*Berdirinya Kesultanan Jambi dalam Genggaman VOC.*
Menurut cerita tutur, dikisahkan pada masa pemerintahan Rangkayo Hitam[1] (~1600-1615) Jambi memulai era Kesultanan. Hal ini ditandai dengan masuknya raja kerajaan Jambi kedalam agama Islam. Kemudian ia memberi maklumat agar penduduk Jambi agar memeluk agama Islam. Pada masa pemerintahannya Ia merubah struktur kerajaan dan penyebutan gelar raja yang sebelumnya 'Panembahan' (Temenggong) menjadi 'Sultan'.
Sejarah berdirinya Kesultanan Jambi tidak lepas dari campur tangan VOC. Pertemuan dengan Kongsi Dagang Belanda itu terjadi pada 1615. Setelahnya Jambi secara resmi menjadi Kesultanan. Melalui maklumat Sultan Kedah (Sultan Abdul Kahar 1615-1643), ia mendeklarasikan wilayahnya sebagai satu kesatuan yang berbentuk Kesultanan, sejajar dengan Kesultanan Johor.
Rombongan VOC pertama kali datang ke Kesultanan Jambi dipimpin oleh Abraham Strek dengan membawa dua kapal Belanda, bernama Wapen Amsterdam dan Middelburg. Tidak lama setelah itu perwakilan Belanda mendapatkan izin untuk membuka kantor dagang. Satu tahun setelah pertemuan itu, berdasarkan izin yang diperoleh ia membuka kantor dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) diwilayah Muara Kumpeh.
Disebabkan sulitnya mendapat kayu dan lada dari masyarakat, VOC menutup kantor daganganya 1625. VOC kemudian membukanya kembali di tahun 1636. Pembukaan ini tidaklah tanpa penyebab. Dengan sikapnya yang ingin menguasai Jambi, Belanda ingin mengambil kesempatan dengan memanfaatkan perselisihan antara Kesultanan Jambi dengan Kesultanan Johor.
Pada fase kedua ini kantor dagang VOC di Jambi dipimpin oleh Hendrik van Gont. Pada 1642 VOC menuding bahwa Sultan Jambi telah melakukan hubungan terhadap Sultan Agung dari Mataram. Oleh karena Mataram sedang berperang dengan VOC kemudian dijadikan alasan bagi VOC untuk memakluman perang terhadap Kesultanan Jambi. Jambi menderita kekalahan dan Sultan Kedah diturunkan dari tahtanya.
Pada masa selanjutnya kantor dagang Belanda di Jambi dipimpin oleh Antonie van Diemen. Akibat berbagai tekanan, Sultan Abdul Jalil atau yang juga dikenal dengan gelar 'Sultan Agung' (1643-1665) yang baru naik tahta terpaksa melakukan kerjasama antara pemerintahannya dengan VOC di bawah pimpinan Anries Dogart Ploeg. Pada 1643 dan masa selanjutnya di tengah perselisihan antara Jambi-Johor, Jambi membutuhkan bantuan, maka terjalinlah kerjasama antara Kesultanan Jambi dengan Belanda melaui VOC.
Pecahnya perang antara Jambi-Johor terjadi di tahun 1667, yang ketika itu Jambi mengalami kemenangan atas bantuan VOC. Maka dari itu VOC melalui konsul dagangnya yang dipimpin oleh Sybrand Swart, meminta imbalan atas bantuan yang telah diberikan tersebut. Sultan Jambi yang saat itu dipimpin oleh Sultan Abdul Mahji yang juga dikenal dengan gelar Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) menolak. Ia menyerang kantor dagang Belanda dan berhasil membunuh Sybrand Swart. Ketidakpuasan Belanda ini berujung pada penangkapan sultan pada tahun 1690 dan sultan di buang ke Batavia.
Kerjasama dengan VOC tidak hanya di bidang perdagangan, tetapi juga terjalin dalam bidang pemerintahan. Hal ini yang menyebabakan turut campurnya VOC dalam pemerintahan Kesultanan Jambi. Seharusnya pengganti Sultan Ingalogo adalah putra mahkotanya yaitu Raden Tyulip (Raden Julat). VOC mengangkat Raden Depati Cakranegara Menjadi sultan dengan sebutan Kiai Gedeh (1690-1696). Hal ini menyebabkan Raden Tyulip dan Kiai Singa Patih keluar dari Kerajaan dan melakukan hubungan dengan Kesultanan Pagaruyung.
Bantuan Paguruyung pada akhirnya berhasil membatu Raden Tyulip mendirikan pemerintahan di pengasingan, sehingga Raden Singa Tyulip mendirikan pemerintahan di Mangunjayo dengan gelar Sunan Sri Maharaja Batu (1690 - 1721) juga biasa disebut Sunan Suto Ingalogo dan Saudaranya Kiai Singa Patih mendirikan pemerintahannya di Bukit Serpeh dengan Gelar Sunan Abdurrahman (1690-1712). Dua tahun di bawah kepemimpinannya, Sri Maharaja Batu menutup kantor dagang VOC di Jambi.
Kesultanan Jambi seterusnya berkuasa sebagai Kesultanan yang berdaulat hingga memasuki pertengah Abad ke-19. Serangan Sultan Muhammad Fakhruddin (1829-1841) terhadap wilayah-wilayah Palembang dijadikan alasan Belanda untuk memaklumkan perang. Jambi berhasil dipukul mundur oleh Belanda hingga menderita kekalahan. Momentum kekalahan Jambi ini dimanfaatkan Belanda untuk memaksa Sultan Muhammad Fakhruddin menandatangani Korter Valkering (Traktat Pendek) pada 1834.
Pada 1855 Sultan Taha Safiuddin (1855-1904) yang baru naik tahta menolak menandatangani Korter Valkering. Malapetaka pun datang, Belanda menerjunkan ekspedisi ke Jambi yang mengakibatkan pengambilan Keraton serta kerugian yang besar. Belanda memecatnya pada 1858, Taha sendiri melarikan diri ke pedalaman di mana ia menetap sampai 1904. Meskipun tidak lagi menjadi sultan, Taha mempertahankan tingkat otoritas tinggi atas orang Jambi terutama di dataran tinggi. Belanda menunjuk beberapa orang sultan pengganti, sebagai perantara antara Belanda dengan Sultan. Perlawanan secara gerilya terus berlanjut, hingga Pada 4 Mei 1906, secara resmi Belanda membubarkan Kesultanan Jambi.
*Disadur dari karya Hartono Margono : Sejarah Sosial Jambi: Jambi Sebagai Kota Dagang, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumntasi Sejarah Nasional Jakarta, 1984*
Disalin dari kiriman FB: Reff ben Dhal
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Rangkayo Hitam atau Orang Kayo Hitam merupakan anak dari pendiri kerajaan Jambi, Puteri Selaro Pinang Masak dengan Datuk Panduko Barhalo. Puteri Selaro Pinang Masak merupakan seorang anggota Kerajaan Pagaruyuang