Pict: Nagari_Shah14Nagari_Shah14 |
Citoleh Tanpa Suara - Si Tolle bertanya: Sejak kapan adanya adagium “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” ?. Statemen dasar falsafah adat orang Minangkabau, merupakan hasil pertautan adat dan Islam. Tradisi masyarakat yang telah dilakukan berulang secara turun temurun. Kata adat biasa digunakan dengan tidak membedakan antara yang punya sanksi dan tidak, sebagaimana hukum adat sedangkan yang berisi sanksi disebut adat saja.
Basandi, berarti bersendikan atau menjadi dasar dari sesuatu sehingga sesuatu itu menjadi kokoh. Syarak berarti agama Islam, Kitabullah berarti Al-Quran, sekaligus Sunnah sebagai penjelas dari Al-Quran. dengan demikian, maka Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, berarti adat Minangkabau bersendikan syari’at Islam dan Syari’at Islam bersendikan Kitabullah.
Sebelumnya falsafah yang populer di Alam Minangkabau bahwa Adat dan Syarak saling bergandengan tangan, saling menopang bagaikan balok kayu pada besi timbangan: “Adat bersandi Syarak-Syarak bersandi Adat; Kuat katam karena sapit-Kuat sapit karena katam”. Atau memang diakui agama itu perlu, namun dengan syarat adatnya masih ada huruf-huruf yang lebih tua: “Adat nan kawi, Syarak dan laziem”. Bagaimanapun, Syarak selalu hanya mengajar, menasihati dan kemudian menyerahkan kepada adat apakah dia menyukai hikmah yang diberikan: “Syarak mangato-Adat mamakai”. Mr. G.D. Willinck, dalam bukunya Het rechtsleven bij de Minangkabausche Maleiërs. (1909) hal.300.
“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat “ juga ditulis oleh Dt.Toeah penulis tambo yang termuat dalam surat kabar SOEARA MINANG Nomor 3 terbit pada hari Sabtu 27 April 1929 koran yang alamat redaksinya , Batang Agamweg Pajakoemboeh No.16. (1929)
Ada juga falsafah yang populer yaitu : ”adat basandi alua, alua basandi patuik dan mungkin”. Artinya alur jalan yang benar terentang dan terbentang, patut adalah adalah layak, senonoh,baik pantas, selaras. Sedangkan mungkin adalah menunjukkan perkiraan keadaan, pertimbangan (rasa dan daya pikir atau nalar).(Rais Dt. Simule, 2007).
Secara historis tidak ada bukti tertulis , sehingga tidak pula ada kepastian waktu, tempat, dan pelaku peristiwa pencetusan piagam sumpah satie Bukik Marapalam yang pasti. Namun masyarakat meyakini bahwa piagam sumpah satie Bukik Marapalam atau lebih populer disebut sumpah satie Bukik Marapalam disepakati oleh para pemuka adat dan ulama di puncak bukit itu masa perkembangan Islam di Minangkabau. Konsensus itu didasari oleh sifat egaliter masyarakatnya. Piagam sumpah satie tersebut diyakini berbunyi adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah disingkat dengan ABS-SBK (adat bersendi agama Islam, Islam bersendikan Al Quran.).
Namun karena berbagai versi juga ada yang menyatakan konsensus pertama antara kaum adat dan ulama berbunyi “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik” (adat bersendi agama Islam, Islam bersendi adat) seperti yang ditulis oleh Mr. G.D. Willinck dan Dt.Toeh di atas.
Tentang “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah “ mengundang munculnya beragam versi sejumlah peneliti, pemerhati agama dan adat di Minang. Terdapat banyak versi pendapat baik hasil penelitian dan seminar berkaitan dengan Sumpah Satie Bukik Marapekan Alam (Marapalam) di Puncak Pato Nagari Batu Bulek Kecamatan Lintau Utara Kabupaten Tanah Datar.
