Disalin dari kiriman
FB Saiful GuciSITUS MEGALITIK DI KECAMATAN GUGUAK
Carito Luhak Nan Bungsu – Kita penuhi bahan untuk buk Guru Syahelma Ramleyni untuk bahan Budaya Alam Minang Kabau kelas V.
Pendahuluan
Kabupaten Lima Puluh Kota[1] terletak di antara 0 derajat 22” Lintang Utara – 0 derajat 23” Lintang Selatan dan 100 derajat 16” Bujur Timur – 100 derajat 51” BujurTimur,luas wilayah keseluruhannya 3.354,53 Km2 dengan ketingian dari permukaan laut 90 –2078 meter, daerah terendah disekitar Waduk PLTA Kenagarian Tanjung Pauah Kecamatan Pangkalan, dan tertinggi Gunung Sago di Kecamatan Situjuah Limo Nagari.
Letaknya berbatasan langsung dengan: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten XIII Koto Kampar ,Provinsi Riau. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan [Kota] Sawah Lunto, [Kabupaten] Sijunjuang. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupatan Tanah Datar dan Kabupaten Kampar, Provinsi Riau .Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pasaman dan [Kabupaten] Agam
Di Kabupaten Lima Puluh Kota terdapat 13 Kecamatan dan 79 Nagari, sementara Kecamatan yang mempunyai sebaran bangunan megalitik yang pada umumnya berada pada daerah aliran sungai Batang Maek, Kampar, Kapur, Sinamar dan Batang Agam beserta anak-anak sungainya. Kecamatan tersebut antara lain adalah : Kecamatan Pangkalan, Kapur IX, Bukit Barisan, Gunuang Omeh, Suliki, Guguak, Payakumbuh, Akabiluru, Harau, Situjuah Limo Nagari dan Lareh Sago Halaban.
Temuan peningalan sejarah berupa bangunan megalitik membuktikan bahwa pada masa itu sudah mempunyai angapan tertentu mengenai kematian. Orang menganggap bahwa orang yang telah meningal itu pindah ke tempat orang lain dan masih dapat berhubungan dengan orang yang masih hidup. Inti kepercayaan tersebut adalah pemujaan dan penghormatan terhadap roh nenek moyang.[2] Bangunan-bangunan batu-batu besar dalam beberapa bentuk yang disebut “bangunan megalitik “ (megalitikum). Sebahagian besar bangunan megalitik terdapat di tempat-tempat yang tinggi misalnya puncak bukit, lereng gunung dan tempat-tempat yang lebih tinggi dari dataran sekitarnya.
Bentuk bangunan yang bermacam-macam itu mempunyai maksud utama yaitu pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Bangunan paling tua mungkin berfungsi sebagai kuburan. Bentuk-bentuk tempat penguburan dapat berupa :
dolmen [meja batu], kubur peti batu, bilik batu, batu kandang. Di tempat-tempat kuburan semacam itu kadang-kadang ditemukan bangunan batu besar lainnya sebagai pelengkap pemujaan seperti:
menhir,
punden berundak, batu dakon (congkak), batu sandaran, batu mayik (patung nenek moyang), batu tagak, batu nyariang, batu tulis, tembok batu atau jalan batu, batu lasuang atau lumpang. Dan ditemukan juga berupa alat-alat pertanian dan berburu seperti: batu sinka, kapak, baji, anak timbangan dan talempong batu.
Beberapa jenis bentuk kuburan mengalami perkembangan pada fungsinya, misalnya dolmen mengalami berbagai variasi bentuk, yaitu dibuat untuk memanggil roh atau tempat
sesaji. Dolmen yang berkembang untuk memanggil roh pada masyarakat megalitik yang telah maju digunakan sebagai tempat duduk oleh kepala-kepala suku yang masih hidup.
1. Dolmen
Dolmen adalah batu datar yang dipergunakan semacam meja untuk meletakkan sesaji dalam upacara memanggil roh.
