Catatan oleh Agam van Minangkabau:
Perlu kebijaksaan pembaca dalam membaca dan menafsirkan setiap rangkaian informasi yang terdapat dalam tulisan ini. Para penulis tampaknya memiliki pengetahuan yang minim tentang Kebudayaan Minangkabau, Melayu, dan negeri-negeri di Pulau Sumatera ini. Salah satu yang paling menonjol ialah pernyataan yang mengatakan "Orang Minangkabau bukan Pelaut". Hendaknya para penulis melakukan kritik sumber, membandingkan dengan sumber lain, serta menyertai dengan fakta-fakta yang kuat, bukan hanya tafsiran terhadap fakta-fakta yang didapatnya dari sumber-sumber yang ada. Fakta-fakta yang membahas tentang Tradisi Melaut Orang Minangkabau sangat banyak, baik itu sumber kolonial ataupun sumber pribumi Minangkabau.
_______________
Disalin dari: http://poestahadepok.blogspot.com
Kota Padang adalah rantau orang Minangkabau,
juga rantau orang Kerinci dan rantau orang Bengkulu. Kota Padang juga adalah
rantau orang-orang Mentawai dan orang-orang Nias. Tentu saja jangan lupa, Kota
Padang juga adalah rantau orang-orang Tapanuli, Baros, Singkel, Mandailing dan
Angkola.[1]
Muaro, cikal bakal Kota Padang |
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1837 Kota Padang adalah
ibukota Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Ibukota dari pusat-pusat
perdagangan di pantai barat Sumatra dari kota-kota pantai mulai dari Bengkulu
hingga Singkel seperti Moco-moco, Indrapoera, Priaman, Air Bangies, Natal,
Tapanoeli dan Baros.
Kota Padang juga ibukota dari sentra-sentra
produksi pertanian dan kehutanan mulai dari Komering hingga Alas seperti
Kerintji, Solok, Fort de Kock, Bondjol, Rao, Mandailing, Angkola, Silindoeng,
Toba dan Dairi.
Orang Minangkabau dan Orang Batak Bukan Pelaut
Orang Minangkabau bukanlah pelaut,[2] demikian
juga orang Batak bukan juga pelaut. Orang Minangkabau adalah petani yang ulet;
dan orang Batak juga adalah petani yang ulet.
Yang menjadi pelaut adalah orang-orang Melayu (berpusat di
Riaou).[3] Di dalam aktivitas perdagangan di pesisir pantai yang cukup mononjol
perannya adalah orang-orang Tionghoa dan orang-orang Atjeh. Sementara
orang-orang kepulauan di pantai barat Sumatra seperti Mentawai dan Nias, secara
tradisi bukan pelaut tetapi ketika mereka melakukan migrasi ke darat lebih
memilih hidup di pantai. Salah satu komunitas para migran Nias di pantai
daratan adalah di Telok Tapanoeli dan di muara sungai Batang Arau (yang menjadi
cikal bakal Kota Padang).[4]
Kota Padang adalah kota pantai, kota melting
pot, seperti halnya Batavia, Soerabaja dan Medan. Sebagai sebuah kota pantai,
Kota Padang adalah kota yang penduduknya bersifat mix population. Suatu kota
kombinasi antara orang-orang pantai dan orang-orang pegunungan, paduan antara pelaut
dan petani.
Kegiatan penduduk pantai juga ada yang berdagang,
demikian juga penduduk pegunungan ada yang berdagang. Penduduk pantai berdagang
ke pegunungan, penduduk pegunungan berdagang ke pantai. Bedanya, penduduk
pantai ada yang melakukan eksplorasi ke laut lepas untuk menangkap ikan sebagai
nelayan, sementara penduduk pedalaman ada yang melakukan eksplorasi ke hutan
belantara untuk mengumpulkan hasil-hasil hutan.
