Asal-Usul Raja dan Rakyat Rokan Ampek Koto - Bagian II
Asal-Usul Raja dan Rakyat Luhak Rokan Ampek Koto merupakan naskah tunggal (codex unicus) koleksi Museum Nasional yang bernomor kode MI.441, berukuran 22 x 18,5 cm dan terdiri atas 19-28 baris setiap halaman. Naskah terdiri dari 85 halaman dan ditulis dengan tinta hitam dengan menggunakan kertas bergaris. Huruf yang dipakai adalah huruf Latin berbahasa Melayu dengan ejaan Melayu Lama. Tulisannya masih baik dan terbaca tetapi kertasnya sudah berwarna cokelat. Naskah ini tercatat dalam Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat Jakarta, 1972:215, Yaarboek, 1933:247, dan Notulen Maret, 1924.
Naskah ini dibukukan kembali dengan judul Asal-Usul Raja dan Rakyat Rokan dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayan pada tahun 1996. Pengalihaksaraannya dilakukan oleh Dra. Putri Minerva Mutiara, sedangkan penyuntingannya oleh Drs. S. Amran Tasai, M.Hum.
Berikut ini ialah isi kitabnya (bagian II).
----------
Bagian I: https://www.facebook.com/.../permalink/1518152321701967/ atau klik DISINI [Bagian.1]
BAHAGIAN YANG KETIGA
Menyatakan Raja yang ketiga memerintah dalam Luhak Rokan, yaitu Sutan Panglima Dalam, putra Tengku Raja Rokan di Kota Sembahyang Tinggi.
Syahdan berapa lamanya di belakang Tengku Raja Rokan telah mangkat, maka anaknya yang laki-Iaki itu diangkat orang menjadi raja bergelar Sutan Panglima Dalam. Dan saudaranya yang perempuan bergelar Putri Cahaya Intan. Dengan hal yang demikian, Sutan Panglima Dalam pun tetaplah memerintah di Kota Sembahyang Tinggi dan Sutan itu pun kawin dengan seorang bangsa keempat suku di Kota Sembahyang Tinggi. Dan saudaranya yang perempuan itu kawin dengan seorang bangsa raja yang baru datang. Lama-kelamaan Sitti Cahaya Intan, adik Sutan Panglima Dalam yang tersebut tahadi, dapat anak tiga orang.
Yang tua laki-Iaki bernama Sipadi, dan yang tengah bernama Sitti Intan, dan yang kecil perempuan mati kecil. Tiada berapa lamanya istri Sutan Panglima Dalam pun mati pula. Sepanjang kabamya, ada kira-kira dalam 30 tahun ia memakai istrinya itu.
Adapun kemudian sesudah mati istrinya itu, ia pun pergi berkawin ke Kuak, yaitu Limo Koto yang sekarang ini, kepada anak Datuk Bendahara Kaya, bernama Gadis Jintan Halus. Maka sesampai Sutan Panglima Dalam di Kuak, maka ia pun pinanglah anak Datuk Bendahara itu.
Dan Datuk itu pun sukalah menerima Sutan Panglima Dalam buat tunangan anaknya itu. Pada ketika itu orang sedang meramaikan gelanggang tempat menyabung.[1] Maka datanglah pula seorang bernama Panglima Kaya, yaitu orang datang dari laut. Dan Panglima Kaya datang pula pada Datuk Bendahara Kaya. hendak meminang tunangan Sutan Panglima Dalam itu. Adapun adat orang pada masa itu, barang siapa yang gagah, ialah yang akan mendapat.[2] Oleh sebab itu, dikerasilah oleh Panglima Kaya hendak kawin dengan tunangan Sutan Panglima Dalam itu. Jadi, kedua mereka itu pun sama-sama menyabung dalam gelanggang itu, tetapi dalam hatinya hendak membunuh salah seorang.
Pada suatu hari kalahlah ayam Panglima Kaya oleh ayam Sutan Panglima Dalam. Maka Panglima Kaya tiada mau membayar kekalahannya. Pada ketika itu, kedua mereka itu pun berkelahilah. Tiada berapa lamanya berkelahi, matilah Panglima Kaya dipancung oleh Sutan Panglima Dalam, raja di Kota Sembahyang Tinggi.
