Catatan oleh Agam van Minangkabau:
Penulisan ini sudah sangat bagus dalam memberikan gambaran tentang awal pertumbuhan kekuasaan Kolonial di Sumatera Barat. Namun hendaknya pembaca dapat bersikap arif dan tidak menelan bulat-bulat setiap rangkaian kalimat (fakta dan terutama argumentasi) penulis. Hal ini karena kekurang fahaman terhadap Budaya Minangkabau. Padang adalah bagian dari Minangkabau, didirikan oleh orang Minangkabau dan baru setelah itu berbagai etnis dan bangsa datang ikut menetap dengan kendali tetap di tangan orang Melayu (Minangkabau). Sangat menarik penggunaan kata Melayu dan hilangnya Minangkabau dalam menjelaskan komposisi etnis. Hal ini tidak salah dan sebaliknya kami apresiasi. Karena Minangkabau ialah Melayu, Minangkabau merupakan Puak dari Bangsa Melayu. Posisi Minangkabau dalam Bangsa Melayu sama dengan posisi Melayu Riau, Jambi, Langkat, Deli, Serdang, Tamiang, dan negeri-negeri Melayu lainnya. Bedanya, Minangkabau tidak menyebatkan kata Melayu di depan namanya.
Disalin dari blog: http://poestahadepok.blogspot.com
_________________________
Cikal bakal Kota Padang [Kota Padang Kolonial dan Moderen] berawal dari suatu
tempat yangt berada pada sisi barat muara sungai Batang Arau, suatu
perkampuangan yang diduga dihuni oleh para migran orang-orang Nias. Di tempat
inilah pelaut-pelaut Eropa mulai membangun pos perdagangan karena posisinya
yang strategis terlindung dari lautan [H]India [Dalam pelajaran sekolah zaman dahulu masih diajarkan tentang Samudera Indonesia bukan Samudera India. Dan Laut Indonesia bukan Laut India]
Sketsa Kota Padang, 1879 |
Pada tahun 1819 ibukota Padang dihuni oleh berbagai
(suku) bangsa. Penduduk Eropa sebanyak 150 orang, Melayu [Minangkabau merupakan bagian dari Melayu] sekitar 6.000-7.000
jiwa, Cina sebanyak 200 orang, Bengalen sebanyak 200 orang dan Nias
sebanyak 1.500 jiwa (lihat PJ Veth, 1869).
Bangunan-bangunan utama terdapat di sepanjang
sisi barat sungai Batang Arau. Bangunan-bangunan yang sudah ada sejak lama
adalah benteng benteng yang melindungi kota, penjara, kantor pabean, gudang
impor, gudang ekspor rempah-rempah, barak, rumah sakit militer besar, kantor pemerintah, dan beberapa beberapa
gudang lainnya.
Peta administrasi Pantai Barat Sumatra (1846) |
Dengan semakin banyaknya orang-orang Eropa/Belanda, pada
tahun 1838 dibangun gereja kecil. Lalu pada tahun 1840 gereja Roomseh-Catholick
didirikan dan merupakan satu-satunya di Sumatra (dipugar tahun 1853). Bangunan
lainnya (pasar dan rumah-rumah) yang berada sepanjang sisi sungai dibersihkan
dan pasar dibangun baru adalah pasar lama yang diganti dengan bangunan baru yang
terbuat dari beton pada tahun 1825. Sejak adanya pasar baru ini pasar telah
memberi kontribusi yang besar di Kota Padang. Pasar ini kemudian dengan
sendirinya selalu menyediakan berbagai barang dan kebutuhan, seperti: emas,
beras, tembakau, gambir, sirih, buah-buahan, dupa, garam, kain, dan besi. Pasar
ini kelak disebut Pasar Gadang, pasar yang diduga terbesar di seluruh Padangsch
Benelanden. Peta 1846
Pemukiman di dua sisi sungai Batang Araoe (foto 1870) |
Kota Padang terus tumbuh, kota yang terletak
di kedua tepi sungai. Di tepi sisi barat sungai adalah bangunan kayu dan batu
yang dimiliki oleh pemerintah, orang-orang Eropa/Belanda, Cina. Sementara
sepanjang tepi sisi timur sungai terdapat banyak gubuk panggung yang dibangun, di
mana Melayu dan Niassers hidup. Orang-orang Melayu ini umumnya berasal dari
Tiga Belas Kota (Tigo Baleh Koto-arah ke Solok)[1] yang banyak diantaranya sebagai pedagang.
Pada tahun 1851 untuk kali pertama sungai Batang Arau
dikeruk untuk membuat lebih dalam sehubungan dengan rencana pembangunan dermaga
di muara.
