Pict: mongabay
MENGENAL TANAH ULAYAT DALAM ADAT
MINANGKABAU
Ditulis Oleh Rahmi
Murniwati, SH., MH
Diterbitkan weread.id, 26 Mei 2023
Masyarakat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal menekankan
pewarisan harta seturut garis keturunan ibu. Harta yang diwariskan adalah harta
pusaka tinggi yang bisa berupa tanah, sawah, ladang, rumah, dlsb. Berbeda
dengan harta pusaka rendah yang boleh diperjualbelikan sebab hanya dimiliki oleh
sekelompok keluarga tertentu sehingga jelas proses pewarisan dan asal-usulnya,
harta pusaka tinggi justru sebaliknya, tidak untuk diperjualbelikan. Hak atas
harta pusaka tinggi hanya sebatas pengunaan dan pengelolaan.[1]
Hak itu pun mesti diwariskan secara turun temurun, dari generasi sebelumnya ke
generasi berikutnya. Karena model pewarisan seperti ini, maka asal-usul harta
pusaka tinggi pun menjadi kabur. Di beberapa daerah di Minangkabau dan Sumatra Barat, harta
pusaka tinggi juga disebut harta tua (Harato Tuo), karena umur harta ini sudah begitu tua.[2]
Kekaburan asal usul harta pusaka tinggi bisa
disebabkan beberapa hal, antara lain, pertama, karena jarak waktu yang begitu
jauh antara pewaris terdahulu dengan pewaris sekarang. Kedua, karena harta
pusaka tinggi sudah bercampur baur dengan harta-harta lain yang datang
kemudian.[3]
Karena dua sebab ini, harta pusaka tinggi dicirikan sebagai harta yang sulit
diketahui asul-usul kaum pemiliknya;[4]
serta harta yang nyaris tidak dapat dialihkan ke pewaris berikutnya (mengingat
sudah bercampur dengan harta-harta lain). Pengalihan harta pusaka tinggi
menjadi mungkin jika didahului kesepakatan bersama.[5]
Sepintas ciri harta pusaka tinggi mirip dengan
tanah ulayat. Bedanya, jika harta pusaka tinggi sudah dikelola alias sudah
digarap, maka tanah ulayat kaum justru belum digarap sama sekali.
Tanah ulayat adalah tanah yang menurut hukum adat
dimiliki secara komunal oleh masyarakat adat. Status kepemilikan bersama ini
lantas memperbolehkan masyarakat adat untuk manfaatkan dan mengambil segala
sumber daya alam yang dimiliki tanah ulayat demi kelangsungan hidup bersama,
bagi anak kemenakan. Meski demikian, agar tidak terjadi perselisihan, maka
pengelolaan tanah ulayat perlu dimediasi oleh kebijaksanaan ninik mamak, para
kepala suku atau datuk.[6]
Nurdin Yakub mengatakan bahwa tanah ulayat
meliputi tanah-tanah yang belum diusahakan oleh warga persekutuan[7]
dan menjadi milik nagari dengan batas-batas yang disesuaikan dengan situasi
alam sekitarnya.
Persoalan tanah ulayat juga diatur dalam Perda
Provinsi Sumatra Barat No. 6 Tahun 2008 pada Pasal 1 poin 8; dan Pergub
Provinsi Sumatra Barat Nomor 21 Tahun 2012 pada Pasal 1 poin 9. Peraturan
tersebut menyatakan bahwa, “Tanah ulayat adalah bidang tanah pusaka beserta
sumber daya alam yang berada di atas dan di dalamnya, diperoleh secara
turun-temurun, dan merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatra
Barat.” Berdasarkan peraturan ini, maka tanah ulayat dapat dimengerti
sebagai bagian dari tanah pusaka, sebab menyangkut segala kekayaan sumber daya
alam, baik yang dikandung maupun yang berada di atasnya.
Sama halnya dengan harta pusaka tinggi, tanah
ulayat juga tidak boleh diperjualbelikan. Jika terpaksa, maka tanah ulayat
hanya boleh digadaikan, itu pun dalam situasi dan kondisi yang mendesak. Orang
Minang bilang, “Gadih gadang alun balaki; Rumah gadang katirisan; Pambangkik
batang tarandam; dan Mayik tabujua di tangah rumah.”[8]
Begitu besar keinginan nenek moyang dalam mempertahankan harta pusaka tinggi,
tanah ulayat, agar dapat terus dikelola dan dimanfaatkan oleh setiap generasi
secara turun-temurun.[9]
Lantas bagaimana menjaga eksistensi tanah ulayat
dalam kondisi sosial masyarakat saat ini? Bagaimana tanah ulayat yang belum
tergarap dapat berperan dalam pembangunan Sumatra Barat? Setidaknya, berbekal
informasi singkat tentang tanah ulayat di atas, tanah ulayat seyogianya dapat
dikelola, dikembangkan, dan diinvestasikan bersama, dengan catatan tetap
mempertahankan nilai luhur yang melekat pada tanah ulayat
Diakses: Rabu, 22 November
2023. Pk. 09.05
Sumber : https://weread.id/2023/05/26/mengenal-tanah-ulayat-dalam-adat-minangkabau/
Catatan Kaki oleh admin:
[1]
Hak inilah yang dibagi-bagikan
kepada kamanakan oleh seorang mamak, bukan hak milik melainkan Hak Guna.