Sehabis itu maka Sutan Panglima Dalam pun lalu kawin dengan Gadis Jintan Halus anak Datuk Bendahara itu. Apabila telah selesai kawin, maka Sutan Panglima Dalam pun lalu kawin ke Kota Sembahyang Tinggi dengan istrinya itu. Lama-kelamaan maka Sutan Panglima Dalam dengan istrinya dapat anak seorang !aki-Iaki, bergelar Tengku Panglima Raja. Kemudian, te!ah besar anaknya itu, maka dikawinkannya dengan kemenakannya Sitti Intan, anak Sitti Cahaya Intan. Adalah dari kemenakannya nama Sipadi, telah berumur 30 tahun, maka Sutan Panglima Dalam pun mangkatlah. Sepanjang kabarnya adalah Sutan Panglima Dalam memerintah 65 tahun baru mangkat.
Peringatan
Adapun kisah Sutan Panglima Dalam ini, tiadalah dipanjangkan di sini, hanyalah diambil sedikit saja. Oleh sebab itu, pengarang mau buat lagi satu buku ceritera perihal menyatakan hal Sutan Panglima Dalam itu, dari mula kecilnya sampai ia mangkat.
Demikianlah adanya.
BAHAGIAN YANG KEEMPAT
Menyatakan raja yang keempat dalam Luhak Rokan, yaitu bergelar Sutan Sepedas Padi, kemenakan dari Sutan Panglima Dalam di Kota Sembahyang Tinggi.
Syahdan adapun di belakang Sutan Panglima Dalam telah mangkat maka mufakatlah orang besar-besar di Kota Sembahyang Tinggi, serta dengan hamba rakyat sekaliannya, hendak mendirikan raja, akan ganti Sutan Panglima Dalam. Waktu itu adalah satu anaknya bergelar Tengku Panglima Raja dan satu kemenakannya bernama Sipadi. Jadi, dipilih antara anak dan kemenakan. Sekalian orang tua-tua dan orang besar-besar banyak yang memilih kemenakan Sutan Panglima Dalam akan dijadikan raja. Maka Tengku Panglima Raja tiada panjang bicara, sebab ia berkawin dengan adik Sipadi. Dalam hal yang demikian putuslah mufakat orang Kota Sembahyang Tinggi, maka diangkatlah Sipadi menjadi raja di Kota Sembahyang Tinggi dengan bergelar Sutan Sepedas Padi.
Adapun Sutan Sepedas Padi terlalu gagah berani dan selalu mengamuk dan menyamun dan mengalahkan beberapa kampung maksudnya hendak mengambil harta orang di kampung itu. Adalah kelakuannya selaku orang merampok sahaja. Apalagi orang di situ pada masa itu belum beragama Islam betul sebagai sekarang ini. Hanyalah adat secara Melayu pada zaman itu sahaja.
Kedatangan Sutan Harimau dari Aceh
Adapun saudara yang perempuan dari Sutan Sepedas Padi yang berkawin dengan anak Sutan Panglima Dalam, maka mendapat anak seorang laki-Iaki bemama Sialam (yaitu kemenakan dari Sutan Sepedas Padi). Syahdan telah beberapa lamanya Sutan Sepedas Padi memerintah di Kota Sembahyang Tinggi maka datanglah satu orang keramat, kabarnya bangsa Arab datang dari Aceh, bergelar Sutan Harimau, lagi beragama Islam. Adapun Sutan Harimau datang itu khabarnya dua bersaudara sama laki-laki. Yang tua bergelar Sutan Janggut, itulah yang ke Rokan Kanan, yang mengislamkan orang Rokan Kanan. Dan yang mudanya ialah Sutan Harimau yang masuk ke Rokan Kiri, ialah yang mengislamkan orang Rokan Kiri. Maka adalah datangnya itu dari Bagan Siapi-api. Sepanjang khabar orang tua-tua, setelah keduanya sampai pada Kuala Sako. yaitu pertemuan Rokan Kiri dan Rokan Kanan, maka keduanya pun bermufakatlah di situ, siapa yang akan masuk ke Rokan Kanan dan siapa yang akan masuk ke Rokan Kiri.
