Ilustrasi Gambar: dreamstime |
Disalin dari kiriman FB Ruby Kay
Nasi Padang babi?
Ada baiknya hal ini dijelaskan dengan analogi. Ahong adalah non muslim yang suka sekali menyantap nasi padang. Ia menyukai rendang, ayam pop, gulai kepala ikan dan lain sebagainya.
Suatu hari, Ahong berpikir ingin mencoba masak rendang sendiri pakai daging babi. Ia lalu membeli bumbu rendang khas minangkabau lalu mulai memasak. Ketika sudah jadi, rendang daging babi itu dikonsumsi bersama keluarganya.
Seketika muncul ide bisnis. Ahong ingin membuka rumah makan dengan menu andalan "nasi padang babi". Karena punya duit, rencana itu segera terealisasi. Sebuah ruko yang terletak disentra bisnis ia jadikan sebagai tempat usaha.
Polemik muncul ketika beberapa muslim dan orang asli minang tersinggung bahkan marah saat melihat papan nama usaha milik Ahong. Apa-apaan ini? Sejak kapan nasi padang mengandung babi?
Pertanyaannya, apakah tindakan Ahong yang berjualan nasi padang babi salah? Absolutely Yes.
Berikut penjelasannya.
Menurut gue, Ahong mesti sekolah lagi, belajar makna toleransi. Terlihat ia belum paham tentang menghargai sebuah tradisi atau keunikan yang dijunjung tinggi oleh sebuah suku bangsa di Indonesia.
Sedari dulu masakan Padang atau Minangkabau itu identik dengan halalan toyyiban. Karena mayoritas orang Sumatera Barat beragama Islam.
"Hahahaha... dangkal amat cara berpikir lu bro. Emang makanan punya agama?" Ujar seseorang nyinyir pertanda ia belum paham.
Wait bro. Mohon renungkan dulu sebelum nyinyir. Mengklaim diri sebagai pancasilais sejati, itu berarti lu mesti paham toleransi, menjunjung tinggi ajaran agama, tradisi dan budaya yang ada di Indonesia.
Seluruh dunia juga sudah paham kalau Rumah Makan Padang dimanapun itu identik dengan ajaran Islam yang mengharuskan ummatnya untuk mengkonsumsi makanan halal. Non muslim mestinya bisa menghargai hal ini. Lu boleh melakukan modifikasi, memasak daging babi dengan bumbu rendang Khas Minang. Tapi saat seseorang mengkomersialisasi "Nasi Padang", dia mesti terikat dengan aturan tak tertulis yang sudah disepakati. Inilah yang dinamakan toleransi.
Di Bali, banyak pohon besar yang dikeramatkan oleh masyarakat lokal. Beberapa kali terjadi kasus pelecehan, ada bule yang dengan santainya memanjat, mengencingi bahkan berfoto telanjang didekat pohon yang dikeramatkan tadi. Orang Hindu Bali seketika marah, sebagai muslim gue bisa memaklumi kalau orang Bali tersinggung berat.
Sebatang pohon memang tak punya agama. Tapi ketika sebuah benda dikeramatkan, disucikan, disakralkan oleh mayoritas penduduk disuatu wilayah, sebagai tamu mau tak mau kita harus menghargai keunikan itu.
Di Jakarta lu bisa mengencingi pohon jambu. Tapi di Bali gak bisa sembarangan seperti itu. Jaga prilaku, hargai adat dan budaya setempat. Bali identik dengan Hindu. Sebagai pendatang mesti memahami norma yang berlaku.
Jelas ya. Nasi Padang dan pohon besar yang tumbuh di Bali hanyalah entitas tanpa agama. Tapi sebagai sebuah bangsa yang besar kita memiliki klausul tak tertulis. Pahami norma dan etika yang sudah eksis sejak ratusan tahun yang lalu. Dengan begitu kita bisa hidup dalam harmoni, saling menghargai, memahami hakikat toleransi. Mayoritas tak perlu arogan, jadi minoritas jangan sok-sokan. Punya uang bukan berarti lu bisa bertindak sembarangan.
======================
Baca juga:
- Galapua Rang Minang
- Provokasi SEPILIS
- Rendang Babi, Pesan untuk yang asal bicara
- Jawapan Ustad Adi Hidayat Soal Rendang Punya Agama
- Nasi Padang memanglah Tak Punya Agama
- Citra Halal Nasi Padang
- Rendang, Kelezatan, & Kehalalan