Sejarah Kota Padang (4): Nama-Nama Kampong Tempo Doeloe di Kota Padang; Dari Rural (Etnik) Hingga Urban (Wijk)

 Catatan oleh Agam van Minangkabau:
Penulisan ini sudah sangat bagus dalam memberikan gambaran tentang awal pertumbuhan kekuasaan Kolonial di Sumatera Barat. Namun hendaknya pembaca dapat bersikap arif dan tidak menelan bulat-bulat setiap rangkaian kalimat (fakta dan terutama argumentasi) penulis. Hal ini karena kekurang fahaman terhadap Budaya Minangkabau. Padang adalah bagian dari Minangkabau, didirikan oleh orang Minangkabau dan baru setelah itu berbagai etnis dan bangsa datang ikut menetap dengan kendali tetap di tangan orang Melayu (Minangkabau). Sangat menarik penggunaan kata Melayu dan hilangnya Minangkabau dalam menjelaskan komposisi etnis. Hal ini tidak salah dan sebaliknya kami apresiasi. Karena Minangkabau ialah Melayu, Minangkabau merupakan Puak dari Bangsa Melayu. Posisi Minangkabau dalam Bangsa Melayu sama dengan posisi Melayu Riau, Jambi, Langkat, Deli, Serdang, Tamiang, dan negeri-negeri Melayu lainnya. Bedanya, Minangkabau tidak menyebatkan kata Melayu di depan namanya.

 _________________________

Cikal bakal Kota Padang [Kota Padang Kolonial dan Moderen] berawal dari suatu tempat yangt berada pada sisi barat muara sungai Batang Arau, suatu perkampuangan yang diduga dihuni oleh para migran orang-orang Nias. Di tempat inilah pelaut-pelaut Eropa mulai membangun pos perdagangan karena posisinya yang strategis terlindung dari lautan [H]India [Dalam pelajaran sekolah zaman dahulu masih diajarkan tentang Samudera Indonesia bukan Samudera India. Dan Laut Indonesia bukan Laut India]
Sketsa Kota Padang, 1879
Seiring dengan perkembangan pos perdagangan tersebut dan kebutuhan bangunan yang semakin banyak, lambat-laun areal permukiman orang-orang Nias tersebut terokupasi dan para pemukim menyingkir ke area kosong di belakang. Para migran ini tidak merasa dirugikan karena dengan kehadiran pos perdagangan tersebut mereka juga mendapat pekerjaan.[Status sebagai pendatang membuat orang Nias tidak memiliki banyak pilihan. Tidak seperti orang Minangkabau yang semula resisten dan setelah dilakukan pendekatan militer akhirnya terpaksa menerima kehadiran orang Kulit Putih]
Pada tahun 1819 ibukota Padang dihuni oleh berbagai (suku) bangsa. Penduduk Eropa sebanyak 150 orang, Melayu [Minangkabau merupakan bagian dari Melayu] sekitar 6.000-7.000 jiwa, Cina sebanyak 200 orang, Bengalen sebanyak 200 orang dan Nias sebanyak 1.500 jiwa (lihat PJ Veth, 1869).
Bangunan-bangunan utama terdapat di sepanjang sisi barat sungai Batang Arau. Bangunan-bangunan yang sudah ada sejak lama adalah benteng benteng yang melindungi kota, penjara, kantor pabean, gudang impor, gudang ekspor rempah-rempah, barak, rumah sakit militer besar, kantor pemerintah, dan beberapa beberapa gudang lainnya.