[2]
Kebanyakan harta pusaka didapat
(diturunkan) dari nenek moyang yang mula-mula datang meneruka (manaruko)
atau membuka negeri yang dahulunya masih berupa rimba, hutan, dan belukar. Awal
kedatangan nenek moyang tersebut tidak dapat diperkirakan karena kearifan lokal
Minangkabau tidak biasa menggunakan angka tahun sebagai periodesasi. Banyak
yang mengasumsikan sekitar abad ke-13 namun perkiraan ini masih banyak
diperdebatkan karena dipengaruhi oleh pemikiran dari para peneliti dan bentuk
ketidak percayaan diri masyarakat Timur yang merasa rendah diri dari Peradaban
Barat yang telah berumur lebih dari ribuan tahun. Beberapa measumsikan semenjak
berakhirnya Banjir Nabi Nuh, namun bukti-bukti belum didapat untuk menopak
argumentasi ini.
[3]
Terkait Harta Pusaka, tugas lelaki
Minang (anak lelaki) ialah menjaga dan menambah bilangan (jumlah) harta pusaka.
Kalau tidak dapat menambah bilangan harta pusaka maka setidaknya menjaga
sahaja. Penambahan harta pusaka ini mungkin yang dimaksud oleh si penulis
dengan ‘bercampur-baur dengan harta lain’. Ini merupakan kesalah pemahaman
karena jika satu harta (sawah atau ladang) telah dijadikan harta pusaka maka
statusnya bukan lagi ‘harta lain’ melainkan Harta Pusaka.
[4]
Kami rasa penulis tidak
memahami konsep Kaum dan Suku di Minangkabau. Suku terdiri atas beberapa Kaum,
Kaum terdiri atas beberapa ‘Paruik’ dan ‘Paruik’ terdiri atas beberapa ‘Jurai’.
Harta pusaka diwariskan atas kesamaan garis keturunan dalam hal ini bisa
dilihat dari Ranji yang merupakan daftar anggota Kaum atau Pruik. Kaum lain tidak
dapat mewarisi harta pusaka dari suatu kaum karena mereka sudah berasal dari
keturunan berbeda walaupun mereka memiliki suku yang sama. Kaum ini dipimpin
oleh seorang Penghulu sedangkan Paruik hanya dipimpin oleh seorang Mamak.
[5]
Apa yang dimaksudkan penulis
dengan pengalihan Harta Pusaka? Dan apa pula maksudnya dengan ‘kesepakatan
bersama’.
[6]
Dimediasi maksudnya ialah
proses pengelolaan Tanah Ulaya mesti melalui musyawarah mufakat yang merupakan
proses tertinggi dalam mengambil keputusan dalam masyarakat Minangkabau. Seperti
kata ungkapan; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu
barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan Bana, Nan Bana badiri sandiri nyo.
Nan Bana (Yang Benar) disini ialah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah, singkat kata Hukum Syari’at. Maksudnya musyawarah mufakat ini tidak
boleh bertentangan dengan Hukum Syari’at yang menjadi dasar dari Hukum Adat.
Hasil dari musyawarah mufakat inilah yang diumpamakan dengan “Titah Rajo”. Dan
dalam musyawarah mufakat ini tidak boleh mengulang perundingan di luar
perundingan. Dalam musyawarah mufakat antara penghulu inilah diatur teknis
pengelolaan Tanah Ulayat diantara anak-kamanakan agar tidak terjadi
persengketaan sesama mereka.
[7]
Wilayah Persekutuan maksudnya
ialah Nagari yang merupakan unit pemerintahan Ter Kecil di Minangkabau. Dan
Minangkabau menganut faham Federasi (persekutuan) dalam Sistem Ketatanegaraan
mereka. Nagari ialah persekutuan atau persyarikatan atau federasi dari beberapa
unit dibawahnya yang memiliki beragam nama yakni Jorong atau Korong.
[8]
Syarat ini hanya berlaku untuk
Harta Pusaka bukan Tanah Ulayat, karena Harta Pusaka dimiliki oleh keluarga
yang bernama ‘Paruik’ atau yang terkecil ‘Jurai’ sedangkan Tanah Ulayat
dimiliki oleh Kaum atau Suku dan pengelolaannya atas musyawarah mufakat para
penghulu dalan Nagari.
[9] Harta Pusaka dan Tanah Ulayat merupakan ASURANSI bagi orang Minangkabau. Terbukti pada masa sekarang ketika telah banyak keluarga yang menjual Harta Pusaka dan Nagari membiarkan Tanah Ulayatnya dieksploitasi oleh para kapitalis atas nama kepentingan ekonomi dan pembangunan, banyak keluarga dan penduduk nagari yang terjerembab ke dalam kemiskinan.