Pict: kompaskompas |
Ciloteh Tanpa Suara#12- Membaca buku “Het rechtsleven bij de Minangkabausche Maleiërs” [Kehidupan Hukum Dikalangan Melayu Minangkabau], yang ditulis oleh Mr. G.D. Willinck, pada tahun 1909. Mr. G.D. Willinck bertugas di Minangkabau sebagai Raad Van Justtie (Dewan Hakim) sejak 15 Maret 1906.
Dia menuliskan adat Minangkabau salah satu adat tertua di dunia dan dia membandingkan persamaanya dengan nagari “Korintus” nagari tertua di Yunani-Roma.[1]
“Welke rechters ook in een kwestie betrokken werden, steeds fungeerden in de Korintji-landen de niniks en mamaqs van partijen, dus hare familiehoofden als bijzitters. De hoogste rechter in de Korintji-landen was altijd het college van de Dipati rum ampat, de rechtbank bestaande uit de vier hoogste mendopo-hoofden”.
[Artinya]: Terlepas dari hakim mana yang terlibat dalam suatu perkara, di nagari-nagari Korintus, ninik dan mamak para pihak, yaitu kepala keluarga mereka, selalu berfungsi sebagai hakim. Pengadilan tertinggi di negeri Korintus selalu merupakan dewan “Dipati nan ampat”, yaitu pengadilan yang terdiri dari empat pemimpin tertinggi mendopo. (apakah sama dengan urang ampek Jinih ?)
“Overbodig bijna is het te vermelden, dat de adat weer altijd zeer sterk was in het uitdenken van allerlei fraaie klanken en woorden, in welke aan de Minangkabausche rechters werd voorgeschreven om, zooals wij ons zouden uitdrukken, naar plicht en geweten en dus niet willekeurig hun taak te ver vullen.”
[Artinya]: Tidaklah berlebihan untuk menyebutkan bahwa adat selalu sangat kuat dalam menciptakan segala macam suara dan kata-kata yang indah, yang di dalamnya hakim-hakim Minangkabau diperintahkan, sebagaimana kita akan mengekspresikan diri, sesuai dengan tugas dan hati nurani dan oleh karena itu tidak sembarangan tugas untuk memenuhinya. Hal ini tergambar dalam pantun berikut:
Mancampak tibo kahulu,
Kanailah anak garundang ;
Opokoh cupak di panghulu ?
Bakumain Undang-undang
Isi dua baris pertama tidak ada hubungannya dengan dua baris berikutnya; Baris-baris pertama itu hanya disusun demi sajak. Terjemahannya adalah sebagai berikut: ketika seseorang memancing di hulu sungai, ia menangkap anak gerundang [cebong] muda. Apa saja peraturan yang harus dipatuhi oleh seorang panghulu? Dia harus berlaku adil menurut hukum (Undang-undang). Semua peraturan yang indah ini hampir selalu merupakan pasangan dari pituah yang telah disiapkan, yang di dalamnya digambarkan hubungan timbal balik antara keluarga dan kerabat suku.
Mencampak ialah menyerakkan (mencampakkan) jala. Ke hulu yaitu ke hulu sungai, yaitu ke air yang jernih. Ini adalah menjadi bayangan, yang bahwa adat dan pengajiannya tak obahnya sebagai jala. Adat berpusat tempat berkumpulnya segala tali yang telah disirat menjadi jala. Begitu pulalah segala yang disusun menjadi adat dalam pengajian adat dan pemakaiannya adalah berpusat satu pula sebagai jala itu, yaitu BENAR. Benarlah yang menjadi pusat adat dan pemakaian adat untuk diperpegangi rakyat Minangkabau yang bersifat Demokrasi (tuah di sakato) yang diatasnya BENAR.
Jala mempunyai mata yang bukan sedikit dan tak dibilang orang (tak terbilang). Seperti itu pulalah pengajian adat, tak terbilang banyaknya dalam berbagai soal. Begitu banyaknya mata jala, semuanya terjalin dengan teratur bersangkut paut menjadi satu pusat dan ditepinya diberati dengan bungkal logam yang berat, yang gunanya segala mata yang berangkai-rangkai itu adalah pengepung segala yang dibawahnya. Sesuatu yang hendak lari dari jala itu jika keadaannya tak lulus dimata jala itu, pasti akan binasa dan tak akan terlepas dari lingkungan rantai; kecuali lari ke pusat jala. Seperti itulah adat dan pengajian adat, yang mana, adat adalah aturan dalam negeri Minangkabau dibidang pemerintahan dan masyarakat pada masa dahulu sebelum kedatangan penjajah kafir. Aturan adat tak obahnya seperti satu jala yang banyak itu, guna memelihara agar segala kesalahan tak terlepas dari bungkal jala, yaitu hukuman dan sangsinya. Tiap-tiap kesalahan akan kandas untuk lari dan akan terpaut pada mata jala (undang-undang) yang dilanggarnya dan pelanggarnya akan menderita keberatan bungkal (rantai), yaitu sangsi dari kesalahannya.
Diwujud dengan sebelah ke hulu ialah kejernihan. Undang-undang yang diibaratkan kepala jala itu gunanya ialah menjaga kejernihan agar kekeruhan dapat diatasi dengan hukum; dan dalam yang jernih itu dapat pula oleh Undang-undang Adat mengepung yang sehalus-halus kesalahan dimana diibaratkan sebagai anak garundang [cebong] seperti kesalahan dalam pergaulan bermasyarakat, seperti tak mau beriyo-bertidak (musyawarat) dapat díperbaikí dengan sangsinya sebagai hukuman menurut adat Alam Minangkabau. Begitulah susunan dan aturan yang sangkut bersangkut seperti jala itu, untuk mengatur dan membatasi segala sesuatunya agar jangan melanggar jalan yang benar.
