Gambar Ilustrasi: Minang Satu |
Dalam dua hari menjelang akhir bulan pertama penanggalan gregorian terjadi dua kecelakaan di wilayah keamiran kami. Kemalangan pertama terjadi pada hari Khamis (27/01/23) dan yang kedua terjadi keesokan harinya pada hari Jum'at. Layaknya kejadian sebelumnya para pemuja Tol dan antek-antek kapitalis riuh rendah suaranya "Semoga pembangunan Tol dipercepat" atau "Itulah, kalau seandainya pembangunan jalan Tol tidak ditentang" dan berbagaimacam suara-suara senada berlalu-lalang di kolom komentar ranah maya.
"Kemalangan terjadi karena kondisi kendaraan yang jarang diperiksa dan tidak diperhatikan. Walau ada jalan Tolpun, kemalangan inipun akan tetap berlaku.." balas salah satu komentar
"Konteksnya apa? setiap terjadi kecelakaan selalu dihubungkan dengan Tol?" balas yang lain.
Agaknya sama dengan peristiwa kompor meledak, dimana setiap terjadi ledakan kompor maka para Abu langsung menjadi tersangka dan dituduh teroris.
Kami amat-amati, terdapat perbedaan karakter dari orang-orang yang tinggal di negeri yang ada jalan Tolnya dengan orang yang tidak memiliki jalan Tol. Mereka yang terbiasa berkendara di jalan bebas hambatan, memacu kendaraan dengan kencang, tidak sabaran, dan sangat mudah naik temperamennya apabila berjumpa dengan jalan yang mengalami kemacetan. Kebiasaan ini mereka bawa tatkala mereka datang ke daerah sehingga menimbulkan rasa kesal dan sikap anti pati dari masyarakat terhadap kendaraan dengan plat nomor tertentu.
Sebaliknya, masyarakat yang tinggal di neger yang tidak memiliki jalan Tol, lebih sabar dan tertib dalam berkendara. Mereka juga tidak terbiasa memacu kendaraan mereka dengan kencang. Apalagi jika kita lihat kebiasaan atau karakter masyarakat yang tinggal di kota kecil dimana mereka tidak memiliki jalan dua jalur, lebih tertib dan sabar lagi mereka tatkala berada di jalan raya.
Tol tak lebih dari upaya pembodohan dan dipuja-puja oleh orang-orang berkepribadian labil yang mengidam-idamkan negeri tempat ia tinggal menyerupai kota besar seperti yang ada di pula seberang. Orang-orang yang meanggap Tol, Mol, gedung bertingkat, cafe, tempat hiburan, dan lain sebagainya sebagai simbol dari kemajuan.
Padahal apabila dihitung kekayaan dan penghasilan mereka, takkan sanggup mereka membayar ongkos masuk jalan Tol tiap hari. Apalagi jika terjadi kenaikan harga tarif Tol. Orang-orang seperti ini akan terus bernyanyi dan berharap Tol akan hadir di depan rumah mereka, dan mereka menganggap diri mereka lebih maju, pintar, berpendidikan, dan tercerahkan dari orang-orang yang menolak pembangunan jalan Tol.