Kata sahibul hikayat maka ditimbanglah air Rokan Kiri dan Rokan Kanan itu. Maka beratlah air Rokan Kiri. Jadi, kata Sutan Janggut, Sutan Harimaulah yang akan masuk ke Rokan Kiri. Adapun Sutan Harimau mudik itu, ialah singgah-singgah di mana Kampung Nan Enam sekarang, lalu meninggalkan enam kelamin temannya di situ. Itulah asal orang Kampung Nan Enam sekarang. Kemudian, mudik juga Sutan Harimau, lalu singgah di seberang Lubuk Bendahara sekarang, membuat tempat sembahyang di situ. Sudah itu, Sutan Harimau pun mudik juga sehingga Kota Sembahyang Tinggi, lalu menghadap kepada Sutan Sepedas Padi di Kota Sembahyang Tinggi.
Arkian, maka setelah setahun dua tahun Sutan Harimau tinggal di Kota Sembahyang Tinggi bersama dengan Sutan Sepedas Padi, dan Sutan Harimau pun terlalu hormat kepada Sutan Sepedas Padi. Oleh sebab itu, lembutlah hati Sutan Sepedas Padi kepada Sutan Harimau. Tambahan pula, Sutan Harimau itu banyak ilmunya. Jadi, Sutan Sepedas Padi pun bergurulah kepada Sutan Harimau segala ilmu dunia, seperti ilmu kuat dan tahan kulit dan lain-lain. Begitu juga segala rakyat di Kota Sembahyang Tinggi. Dalam pada itu Sutan Harimau pun terus mengajarkan ilmu agama Islam, dengan mengerjakan syahadat dan sembahyang lima waktu dan lain-lain perkara agama seberapa bisa pada zaman itu. Mulai pada waktu itulah orang memakai Agama Islam di Luhak ini sehingga sampai sekarang ini.
Kemudian, sehabis orang Kota Sembahyang Tinggi masuk agama Islam maka Sutan Harimau pun mufakatlah dengan Sutan Sepedas Padi hendak memperbuat pegawai agama, yaitu Imam, Khatib, dan Bilal, serta Mungkin bagi jumat. Dan Sutan Sepedas Padi pun sukalah menerima mufakatan itu. Maka teruslah Sutan Sepedas Padi membuat Imam. Khatib. Bilal, dan Mungkin. Dan orang pun mulailah mengerjakan jumat di Kota Sembahyang Tinggi. Dalam hal yang demikian Sutan Sepedas Padi pun tetaplah memerintah di Kota Sembahyang Tinggi. Maka adalah Sutan Harimau itu mencari orang yang belum Islam juga supaya diislamkan.
Syahdan orang Kota Sembahyang Tinggi pun pergilah mencari orang yang belum Islam itu. Dan bertambah-tambah ramai jugalah Kota Sembahyang Tinggi karena orang datang bertambah-tambah juga. Pada ketika itu penuhlah Kota Sembahyang Tinggi oleh orang. Maka terbitlah pikiran oleh Sutan Sepedas Padi dan orang besar serta segala rakyat di Kota Sembahyang Tinggi hendak menambah negeri yang agak jauh sedikit dari Kota Sembahyang Tinggi supaya senang berladang pada hutan dan ladang. Pada ketika itu putuslah mufakat bahasa Kota Sembahyang Tinggi akan ditinggalkan dan akan membuat negeri empat buah dan akan didirikan orang besamya empat orang. Dan ditentukan pula orang yang akan mencari tanah negeri yang empat itu. Menurut keputusan mufakat itu ialah Imam akan pergi ke hilir akan mencari tempat negeri itu. Dan Khatib akan pergi ke mudik sungai Rokan. Dan Bilal akan mudik Sungai Siasam yang sekarang dengan setengah Mungkin. Sehabis itu, maka keempat orang itu pun teruslah mencari tanah yang akan dibuat negeri itu masing-masing dengan halnya.
Nama Rokan
Syahdan setelah putuslah permufakatan itu, maka Khatib pun memudikkan sungai Rokan dengan perahu bersama dengan kawannya ada dua tiga orang. Berapa lamanya naiklah ke darat seorang bemama Saidi; tempatnya naik itu ialah seberang sungai kecil yang bermuara ke Sungai Rokan, yaitu seberang Negeri Rokan yang sekarang. Maka adalah ia membawa seekor anjing naik ke darat itu buat mencari tapak negeri, mana-mana yang baik akan dijadikan negeri. Sehabis sampai di darat anjing itu pun menyalak. Apabila didengar oleh Saidi anjingnya itu menyalak, lalu dikejarnya sampai di situ. Dilihatnya anjingnya itu menyalak sepohon kayu yang dinamakan orang Garkan. Waktu itu berpikirlah Saidi dalam hatinya, "Kalau begini halnya, baiklah di sini dijadikan tapak negeri karena pada tempat ini adalah tanahnya datar dan baik rupanya."