2. Menhir
Menhir adalah tugu dari batu tunggal atau tegak yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang. Menhir ini ada yang berdiri dalam satu kelompok. Arah tegaknya menhir ini selalu mengarah pada Gunung atau daerah yang tinggi yang dianggap gunung.
3. Kubur Peti Batu
Kubur batu yang berupa peti batu yang terdiri dari batuan lepas, yitu dua sisi panjang, dua sisi lebar, laintai batu dan diberi penutup dari batu.
4. Punden barundak
Punden barundak merupakan tempat pemujaan. Biasanya pada punden berundak ini juga didirikan menhir. Bangunan megalitik ini merupakan susunan batu yang berundak undak.
Kecamatan Guguak
Kecamatan Guguak terletak diantara 0 derajat 36 08” Lintang Utara dan 100 derajat 39 03 Lintang Selatan, dengan luas wilayah 83,83 Km2, dengan batas Kecamatan sebagai berikut: Sebelah Utara Kecamatan Mungka, Selatan Kecamatan Payakumbuh, dan Akabiluru, Timur Kecamatan Payakumbuh dan Barat Kecamatan Suliki.Di Kecamatan Guguak terdapat beberapa lokasi situs yang menyebar secara merata di setiap nagari antara lain :
1 Nagari Guguak Salapan Koto
Apabila kita lewat jalan dari Payakumbuh ke Suliki di Kenagarian Guguak Salapan Koto. Situs Menhir banyak juga ditemukan dan tersebar kebanyakan tidak terawat lagi. Salah satu Situs menhir ini ditemukan berkelompok-berkelompok dan salah satunya dipinggir jalan Payakumbuh-Suliki tepatnya di Jorong Guguak.
Terlihat jelas ukiran seperti burung di atas daun yang sedang menghisap sarimadu dari bunga Telang (Clitoria Ternatea) dari nama latin bunganya sudah tahu kita kemana arahnya. Para ahli menhir menyebutnya
Yoni. Ukiran tersebut sebagai Bentuk Kasih Sayang sebuah perkawinan.
2. Nagari Sungai Talang
2.1 Situs Menhir di Belubus
Situs ini sudah di pelihara dengan baik oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sumatera Barat dan Riau[3] di Batusangkar dan telah mempunyai seorang juru pelihara. Komplek yang di pagari kawat berduri, didalamnya di bangun sebuah rumah adat bertingkat dua terbuat dari kayu. Rumah tersebut dimaksudkan sebagai museum kepurbakalaan di Kabupaten Lima Puluh Kota. Sayang pengisian dengan benda–benda bersejarah serta tulisan–tulisan yang memberikan informasi kesejarahan bagi pengunjung sangat sedikit atau bisa di katakan tidak ada sama sekali.
Di dalam ruangan atas hanya di temui foto usang dari beberapa situs magalitik daerah lain di Kabupaten Lima Puluh Kota. Di anak tangganya di jumpai sebuah batu pijakan yang bercahaya pada malam hari. Menjelang pintu masuk ada sebuah gapura dengan pintu besi berkarat. Bagian atap sebelah ujung Timur rusak karena tertimpa pohon rubuh. Dari gerbang ke dalam situs lebih kurang 20 m di buat jalan dengan beton semen serta arah Tenggara menuju kolam ikan sekitar 15 m.
Situs yang di pagar dengan lebar sisi Timur Laut 19 m, lebar sisi sebelah Timur 12 m dengan panjang sisi sebelah Tenggara sekitar 45 m, panjang sisi sebelah Barat Laut 35 m dan 12 m memanjang dari Barat laut ke Tenggara.
Dalam komplek Taman Purbakala tersebut di jumpai 16 buah Menhir dengan berbagai bentuk dan variasi, diantaranya :
1. Terletak di belah Tenggara persisnya pinggiran jalan raya, menhir ini yang paling besar dari teman – temannya yang lain. Tingginya lebih kurang 163 cm dengan ketebalan 40 cm. Bentuknya membulat menghadap kearah gunung Sago di Situjuah atau arah selatan seperti Menhir yang lainnya. Di Kedua Sisinya terdapat gambar naga yang dipahatkan. Pada ketebalannya yang menghadap tenggara dijumpai ukiran segi tiga sebanyak 5 buah, satu segi tiga yang paling atas agak besar dan yang empat lagi tersusun berhadap hadap. Dibawah ke empat segi tiga tersebut ada matahari yang sedang bersinar. Dibagian tengkuknya ( arah barat laut ) ada lukisan dengan motif kaluak paku.