Peta administrasi Pantai Barat Sumatra (1846)
Dengan semakin banyaknya orang-orang Eropa/Belanda, pada tahun 1838 dibangun gereja kecil. Lalu pada tahun 1840 gereja Roomseh-Catholick didirikan dan merupakan satu-satunya di Sumatra (dipugar tahun 1853). Bangunan lainnya (pasar dan rumah-rumah) yang berada sepanjang sisi sungai dibersihkan dan pasar dibangun baru adalah pasar lama yang diganti dengan bangunan baru yang terbuat dari beton pada tahun 1825. Sejak adanya pasar baru ini pasar telah memberi kontribusi yang besar di Kota Padang. Pasar ini kemudian dengan sendirinya selalu menyediakan berbagai barang dan kebutuhan, seperti: emas, beras, tembakau, gambir, sirih, buah-buahan, dupa, garam, kain, dan besi. Pasar ini kelak disebut Pasar Gadang, pasar yang diduga terbesar di seluruh Padangsch Benelanden. Peta 1846
Pemukiman di dua sisi sungai Batang Araoe (foto 1870)
Kota Padang terus tumbuh, kota yang terletak di kedua tepi sungai. Di tepi sisi barat sungai adalah bangunan kayu dan batu yang dimiliki oleh pemerintah, orang-orang Eropa/Belanda, Cina. Sementara sepanjang tepi sisi timur sungai terdapat banyak gubuk panggung yang dibangun, di mana Melayu dan Niassers hidup. Orang-orang Melayu ini umumnya berasal dari Tiga Belas Kota (Tigo Baleh Koto-arah ke Solok)[1] yang banyak diantaranya sebagai pedagang.
Pada tahun 1851 untuk kali pertama sungai Batang Arau dikeruk untuk membuat lebih dalam sehubungan dengan rencana pembangunan dermaga di muara.
Kota Padang yang telah menjadi ibukota, lambat laun dan pada tahun 1869 populasinya telah mencapai 12.000 jiwa yang mana terdapat 300 orang-orang Cina, 2.500 jiwa Nias dan pulau-pulau Batoe. Pertumbuhan penduduk Kota Padang diduga telah berlipat sejak akses jalan (yang bisa dilalui oleh gerobak) yang dibuat pada tahun 1829 (era Kolonel Raaff) yang menghubungkan Kota Padang hingga ke Padang Pandjang. Sementara dari sisi selatan dari Bengkulu akses menuju Kota Padang dilakukan dengan layanan kapal uap.
Nama-Nama Kampong dan Area
Saat kehadiran Belanda (VOC) di Kota Padang tahun 1660 hingga 1837 saat dibentuknya Provinsi Pantai Barat Sumatra sudah barang tentu semakin banyak kampong-kampong yang muncul. Kampong-kampong yang teridentifikasi boleh jadi kampong yang sudah lama dan cukup dikenal (lihat Tijschrift voor Nederlands Indie (1838).
Untuk memimpin penduduk lokal ini Pemerintah Hindia Belanda mengangkat pemimpin lokal yang mana pemimpin local terakhir adalah Toeankoe Panglima (regent) yang dijabat oleh Soetan Iskandar dan Toeankoe Bandahara. Pemimpin lokal di Padang ini membawahi tujuh penghoeloe (besar) yang meliputi wilayah Nangallo, Nan Doepoeloe [Nan duo puluah], Limau Manis, Loeboe Kielangan [Lubuak Kilangan], Boengoes [Bunguih], Tjiendakie dan Tellok Kahang. Pemerintahan local termasuk ibukota, Kota Padang yang merupakan bagian dari Nanggalo.
Berdasarkan surat kabar sejaman, buku geografi (1869) dan peta (1879 dan 1885), nama-nama kampong di Kota Padang yang tercatat adalah:
 
  1. Batoe, 
  2. Berok, 
  3. Nipah, 
  4. Tjina [Cino]
  5. Nias [Nieh]
  6. Sablah, 
  7. Baharoe, 
  8. Tarandam, 
  9. Djawa, 
  10. Djawa Dalam dan 
  11. Djawa Sawahan. 
 
