Di Hari Rayo Anam ini perkenankan kami membawa tuan pesiar ke masa silam. Berikut ini kami lampirkan pandangan seorang pejabat pada Departemen Pertanian Amerika Serikat yang bernama David G. Fairchild dimana ia diundang untuk menjelajahi Dataran Tinggi Minangkabau pada abad ke-19. Berikut kutipannya:
Interior rumah-rumah ini bukan tanpa kenyamanan-kenyamanan moderen dalam hal ranjang yang nyaman, dengan bantal dan kanopi, yang bagus diantaranya sering kali dihias dengan ornamen-ornamen gantung yang menarik dan mencolok yang seluruhnya terbuat dari inti batang semacam tanaman tropis. Rumah-rumah ini lebih nyaman dari pada rumah-rumah ras-ras lain di Hindia Timur Belanda, dan tampak mewah bila dibandingkan dengan gubuk-gubuk kumuh orang Maori atau rumah-rumah berlantai kerikil orang Samoa.[1]
Demikian pandangan seorang bule yang menganggap bahwa orang pribumi (Minangkabau) pastilah ras yang kaya. Kemudian dapat pula kita lihat pandangan seorang perempuan yang juga berasal dari Amerika tatkala mengunjungi Minangkabau pada tahun 1914, begini tulisnya tentang bagian dalam sebuah Rumah Gadang:
Di bagian belakang dan ujung-ujungnya ada kamar-kamar tidur, sebuah rumah kadang-kadang berisi sampai 15 kamar. Pada keluarga-keluarga kaya kamar-kamar ini diisi dengan ranjang dan kasur, ditutupi seprai menggantung dengan pinggiran bersulam, yang tampak di dalam setiap rumah Belanda di Hindia Timur. Meja, kursi, lampu gantung, jam, gambar berpigura, mesin jahit, dan grafofom (untuk memutar rekaman slinder berlilin) sering terdapat,[2]
Tampaknya Carrie (entah nona atau nyonya) memasuki rumah-rumah milik keluarga berada karena meja, kursi, jam, gambar berpigura, dan grafofom tidak jamak dimiliki oleh keluarga-keluarga di Minangkabau pada masa itu. Barang-barang tersebut termasuk kepada barang mewah yang dimiliki hanya keluarga dengan penghasilan tertentu saja.
Namun yang pasti, sudah sedari dahulu orang-orang kulit putih kagum dengan salah satu produk kebudayaan nenek moyang kita itu. Kini jumlah Rumah Gadang sudah semakin menipis. Ada yang tak hendak membangun rumah gadang, ada yang hendak tapi tak punya uang karena ongkos upah tukang untuk membuat gonjong sangatlah mahalnya, dan lain-lain sebab.
Dan Rumah Gadang inilah salah satunya nan memanggil-manggil perantau untuk pulang ke kampung halaman. Walau telah rubuh, tiada lagi karena digantikan dengan rumah baru namun setiap anak Minangkabau telah membangun gambaran Rumah Gadang tersebut di hatinya, dilekatkan kepada rumah-rumah baru sebagai penggantinya.
Semoga selamat kembali ke rantau nan bertuah, esok pulang lagi dengan sejuta cerita..
_________________
Catatan Kaki:
[1] David G.Fairchild. Sumatera's West Coast. National Geographic Megazine 9. No.11 (1898); 453-454
[2]. Carrie Chapman Catt, A Survival of Matriarchy. Harper's Magazine (April 1914): 741