Apakah cupak di Penghulu, ialah apa yang menjadi ukuran oleh penghulu dalam melaksanakan tugasnya terhadap segala kewajibannya kepada anak kemenakan korong kampung dusun dan negeri. Penghulu itu tak dapat berbuat dan menghukum menurut kemauannya saja, hanya adalah undang-undang adat yang telah tertentu yang akan dijalankannya. Didalam undang-undang itu cukup tersusun segala aturan dan hukuman maupun dalam hukum pidana ataupun hukum perdata menurut adat Alam Minangkabau. Apakah cupak di penghulu berkumain undang-undang, yaitu mempergunakan undang-undang, tidak boleh mempergunakan kehendak hati yang bukan didalam undang-undang.
Berkumain ialah memakai dan mempergunakan undang-undang di satu satu bidangnya masing-masing, bukan segala sesuatunya dilaksanakan dengan agak-agak dan kira-kira pemikiran sendiri saja. Dengan kata demikian maka terkumpullah pengajian adat atas empat garis besar, yaitu penghulu, kedua pengajian cupak, ketiga pengajian adat, keempat pengajian undang-undang.
Berikut beberapa peraturan yang dimaksud:
Manimbang, samo barek.
Maukua samo panjang,
Para hakim harus selalu menggunakan takaran dan timbangan yang sama ketika menimbang dan menimbang perkara, dengan kata lain mereka tidak boleh menimbang perkara salah satu pihak lebih berat atau menganggapnya lebih rendah dibandingkan dengan perkara pihak lain. “Taraju nan indak bapaliang”.
Mereka tidak pernah diperbolehkan menggunakan timbangan yang cenderung miring hanya ke satu sisi, “Taraju nan bagatok”, tapi selalu yang menggantung tepat. “Nan bertiru bertuladani”. Cetakannya harus selalu benar-benar sesuai dengan cetakannya, dengan kata lain kalimatnya harus sesuai dengan adat.
Jauah dapek ditunjukan,
Ampia dapek dikakokkan;
Hakim tidak pernah mementingkan penampilan, sehingga yang jauh harus ditunjukkannya, tetapi yang dekat harus ia rasakan dan tangani sendiri.
Gantang nan piawai
Bungkal nan betul.
Dalam perkara berat hakim harus selalu menggunakan gantang asli murni (cupak), dalam perkara denda yang benar, berat emas asli. Singkatnya, kedua belah pihak harus memiliki bobot dan ukuran yang setara.
Cupak Ussali,
Cupak nan babuek.
Hakim harus berbuat adil menurut undang-undang, menurut asal usul nenek moyang, dan bukan menurut wawasannya sendiri, serta selalu membagi takaran yang diisi di atas secara merata, yaitu tidak meninggalkan “kepala” kepada salah satu pihak selama ia mengambil ukuran untuk yang lain, diturunkan secara horizontal dari atas.
Terakhir, kami harus menyebutkan di sini, bahwa jika suatu perselisihan sampai pada titik dimana perselisihan itu harus diselesaikan secepat mungkin oleh para kepala suku, tidak semua pihak mempunyai “persona standi in judicio” (berwenang untuk bertindak selaku pihak, baik selaku penggugat maupun selaku tergugat). Hal ini khususnya selalu dirahasiakan dari perempuan dan anak-anak. Mereka tidak pernah bisa mengambil tindakan hukum, bahkan dalam proses pidana. Hal ini selalu diungkapkan dalam metafora berikut:
ajam batino indak buliah
naika ka galanggang,
Seekor ayam tidak akan pernah bisa memasuki arena gulat yang digunakan untuk sabung ayam. Mamaknya selalu harus bertindak untuknya dalam segala hal. Hanya jika tidak ada kerabat laki-laki, perempuan tersebut diperbolehkan hadir di pengadilan sebagai penggugat atau tergugat; maka merpati bisa menjadi perampas menurut pepatah. Namun kamanakan laki-laki dewasa pun tidak pernah mampu melakukan gugatan yang melibatkan unsur harta keluarga, harto pusako.
Oleh karena itu, perselisihan semacam ini hanya dapat ditangani oleh mamak pihak-pihak yang terlibat. Hingga saat ini, kasus hukum di Pantai Barat Sumatera [sekarang: Provinsi Sumatera Barat] masih berpegang pada kaidah hukum acara Minangbau lama. Hanya perselisihan yang terjadi mengenai harto pantjarian [harta pencaharian] pemilik barang-barang itu sendiri, serta segala perkara pidana yang melibatkannya, diperbolehkan ditangani oleh laki-laki, bahkan tanpa harus dibantu oleh mamaknya. Yang terakhir selalu berbicara sendiri. Lagipula, seorang pembalas hanya harus berurusan dengan orang yang telah menyinggung perasaannya. Namun, jika dia perempuan, mamaknya harus membela dirinya. Para mamak yang terlibat juga selalu tampil untuk anak-anak. Kini kita harus mencoba mengingat kembali jalannya proses Minangkabau pada masa adat. Setelah kedatangan kami di negeri-negeri Minangkabau, hanya ada sedikit perubahan dalam rapat-rapat tersebut, yang sebelum tahun 1875 diselenggarakan di bawah pimpinan pejabat administratif kami.
Saiful Guci-29 Mei 2024
==========
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Korintus (bahasa Yunani: Κόρινθος, Korintos; bahasa Latin: Corinthus) adalah kota kuno yang pernah menjadi salah satu kotapraja di Satuan Daerah Korintia, Daerah Administratif Peloponesos, kawasan tengah-selatan negara Yunani. Kota ini didirikan pada Zaman Neolitikum sekitar tahun 6000 SM (Selengkapnya lihat wikipedia)