Pict: Suara Islam |
CTS #6 : ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI ADAT
Oleh: Saiful Guci Dt. Rajo Sampono
Ciloteh Tanpa Suara- Dalam postingan “CARA MENDAPATKAN GELAR RAJA ATAU SUTAN” saya menulis : Di nagari saya Pandai Sikek, setelah acara menikah Sang Marapulai tidak bisa serta - merta langsung ke rumah pengantin perempuan (anak daro) harus dilakukan dulu prosesi adat pemberian gelar di rumah pengantin laki-laki (marapulai) dengan disebut acara “Makan Singgang Ayam “. Ini membuktikan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat” dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kemudian ada saran dari Ardi Mak Itam :” Adaik basandi sarak, sarak basandi kitabulah tuak, koreksi tulisan diateh senek."
Filosofi “Adat Basadi Syarak, Syarak Basandi Adat” khususnya dalam proses perkawinan di Pandai Sikek masih dipakai sampai sekarang. Misalkan, seorang Ayah baik dia berpangkat seorang penghulu atau Tuanku Lareh, apabila mempunyai anak perempuan, ingin mengambil menantu baik orang kampung maupun kemenakan kandungnya sendiri (anak kakak/adik perempuannya) dari segi syarak dan adat diperbolehkan dan ini adalah pernikahan ideal (pulang ka anak mamak, atau pulang kabako). Walaupun Ayah dari anak perempuan orang berpangkat dan orang berada, sang ayah tak dapat semena-mena terhadap anaknya untuk langsung menikahkannya dengan kemenakan kandungnya. Kalau hal ini tetap dilangsungkannya tanpa proses adat, maka kedua keluarga dapat dibuang dan di tinggalkan sepanjang adat.
Proses adat yang harus dilaksanakannnya .:
1. BAUNDI. Prosesi ini adalah mancarikan calon jodoh anak dengan melibatkan bako, dengan mengadakan pertemuan antara bako, mamak, dan bapak.
2. MANANYOI. Mananyoi (menanyakan) ke calon, biasanya 3 kali, dilakukan oleh perwakilan keluarga perempuan, Kenapa 3 kali, biasanya pertemuan pertama adalah dijawab bapikie maksudnya minta waktu berfikir, kedua mapaiyokan - mengatakan kalau mengiyakan, ketiga mambari kato putuih - memberikan kata kalau sudah pasti calon tersebut diterima.
3. MAPAIYOKAN. Mengirim utusan ke rumah calon untuk menanyakan kapan waktu batando (bertunangan). Kemudian mampaiyokan kapada dunsanak (keluarga) dan bako (keluarga ayah) bahwa apa yang dinginkan dikabulkan oleh pihak calon. Biasanya pada tahap ini dilakukan memilih hari, dan bulan yang baik.
4. MAANTA TANDO. Dua orang perwakilan keluarga perempuan, mengantarkan Tando, yang ditutup dengan kain panjang batik. Tando berupa : emas, ditambah perunggu, kain songket dan sirih pinang selengkapnya. Diterima bersama bako si laki-laki dibuka dan dilihat bersama-sama.
5. MAMBALIAKKAN TANDO. Acara ini diadakan oleh pihak cowok, yaitu makan minum, dengan adanya bako, lalu diperlihatkan Tando dari pihak perempuan bersama-sama, lalu ditambah oleh pihak laki-laki. Setelah itu di tentukan hari baralek (hari nikah). Setelah ditentukan dan tando ditambah, maka dua orang perwakilan dari keluarga laki-laki mengantarkan kembali tando ke pihak perempuan. hal ini dilakukan 3 hari kemudian
6. MAULAK. Dilakukan satu bulan sebelum acara pernikahan, pihak laki-laki mengirimkan utusan untuk memastikan kembali tanggal pernikahan, dan mampaiokan (mengatakan kepada seluruh keluarga dan bako kepastian)
7. NIKAH. Nikah biasanya diadakan di masjid atau di kediaman pihak perempuan. Sampai ketujuh ini namanya “Adat Basandi Syarak”. Sesuai dengan pantun-pantun pepatah petitih Minang yang mengatakan :
Cukuik syaraik pai ka Makah
Jalankan parintah baibadaik
Wajib nikah karano sunnah
Sumarak alek karano adaik
8. MAKAN SINGGANG AYAM. Setelah acara menikah sang marapulai tidak bisa serta-merta langsung kerumah pengantin perempuan (anak daro) harus dilakukan dulu PROSESI ADAT KEMBALI dengan acara pemberian gelar di rumah pengantin laki-laki (marapulai) dengan disebut acara “MAKAN SINGGANG AYAM “
9. MANJAPUIK MARAPULAI saat makan singgang ayam oleh pihak perempuan dijemput marapulai, marapulai diantar oleh Sikaliak.