Sedangkan nama area adalah:
  1. Teleng, 
  2. Batoe Boelat, 
  3. Pangalangan, 
  4. Parbeoan, 
  5. Moearo, 
  6. Poelau Karam, 
  7. Palinggam, 
  8. Ranah, 
  9. Pondok, 
  10. Tapi Pasang, 
  11. Goeroen, 
  12. Parak Karambiel [Parak Karambia. - Karambia = kelapa]
  13. Balakang Tangsi, 
  14. Alang Lawas [Alang Laweh. - Laweh = Luas]
  15. Ganting [Gantiang)
  16. Oedjoeng Pandan, 
  17. Olo, 
  18. Djati, 
  19. Damar, 
  20. Balantoeng, 
  21. Poeroes [Puruih]
  22. Tapi Bandar [Tapi Banda]
  23. Odoeng Goeroen [Ujuang Gurun]
  24. Alai, 
  25. Rimbo Kaloeang, 
  26. Poeroes. 
Area khusus adalah Pasar Gadang dan Pasar Ambatjang.
Kampong
Kampong Moearo: suatu perkampungan pertama dalam proses awal tumbuhnya kota [Kota Padang Kolonial. Berbeda dengan Kota (Negeri) Padang sebelum kedatangan Bangsa Eropa. Kawasan Muaro ialah kawasan tepian yang jauh dari penduduk utama Minangkabau yang tinggal lebih menjauh dari pantai atau tepian muara sungai]. Perkampungan ini awalnya berada di sisi sungai tempat pada muara sungai Batang Arau. Dalam perkembangannya di era VOC, pemukiman penduduk yang diduga migran orang-orang Nias menjadi pusat VOC (kantor, gudang dan tangsi). Penduduk pribumi digantikan oleh penduduk Eropa/Belanda. Sedangkan penduduk pribumi yang awalya dihuni oleh orang-orang Nias [orang Nias bukan Pribumi Kota Padang. Pribumi Kota Padang ialah orang Minanangkabau] bergeser ke belakang yang kelak disebut Kampong Belakang Tangsi. Moearo sebagai nama kampong menghilang tetapi nama Moearo tetap dikenal tetapi sebagai area (orang-orang Eropa/Belanda).
Kampong Berok: Nama kampong Berok diduga muncul sebagai nama kampong dimana penduduk yang awalnya tinggal di Kampong Moeara tergusur dan mulai membangun kampong baru yang kemudian dikenal sebagai Kampong Berok. Tentu saja pada saat pendirian kampong Berok itu dulunya masih banyak ditemukan berok.
Kampong Nipah:[2] Nama Kampong Nipah diduga muncul sebagai nama kampong dimana penduduk yang awalnya sebagian tinggal di Kampong Moeara tergusur dan mulai membangun kampong baru bersama penduduk lainnya yang belakangan migrasi (terutama kota-kota pantai seperti Pariaman, Tikoe dan Aijer Bangi yang kemudian dikenal sebagai Kampong Nipah. Tentu saja pada saat pendirian kampong Nipah itu dulunya masih banyak ditemukan pohon Nipah. Kampong Nipah berada sejajar di hulu sungai Batang Arau sedangkan Kampong Berok berada sejajar di hilir sungai Batang
Rumah di Kota Padang, 1870
Kampong Seblah: Kota Padang yang terus berkembang ke timur (sepanjang sisi sungai Batang Arau) dan kemudian ke utara (sepanjang sisi pantai) menyebabkan Kampong Berok berada diantara dua kutub perkembangan kota. Dalam perkembangannya pada ujung kutub kota ini dibuka jalan baru yang kemudian dikenal sebagai Jalan Nipah (Nipah laan). Wilayah kosong di sebelah jalan Nipah ini muncul kampong baru yang disebut Kampong Seblah. Kampong Seblah ini diduga dihuni oleh berbagai asal migran termasuk Batahan, Natal, Bengcolen, Moco-Moco dan pulau-pulau.
Kampong Nias: Kampung yang terbentuk dari komunitas orang-orang (pulau) Nias.
Kampong Batoe: Kampung yang terbentuk dari komunitas orang-orang (pulau) Batoe.
Kampong Tjino: Kampung yang terbentuk dari komunitas orang-orang Cina. Sebagaimana diketahui dalam laporan Dagh-Register di Batavia (1701) orang-orang Tionghoa sudah teridentifikasi melakukan aktivitas perdagangan di Pantai Barat Sumatra bahkan di pedalaman Angkola (yang berpusat di Malaka dan Singapoera). 
Kampong Djawa: Kampung yang terbentuk dari komunitas orang-orang Jawa yang diduga merupakan eks tentara Belanda yang tidak kembali ke Jawa setelah habis masa tugas atau pension selama perang atau selama damai di tangsi-tangsi (garnizoen) militer, Kampong Jawa tidak hanya ditemukan di Padang, tetapi juga di Bukittinggi dan Padang Sidempuan.
Kampong Tarandam: Kampung yang kemungkinan merupakan lingkungan yang di sana-sini terdapat genangan air. Pada saat banjir, tanah-tanah yang tinggi adakalanya terendam oleh air. Kampong Tarandam boleh jadi nama lain dari Pulau Karam (atau sebaliknya).
Kampong Baharoe: Kampung yang muncul kemudian setelah adanya kampong-kampung lama, Kampoung baharoe besar kemungkinan dihuni oleh berbagai suku bangsa.
Kampong Sebrang Padang: Suatu area pemukiman di sisi setengah lingkaran sungai Batang Arau. Ketika dibuat kanal dengan menyedot sungai Batang Arau lalu area permukiman ini menjadi berada diantara sisi sungai dan sisi kanal. Dari sisi pandang dari Kota Padang, area ini kemudian muncul nama Kampong Sebrang Padang.
Kampong Odjoeng Pandang: Suatu perkampungan yang dikenal sebagai Odjoeng Pandang, karena kampong terjauh dari Moeara di sisi pantai.
Area
Moearo: Kampong Moeara secara fisik sudah lama tidak ada dan telah digantikan oleh hunian orang-orang Eropa/Belanda. Namun demikian, area di lingkungan Eropa/Belanda tersebut tetap menggunakan nama Moearo.
Pondok: Dari namanya diduga dihuni oleh orang-orang Cina. Nama kampong sebagai pondok banyak ditemukan di seputar sungai Tjiliwoeng (Batavia). Besar kemungkinan Cina yang berasal dari Batavia telah menyebar ke Pantai Barat untuk kegiatan berdagang. Para pedagang keliling Cina ini diduga membangun pondok-pondok yang kemudian area tersebut dikenal sebagai Pondok.
Goeroen: Suatu area yang kemungkinan berpenampilan seperti gurun karena air yang menggenanginya sejak lama telah surut. Permukaan tanah diselumiti oleh pasar laut.
Alang Lawas: Suatu area yang luas dimana ditemukan banyak alang-alang.
Olo: Suatu area awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang Oeloe.
Djati: Suatu area dimana ditemukan banyak ditanam pohon Jati,
Damar: Suatu area awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang yang berasal dari pe(gunung)an Damar.
Balantoeng: Suatu area awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang yang berasal dari Bengcoelen.
Poeroes: Suatu area awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang yang berasal dari Nias.
Tapi Bandar: Suatu area yang kemungkinan berada di satu sisi sungai kecil. [Tapi Banda. -Banda = selokan]
Odjoeng Goeroen: Suatu area yang berada di bagian paling ujung area Goeroen.
Alai: Suatu area awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang yang berasal dari dataran tinggi.
Rimbo Kaloeang: Suatu area yang awalnya hutan yang menyisakan pohon-pohon tinggi yang menjadi tempat persinggahan kelelawar.
Ambatjang: Suatu area yang awalnya banyak ditemukan pohon ambatjang. Namun boleh jadi nama area ini karena sebelumnya banyak ditemukan orang-orang yang berasal dari Anai.
Pasar Gadang: Suatu area dimana pasar lama dan pemukiman penduduk direhabilitasi dan di atas lahan tersebut dibangunan pasar permanen yang cukup besar.
Kandang: Suatu area yang awalnya merupakan banyak ditemukan mengusahakan ternak.
Kollang: Suatu area yang awalnya banyak dihuni oleh orang-orang Benagalen.
Hiligoo: Suatu area yang awalnya banyak dihuni oleh orang-orang (pulau) Nias.

