*Lampung, jejak pertama VOC di Pulau Sumatera.*
Pada masa kejayaan kesultanan Banten, Lampung menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya. Potensi Lampung pada saat itu adalah sebagai penghasil rempah-rempah terutama lada yang diincar Belanda. Pada tanggal 29 Agustus 1602 armada VOC mendarat di Tanjung Tiram Lampung, namun mendapat sambutan yang kurang baik dari rakyat Lampung.
Banten dibawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) mencapai puncak kejayaannya sedangkan VOC secara bertahap berhasil mengembangkan sebuah jaringan perdagangan di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku. Sementara itu Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC yang bercokol di Batavia. Upaya VOC dalam meluaskan wilayah kekuasaan dihalang-halangi oleh Banten.
Untuk melemahkan Banten, VOC melakukan politik adu domba. Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, VOC mengabulkan permintaan bantuan dari Sultan Haji. Sebagai imbalannya, Sultan Haji akan menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7 April 1682 Sultan Ageng Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Haji menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682. Isi dari piagam tersebut antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada VOC. Dengan demikian VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Lampung
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur mewakili Sultan Banten dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ternyata tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan lada yag dicari-carinya. Perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena ternyata tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Haji yang bersekutu dengan VOC. Banyak yang masih mengakui Sultan Ageng Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap VOC tetap sebagai musuh.
Kemudian baru diketahui bahwa kekuasaan Sultan Banten atas Lampung tidak mutlak. Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "Jenang" atau Gubernur sebatas urusan kepentingan perdagangan hasil bumi terutama lada. Penguasaan wilayah dipegang oleh penguasa-penguasa lokal Lampung yang terpencar-pencar pada tiap-tiap satuan lokal yang disebut 'Adipati'. Penguasaan Sultan Banten atas Lampung hanya sebatas pada garis pantai saja.
Walaupun para 'Adipati' mengakui kekuasaan Sultan Banten namun secara hirarkis tidak langsung berada dibawah penguasaan Jenang Gubernur. Dalam usahanya untuk memonopoli perdagangan lada, atas nama Sultan Banten, VOC terpaksa melakukan perjanjian dengan tiap penguasa-penguasa lokal di Lampung secara terpisah.
VOC membuka kantor dagangnya di Menggala, Gunung Sugih dan Teluk Betung. Dalam menghadapi penguasa-penguasa lokal di Lampung, VOC menggunakan dua jalan : "Halus dan Kasar". "Jalan Halus" yang ditempuh VOC adalah dengan memberikan hadiah-hadiah kepada penguasa-penguasa lokal itu. Sesekali VOC menggunakan "Jalan Kasar" yakni mengirimkan ekspedisi dalam sekala kecil untuk menghukum mereka yang dianggap membangkang.
Keberadaan Dermaga juga menyiratkan situasi sejarah Menggala sejak masa VOC dan Hindia Belanda, di mana di Menggala banyak kapal-kapal dagang yang singgah untuk berjual beli perdagangan lada. Bangunan dermaga merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal. Bentuk dermaga ini terdiri dari ponton dengan konstruksi besi. Bangunan Dermaga ditetapkan oleh Pemda Tulang Bawang sebagai salah satu Cagar Budaya kategori A, yaitu bangunan yang memiliki nilai sejarah, arsitektur, sosial budaya dan ilmu pengetahuan.
Pada 1813 Kesultanan Banten secara resmi dibubarkan oleh Raffles. Pada 1816 kekuasaan Hindia Belanda dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda. Raffles yang berkuasa sejak tahun 1811 kemudian menduduki daerah Teluk Semangka. Raffles tidak mau melepaskan daerah Lampung bagian barat kepada Belanda karena ia beranggapan bahwa daerah itu bukanlah jajahan Belanda. Namun setelah setelah ditandatangani Traktat London pada 17 Maret 1824 Raffles meninggalkan Lampung. Pada 1829 Belanda menunjuk seorang Residen untuk Lampung.
Pemerintah Belanda di Teluk Betung dipimpin oleh Residen J. Walland, seorang Asisten Residen Bengkulu. J. Walland dipilih sebagai Residen Lampung karena dinilai telah berhasil mengadopsi hukum adat Sumatera Bagian Selatan. Untuk membantunya dalam menjalankan pemerintahan, Residen J. Walland melakukan modifikasi hukum adat Bengkulu, yaitu Simboer Tjataya Bengkulu. Ia mendudukkan penguasa-penguasa lokal kedalam pemerintahan kolonial untuk kemudian diintegrasikan pada Kerseidenan Lampung.
Disalin dari kiriman FB: Riff ben Dahl