Setelah itu, maka Saidi pun pulanglah ke negerinya hendak mengatakan halnya itu. Apabila selesai, dipanggilnyalah orang dalam negeri itu buat mengatakan sepanjang pendapatnya itu. Segala orang dalam negeri itu pun sukalah hatinya mendengarkan perkataan Saidi itu. Tidak berapa lamanya dibawanyalah lagi orang oleh Saidi beberapa orang kepada tempat yang diperolehnya itu. Sampai di situ betullah rupanya seperti kata Saidi itu. Karena itu, bersuka hatilah orang dengan menamakan sungai kecil itu sungai Rokan. Sampai sekarang bernama Sungai Rokan saja. Dan negeri itu dinamakan orang Kota Rokan Tinggi karena tanahnya tinggi daripada tanah yang ada di dekat itu.
Nama Pandalian
Adapun Bilal yang tersebut di atas tadi, mula-mula sejalan ia dengan Khatib tahadi, tetapi sampai pada sebuah sungai yang bermuara kepada Sungai Rokan sekarang ini, ia pun memudikkan sungai itu sampai pada tempat sungai itu bercabang dua. Di situ dilihatnya sepohon asam dengan mengambil buah kayu itu buat dimakannya. Tetapi, adalah lain sekali buah kayu itu karena buahnya di sebelah dahan yang satu betul asam rasanya; tetapi yang sebelah lagi manis rasanya. Sebab itu, berpikirlah ia dalam hatinya, "Kalau begitu halnya, baiklah sungai yang di sebelah itu kita namai Sungai Siasam karena buah kayu yang di sebelah itu asam rasanya. Dan sebelah hulu sungai ini kita buat negeri dengan kita namai "Pilihan" karena buah kayu ini pilih-pilihan rasanya." Karena diulangnya beberapa kali menyebut itu, karena penyebutannya itu sampai sekarang "Pandalian" sahaja; dan sungai yang secabang lagi itu bernama Sungai Pandalian. Oleh sebab itu, tetaplah di situ akan dibuat tapak negeri. Mereka itu pun mulailah menebas di situ sehingga sampai pada suatu rawang. Di tengah-tengah rawang itu terlihatlah oleh seorang-orang sebatang tebu. Lalu diambil oleh orang itu tebu itu dimakannya. Apabila dilihat oleh kawan-kawannya hal itu, lalu mengambil tebu itu pula sehingga sampai tujuh orang yang memakan tebu itu. Dan tebu itu pun habislah. Tetapi tebu sudah tentu, apabila yang di ujung ialah yang kurang manisnya. Jadi, orang yang mendapat penghabisan sekali, tidaklah mendapat tebu yang manis. Oleh sebab itu, berkatalah orang yang memakan tebu yang di ujung itu, "Adapun aku ini mendapat tebu pucuknya. Kalau begitu, besok tuan-tuan suka, jadikanlah aku ini pucuk pula."
Asal nama Si Berungut
Setelah didengar oleh orang banyak, sukalah hatinya mereka itu buat menjadikan orang yang satu ini pucuknya. Dua tiga hari kemudian itu, berjalanlah lagi orang-orang dengan beberapa kawan-kawannya kepada suatu tempat, dengan bertemulah orang itu dengan sebuah gung.[3] Bermufakatlah orang itu, kepada siapakah gung itu akan diberikan. Kesudahannya putuslah mufakat itu bahwa gung itu baiklah diberikan kepada pucuk tahadi. Sampai ke rumah pucuk itu, dipalu oranglah gung itu. Jadi, bunyilah gung itu, demikianlah, "Nguk". Sampai sekarang tetaplah nama gung itu seperti bunyinya, yaitu nguk-nguk. Dengan kekal sahaja lagi siberungut dengan ada juga lagi gung itu di sana.
