Pada suasana hari raya ini kami hendak membawa tuan dan puan ke masa silam, menyilau masa dahulu dan membandingkannya dengan masa sekarang guna diambil hikmah pelajaran kepada kita semua yang masih mencintai Alam Minangkabau ini. Adalah seorang murid perempuan pada suatu sekolah di Padang yang bernama A. Wahab pulang untuk cuti hari raya pada tahun 1919. Dia tinggal di Padang Panjang namun menyempatkan diri berpesiar ke Buki Tinggi yang terkenal sebagai jantung dari Bovenlanden (Darek).
Ketika berpesiar di Padang Panjang dan Bukit Tinggi dia mendapati suatu keadaan nan mengganggu jiwa keminangkabauannya. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis sebuah karangan pada surat kabar Perempuan Bergerak yang terbit pada tanggal 12 Juli 1919, beginilah petikan tulisannya:
Akan tetapi sayang, rupanya diantara encik-encik yang telah mendapat sedikit kebebasan buat menuntut bahasa Barat-Hollandsch ada yang melebihi seakan-akan hendak menukari Adat kami bangsanya dengan cara kerancak-rancak an (berlebih-lebihan). Seperti tempo vacantie (liburan) sekolah saya pergi ke Bovenlanden, maka di Padang Panjang dan Fort de Kock banyak bertemu oleh saya gadis-gadis bangsa kita berjalan-jalan dengan bujang-bujang yang bukan familienya, berpasang-pasangan, diantaranya ada pula yang tertawa-tawa dan berpegang pegangan tangan; aduhai dengan menairk nafas yang panjang dan beriba hati saya teruskanlah perjalanan saya melihat-lihat ini dan itu.
Karangan dari Encik A, Wahab ini kemudian mendapat bantahan dari murid sekolah Jongens Normaal School yang bernama Siti Daina Wahab pada terbitan surat kabar Perempuan Bergerak berikutnya, berikut petikannya:
Akhir Mei adalah masa liburan Aidil Fitri, dan sebagian besar murid sudah pulang ke rumah. Lagi pula, murid-murid tidak bisa meninggalkan lahan sekolah tanpa izin dan, bahkan kalaupun ada izin, harus tetap tinggal di Padang Panjang. Guru kami memakai mata-mata..
Demikianlah keadaan pada masa itu, entah mana yang benar atau justeru benar kedua-duanya. Sebab apabila kita lihat karangan dari Encik A. Wahab yang menggambarkan keadaan pada bulan Juli sedangkan yang dimaksudkan oleh Encik Daina ialah keadaan pada akhir bulan Mei. Maka tampaknya terpaut satu bulan lebih 12 (dua belas) hari.
Namun setidaknya hal tersebut menjadi pelajaran bagi kita, bahwa keadaan yang berlaku pada masa sekarang sudah sangat parah. Sudah jauh keluar dari Adat kita Bangsa Minangkabau. Dan malangnya kita tampak tak berdaya, menunggu sampai kerusakan menjadi semakin parah.