Pendapat pertama Asbir Dt Rajo Mangkuto menceritakan memiliki buku yang bertuliskan Arab Melayu tentang sejarah Bukik Sati Marapalam, yang diperoleh saat menjadi walinagari Baso tahun 1958 dan juga dimiliki 4 walinagari lain saat mengikuti suatu acara. “Peristiwa Sumpah Satie Bukik Marapalam tahun 1403 M, merupakan bentuk peralihan kerajaan Minangkabau menjadi Kesultanan Minangkabau serta menginformasikan agar masyarakat Minangkabau harus waspada tentang perang Salib"
Pendapat Kedua munculnya piagam sumpah satie terjadi pada saat Syaikh Burhanuddin menyebarkan Islam di tengah kuatnya pengaruh adat di Minang. Bahwa majunya pergantian peristiwa Islam (diprediksi terjadi pada masa Syekh Burhanuddin) sebenarnya menerapkan prinsip kesepakatan, yaitu “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”. Realitas sosial juga menunjukkan bahwa ia berhasil dalam membina golongan Sattariyah di Minangkabau, khususnya Marapekan Alam yang bertempat di kaki Lereng Marapalam. Azwar Datuak Mangiang pernah mewawancarai Inyiak Canduang (penulis buku perdamaian adat dan Syarak) pada akhir tahun 1966 di Pakan Kamih Canduang. Dalam makalah ”Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”, Azwar menyatakan persitiwa tersebut diperkirakan terjadi tahun 1644 M, jauh sebelum revolusi perkembangan Islam di alam Minangkabau oleh Kaum Paderi.
Pendapat ketiga adalah sumpah satie Bukik Marapalam menjelang dimulainya perang [Kaum Putih] Paderi. Perkembangan Paderi dilatarbelakangi oleh kebangkitan Islam oleh kaum Wahabi[1] di Tanah Suci, Arab Timur. Ajaran Wahabi menyebar ke Minang secara fundamental dan penganutnya perlu membangun kembali keotentikan Islam secara progresif. Mereka dikenal sebagai Paderi, tepatnya orang dari kota pelabuhan di Pidie, Aceh. Wilayah pertahanan yang aman bagi kaum Paderi yaitu puncak Bukit Marapalam. Tetapi mereka mengkawatirkan bertambahnya jumlah korban di kalangan masyarakat. Maka kaum paderi mempelopori perjanjian dengan kaum adat. Datuak Bandaro berinisiasi bertemu Datuak Samik untuk menyepakati perjanjian tersebut. Perjanjian itu mereka laporkan kepada Datuak Surirajo Maharajo di Pariangan. Mereka sukses menciptakan piagam sumpah satie Bukik Marapalam yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah”.
Pendapat keempat adalah Sumpah Satie Bukik Marapalam menjelang dimulainya pertempuran Paderi sekitar tahun 1803-1819. Kedua belah pihak yang bertarung adalah area kekuatan utama untuk hal yang sama. Namun kaum Paderi sering melakukan serangan mendadak ke kota-kota. Benteng pertahanan mereka di sekitar jalan Bukik Marapalam dengan membuat parit pembatas dilengkapi dengan pagar tinggi. Penduduk pribumi mengincar orang Eropa (Belanda) untuk mendapatkan dukungan dengan tujuan agar terjadi perang Paderi. Korban berjatuhan dari tiga kelompok yang bertikai. Melihat serangan Belanda lebih gencar, muncullah kesadaran kaum adat dan Paderi bergabung melawan Belanda. Disebutkan bahwa Datuk Bandaro, utusan kelompok adat, dan Tuanku Lintau, adalah tokoh yang memperlopori perjanjian di Bukit Marapalam. Realitas sosial menunjukkan bahwa Tuanku Lintau-lah yang mengkonseptualisasikan, mewujudkan, dan melaksanakan ABS-SBK.