Dari nama-nama kampong dan area ini seakan menggambarkan penduduk Kota Padang masa itu (1860an) sebagai kota melting pot (beragam suku bangsa). Kota Padang masih didominasi oleh orang-orang Melayu. Kota Padang tampaknya belum menjadi tujuan migrasi (swakarsa) orang-orang Minangkabau di Padangsch Bovelanden[3] maupun orang-orang Batak di Tapanoeli (Mandailing en Angkola), namun Kota Padang, sebagai ibukota pemerintahan dan pusat perdagangan utama di Sumatra’s Westkust sudah menjadi tujuan komuter (berdiam untuk beberapa waktu) orang-orang Minangkabau, terutama dari Padang Pandjang dan Solok.
Wijk
Nama wijk (kelurahan) diperkenalkan (Peta 1885)
Semakin berkembangnya Kota Padang, wilayah-wilayah yang dulunya berupa kampong dan area yang terbilang semakin dipadati oleh penduduk yang terus berdatangan (migrasi) dari berbagai penjuru (Padangsch Bovenlanden, Bengcolen dan Tapanoeli) dan seiring dengan perubahan administrasi pemerintahan (yang awalnya di Jawa), wilayah perkotaan yang semakin padat diperlukan system pemerintahan sendiri yang berbeda dengan system pemerintahan yang selama ini berlaku. Wilayah-wilayah perkotaan yang padat penduduk ini disebut wijk (kurang lebih pada masa ini sebagai kelurahan). Pemimpin wijk tidak lagi dipimpin oleh seorang penghoeloe yang dipilih oleh penduduk (soekoe) tetapi ditunjuk dan diangkat oleh pemerintah kota. Pemerintahan wijk ini dimulai pada tahun 1868.
Urbanisasi
Kota [Kolonial] Padang yang awalnya berada di Moeara (Kampong Moearo), lambat laun terintegrasi dengan kampong-kampong lain. Antara satu kampong dengan kampong lainnya dulunya tampak berjauhan semakin dekat satu sama lain. Hal ini karena terus meningkatnya penduduk pendatang yang bermukin di kampong-kampong lama tersebut maka kemudian terbentuk area pemukiman baru. Disamping itu juga, fasilitas-fasilitas pemerintah maupun bangunan-bangunan swasta semakin bertambah sehubungan dengan denyut nadi perekonomian yang berlangsung. Kota Padang tidak hanya semakin meluas, tetapi juga semakin padat penduduknya (urbanisasi).
Peta Kota Padang 1879 dan 1903
Area yang dulunya sangat sepi dan bersifat rural, lambat laun karakteristik area (kumpulan dari kampong-kampong) sudah mengindikasikan urban. Sistem pemerintahan local yang dulunya dikepalai seorang penghoeloe (berbasis suku) kemudian area perkotaan ini ditata ulang dengan membentuk wijk yang dikepalai oleh kepala wijk yang diangkat oleh pemerintah.[4] Bandingkan area Djati (Djatilaan) tahun 1879 dengan tahun 1903. Pada tahun 1870 area Djati ini masih bersifat rural (persawahan) dimana baru terdapat tiga situs: Rumah gubernur, Gardizoen dan Kantin militer. Pada tahun 1903 (status Gubernur diturunkan menjadi Residen) rumah eks Gubernur yang menjadi rumah Residen di sekitarnya sudah sangat padat.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
___________________________
 