Kota Padang yang telah menjadi ibukota,
lambat laun dan pada tahun 1869 populasinya telah mencapai 12.000 jiwa yang
mana terdapat 300 orang-orang Cina, 2.500 jiwa Nias dan pulau-pulau Batoe.
Pertumbuhan penduduk Kota Padang diduga telah berlipat sejak akses jalan (yang
bisa dilalui oleh gerobak) yang dibuat pada tahun 1829 (era Kolonel Raaff) yang
menghubungkan Kota Padang hingga ke Padang Pandjang. Sementara dari sisi
selatan dari Bengkulu akses menuju Kota Padang dilakukan dengan layanan kapal
uap.
Nama-Nama Kampong dan Area
Saat kehadiran Belanda (VOC)
di Kota Padang tahun 1660 hingga 1837 saat dibentuknya Provinsi Pantai Barat Sumatra sudah barang tentu semakin
banyak kampong-kampong yang muncul. Kampong-kampong yang teridentifikasi boleh
jadi kampong yang sudah lama dan cukup dikenal (lihat Tijschrift voor
Nederlands Indie (1838).
Untuk memimpin penduduk lokal ini Pemerintah Hindia
Belanda mengangkat pemimpin lokal yang mana pemimpin local terakhir adalah Toeankoe
Panglima (regent) yang dijabat oleh Soetan Iskandar dan Toeankoe Bandahara.
Pemimpin lokal di Padang ini membawahi tujuh penghoeloe (besar) yang meliputi wilayah
Nangallo, Nan Doepoeloe [Nan duo puluah], Limau Manis, Loeboe Kielangan [Lubuak Kilangan], Boengoes [Bunguih], Tjiendakie
dan Tellok Kahang. Pemerintahan local termasuk ibukota, Kota Padang yang
merupakan bagian dari Nanggalo.
Berdasarkan surat kabar sejaman, buku
geografi (1869) dan peta (1879 dan 1885), nama-nama kampong di Kota Padang yang
tercatat adalah:
- Batoe,
- Berok,
- Nipah,
- Tjina [Cino],
- Nias [Nieh],
- Sablah,
- Baharoe,
- Tarandam,
- Djawa,
- Djawa Dalam dan
- Djawa Sawahan.
Sedangkan nama area adalah:
- Teleng,
- Batoe Boelat,
- Pangalangan,
- Parbeoan,
- Moearo,
- Poelau Karam,
- Palinggam,
- Ranah,
- Pondok,
- Tapi Pasang,
- Goeroen,
- Parak Karambiel [Parak Karambia. - Karambia = kelapa],
- Balakang Tangsi,
- Alang Lawas [Alang Laweh. - Laweh = Luas],
- Ganting [Gantiang),
- Oedjoeng Pandan,
- Olo,
- Djati,
- Damar,
- Balantoeng,
- Poeroes [Puruih],
- Tapi Bandar [Tapi Banda],
- Odoeng Goeroen [Ujuang Gurun],
- Alai,
- Rimbo Kaloeang,
- Poeroes.
Area khusus adalah Pasar Gadang dan
Pasar Ambatjang.
Kampong
Kampong Moearo: suatu
perkampungan pertama dalam proses awal tumbuhnya kota [Kota Padang Kolonial. Berbeda dengan Kota (Negeri) Padang sebelum kedatangan Bangsa Eropa. Kawasan Muaro ialah kawasan tepian yang jauh dari penduduk utama Minangkabau yang tinggal lebih menjauh dari pantai atau tepian muara sungai]. Perkampungan ini awalnya
berada di sisi sungai tempat pada muara sungai Batang Arau. Dalam
perkembangannya di era VOC, pemukiman penduduk yang diduga migran orang-orang
Nias menjadi pusat VOC (kantor, gudang dan tangsi). Penduduk pribumi digantikan
oleh penduduk Eropa/Belanda. Sedangkan penduduk pribumi yang awalya dihuni oleh
orang-orang Nias [orang Nias bukan Pribumi Kota Padang. Pribumi Kota Padang ialah orang Minanangkabau] bergeser ke belakang yang kelak disebut Kampong Belakang
Tangsi. Moearo sebagai nama kampong menghilang tetapi nama Moearo tetap dikenal
tetapi sebagai area (orang-orang Eropa/Belanda).
Kampong Berok: Nama
kampong Berok diduga muncul sebagai nama kampong dimana penduduk yang awalnya
tinggal di Kampong Moeara tergusur dan mulai membangun kampong baru yang kemudian
dikenal sebagai Kampong Berok. Tentu saja pada saat pendirian kampong Berok itu
dulunya masih banyak ditemukan berok.