2. Pada arah barat masih dalam komplek dijumpai pula sebuah Menhir dengan ukuran agak kecil setinggi 120 cm. Dengan ketebalan 12 cm hingga sepintas terlihat sebagai batu pipih tegak. Sisi belakangnya melengkung terdapat tonjolan dan lekukan tajam seperti gerigi mesin.
3. Yang lainnya seperti menhir yang dijumpai didaerah lain ada lekukan menghadap ke gunung sago ( Selatan ). Ada yang runcing dan undak dengan tinggi mencapai 140 cm
4. Diluar Komplek ditepi jalan sebelah tenggara dijumpai pula sebuah menhir dengan ukiran naga dan segi tiga serta matahari dan ukiran motif Kaluak Paku.
5. Disekitar batu bagaleh atau yang disebut orang juga dengan Kapalo Koto sekitar 900 meter diarah barat taman Purbakala ditemui pula beberapa menhir dengan ukian menhir kaluak Paku dan segi tiga bersusun serta gambar Matahari satu diantaranya sudah tumbang yaitu Menhir yang paling besar dan paling panjang.
2.2 Situs Batu Kobau[4]
Batu ini terletak dikaki bukit parasi di dekat Kapalo Koto, tempat ini sering disebut orang dengan Sawah Jambu karena disekitarnya banyak pohon jambu. Dikelilingi semak ilalang dan pohon jambu dijumpai batu besar berbentuk trapesium tak sempurna. Pada sisinya yang menghadap Gunung Bungsu (Timur) dengan ukuran lebih kurang 3 meter keaatas dan 2 meter puncak dengan ketinggian 2,5 meter terlihat gambar kepala kerbau dengan sebelah tanduknya sepanjang 80 cm. Kepala dilukiskan dengan garis empat. Mata dipahatkan sedalam 2 cm, lobang hidung sedalam 3 cm dan mulut dalam segi empat sebagai bibir sedalam 3 cm dan panjang 7 cm. Pada sisi atas dipenuhi garis dan lobang besar kecil sedalam 2 cm dan panjang 7 cm
2.3 Situs Batu Biliak.
Terletak di kaki Bukit Parasi sebelah barat dan sudah masuk Jorong Kaludan.[5] Bilik [biliak=kamar] terdiri dari 4 buah lempengan batu pipih setebak 20 cm dengan panjang 4 meter dan lebar 3 meter. Tiga lempengan batu tersebut tegak lurus dan ditopang dengan masing-masing sebuah batu sebesar kerbau. Atapnya sebuah lempeng batu diletakkan dibagian atas. Di pintu masuk ada dua buah batu besar yang juga berfungsi sebagai penopang dinding. Untuk masuk hanya ada lorong sebesar badan orang dewasa. Batu Biliak ini sekarang dikelilingi semak belukar dan dilindungi batang beringin. Dipuncak Bukit Parasi tak jauh dari batu Biliak ada sebuah sumur batu yang disebut dengan Luak Cawan [Luak=Sumur], karena besarnya sebesar baskom besar yang selalu berair sepanjang masa walaupun musim kemarau. Dari cerita yang berkembang dimasyarakat, Batu Biliak merupakan tempat tinggal Datuk Soyiah yang merupakan pendatang yang berasal dari Parsi,[6] pada waktu itu penduduk belum lagi beragama Islam, Datuk soyiah tersebut tinggal dan membuat sebuah tempat dari batu yang disebut 'Batu Biliak' tersebut, dan bukit tempat batu biliak tersebut sekarang dikenal dengan Bukit Parasi yang berasal dari nama asal Datuk Soyiah tersebut. Beliau beribadah di Bukit Mesjid dan duduk istirahat di Batu Mandeh. Malamnya sebelum tidur beliau mengajar muridnya disebuah ngalau.[7]