Asal nama Sikebau
Adapun Mungkin yang tersebut di atas ini, iapun juga memudikkan Sungai Siasam. Tetapi, sampai pada suatu tempat yang ada bunyi air berdebau-debau, singgahlah ia di situ dengan memandang-mandang kiri dan kanan. Sedang ia memandang-mandang itu berkatalah seorang kepada kawannya bahwa tempat itu baik akan tempat membuat kampung. Oleh sebab itu, menebaslah segala orang itu buat menjadikan tapak negeri. Jadi, setelah sudahlah negeri itu, dinamailah negeri itu Sikebau karena menurut bunyi air itu.
Nagari Koto Kaciak (Negeri Koto Kecil)
Adapun Imam yang tersebut di atas ini lebih dahulu sebelum ia berjalan itu, ia berkata-kata dengan Sutan Harimau, menanyakan perjalanan Sutan Harimau itu. Sekalian ceritera Sutan Harimau itu pahamlah sudah oleh Imam itu sekaliannya. Sudah itu Imam itu pun hilirlah dengan sebuah perahu; sampai ia pada suatu tempat yang ada baik tanahnya dengan datarya. Di situlah Imam itu membuat tapak negeri dengan menebas, serta negeri itu dinamainya Kota Kecil karena negeri itu masih kecil saja.
Syahdan tiada berapa lamanya telah selesai masing-masing menebas tempat negeri itu. Maka sekalian mereka yang tersebut berkumpullah kembali ke Kota Sembahyang Tinggi menghadap Sutan Sepedas Padi dengan orang besar-besar. Imam, Khatib dan sekaliannya bermufakatlah hendak menderitakan Datuk Andiko atau Wazir[4] Raja Empat Orang, yaitu seorang di Negeri Rokan, yang dibikin oleh Khatib yang tersebut di atas. Seorang untuk di Pandalian, dan seorang untuk di Sikebau, dan seorang untuk di Kota Kecil. Setelah setuju pemufakatan itu, maka Andiko yang tersebut didirikanlah pada ketika itu oleh Sutan Sepedas Padi. Maka yaitu di Rokan bergelar Datuk Bendahara Muda; dan di Pandalian bergelar Datuk Bendahara Sakti, dan di Sikebau bergelar Datuk Bendahara Itam atau Bendahara Muda. Sehabis itu orang pun berjamu makan minum di Kota Sembahyang Tinggi. Kemudian, setelah selesai itu jamuan, maka orang Kota Sembahyang Tinggi pun pindahlah pada negeri yang empat yang diperbuat oleh Imam, Khatib, Bilal, dan Mungkin yang disebut di atas.
Batu Gulung Tikar dan Sungai Peratapan
Hatta, maka diceritakan orang pula keadaan dan kelakuan orang-orang Kota Sembahyang Tinggi pada waktu akan bercerai itu, meninggalkan Kota Sembahyang Tinggi, akan pindah pada negeri yang empat yang diperbuat oleh Imam, Khatib, Bilal, dan Mungkin yang tersebut di atas ini. Maka pada ketika itu orang Kota Sembahyang Tinggi terlalu hiru hara karena akan berbagi-bagi. Maka segala orang laki-Iaki dan perempuan semuanya menangis sehingga bersesak-sesak ke istana, segala mereka itu. Dengan berhimpun-himpun segala mereka pada suatu kuala sungai keciI, dengan menangis dan meratap jugalah. Dengan takdir Allah jatuhlah ke dalam sungai itu satu orang yang membawa gulung tikar, hingga menjadi batu, sehingga sampai sekarang masih ada batu itu dinamakan orang batu gulung tikar. Dan, sungai itu dinamakan orang Sungai Peratapan karena tempat orang meratap di situ.
Ihwal Sungai Pusu
Adapun setengahnya meratap dan menangis pula dengan berpusu-pusu. Segala orang itu sampai pada suatu sungai kecil yang dinamakan orang Sungai Pusu. Adapun sebabnya sungai itu sampai sekarang bernama Sungai Pusu, ialah karena itu orang menangis dan meratap hal keadaannya berpusu-pusu di situ.
Sehabis itu sekaliannya pun teruslah berjalan masing-masing kepada negeri yang dimaksudnya. Setengahnya mudik ke Rokan Tinggi, setengahnya hilir ke Kota Kecil. Setengahnya mudik ke Pandalian, setengahnya mudik ke Sikebau. Oleh sebab hal yang demikian, mulai dari zaman yang disebut sampai sekarang, Luhak Rokan ini dinamakan orang Rokan Ampek Koto, sebab empat koto yang mula-mula diperbuat oleh orang Kota Sembahyang Tinggi. Maka Datuk Koto Nan Ampek itu disamakan hak dan kuasanya dari dahulu sampai sekarang ini.