10. BARALEK. Pagi, Anak daro (mempelai wanita) di arak dari rumah bako ke rumah mempelai. siang baralek adat padusi, yang artinya tamu hanya perempuan dari keluarga dan bako.
11. BAKATUNDUAKKAN. Penganten Perempuan dan pengiring pergi kerumah laki-laki, menjunjung (membawa) pinyaram dan nasi lamak. Setelah sampai dirumah laki-laki Makan nasi katundukan, penganten duduk bersanding. Lalu dilanjutkan dengan Arak-arakan berangkat ke rumah bako penganten laki-laki. Seteah selesai dari rumah bako laki-laki Kemudian keluarga laki- laki mengantarkan padi dalam ketiding kerumah pengatin perempuan.
12. MAKAN PISANG.Pihak laki - laki mengantarkan bali pisang. Berupa baju pr sapatagak plus uang. bali pisang maksudnya adalah anak perempuan yg sudah dinikahi, sapatagak maksudnya adalah satu set pakaian.
13. BATANDANG AMAI.Kira-kira enam orang membawa limpiang sipuluik ke rumah pengantin laki-laki. Lalu pada pihak laki-laki Sesudah menjamu, dilanjutkan kerumah bako nan laki-laki.
14. BATANDANG. Sama dengan diatas, akan tetapi membawa junjungan dengan jumlah yang lebih banyak
15. MAIMBAU MAKAN. Menjamu laki-laki dan perempuan, pasambahan oleh para tetua pertanda saling menyerahkan dan menerima anak. Proses ini adalah rombongan laki-laki dan perempuan dari pihak mempelai laki-laki datang kerumah perempuang. Ini dilakukan seminggu setelah baralek.
Artinya acara beradat enam tingkatan sebelum nikah (syarak) dan setelah nikah kembali prosesi adat delapan kali, Artinya “Syarak Basandi Adat” baru mereka bersatu dalam rumah tangga.
Kawin Sasuku
Pada tahun 1930 di Pandai Sikek ada seorang penghulu melakukan perkawinan suku yang sama. Minangkabau menganut sistem eksogami, yaitu seseorang dilarang melakukan perkawinan yang memiliki suku yang sama, ia harus menikah dengan seseorang diluar sukunya. Penghulu yang melanggar adat tersebut dikucilkan dari pergaulan dan dibuang sepanjang adat.
Penghulu tersebut diadili oleh Kerapatan Nagari. Peran Kerapatan Nagari yaitu sebagai pemberi keputusan berdasarkan mufakat dari para pihak Ninik Mamak perihal perkara perkawinan sesuku tersebut. Adapun sanksi untuk pelaku perkawinan sesuku adalah dibuang sepanjang adat, diusir dari kampung, dan hukum denda.
Dalam pembelaannya, Jika nagari kita benar-benar berpegang dengan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah ” dalam hal perkawinan tentu hal ini tidak akan dilarang, karena dalam hukum Islam tidak ada perintah larangan menikahi saudara dari garis keturunan ibu (sesuku) atau dengan kata lain saudara dari garis keturunan ibu tidak dianggap sebagai kerabat dekat yang dilarang untuk dinikahi.
Dan tindakan ini tidak terlarang oleh Agama Islam, Dia kemudian membacakan sebuah Ayat Surat An-Nisa’ ayat 23 “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Keputusan Kerapatan Adat tetap memberikan sanksi “SALUAK JATUAH, SISAMPIANG TANGGA”
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat dalam beberapa literatur.
Dalam buku Het rechtsleven bij de Minangkabausche Maleiërs, door Mr. G.D. Willinck, Oost-Ind. rechterlijk ambtenaar met verlof. Leiden, 1909. Hal 300, dituliskan bahwa:
Minangkabauërs schamper en sarcastisch dat adat en sjarak arm in arm gingen, elkaar steunden als het schaafblok het schaalijzer: “Adat bersandi sjarak- Sjarak bersandi adat; Koeat katam karena sapit - Koeat sapit karena katam”. Of men gaf toe, dat de godsdienst wel noodig was, maar onder het voorbehoud, dat de adat toch oudere brieven bezat : “Adat nan kawi, Sjarak nan laziem”. In elk geval had de sjarak altijd slechts te doceererj, te advi- seeren om het dan aan den adat over te laten of deze van de verstrekte wijsheid gediend was: “Sjarak mangato, Adat mamakai”.
Artinya; Di Minangkabau bahwa Adat dan Syarak saling bergandengan tangan, saling menopang bagaikan balok kayu pada besi timbangan: “Adat bersandi Syarak-Syarak bersandi adat; Koeat katam karena sapit-Koeat sapit karena katam”. Atau memang diakui agama itu perlu, namun dengan syarat adatnya masih ada huruf-huruf yang lebih tua: “Adat nan Kawi, Syarak dan Laziem”. Bagaimanapun, Sharak selalu hanya mengajar, menasihati dan kemudian menyerahkan kepada adat apakah dia menyukai hikmah yang diberikan: “Syarak mangato-Adat mamakai”.