Pendapat kelima mengungkapkan bahwa sumpah satie Bukik Marapalam terjadi pada masa jedanya perang Paderi. Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang yaitu periode gencatan senjata yang disepakati antara pasukan Belanda dengan Kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Saat itu memang posisi Pemerintah Hindia Belanda tegah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik di daerah Eropa dan Jawa (Perang Diponegoro) yang menguras dana pemerintah. Selama periode gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kesepakatan yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar. Kesepakatan ini berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" yang artinya "adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an" dan menjadi puncak revolusi Islam dalam adat Minangkabau
Dengan taktik Belanda mengkonsentrasi balatentaranya menghadapi perang Diponegoro di Jawa, maka Belanda purapura berdamai dengan kaum Paderi, sementara pihak ulama dan adat belum terjadi kesepakatan damai. Mencermati taktik Belanda maka Paderi juga melakukan islah dengan kaum adat melalui sebuah perjanjian. Perwakilan kaum adat Datuak Bandaro dan perwakilan kaum Paderi yaitu Tuanku Lintau. Perseturuan mulai reda berawal dengan adanya perjanjian tersebut, walaupun masih terjadi antara datuak dari nagari Saruaso dan Batipuah.
Pendapat keenam bahwa piagam sumpah satie Bukik Marapalam terjadi pada saat perang Paderi II. Taktik perang Belanda sukses dibuktikan dengan membawa Sentot Alibasah yang menjadi panglima perang Pangeran Diponegoro untuk melawan Paderi dan kaum Paderi kalahnya dan jatuhnya benteng pertahanan Paderi Lintau puncak Bukik Marapalam bulan Agustus 1831. Diikuti oleh dikuasinya juga oleh Belanda benteng Talawi, Bukit Kamang dan pasukan Tuanku Nan Renceh. Keseluruhan kekuatan Paderi di Agam dikuasai Belanda akhir Juni 1832. Mereka telah diadu domba oleh Belanda melalui konflik antara agama dan adat. Ternyata kaum adat dan agama telah melakukan perundingan dengan kesepakatan yang dituangkan pada piagam sumpah satie, peran penting Tunku Lintau sebagai pemerakarsa.
Pendapat ketujuh adalah piagam sumpah satie Bukik Marapalam terjadi di akhir perang Paderi. Setelah Paderi kalah dan Minangkabau di kuasai Belanda. Belanda mulai menyusun struktur sosial kemasyarakatan dengan tidak memberikan ruang untuk kaum ulama ikut memerintah dengan mengangkat Tuanku Lareh dari penghulu yang berpengaruh fabungan 2-5 nagari yang digaji f960 gulden perbulan dan penghulu pucuk kepala setiap nagari f240 gulden perbulan. Penghulu diberi bersurat guna kepentingan administrasi dan pemungut pajak. Nagari yang otonom di Minangkabau mereka jadikan wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda. Muncul kekhawatiran masyarakat kepada Belanda dengan pandangan negatif bahwa Belanda adalah kafir, dimungkin mereka mengubah tatanan sosial dan agama, mengantisipasi kekhawatiran tersebut maka terjadi perundingan mencetuskan piagam sumpah satie Bukik Marapalam.
Terlepas dari pro dan kontra tentang kapan terjadinya Sumpah Satie Bukik Marapam tersebut, yang jelas pada abad ke 19 Masehi adalah abad yang paling menentukan dalam sejarah dan kebudayaan Minangkabau. Dalam abad ini bukan saja telah terjadi rangkaian upaya pemurnian dan pembaharuan terhadap akidah dan pengamalan adat dan syarak, tetapi juga telah terjadi campur tangan kaum kolonialis Hindia Belanda yang mengadu domba kaum adat dan kaum agama, yang sama-sama menganut agama Islam.
Dalam Kajian Surau, Adat yang telah diselaraskan dengan agama itu terbagi atas tiga bahagian. Yang pertama ialah Adat yang Mutlak, yaitu pakaian yang berdiri diatas zat Tuhan semata-mata, tidak ada dipunyai oleh makhlukNya. Pakaian itu ialah sifat Tuhan yang banyaknya dua puluh. Yang kedua íalah Adat Muqayat, susunan dan aturannya dipakai mulai sejak dari yang harus dikerjakan sampai kepada yang perlu dikerjakan. Adat yang Muqayat terbagi dua pula: Adat yang Tertanzim, yaitu melaksanakan wirid yang diwarisi dari Nabi dengan rukun Islam yang lima dan rukun imannya yang enam. Adat yang Mu'tamad, yang mana sesuatunya diperpegangi dengan kata mupakat.