Pada suatu hari datanglah dua orang wanita dari Taeh[8] hendak meminta obat pada datuk Soyiah. Kedua wanita tersebut adalah ibu yang sangat jelek dan anak gadis nan elok rupawan dengan pakaian dan perhiasan yang berkilauan. Mereka datang dan setiba di Belubus[9] orang bertanya kepada si gadis, siapa perempuan tua buruk yang berjalan jauh dibelakangnya. Si gadis sombong ini mengatakan bahwa wanita itu adalah orang suruhannya. Penjemput yang jauh dan pemikul yang berat dan penjaganya dalam perjalanan. Hal tersebut didengar oleh ibunya, hingga hiba hatinya dan mendoa agar anaknya dihukum dengan hukuman setimpal oleh yang Maha Kuasa. Sewaktu kedua orang itu lewat sawah yang berawa – rawa di (Kapalo Koto) Si Gadis terbenam dan di atasnya tertinggallah selendang (tengkuluk)[10]nya sampai saat ini tempat tersebut di sebut orang dengan Rawang Tangkuluak. Sampai saat itu Dt. Soyiah masih hidup dan tetap tinggal di Batu Biliak, siapakah dia? tak seorangpun masyarakat Belubus atau Sungai Talang yang bisa menjawab. manusia biasa, jin Islam atau sebangsanya, tak seorangpun masyarakat Belubus Sungai Talang yang bisa menjawabnya. Namun yang jelas Dt. Soyiah adalah figur yang baik, banyak ilmunya. Dia bisa menurunkan ilmu ( perdukunan ) kepada siapa saja yang di sukainya. Tetapi tak ada di sana yang mengaku murid atau pernah berguru pada Dt. Soyiah.
Menhir atau Batu Tagak berasal dari bahasa Breton “men” artinya batu dan “hir” artinya tegak. Orang Minang Kabau umumnya dan Luak Limo Puluah Koto khususnya menyebutnya “Batu Mejen” atau Batu Mejan. Berasal dari bahasa Sanskerta “mejan” artinya Batu Tanda Kuburan. Pada waktu itu orang percaya bahwa seorang yang meninggal rohnya akan tetap hidup. Roh yang hidup itu tinggal di puncak gunung atau Meru. Makin tinggi gunung tersebut mungkin banyak roh yang tinggal di situ, dan sewaktu – waktu dapat di panggil. Apabila seorang kepala suku atau seorang pemimpin meninggal dunia di kuburnya itu di tanam sebuah menhir. Ukuran menhir tersebut dimungkinkan berdasarkan umur dan derajat seseorang. Makin tinggi derajat seseorang menhirnya akan semakin tinggi pula.[11]
Pemanggilan orang yang sudah meninggal ini di lakukan dengan meminta pertolongannya guna menyembuhkan penyakit seseorang. Biasanya si dukun yang mengobati si sakit memberitahu bahwa di menhir siapa dan menda apa yang akan di sajikan, waktu saji – sajian ini biasanya di lakukan menjelang matahari terbenam tanpa di ketahui orang lain.
Bangunan Menhir sebagai penghormatan bagi yang hidup kepada yang sudah meninggal. Untuk seorang pemimpin yang tertinggi di pahatkan ukiran tertentu sebagai lambang atas jasa – jasanya semasa hidup. Ukiran tersebut di antaranya berupa gambar segitiga sebanyak 5 buah.