Kota Padang adalah rantau orang-orang
pedalaman, tetapi juga rantau orang-orang pantai di kota lain. Kota Padang juga
adalah rantau dari penduduk di pulau-pulau lainnya. Oleh karenanya, Kota Padang
pada awalnya tumbuh dan berkembang sesuai dengan perubahan geopolitik dan
perubahan tata ruang ekonomi di era kolonial Belanda.[5]
Kota Padang baru popular setelah orang-orang Eropa saling
silih berganti memperebutkannya sebagai pos perdagangan dari tangan orang-orang
Atjeh. Kota Padang sebagai post perdagangan yang baru di era persaingan Eropa
(Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda) adalah sama pentingnya dengan
kota-kota pelabuhan lainnya yang lebih dulu eksis di Pantai Barat Sumatra
seperti Bencoolen, Moco-moco, Priaman, Passaman (Air Bangies), Batahan, Natal,
Tapanoeli, Baros dan Singkel. Dalam perkembangannya, Baros dan Singkel digantikan
Tapanoeli (Sibolga), Batahan digantikan oleh Natal, lalu Priaman dan Air
Bangies digantikan oleh Padang. Dalam perkembangan lebih lanjut semua
pelabuhan-pelabuhan lama tereliminasi oleh dua kubu Eropa (Inggris dan Belanda)
yang mengangkat Padang dan Bengkulu. Pada akhirnya dengan traktat London,
pelabuhan yang menjadi finish adalah Padang. Dalam hal ini Padang (kini)
kontras Baros (kuno)
Berbeda dengan pantai barat Sumatra, di
Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) ibukota awalnya di Siak Indrapoera.
Pantai Timur Sumatra dimulai dari Indragiri hingga Tamiang meliputi Siak, Rokan,
Labuhan Batoe, Asahan, Batoebara, Serdang, Deli dan Langkat. Dalam
perkembangannya, ibukota dipindahkan ke Selat Panjang (Bengkalis) dan akhirnya
ke Medan (Deli).
Sistem Pemerintahan di Padang
Sebelum Belanda membentuk pemerintahan di
Sumatra’s Wetskust, pemerintahan tradisional sudah eksis sejak lama. Oleh
karena Sumatra’s Westkust yang begitu luas dan terdiri dari etnik yang berbeda,
maka sistem pemerintahan tradisional masing-masing juga berbeda. Setelah
Belanda membentuk pemerintahan, pemerintahan tradisional diintegrasikan dengan
pemerintahan Hindia Belanda. Tata ulang pemerintahan tradisional juga terjadi.[6]
Bentuk pemerintahan provinsi dikepalai oleh seorang
gubernur dan membawahi residen, asisten residen dan Controleur. Di Padangsche
Benelanden dan Padangsche Bovenlanden pemimpin lokal disertakan pada
pemerintahan yang lebih tinggi. Hal ini boleh jadi mengikuti pola lama kerajaan
(Pagaroejoeng).[7] Sebaliknya tidak dilakukan di Tapanoeli karena kerajaan sudah
sejak lama tidak ada. Pemimpin local di Tapanoeli hanya disertakan dalam
pemerintahan di bawah koordinasi seorang Controleur. Pemimpin local di
Tapanoeli disebut koeria (berbasis genealogis dan territorial). Sedangkan di
Padangsche pemimpin local berbasis pada suku. Setiap orang dapat
mengidentifikasi sukunya dan hanya bersedia mengikuti perintah dari kepala
soekoenya (penghoeloe).[8]
Di Padang, terdapat kekecualiaan, Pemerintah
Hindia Belanda menghilangkan peran penghoeloe dan kewenangan pemimpin local
dibentuk sebagai distrik dan kampong yang ditunjuk oleh pemerintah. Nama
wilayah di Padang disebut Laras yang dikepalai seorang Lurah [Laras bukan berarti 'Lurah'. Wilayah kekuasaan seorang Kepala Laras sama dengan wilayah kekuasaan Bupati di Jawa]. Terdapat tiga
lurah yakni Lurah Padang, Lurah Pauh dan Lurah Koto Tangah. Ketiga lurah ini
disebut Tiga Lurah. Untuk pemimpin lokal diangkat seorang regent (bupati)[9]
dimana membawahi Kepala Laras. Kepala Laras dan Kepala Kampong ditentukan oleh
pemerintah.
Pada awal pembentukan pemerintahan, pemimpin local yang
disertakan di Padangsch Benelanden sebagai Hoofd Regent yang berkedudukan di
Padang. Sedangkan Regent sendiri ada dua
yakni Regent Pagaroejoeng di Padangsch Bovenlanden dan regent di Indrapoera.