Adapun orang mula-mula pindah ke Negeri Rokan Tinggi, yaitu di seberang Negeri Rokan yang sekarang, ialah
- Raja, yaitu Sutan Sepedas Padi dengan ahlinya,
- Suku Melayu,
- Suku Mais dan Mandahiling,
- Suku Bindang,
- Suku Ceniago, [mungkin maksudnya Chaniago]
- Suku Patapang [mungkin maksudnya Pitopang]
Adapun orang yang mula-mula pindah ke Negeri Pandalian, yaitu
- Suku Patapang,
- Suku Mais,
- Suku Mandahiling,
- Suku Kuti,
- Suku Paliang, [mungkin maksudnya 'Piliang]
- Suku Melayu,
- Suku Ceniago.
Adapun orang yang mula-mula pindah ke Negeri Sikebau, yaitu
- Suku Patapang,
- Suku Mandahiling,
- Suku Melayu,
- Suku Kuti.
Adapun orang yang mula-mula ke Kota Kecil, yaitu
- Suku Melayu,
- Suku Mandahiling,
- Suku Patapang.
Tetapi sampai orang yang tiga suku ini ke Kota Kecil, dalam 4 atau 5 bulan lamanya, maka bertemulah pula dengan kaum orang, rupanya memang sudah berladang-Iadang juga di situ.
- Suku Paliang, fihak Tumenggung Antah Seratus, berladang di Padang Sirayung.
- Suku Ceniago fihak nenek Rangkaya Rando, berladang di Kubu Sopan pada Sungai Ngoso.
- Suku Nan Seratus, berladang di Pelamiean di Hulu Siki.
Jadi, pada ketika itu sekalian orang yang tiga suku yang tersebut di atas, telah mufakat dengan orang yang tiga suku yang tersebut pindah pula ke Kota Kecil. Jadi, suku orang di Kota Kecil enam suku. Maka inilah asal Suku Nan Enam di Kota Kecil.
Syahdan apabila telah siaplah bertunggu negeri yang empat yang tersebut di atas ini, maka datuk yang berempat serta tua-tua suku yang tersebut berkumpul kembali menghadap Sutan Sepedas Padi di Kota Rokan Tinggi buat mufakat akan mendirikan penghulu-penghulu tiap-tiap suku dan hulubalang dan pegawai, yaitu imam, khatib, dan bilal. Sehabis mufakat itu orang dan Sutan Sepedas Padi pun mendirikan penghulu-penghulu pada tiap-tiap suku dalam negeri yang empat dan hulubalang dengan pegawainya. Sehingga sampai sekarang ganti-berganti di negeri yang empat yang tersebut di atas.
Hatta, telah selesailah negeri yang empat yang tersebut di atas didiami oleh penduduknya. Maka Sutan Sepedas Padi pun tetaplah memerintah di atas datuk-datuk yang berempat, berkedudukan di Kota Rokan Tinggi bersama dengan saudara dari kemenakannya yang tersebut pada permulaan buku ini.
Sutan Harimau Gaib
Adapun Sutan Harimau turut juga pindah ke Kota Rokan Tinggi bersama dengan Sutan Sepedas Padi. Syahdan, pada waktu itu ada lagi satu banjar dalam Sungai Pusu yang belum lagi Islam orangnya. Oleh sebab itu, Sutan Harimau pun bersembahlah kepada Sutan Sepedas Padi hendak pergi ke tempat itu. Dan Sutan Sepedas Padi pun izinkan. Sehabis itu Sutan Harimau pun berjalanlah ke banjar itu dengan tiga orang kawannya. Sesampai Sutan Harimau pada banjar itu, Sutan Harimau pun terus memasukkan orang itu kepada agama Islam. Kemudian daripada itu, Sutan Harimau berjalan juga menghilirkan dan memudikkan Sungai Pusu itu, mencari orang yang belum Islam. Rupanya tiada lagi. Oleh sebab itu, Sutan Harimau bertemu dengan suatu sungai yang kecil yang berkuala pada Sungai Pusu itu, sebelah kiri mudik. Dengan memudikkan itu sungai kira-kira satu tanjung, Sutan Harimau pun naik ke darat dengan membawa satu bilah senjata, namanya lembing dan satu tasbih. Kira-kira delapan depa Sutan Harimau ke darat, Sutan Harimau pun sembahyang pada tempat itu. Akan senjata dan tasbih yang dibawanya itu tinggallah itu. Dalam sembahyang itu Sutan Harimau pun gaiblah. Dengan sebab itu heranlah mereka tahadi, serta dicarinya keliling tempat itu tiada bertemu lagi. Sehabis itu, maka kawannya itu pun terus kembali ke Kota Rokan Tinggi, serta dipersembahkannya khabar itu kepada Sutan Sepedas Padi.