Kampong Nipah:[2] Nama Kampong Nipah diduga muncul sebagai nama kampong dimana penduduk yang awalnya sebagian
tinggal di Kampong Moeara tergusur dan mulai membangun kampong baru bersama
penduduk lainnya yang belakangan migrasi (terutama kota-kota pantai seperti
Pariaman, Tikoe dan Aijer Bangi yang kemudian dikenal sebagai Kampong Nipah.
Tentu saja pada saat pendirian kampong Nipah itu dulunya masih banyak ditemukan
pohon Nipah. Kampong Nipah berada sejajar di hulu sungai Batang Arau sedangkan
Kampong Berok berada sejajar di hilir sungai Batang
Rumah di Kota Padang, 1870 |
Kampong Nias: Kampung yang
terbentuk dari komunitas orang-orang (pulau) Nias.
Kampong Batoe: Kampung yang
terbentuk dari komunitas orang-orang (pulau) Batoe.
Kampong Tjino: Kampung yang
terbentuk dari komunitas orang-orang Cina. Sebagaimana diketahui dalam
laporan Dagh-Register di Batavia (1701) orang-orang Tionghoa sudah
teridentifikasi melakukan aktivitas perdagangan di Pantai Barat Sumatra bahkan
di pedalaman Angkola (yang berpusat di Malaka dan Singapoera).
Kampong Djawa: Kampung yang
terbentuk dari komunitas orang-orang Jawa yang diduga merupakan eks tentara
Belanda yang tidak kembali ke Jawa setelah habis masa tugas atau pension selama
perang atau selama damai di tangsi-tangsi (garnizoen) militer, Kampong Jawa
tidak hanya ditemukan di Padang, tetapi juga di Bukittinggi dan Padang
Sidempuan.
Kampong Tarandam: Kampung yang
kemungkinan merupakan lingkungan yang di sana-sini terdapat genangan air. Pada
saat banjir, tanah-tanah yang tinggi adakalanya terendam oleh air. Kampong
Tarandam boleh jadi nama lain dari Pulau Karam (atau sebaliknya).
Kampong Baharoe: Kampung yang
muncul kemudian setelah adanya kampong-kampung lama, Kampoung baharoe besar
kemungkinan dihuni oleh berbagai suku bangsa.
Kampong Sebrang
Padang:
Suatu area pemukiman di sisi setengah lingkaran sungai Batang Arau. Ketika
dibuat kanal dengan menyedot sungai Batang Arau lalu area permukiman ini
menjadi berada diantara sisi sungai dan sisi kanal. Dari sisi pandang dari Kota
Padang, area ini kemudian muncul nama Kampong Sebrang Padang.
Kampong Odjoeng
Pandang:
Suatu perkampungan yang dikenal sebagai Odjoeng Pandang, karena kampong terjauh
dari Moeara di sisi pantai.
Area
Moearo: Kampong Moeara
secara fisik sudah lama tidak ada dan telah digantikan oleh hunian orang-orang
Eropa/Belanda. Namun demikian, area di lingkungan Eropa/Belanda tersebut tetap
menggunakan nama Moearo.
Pondok: Dari namanya
diduga dihuni oleh orang-orang Cina. Nama kampong sebagai pondok banyak
ditemukan di seputar sungai Tjiliwoeng (Batavia). Besar kemungkinan Cina
yang berasal dari Batavia telah menyebar ke Pantai Barat untuk kegiatan
berdagang. Para pedagang keliling Cina ini diduga membangun pondok-pondok
yang kemudian area tersebut dikenal sebagai Pondok.
Goeroen: Suatu area
yang kemungkinan berpenampilan seperti gurun karena air yang menggenanginya sejak
lama telah surut. Permukaan tanah diselumiti oleh pasar laut.
Alang Lawas: Suatu area
yang luas dimana ditemukan banyak alang-alang.
Olo: Suatu area
awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang Oeloe.
Djati: Suatu area
dimana ditemukan banyak ditanam pohon Jati,
Damar: Suatu area
awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang yang berasal dari pe(gunung)an
Damar.
Balantoeng: Suatu area
awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang yang berasal dari Bengcoelen.
Poeroes: Suatu area
awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang yang berasal dari Nias.
Tapi Bandar: Suatu area
yang kemungkinan berada di satu sisi sungai kecil. [Tapi Banda. -Banda = selokan]
Odjoeng Goeroen: Suatu area
yang berada di bagian paling ujung area Goeroen.
Alai: Suatu area
awalnya dikenal sebagai perkampungan orang-orang yang berasal dari dataran
tinggi.
Rimbo Kaloeang: Suatu area
yang awalnya hutan yang menyisakan pohon-pohon tinggi yang menjadi tempat
persinggahan kelelawar.
Ambatjang: Suatu area
yang awalnya banyak ditemukan pohon ambatjang. Namun boleh jadi nama area ini
karena sebelumnya banyak ditemukan orang-orang yang berasal dari Anai.