Dalam perkembangannya regent di Padang pada tahun 1832 disebut Toeankoe
Panglima dan dibantu Toeankoe Bandahara. Regent van Padang kemudian dijabat
oleh Soetan Iskandar yang sebelumnya sebagai Toeankoe Bandahara. Soetan
Iskandar cukup lama sebagai regent hingga akhirnya jabatan regent dihilangkan.
Pola pemerintahan kemudian menjadi kurang lebih sama baik di Tapanoeli maupun
di Padangsch Bovenlanden dan Padangsch Benelanden.
Perbedaan penerapan pemimpin local ini di
dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda tidak seragam dan disesuaikan dengan
alam setempat. Di Batavia tidak terdapat regent tetapi di dalam pemerintahan
disertakan pemimpin komunitas (yang disebut kapten). Di Preanger pemimpin local
yang disertakan dalam pemerintahan disebut regent (bupati) yang masing-masing
terdapat di Bandoeng, Sumedang, Soekapoera (Garoet) dan Tjiandjoer. Sedangkan
di Buitenzorg (Bogor) tidak ditetapkan adanya regent tetapi disebut Demang dan
diangkat oleh pemerintah. Pada nantinya di Deli pemerintahan local diwakili
oleh Sultan.
Padang sebagai ibukota pemerintahan di Sumatra’s Westkust
dengan sendirinya tidak mengikuti system pemerintahan tradisional, melainkan sistem
pemerintahan sendiri.[10]
Padang pada awal pembentukan Provinsi (1837),
Residen didampingi pemimpin lokal Toeankoe Panglima (regent) yang dijabat oleh
Soetan Iskandar dan Toeankoe Bandahara dan tujuh penghoeloe yang meliputi Nangallo
yang terdiri dari enam panghoeloes, Nan Doepoeloe terdiri dua puluh panghoeloes,
Limau Manis terdiri lima panghoeloe, Loeboe Kielangan terdiri enam panghoeloes,
Boengoes sebanyak sepuluh panghoeloes, Tjiendakie sebanyak empat panghoeloes
dan Tellok Kahang terdiri empat panghoeloes. Keseluruhan wilayah ini, termasuk
ibukota (Muaro) memiliki populasi sebanyak 1.400 jiwa.[11]
Perkembangan Kota
Kota Padang adalah ibukota (hoofdplaats) yang
pada awalnya bermula di muara sungai Batang Arau (kini disebut Muaro). Ibukota
ini jauh dari Nanggalo dan Limau Manis dan tentu saja sangat jauh dari Pauh dan
Kota Tangah. Ibukota [ibu kota kolonial] hanya sebuah area yang sangat kecil yang berada di sisi
barat sungai Batang Arau dengan garis pantai.
Kota ini bermula dari suatu lokasi dimana loge di era VOC
dibangun sebagai gudang komoditi perdagangan. Pada tahun 1870 replika dari
beberapa loge ini masih terlihat jelas berada di sisi sungai Batang Arau tidak
jauh dari muara sungai. Sebelum pedagang VOC membangun loge ini pada tahun
1664, area ini merupakan perkampungan migran orang-orang Nias. Dengan semakin
banyaknya bangunan di sekitar loge ini, orang-orang Nias mundur ke belakang
membangun kampong-kampong yang baru. Tampaknya mereka tidak keberatan karena
kehadiran VOC ini mereka mendapat pekerjaan.[12]
Kampong-kampong baru orang Nias yang terbentuk
antara lain Kampong Berok dan Kampong Seblah. Dua kampong ini diduga kampong
tertua di Kota Padang. Kampung lama sendiri yakni Muaro menjadi hilang tetapi
nama itu masih eksis tetapi sebagai nama area. Perkembangan kota secara
perlahan meluas hingga ke arah hulu sungai seiring dengan terbentuknya jalan
poros yang sejajar dengan sungai.