Arkian, kembalilah ceritera kepada Sutan Sepedas Padi yang memerintah di Kota Rokan Tinggi, serta dengan negeri yang empat. Tiada berapa lamanya, Sutan Sepedas Padi pun sakit lalu terus mangkat. Maka tinggallah kemenakannya yang bernama Sialam, berumur kira-kira 23 tahun. Ialah yang tinggal memerintah di Kota Rokan Tinggi. Adapun Sutan Sepedas Padi khabarnya memerintah ada kira-kira 53 tahun baru berpulang kerahmatullah.
Nagari Labuak Bandaro
Maka tersebutlah Negeri Kota Kecil akan diubah namanya Negeri Lubuk Bendahara. Telah 4 atau 5 bulan lamanya Negeri Kota Kecil telah didiami orang. Pada suatu hari, pergilah bini Datuk Bendahara itu mandi pada pangkalannya dengan membawa 1 orang anaknya. Tiba pada pangkalan itu terlihat olehnya pada tepi air itu sehelai tikar. Sebentar itu juga diletakkannya anaknya pada tikar itu. Maka ia pun mandi dan berlimau dan menyelam-nyelam. Sedang ia mandi itu, anaknya itu pun sudah hilang dibawa oleh tikar tahadi. Tahulah ia bahwa yang tahadi bukanlah tikar, hanyalah seekor ular yang bernama ular bidai. Setelah itu berkumpullah orang sekaliannya buat mencari anaknya itu, tetapi tiada dapat. Oleh sebab itu, maka Negeri Kota Kecil beralih nama jadi Lubuk Bendahara karena anak Datuk Bendahara hilang dibawa oleh ular Bidai tadi ke dalam lubuk pada pangkalan Datuk Bendahara itu.
Demikianlah halnya Luhak Rokan dalam diperintah Sutan Sepedas Padi yang mangkat di Kota Rokan Tinggi.
----------
Disalin dari kiriman FB: Ammar Syarif
Catatan Kaki oleh admin:
[1] Pada masa sebalum Gerakan Kaum Putih (Paderi), Adat Minangkabau masih diselimuti kebatilan. Salah satunya ialah kebiasaan berjudi dan minum tuak. Gelanggang ialah tempat bermain, biasanya kepunyaan nagari. Namun bagi beberapa orang kaya dan terpandang serta memiliki pengaruh dalam sosial, ekonomi, budaya, dan politik telah menjadi 'adat' bagi mereka untuk membuka gelanggang di hadapan rumah isterinya. Tujuannya ialah untuk mencarikan calon suami bagi Si Anak Gadis atau merayakan hari pernikahan/ pertunangan. Kisah sama juga kita dapati dalam "Hikayat Cindua Mato". Namun setelah "Pemurnian" yang dilakukan Paderi, adat yang bertentangan dengan Hukum Syari'at "dibuang" oleh orang Minangkabau. Syari'at ialah sumber dari segala sumber hukum.
[2] Dalam Adat Minangkabau terpantang (dilarang/haram) Meminang seorang perempuan yang sedang dalam "hetongan" atau proses pinangan. Hal mana hal tersebut bersesuaian dengan Hukum Syari'at. Dan kisah pada naskah ini tampaknya semasa yang 'haq' masih bercampur dengan yang 'bathil' .
[3] Gung, kemungkinan (masih perlu penyidikan) yang dimaksudkan ialah Aguang. Sejenis alat musik pukul yang kurang lebih sama dengan 'Gong' di Tanah Jawa
[4] Wazir berasal dari Bahasa Arab yang berarti 'Menteri'