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat “ diambil dari tulisan Dt. Toeah penulis Tambo Adat Minang Kabau orang Kota Nan Gadang Payakumbuh yang termuat dalam surat kabar SOEARA MINANG Nomor 3 terbit pada hari Sabtu 27 April 1929 koran yang alamat redaksinya, Batang Agam weg Pajakoemboeh No.16.
Tulisan ini membantah dari tulisan T.Ch. A Soetan Sampono yang menulis dalam Soeara Minang Nomor 1 terbit tanggal 13 April 1929 yang menulis bahwa Minangkabau “ Adat Basandi Sjarak, Sjarak Basandi kepada Kitab Allah (Al-Quran).
Kita salin lagi tulisan Dt. Toeah :
Ingatilah oleh toean soedah beratoes ratoes tahoen Minangkabau terdiri dengan adat dan pepatahnya yang kokoh itoe, sehingga tidak satoe orang djoega jang dapat meobah adat dan pepatah itoe. Sedangkan Gouvernement sendiri jang memerintah tanah Hindia tak dapat meobahnya, tak dapat meobah pepatah adat itoe. Sehingga pertalian antara orang Belanda diseboet jadi pepatah jaitoe : Belanda berbenteng besi, Melajoe berbenteng Adat !. Dan pertalian kepada sjarak diseboet :Adat Bersendi Sjarak, Sjarak Bersendi Adat !
Tandanja pepatah jang terseboet di atas ada sebenarnja. Kalau tidak tentoe tidak akan dipakai sampai sekarang, karena pepatah adat bersendi sjarak, sjarak bersendi adat itoe dikeloearkan oleh orang toea-toea Minangkabau mulai dari abad ke-16 sampai sekarang soedah hampir 300 tahoen lamanya terdiri pepatah jang tersebut itoe, toeroen-temoeroen masih hidoep djoega pepatah ini. Kalau pepatah ini tidak benar, tentoe kita jang hidoep sekarang tidak akan menerima poesaka ini lagi. Ibarat kain kalau kain jang tjoloknja loentoer, sehingga 2 atau 3 kali pakai ditimpa hoedjan dan panas akan hilanglah warnanja. Demikian djoega pepatah itoe kalau tidak sebenarnja, tentoe tidak akan terpakai lagi sampai sekarang.
Sekarang marilah saja bawak toen kepada missal jang dibawah ini jaitoe kepada makanan dan perkawinan:
Didalam ajat Qoeran terseboet : Haram memakan daging binatang jang disembelih kalau tidak menjeboet nama Allah!
Kalau menilik boeni sjarak ini, njatalah kalau binatang soedah disembelih soedah halal dimakan. Tetapi adat tidak membiarkan pekerjaan ini; karena menoeroet adat, moesti dimasak lebih dahoeloe maka segala manoesia memakai adat ini, sedangkan bangsa biadab sekalipoen sesoedah di sembelih moesti di masak lebih dahoeloe dengan bermatjam-matjam rempah jang sekoerang-koerangnya di bakar, ini ada menoeroet adat kebiasaan masing-masingnja. Djadi perkara masak ini adalah adat dan tidak satoe ajat qoeran jang menerangkan bahwa daging itoe dimasak lebih dahoeloe baroe boleh di makan. Disini njatalah sjarak itoe bersendi adat. Djikalau ditoeroet sadja boeni sjarak itoe orang gila jang memakan daging matah atau binatang boeas.
Perkawinan
Adalah 4 orang bersaudara satoe iboe dan satoe bapa jaitoe A dan B kedoeanya laki-laki. C dan D kedoenya perempoean. Menoeroet sjarak A boleh kawin dengan C dan B boleh kawin dengan D. Tetapi adat melarang kepada perboetan sjarak, sehinga tidak satoe orang djoega di dalam doenia memboeat menoeroet sjarak ini, selainnya dari pada anak Adam masa dahoeloenja. Lebih2 di Minangkabau, sedangkan kawin satoe pajoeng sadja ada dilarang adat, sehingga kalau orang melanggar adat di boeng orang itoe, kadang2 malah dikeloerkan dalam negerinja.
Demikian djoega kalau perkawinan ini dilangsoengkan, moesti adat dipakai lebih dahoeloe, barulah sjarak itoe berlakoe. Dan kalu tidak adat dipakai lebih dahoeloe, njatalah sjarak itoe tidak akan terdjadi, jaitoe sepakat kedoea belah dihaknja dahoeloe.
Karena meingat pepatah adat bersendi sjarak, sjarak bersendi adat. Teringat poela oleh saja akan bertanya. Manakah jang toea atau dahoeloe Sjarak dengan Adat ?
Mungkin ada yang bertanya kapan dimulai “Adat basandi syarak, syarak basandi Adat ?
========
Saiful Guci, Pulutan 27 Mai 2024
========