Situs-situs yang berada di jalan poros (sungai) ini
adalah loge (gudang), bangunan militer, bangunan persenjataan, bangunan kantor
perdagangan, bangunan bank (Java Bank), bangunan perusahaan-perusahaan swasta, bangunan
pabean, rumah kepala pelabuhan, bangunan biro ketenagakerjaan, tempat
penjemuran komoditi, kantor pelayaran dan pabrik. Yang paling ujung dari jalan
poros ini adalah kompleks kantor pemerintah seperti Biro Gubernur, kantor
Residen dan kantor lainnya. Lalu paling ujung dari jalan poros ini adalah
Klenteng Cina.
Pada tahap perkembangan berikutnya (fase
kedua) yang diduga terjadi setelah Sumatra’s Westkust statusnya menjadi province
(1837) dan Kolonel AV Michiels sebagai Gubernur dibangun markas militer di
dekat kampong Sabrang [Subarang] Padang (kini di sekitar Jalan Jati). Pembangunan markas
militer ini bersamaan dengan pembangunan rumah Gubernur dan kantin militer.
Kompleks militer ini saat itu merupakan sisi terluar dari Kota Padang yang
berbatasan (menghadap) ke bagian pedalamanan sepanjang sungai Batang Arau.
Pada tahap perkembangan berikutnya lagi (fase
ketiga) yang diduga terjadi (sekitar tahun 1850an) kota mulai bergeser ke sisi
pantai. Salah satu situs utama di area garis pantai dari muara sungai Batang
Arau adalah dibangunnya sebuah hotel. Pembangunan hotel ini mengindikasikan
situasi kondisi keamanan di Pantai Barat Sumatra sudah mulai kondusif khususnya
di Padangsche (Benelanden dan Bovenlanden). Pembangunan hotel ini juga diduga
terkait dengan semakin meningkatnya arus wisatawan yang datang ke Province
Sumatra’s Westkust. Hotel ini pertama di Kota Padang ini kemudian dikenal
sebagai Hotel Sumatra.
Hotel pertama Kota Padang ini (kelak disebut Hotel
Sumatra) posisinya membelakangi pantai. Jalan yang berada di depan hotel (yang
berpangkal di muara sungai Batang Arau) lambat laun menjadi jalan poros kota
yang kedua. Jalan ini pada masa kini disebut Jalan Muara.
Pada tahap perkembangan berikutnya lagi (fase
keempat) yang dimulai dengan pembangunan pelabuhan Telok Bayur (1887) yang
diintegrasikan dengan pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan pedalaman
(utamanya Ombilin) dengan pelabuhan pada dekade tahun 1870an. Pada saat ini
pembangunan di Kota Padang semakin masif dan semakin meluas ke berbagai area.
Perencanaan tata kota Kota Padang yang lebih komprehensif pun mulai dilakukan.
Pada fase ini pembangunan infrastruktur sangat intens.
Untuk mendukung tata kota baru (yang semakin diperluas) area Kota Padang yang
sebelumnya banyak ditemukan rawa-rawa mulai ‘dikeringkan’ dengan membuat kanal
besar dengan menyodet sungai Batang Arau. Perencanaan kanal ini pada dasarnya
berfungsi ganda, di satu sisi untuk mengurangi dampak banjir dari luapan sungai
Batang Arau dan di sisi lain kanal yang dibuat sangat besar (lebar dan dalam)
akan menjadi tempat jatuhan air di area baru pengembangan kota. Praktisnya
untuk mengoptimalkan proses drainase. Kanal ini dengan menyodet sungai Batang
Arau di area Goenoeng Lawas lalu dialirkan ke arah utara (tengah kota yang
sekarang) dan selanjutnya berbelok ke barat melalui belakang GOR Agus Salim
yang sekarang menuju pantai. Proses serupa ini sudah pernah terjadi pada
masa-masa sebelumnya di Batavia. Semarang dan Soerabaja.
Pada tahap perkembangan berikutnya lagi (fase
kelima) merupakan proses pengembangan kota yang mana proses urbanisasi di Kota
Padang semakin intens seiring dengan semakin derasnya arus migrasi (jauh)
maupun arus sirkulasi (dekat) oleh penduduk di Province Sumatra’s Westkust.