Yang ketiga ialah Adat Muntaniq, yaitu dipakai sejak dari yang makhruh sampai kepada yang haram. Yaitu yang dilarang syarak, dicegah oleh Allah dengan Rasul, larangan Nabi sungguh sungguh, bernama Adat Yang Seratus, disanalah perceraian adat dengan syarak. Misalnya: minum tuak, manyabuang ayam, basaluang, basarunai tetapi melaksanakan arak iriang dalam baralek dibolehkan.
Barulah pada abad-20 gerakan ke Islaman diisi banyak ulama dari kaum muda, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, H Syekah Muhammad Thaib Umar, Syekh Ibrahim Musa, H Oemar Bakri, Hamka, Zainal Abidin, Siti Beram, dan Rahmah El-Yunusiyyah.
Sejak berdirinya Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) tahun 1966. Adagium “adat basandi syarak, syarak basandi kitabbullah yang disingkat ABS-SBK” semakin kental dipakai karena baru ditemukan dalam tulisan para pakar yang bukunya diterbitkan diatas tahun 1966.
Pengukuhan Kembali ABS-SBK
Sumpah Satie Bukik Marapalam yang melahirkan filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai sebagai identitas masyarakat Minangkabau dikukuhkan kembali di Puncak Pato Nagari Batu Bulek Kecamatan Lintau Utara Kabupaten Tanah Datar, Sabtu 15 Desember 2018.
Unsur tigo Tungku Sajarangan yaitu ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai serta bundo kanduang di depan unsur masyarakat Minangkabau yang hadir, bersepakat untuk menjaga amanah Sumpah Sati Bukik Marapalam. “Tagak kami indak bakisa, duduak indak baraliah, kok hiduik ka dipakai, mati kaditumpang, kami pacik arek ganggam taguah, nan tabuhua takabek arek dalam pituah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Adaik Bapaneh, Syarak Balinduang, Syarak Mangato Adaik Mamakai”.
Isi Sumpah Satie Bukik Marapalam dibacakan oleh A. Dt Mangkhudum serta penandatangannya dilakukan unsur ninik mamak yang diwakili Ketua LKAAM Tanah Datar Hafzi Dt. Batuah, unsur alim ulama diwakili Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar, unsur Cadiak Pandai diwakili Akademisi Prof. Mestika Zed, unsur Bundo Kanduang diwakili Prof. Rauda Thaib serta disaksikan Bupati Tanah Datar Irdinansyah Tarmizi dan Dr. Yunizal Yunus dari Bakor KAN Sumbar.
Kegiatan yang merupakan rangkaian Milad ke 50 MUI Sumbar didahului dengan Muzakarah atau Seminar yang mengangkat tema “Menguatkan kembali Sumpah Sati Bukik Marapalam sebagai Prinsip Hidup Orang Minangkabau. Bertindak selaku narasumber Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, Ketua Bundo Kanduang Sumbar Prof. Raudha Thaib, Sejarahwan UNP Prof. Mestika Zed, Dr. Yulizar Yunus dan Asbir Dt. Rajo Mangkuto di Hotel Emersia Batusangkar.
Saiful Guci-27 Mai 2024
===============
Catatan Kaki oleh admin:
[1] Penggunaan kata Wahabi oleh penulis merujuk kepada sumber Barat/ Orientalis yang digunakan oleh penulis. Faham Wahabi sendiri baru masuk pada masa sekarang (sejak tahun 2000an) ke Minangkabau dengan salah satu pendiriannya yang terkenal yaitu; Haram Hukumnya melawan Ulil Amri (Pemimpin). Faham atau Manhaj ini dipakai secara resmi di Kerajaan Saudi Arabia dimana pemerintahannya dipimpin oleh Raja Yang Absolut dan tidak pernah mendapat penentangan dari para ulama. Kalau pendapat ini benar (Paderi dipengaruhi Wahabi), maka Perang Kaum Putih atau dinamai Barat dengan Paderi, tidak akan pernah terjadi karena bertentangan dengan prinsip asali mereka.
Baca Juga:
- Adat Basandi Syara' - Syara' Basandi Kitabullah (DISINI) null
- Tarikh Kaum Putih (DISINI)
- Adat Bersendi Syara' - Syara' Bersendi Adat (DISINI)