Segitiga tersebut di duga sebagai tingkat- tingkat kepemimpinan di Belubus Kenagarian Sungai Talang. Nagari ini terdiri dari 4 [ampek] suduik, satu suduik merupakan gabungan dari beberapa suku. Suduik tersebut adalah :
a. Suduik nan [ampek] 4 terdiri dari suku Melayu, Bendang, Kampai, Mandahiliang dengan Kaampek sukunya Dt. Pandiko Rajo
b. Suduik nan [limo] 5 terdiri dari suku Jambak, Pitopang, Kutianyir [kutianyia], Salo, dan Dalimo dengan Kaampek Sukunya Dt. Mantaro
c. Suduik nan [anam] 6 terdiri dari suku Bodi, Caniago, Singkuang, Sumagek, Supanjang dan Mandaliko/Balai Mansiang dengan Kaampek sukunya Dt.Sinaro nan Kayo
d. Suduik nan [sambilan] 9 terdiri dari suku Koto, Piliang, Tanjuang, Payobadar [payobada], Simabua, Pagarcancang, Sikumbang, Sipisang, dan Guci dengan Kaampek sukunya Dt. Pad Katib.
Dan dalam nagari yang terdiri dari 4 suduik tersebut ada seorang pucuak nagari/koto yang di lambangkan dengan satu buah segitiga di atas. Setiap penghulu harus bersifat menerangi yang melambangkan dengan gambar matahari yang sedang bersinar.
Kemudian di pundaknya terpikul beban memeluk dan memangku anak kemanakan yang di lambangkan dengan ukiran bermotifkan kaluak paku. Terakhir pada kedua sisi kiri dan kanannya di pahatkan gambar ular naga. Hal ini mungkin di maksudkan sebagai pelambang bahwa si mati adalah seorang yang di takuti seperti takutnya orang pada ular. Tetapi sekaligus juga di sayangi dan takkan terlupakan sepanjang zaman.
Beberapa menhir lain yang dijumpai berbentuk setengah lonjong dengan satu sisi bergerigi mungkin ini adalah kubur seseorang hulubalang. Hal ini terlihat dari bentuknya yang agak rendah sesuai dengan kedudukan hulubalang pada urutan yang ke-4 dari urang nan ampek jinih. Namun dia sangat diperlukan dengan sifat yang berani dan tegas. Nan namuah baguntiang lidah, bisa maniti mato podang, nan titah (perintah raja) dijunjuang juo. Yang menarik adalah setiap menhir besar mempunyai ukiran – ukiran tertentu yang diduga adalah kubur seseorang yang acap kali didampingi oleh menhir kecil yang sederhana sekali bentuknya. Hal ini diduga kuburan pembantu sipemimpin sewaktu masih hidup yang apabila sipemimpin sudah meninggal maka pembantunya ikut meninggal juga dan dikubur dekat pimpnanya. Sipembantu ini bila tak mau mati akan dipaksa mati oleh pengikut – pengiktu lainnya. William A. Haviland, Pengantar Antropologi terjemahan :[12]
Hal itu dimaksudkan agar sipemimpin yang meninggal arwahnya tetap punya pengiring memuja tempat terakhir dipuncak meru (gunung). Hingga sering kelihatan menhir ini letaknya ada yang dempet dengan menhir pemimpin dan ada yang agak jarak sekitar 0,5 – 1 meter. Apabila diadakan exavasi maka akan terlihat letaknya dalam kuburan yang tak menurut mestinya seperti sipemimpin.
Batu Kabau atau ukiran kepala kerbau pada sebuah batu juga ada, cuma di Belubus ini tak dijumpai dolmen (meja batu) sebagai sarana sesaji serta sewaktu exkavasi juga tak ditemukan bekal kubur seperti menhir – menhir yang ditemukan ditempat lain di Indonesia seperti di Sumatera Selatan, Samba dan Flores. Merupakan sisa – sisa peninggalan kebudayaan megalitik yang dijumpai di Belubus, ukiran erat kaitan dengan upacara keagamaan. Pemahatan ukiran kepala kerbau pada batu erat kaitannya dengan peran binatang ini dalam kehidupan suatu masyarakat
Di Minang Kabau, kerbau merupakan binatang yang penting bagi masyarakat. Disamping sebagai binatang peliharaan dan pembantu untuk menarik bajak di sawah dan pedati, kerbau merupakan simbol kebearan bagi si pemiliknya. Seorang penghulu baru, ditandai sahnya sebagai penghulu apabila sudah mengorbankan seekor kerbau. Dia juga lambang kemakmuran dan kesuburan. Dalam menghitung kekayaan sering digunakan jumlah kerbau, sampai saat ini masih ada kepercayaan masyarakat bahwa apabila tanaman di makan kerbau suatu pertanda tanaman tersebut bakal subur.