Sejak fase ini, proses pembangunan di Kota Padang mulai
mengendor. Keutamaan Kota Padang sebagai ibukota Province Sumatra’s Westkust
mulai memudar. Pertama, perkembangan industri perkebunan di Sumatra’s Oostkust
khususnya di Deli dan sekitarnya sejak 1887 semakit kencang. Arus pelayaran
antara Batavia ke Eropa/Belanda) yang dulunya melalui Pantai Barat Sumatra
secara perlahan bergeser ke Pnatai Timur Sumatra khususnya sejak dibukanya
terusan Suez yang bersamaan dengan semakin pentingnya posisi Pantai Timur
Sumatra. Kedua, mulai dibukanya perkebunan di Tapanoeli (ekses dari Deli dan
sekitar) yang kurang lebih satu era dengan dipisahkannya Residentie Tapenoeli
dari Province Sumatra’s Westkust. Sejalan dengan perubahan yang terjadi di
Tapenoeli, pelabuhan Sibolga yang semakin dioptimalkan menyebabkan arus
komoditas dari dan ke Padang semakin berkurang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama dalam artikel ini adalah surat kabar namun tidak saya sebutkan lagi di
artikel ini karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber
baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja
_______________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Kita perlu mempelajari Tambo Nagari Padang sebelum menerima narasi yang terdapat pada paragraf pertama ini. Negeri Padang sendiri didirikan oleh para perantau Minangkabau dari daerah Solok, Tanah Data, dan Kayu Tanam serta negeri-negeri lain yang berbatasan dengan Padang. Kedatangan suku bangsa (etnis) lain ialah sesudah pendirian Negeri ini oleh orang Minangkabau.
[2] Pernyataan ini tampaknya menafikan keberadaan orang Minangkabau di Pesisir Barat dan Timur Pulau Sumatera serta Tanah Semenanjung Malaya. Kemungkinan para penulis belum memahami mengenai daerah Kebudayaan Minangkabau. Para perantau Minangkabau sendiri sudah semenjak lama sampai ke utara Borneo dan mendirikan Kesulthanan Brunei Darussalam, ke kepulauan Mindanao dan Sulu. Sejarah Maritim di Minangkabau dipenuhi dengan kisah-kisah para pelaut ulung dan bahkan beberapa karya sastra lahir dari kebudayaan melaut ini. Sebut saja 'Kaba Anggun Nan Tongga' yang di Semenanjung menjadi 'Syair Anggun Cik Tunggal'. Beberapa kosa kata Minangkabau juga sangat bernuansa laut (maritim) seperti 'labuh' atau 'nankodoh' yang berasal dari kata 'Nakhoda'. Bahkan disain dasar arstitektur Rumah Gadang menyerupai bentuk sebuah kapal. Padahal didirikan di 'darel' dan daerah pedalaman lainnya yang jauh dari laut.
[3] Sekali lagi kita berhadapan dengan 'anggapan' bahwa Melayu itu ialah Riau. Minangkabau sendiri ialah Melayu, tepatnya Puak Melayu. Demikian juga dengan Riau yang juga Puak Melayu, bersama dengan negeri-negeri Melayu lain membentuk keluarga besar Bangsa Melayu.
[4] Kami telah menerangkan bahwa Negeri Padang telah berdiri sebelum kedatangan orang-orang Nias. Dan pos yang didirikan oleh Belanda di Kampung Nias tersebut dipandang sebagai cikal bakal Kota Padang karena sudah menjadi asumsi umum bahwa pendirian sebuah kota erat kaitannya dengan pendirian benteng atau gudang atau pos Belanda di daerah tersebut. Narasi seperti ini sangat berbahaya karena akan membuat opini bahwa orang Nias merupakan penduduk asli Kota Padang. Padahal pemukiman mereka pada masa dahulu berada jauh dari pemikiman penduduk utama Kota Padang itu sendiri.
[5] Lebih tepatnya Kota Padang era Kolonial. Kota Padang telah lebih dahulu berdiri sebelum kedatangan orang Belanda dan bangsa Eropa Lainnya. Kesulthanan Aceh sudah sangat lama berkuasa di Padang. Dimana pengaruh Aceh ini tampak pada Adat orang Padang (tidak hanya Padang, Pariaman demikian juga serta daerah pesisir lainnya yang sempat berada di bawah pengaruh Kesulthanan Aceh) yang menurunkan gelar dari Ayah kepada Anak, berlainan dengan penduduk Minangkabau lainnya. Harap dibedakan antara Kota Padang Klasik, Kolonial, dan Moderen.