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
 
[1] Sudah menjadi kelaziman dalam membahasa Indonesiakan nama tempat di Minangkabau terjadi banyak kesalahan sehingga makna asal melenceng jauh setelah diindonesiakan. Semisal 'banda' yang berarti selokan diindonesiakan menjadi 'bandar' yang berarti 'kota'. Dan 'koto' yang memiliki banyak makna tergantung penempatan diterjemahkan menjadi 'kota'. Koto sendiri dapat berarti 'benteng' dapat pula diartikan sebuah kawasan yang sedang bermetamarfosis menjadi nagari. Dimana 'koto' merupakan tahap ketiga dari pembentukan sebuah nagari di Minangkabau.
 
[2]  Berasal dari nama pohon Nipah. Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. 
 
[3] Kami sarankan agar Sejarah & Adat Minangkabau hendaknya dijadikan referensi. Karena Kota (Negeri) Padang sendiri didirikan oleh orang Minangkabau dari Pedalaman. Perhubungan dengan daerah pesisir barat dimana Padang termasuk di dalamnya telah terjalin semenjak awal negeri ini didirikan. Dimana dalam perkembangannya sebagai Bandar Niaga, Negeri Padang banyak dikunjungi berbagai etnis dan bangsa dan diantara mereka ada yang memutuskan untuk tinggal berdiam di kota ini. 
 
[4] Kekuasaan Belanda yang semakin menancap tidak memerlukan lagi peranan Penghulu (Datuk) sebagai perantara. Penduduk sudah dapat dijinakkan dengan Hukum Kolonial 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar