Tampilkan postingan dengan label halal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label halal. Tampilkan semua postingan

Nasi Padang memanglah tak punya Agama

Ilustrasi Gambar: dreamstime

 Disalin dari kiriman FB Ruby Kay

Nasi Padang babi?
Ada baiknya hal ini dijelaskan dengan analogi. Ahong adalah non muslim yang suka sekali menyantap nasi padang. Ia menyukai rendang, ayam pop, gulai kepala ikan dan lain sebagainya.
Suatu hari, Ahong berpikir ingin mencoba masak rendang sendiri pakai daging babi. Ia lalu membeli bumbu rendang khas minangkabau lalu mulai memasak. Ketika sudah jadi, rendang daging babi itu dikonsumsi bersama keluarganya.
Sampai disini tak ada yang salah dengan tindakan Ahong yang memasak rendang dengan bahan dasar daging babi. Karena ini murni masalah selera, toh hanya untuk dikonsumsi sendiri.

Rendang Babi, Pesan untuk yang Asal Bicara


Disalin dari:  Singgalang, Rabu 15 Juni 09.20

Oleh: DR. Gamawan Fauzi Datuak Rajo Nan Sati, SH

Setelah ribut masyarakat asal Minangkabau memprotes masakan rendang daging babi yang dijual sebuah restoran bermerk restoran Padang, muncul  tanggapan dari berbagai kalangan.

Ada dari ahli kuliner, ahli sosiologi  sampai kepada ahli ekonomi pemasaran, bahkan sampai seorang yang bergelar Gus, yang suka nyeleneh dengan soal soal Islam.

Tanggapan tersebut melebar kemana- mana dan menjangkau hal-hal yang tidak dipermasalahkan secara substansial oleh masyarakat Minang.

Tapi biasalah, kadang supaya ingin terkenal, seperti kelakuannya selama ini,  mereka ikut nimbrung meramaikan.

Galapua Rang Minang

 

Ilustrasi Gambar: gramedia

"Galapua Rang Minang"
Buya DR. Gusrizal Gazahar, Dt. Palimo Basa
Disalin dari FB Rias Dilan

Ranah dan rantau "tergagau" dengan keberanian orang menyandingkan Rumah Makan Padang dengan makanan haram. Banyak tokoh "meradang" melihat dan membaca kata "babi" bersanding dengan kata "ambo". Bagi seorang da'i kampung seperti saya, mencermati reaksi itu rasa tersentak tali bathin karena tersadar bahwa Marapi dan Singgalang masih tertegak kokoh. Talang dan Kurinci belumlah luluh karena goncangan putaran zaman. Singkarak dan Maninjau belumlah kering. Ombak masih berdebur menghempas pantai pesisir Ranah Minang. Keteguhan ciptaan Allah swt tersebut dengan segala keharmonisannya, ternyata masih menjadi tanah kelahiran pewaris DNA perantau berdarah pekat dan tonggak-tonggak tua penghuni ranah yang siap menjaga "sako jo pusako".
Apakah itu yang dinamakan reaksi atas "marwah" yang "terawai" atau itu hanya sekadar luapan emosi kesukuan yang dijadikan alasan oleh para buzzer untuk melekatkan gelaran rasisme dan primordialisme ?