Pasar Gadang: Suatu area
dimana pasar lama dan pemukiman penduduk direhabilitasi dan di atas lahan
tersebut dibangunan pasar permanen yang cukup besar.
Kandang: Suatu area
yang awalnya merupakan banyak ditemukan mengusahakan ternak.
Kollang: Suatu area
yang awalnya banyak dihuni oleh orang-orang Benagalen.
Hiligoo: Suatu area
yang awalnya banyak dihuni oleh orang-orang (pulau) Nias.
Dari
nama-nama kampong dan area ini seakan menggambarkan penduduk Kota Padang masa
itu (1860an) sebagai kota melting pot (beragam suku bangsa). Kota Padang masih
didominasi oleh orang-orang Melayu. Kota Padang tampaknya belum menjadi tujuan
migrasi (swakarsa) orang-orang Minangkabau di Padangsch Bovelanden[3] maupun orang-orang
Batak di Tapanoeli (Mandailing en Angkola), namun Kota Padang, sebagai ibukota
pemerintahan dan pusat perdagangan utama di Sumatra’s Westkust sudah menjadi
tujuan komuter (berdiam untuk beberapa waktu) orang-orang Minangkabau, terutama
dari Padang Pandjang dan Solok.
Wijk
Nama wijk (kelurahan) diperkenalkan (Peta 1885) |
Semakin berkembangnya Kota Padang,
wilayah-wilayah yang dulunya berupa kampong dan area yang terbilang semakin
dipadati oleh penduduk yang terus berdatangan (migrasi) dari berbagai penjuru
(Padangsch Bovenlanden, Bengcolen dan Tapanoeli) dan seiring dengan perubahan
administrasi pemerintahan (yang awalnya di Jawa), wilayah perkotaan yang
semakin padat diperlukan system pemerintahan sendiri yang berbeda dengan system
pemerintahan yang selama ini berlaku. Wilayah-wilayah perkotaan yang padat
penduduk ini disebut wijk (kurang lebih pada masa ini sebagai kelurahan).
Pemimpin wijk tidak lagi dipimpin oleh seorang penghoeloe yang dipilih oleh
penduduk (soekoe) tetapi ditunjuk dan diangkat oleh pemerintah kota. Pemerintahan wijk ini dimulai pada tahun 1868.
Urbanisasi
Kota
[Kolonial] Padang yang awalnya berada di Moeara (Kampong Moearo), lambat laun terintegrasi
dengan kampong-kampong lain. Antara satu kampong dengan kampong lainnya dulunya
tampak berjauhan semakin dekat satu sama lain. Hal ini karena terus
meningkatnya penduduk pendatang yang bermukin di kampong-kampong lama tersebut
maka kemudian terbentuk area pemukiman baru. Disamping itu juga,
fasilitas-fasilitas pemerintah maupun bangunan-bangunan swasta semakin
bertambah sehubungan dengan denyut nadi perekonomian yang berlangsung. Kota
Padang tidak hanya semakin meluas, tetapi juga semakin padat penduduknya
(urbanisasi).
Peta Kota Padang 1879 dan 1903 |
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
___________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Sudah menjadi kelaziman dalam membahasa Indonesiakan nama tempat di Minangkabau terjadi banyak kesalahan sehingga makna asal melenceng jauh setelah diindonesiakan. Semisal 'banda' yang berarti selokan diindonesiakan menjadi 'bandar' yang berarti 'kota'. Dan 'koto' yang memiliki banyak makna tergantung penempatan diterjemahkan menjadi 'kota'. Koto sendiri dapat berarti 'benteng' dapat pula diartikan sebuah kawasan yang sedang bermetamarfosis menjadi nagari. Dimana 'koto' merupakan tahap ketiga dari pembentukan sebuah nagari di Minangkabau.
[2] Berasal dari nama pohon Nipah. Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut.
[3] Kami sarankan agar Sejarah & Adat Minangkabau hendaknya dijadikan referensi. Karena Kota (Negeri) Padang sendiri didirikan oleh orang Minangkabau dari Pedalaman. Perhubungan dengan daerah pesisir barat dimana Padang termasuk di dalamnya telah terjalin semenjak awal negeri ini didirikan. Dimana dalam perkembangannya sebagai Bandar Niaga, Negeri Padang banyak dikunjungi berbagai etnis dan bangsa dan diantara mereka ada yang memutuskan untuk tinggal berdiam di kota ini.
[4] Kekuasaan Belanda yang semakin menancap tidak memerlukan lagi peranan Penghulu (Datuk) sebagai perantara. Penduduk sudah dapat dijinakkan dengan Hukum Kolonial