Dalam pengajian adat salingka nagari di Sungai Talang tanggal 12 s/d 14 September 2002 yang diikuti 30 orang ninik mamak dan cadiak pandai setempat pernah didiskusikan kenapa kerbau ini betul yang dijadikan syarat sahnya seorang penghulu. Dari beberapa pendapat dapat di tarik kesimpulan bahwa kerbau mempunyai 2 tanduk besar dan panjang yang tak pernah di gunakan untuk menyerang tetapi tetap di gunakan untuk mempertahankan diri serta melindungi anak – anak dan kelompoknya, disamping jinak, kuat, patuh dagingnya enak dengan jumlah yang banyak karena tubuhnya besar. Hingga dalam batagak penghulu di Minag Kabau harus di sembelih kerbau dan tanduknya di pahatkan di atas rangkiang padi.
Bagi masyarakat Batak pun kepercayaan serupa juga di temukan seperti di Simalungan, ada kepala dari ijuk dan tanduk asli kerbau yang di sebut Pinar Ulune Horbou. Pada masyarakat Toba ada Sijonggi yaitu pola hias kerbau
Gambar kepala kerbau pada batu kerbau yang di jumpai di Belubus ini, erat kaitannya dengan upacara keagamaan untuk memohon kesuburan tanah dan hujan yang cukup. Dengan menghadap Gunung Bungsu ( Timur ) maka disiramlah lobang – lobeng kecil di puncak batu tersebut. Air akan mengalir melalui garis – garis yang menghubungkan setiap lobang yang nantinya sebagian akan membasahi gambar kepala kerbau. Diiringi dengan mantera – mantera memohon akan di turunkan hujan. Peristiwa ini diiringi dengan kabut di puncak Gunung Bongsu. Kemudian diakhir musim menuai diadakanlah selamatan di sini juga mengahdap ke Gunung Bungsu.
3 Nagari Tujuah Koto Talago
3.1 Situs Punden Berundak Padang Kandis
Punden Berundak terdapat di Jorong Padang Kandis Kenagarian Tujuh Koto Talago Kecamatan Guguak, berada di atas bukit yang oleh masyarakat setempat di namakan Bukit Sandaran. Bangunan Punden Berundak merupakan balok – balok batu sebanyak 36 buah yang di susun secara berundak – undak dari bawah ke atas hingga pada puncaknya terdapat satu balok batu saja. Panjang balok sekitar 480 cm, lebar 17 cm dan ketebalan 46 cm hingga kalau di ukur ukuran keseluruhan balok panjang 4,8 m dan lebar 4,05 m dan tinggi 2,8 m. Susunan balok – balok batu ini menghadap ke Timur di lereng bukit dengan kemiringan 60O. Pada puncak arah Utara terjadi patahan hal ini disebabkan karena faktor alam dan usia. Dalam jarak kira – kira 2 m di arah Barat Daya terdapat tumpukan kubus – kubus batu dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 30 cm, tumpukan kubus batu seperti ini di jumpai sebanyak 6 tumpuk. Letak keduanya dalam jarak 100 m dari tumpukan pertama ke arah Barat ( mendaki ), yang ketiga sekitar 100 m lagi dari tumpukan kedua arah Barat Daya. Tumpukan keempat dalam jarak sekitar 80 m dari tumpukan ketiga arah Tenggara dan tumpukan kelima agak merencong sedikit arah Tenggara dari tumpukan keempat dengan jarak 40 m.