[6] Seperti yang telah kami jelaskan pada catatan kami di tulisan ke-2. Negeri (Kota) Padang didirikan oleh para perantau Minangkabau, diperintah oleh 8 (delapan) orang penghulu dimana Orang Besar (Ketua/Raja) mereka bergelar Oerang Kajo Katjiak (Orang Kaya Kecik/Kecil). Sistem ini tetap bertahan dimasa Aceh namun perlahan-lahan hilang dimasa Belanda. Karena Belanda memaksakan sistem pemerintahannya kepada penduduk pribumi guna memudahkan mereka mengontrol mereka.
[7] Belanda menggunakan dua sistem birokrasi: 1) Birokrasi Belanda 2) Birokrasi Pribumi. Dimana pangkat terendah dari Birokrasi Belanda (Kepala Afdeeling; Controleur) membawai pejabat tertinggi di Birokrasi Pribumi (Di Minang: Lareh/Demang. Di Jawa: Bupati). Tujuannya ialah selain balas jasa kepada para Pengkhianat (Pro Belanda) juga berguna sebagai penjembatan antara Pejabat Kulit Putih dengan penduduk pribumi. Sehingga lebih memudahkan mereka dalam mengatur negeri jajahan dan mencengkram kuat-kuat penduduk rakyat jajahan serta meeksploitasi negeri mereka. Sistem yang sama juga dilakukan para Pengusaha (Bisnisman/Kapitalis) pada masa sekarang dalam mendirikan cabang-cabang perusahaan mereka di daerah. Pola seperti itu tidak hanya berlaku di Minangkabau melainkan juga di Jawa.
[8] Pemerintahan di Minangkabau berbasis suku namun bentuk pemerintahannya bukan Pemerintahan Suku. Kerajaan Minangkabau (dan negeri-negeri Melayu lainnya) menganut sistem Federal bukan Kesatuan seperti di Jawa. Kerajaan Minangkabau merupakan Federasi dari ribuan nagari. Dimana masing-masing nagari diperintah oleh para Penghulu melalui Kemumafakatan Penghulu. Penghulu memainkan fungsi Legislatif, Yudikatif, & Eksekutif secara terpisah. Dalam sistem tatanegara sekarang para Penghulu disamakan dengan Senator dengan kamanakan sebagai Konstituennya. Loyalitas orang Minangkabau bukan kepada penghulu melainkan kepada Nagarinya yang menjadi bagian dari Alam Minangkabau dengan Pemimpin Besar (Amirul Mukminan dan Uril Amri) ialah Rajo Tigo Selo (Rajo Alam, Rajo Adat, & Rajo Ibadat).
[9] Setelah pemberontakan Regent Tanah Data, jabatan Regent dihapuskan oleh Pemerintah Kolonial. Sehingga para Laras (Lareh) langsung berada di bawah Controleur.
[10] Padang akan halnya negeri-negeri lain di Minangkabau mendapat perlakuan serupa. Diterapkan dua pola pemerintahan (birokrasi) yakni Birokrasi Belanda dan Pribumi. Seperti yang telah disampaikan penulis pada permulaan paragraf sebelumnya "Perbedaan penerapan pemimpin lokal ini di
dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda tidak seragam dan disesuaikan dengan
alam setempat.."
[11] Kita perlu mendudukkan wilayah Negeri (Kota) Padang Klasik (lama) kemudian diurutkan perkembangannya (perluasan) hingga ke masa sekarang. Nagari Kuranji, Pauh, dan beberapa nagari lain disekitar Kota Padang (sekarang telah dimasukkan ke dalam Kota Padang sejak tahun 1991) perlu dilihat dari sudut pandang Adat Orang Minangkabau yang Federalistis.
[12] Narasi 'tidak keberatan' ini perlu diselidiki lebih lanjut. Perlu dirujuk sejarah keberadaan orang Nias di Pesisir Barat hingga Pedalaman Minangkabau terlebih di Kota Padang sendiri.