. Putih, dari Pandai Sikat.
Ulama Yang Bertiga ialah:
- Tuanku Mansiangan, bekas Panglima Umum Pertama Kaum Paderi. Kemudian menjadi Pimpinan Kaum Paderi di VI Koto.
- Pakih Sulaiman anak Tuanku Mansiangan dan
- Pakih Manggala murid beliau.
- Dubalang atau Hulubalang yang seorang itu ialah Bagindo di Aceh.
Jumlah semua jadi 13 orang. Ketiga belasnya mendapat tuduhan yang sama, yaitu sekongkol dengan apa yang dinamai Regen Tanah Datar dalam komplotan hendak mengusir Belanda. (Belanda tidak pernah menyebut Yang Dipertuan).
Kemudian tersebut lagi beberapa Tuanku Paderi yang tercatat sebagai Pembela Yang Dipertuan.
- Yaitu Tuanku Nan Gapuk di Kamang,
- Tuanku Nan Pahit di Sarilamak (Payakumbuh).
Peperangan di Minangkabau bertambah berkobar. Pusat Paderi di Bonjol tidak juga dapat ditaklukkan. Akhirnya, pada awal bulan September 1833 Gubernur Jendral J.C.Baud mengutus Komisaris Jendral Van den Bosch untuk mencari penyelesaian.
Syekh Ahmad
Kalau perlu carilah perdamaian, asal saja gengsi Pemerintah Belanda dijaga jangan sampai jatuh. Namun itupun tidak berhasil. Sebelum kembali ke Jawa dengan terburu, Komisaris Jendral Van den Bosch mengutus A. F. Van den Berg ditemani oleh seorang Arab bernama Syekh Ahmad, hendak mengadakan perundingan dengan Tuanku Imam Bonjol.
Perundingan itu diadakan di Sasak (Talu). Tetapi oleh karena bukan Van den Bosch sendiri yang datang, hanya wakilnya, Tuanku Imam pun tidak datang. Dia hanya mengirim wakilnya pula.
Tuanku Putih Gigi. Tuanku Putih Gigi adalah Guru Agama dari Raja Alam Muning Syah untuk mengajar cucu-cucu baginda, seketika baginda mengasingkan diri di Kuantan. Yang kemudian menggabungkan diri ke Bonjol.
Tuanku Putih Gigi datang ke tempat perundingan itu diiringkan oleh beberapa Tuanku-tuanku yang lain.
Dan ketika perundingan akan dimulai, Tuanku Putih Gigi mengemukakan syarat sebelum perundingan dilanjutkan, yaitu supaya Yang Dipertuan Minangkabau, Raja Alam di Pagarruyung dipulangkan.
Belanda sangat berat untuk mengabulkan permintaan yang satu itu. Sebab itu perundingan gagal, perang diteruskan. Akhirnya setelah empat tahun di belakang, yaitu pada tahun 1837 barulah Bonjol dapat ditaklukkan, setelah segala kekuatan Belanda dipusatkan ke Minangkabau, dengan selesainya menaklukkan Pangeran Abdulhamid Diponegoro di tanah Jawa.,
Tuanku Imam ditangkap dan dibuang pula, meninggal di Menado (Kampung Lutak) 6 Nopember 1864.
Innalillahi wainna ilaihi radjiun...
diangkat dari : "Dari Perbendaharaan Lama" Buya HAMKA 1982
Hal. 155-159
______________________________
Hari Jum'at tanggal 13 Rajab 1441/ 07 Fabruari 2020
_____________________________
Catatan kaki oleh Agam van Minangkabau
[1] Sulthan Alam Bagagar Syah pernah diangkat oleh Belanda menjadi Regent yang statusnya di bawah Resident yang berkedudukan di Padang
[2]