Dan terakhir tumpukan ke enam arah ke Timur dari tumpukan kelima jarak sekitar 30 m dan juga tumpukan ke enam ternyata berada di sebelah Tenggara bangunan utama dengan jarak sekitar 20 m. Jadi kalau kita gambarkan arealnya merupakan segilima tak beraturan.
Dari tumpukan kubus – kubus batu tersebut, pertama di jumpai kubus batu yang lebih kecil tersusun merupakan pagar dari areal ini. Kemudian dari susunan kubus batu pagar tadi, arah ke Tenggara lagi dijumpai batu tegak ( Menhir ) dengan ukuran tebal 30 cm dan tinggi 50 cm. Batu – batu ini berjarak 10 m dari bangunan undak, bangunan yang ke dua 10 m dari yang pertama, yang ke tiga 50 m dari yang ke dua dan yang ke empat jarak 60 m dari yang ke tiga dan yang ke lima terdapat jarak lebih dari 100 m dari yang ke empat. Letak batu – batu ini kalu di tarik garis lurus satu sama lainnya akan merupakan jejeran batu yang di tumpuk sebagai penunjuk jalan.
Saiful Guci, 30 Desember 2021
* Kata dalam tanda [] ditambahkan oleh Admin
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Asli; Limo Puluah Koto
[2] Defenisi seperti ini kerap kita temui pada tulisan yang mendasarkan kepada pendapat para ahli. Adapun di Minangkabau, kami belum mendengar atau mendapat kajian terkait berbagai peninggalan purbakala ini. Terkait keadaan masyarakat Minangkabau Pra Islam, baiknya kita baca buku Pedoman Penguatan Pemangku Adat Minangkabau, silahkan klik DISINI
[3] Sekarang [2021] bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat Wilayah Kerja Sumbar, Riau, Kepri
[4] Kobau meruapakan Bahasa Minang dialek Limo Puluah Koto, dalam percakapan Bahasa Minang umu ialah 'Kabau'
[5] Sebuah Jorong di Nagari Sungai Talang, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota
[6] Sebagian besar Wilayah Parsi/ Persia berada dalam wilayah Negara Iran sekarang
[7] Ngalau = Gua/Goa
[8] Pada masa sekarang terletak di Kecamatan Payakumbuh dan terdiri atas dua yakni Nagari Taeh Bukik dan Taeh Baruah. Baruah merupakan Bahasa Minangkabau Lama yang berarti 'bawah'.
[9] Sebuah Jorong di Nagari Sungai Talang, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota
[10] Aslinya 'Tingkuluak' yang merupakan salah satu Hijab Perempuan Minangkabau. Tingkuluak, berupa selendang yang lebar dan panjang dan kemudian dililitkan ke kepala.
[11] Kami tidak yakin kalau ini berasal dari kepercayaan masyarakat Minangkabau Lama, kemungkinan referensi berdasarkan pendapat para ahli yang melakukan kajian di Jawa. Istilah Gunung "Meru" tidak ada dalam kebudayaan Minangkabau. Dan terkait roh-roh yang dapat dipanggil kembali, dalam Syari'at Islam itu sangat bertentangan karena tatkala seseorang meninggal maka rohnya dicabut dan pindah ke Alam Baka. Kematiannya menandakan bahwa urusannya di dunia sudah selesai. Terkait kejadian roh orang mati datang kembali dengan rupa yang sama persis dengan si mati maka itu merupakan Jin Qari. Jin Qari merupakan jin pendamping yang lahir bersamaan dengan orang yang didampinginya. Rupa, sifat, tabi'at, ataupun tingkah lakunya sama dengan manusia yang didampinginya. Dengan demikian seluruh informasi tentang orang yang mati itu diketahui oleh Jin Qari tersebut.
[12] Kami yakin bahwa William A. Haviland, melakukan penelitian bukan di Minangkabau
Baca juga:
Zusneli Zubir. Tradisi Basapa ke Gunung Bonso Nagari Taeh Bukik Kabupaten Lima Puluah Kota dalam Perspektif Sejarah dalam Jurnal Suluah Volume 15 No.19. BPNB. Padang. Desember 2014