Seputar polemik apakah identitas Orang Kampar itu adalah "Orang Minangkabau" ataukah "Orang Melayu".?
Secara kasat mata kita dapat melihat langsung saja bahwa :
- Adat istiadat mayoritas masyarakat Kampar itu mirip dg Minangkabau, yakni antara lain seperti bahasanya, nama2 suku yg mereka sandang, pakaian adatnya, rumah-rumah lamanya. Tak ubahnya seperti kalau kita berada di Luhak Limo Puluah, Minangkabau.
Kenapa begitu.?
Karena nenek moyang mereka memang datang dari berbagai Luhak di Minangkabau. Hingga wilayah Kampar menjadi wilayah Rantau Minangkabau dan menjadi bagian dari Luhak Limo Puluah.
Hal itu sudah terjadi di masa Adityawarman dan jauh sebelum terbentuknya Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Dengan demikian memang mereka adalah keturunan Minangkabau.
Namun perjalanan sejarah dan aneksasi Kesultanan Malaka terhadap wilayah Kampar dan Riau Daratan umumnya mulai dari Arcat hingga Indragiri telah menjadi wilayah jajahan Kesultanan Malaka, sebelum akhirnya Malaka ditaklukan oleh Portugal, (lihat catatan Tome Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515).
Namun di periode Malaka ini belumlah muncul kekacauan dan polemik identitas karena memang Malaka tidak memaksakan rakyat Kampar mesti beradat Melayu atau mengganti identitas menjadi Melayu Malaka atau apapun namanya.
Hal itu berlangsung hingga terbentuknya Kesultanan Perak yg menjadi penerus Malaka. Raja Muzaffar Shah (putra sulung Raja terakhir Sultan Malaka, Sultan Mahmud Shah), juga mengungsi ke Kampar paska penaklukan Portugis atas Malaka pada tahun 1511. Dan Kampar tetap dengan adatnya semula dan memang hingga hari ini adat Kampar tidak pernah berobah menjadi "Adat Resam Melayu" Bahkan sebenarnya para pewaris Malaka tidak pernah melupakan asal usul leluhurnya dari Sumatera.
Alih-alih me-melayukan Kampar, sebaliknya malah hakikatnya pewaris Malaka tidak pernah melupakan Minangkabau. Hal itu tampak jelas terekam dalam sejarah, betapa saat Raja Muzaffar Shah II dalam perjalanan dari Kampar menuju Negeri Perak perahunya kandas di dekat Beting Beras Basah. Ketika itu Raja Muzaffar berangkat dari Kampau (Kampar) ke Perak untuk menjabat Sultan Perak yang sedang kosong.
Ketika sampai di muara sungai Perak, dekat Beting Beras Basah, (berhampiran dengan Bagan Datuk sekarang) lancang yang membawa Raja Muzaffar tersangkut. Tidaklah diketahui apa yang menyebabkan lancang diraja tersebut tersangkut dan terdampar di atas sebuah beting dan tidak dapat bergerak kemudik ataupun ke hulu. Tiba-tiba angin ribut datang dengan laut yang bergelora.
Berbagai ikhtiar dibuat namun bahtera baginda tetap tidak beranjak. Setiap usaha untuk melepaskannya terus gagal dan rombongannya sudah mulai gelisah takut kalau-kalau lancang tersebut karam dan akan tenggelamlah alat-alat kebesaran Kesultanan Malaka yang dibawa bersama.
Mengikut ceritanya, Raja Muzaffar pun berseru dengan melafazkan sebait kalimat:
"Sekongkong Tanah Minangkabau,Selilit Pulau Perca,Dilengkung Ular Saktimuna,Jika sah aku Raja berdaulat,Lepaskanlah sekalian malapetaka,Perpisahan aku di Selat Malaka...."
Selepas seruan baginda itu, tiba-tiba ribut tadi pun berhenti dan lancang bahtera kenaikan baginda pun bergerak dan langsung melaju mudik mengikuti arus Sungai Perak. Orang-orang besar dan beribu-ribu rakyat yang menyambut kedatangan baginda pun berteriak “Daulat Tuanku” tiga kali berturut-turut.
Baginda pun diarak mudik Sungai Perak hingga ke suatu tempat yang bernama Tanah Abang (sekarang dikenali dengan nama Air Mati, Mukim Lambor Kanan, di tepi Sungai Perak) dan di situlah baginda bersemayam dan selanjutnya ditabalkan sebagai Sultan Yang Dipertuan.
Adat dan Identitas orang Kampar sebagai "Orang Kampau (Kampar) bukan "orang Melayu" tetap utuh hingga pindahnya pusat Kesultanan Johor yg juga mengklaim sebagai "pewaris dari Malaka" (soal klaim sbg pewaris Malaka ini agak rumit dan perlu penjabaran yg cukup panjang).
Pusat Kesultanan Johor ini pindah ke Pulau Bintan (Kepulauan Riau), dan lalu mengasaskan "Kesultanan Johor Riou" di Pulau Bintan Kepulauan Riau. Dan lalu setelah Lanun Bugis (Yang Dipertuan Muda) berkuasa di Kesultanan Johor Riou ditetapkanlah adat baru yg disebut dg "Adat Melayu Riou" dan kini populer disebut "Adat Resam Melayu Riau".
Nama Riou berasal dari nama Sungai Rio di pulau Bintan. Belakangan "Riou" ditulis "Riaw" dan lalu "Residentie Riouw" lalu kini disebut "Riau". Dan lalu Kesultanan Johor Riou ini mengklaim wilayah Riau Daratan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya.
Dan Kesultanan Johor Riau ini guna memperkuat cengkeramannya terhadap wilayah Riau Daratan lalu memaksa rakyat Riau Daratan mengaku dan beridentitas sebagai "Melayu Riou" dan wajib "Beradat resam Melayu Riou".
Sekalipun begitu, Melayu Riau (Johor Riau) yang dalam kekuasaan Lanun Bugis (Yang Dipertuan Muda) menganggap dan memperlakukan rakyat Riau Daratan tak lebih hanya sekelas bangsa jajahan dan budak bagi Melayu Riau.
Hal itu berlangsung hingga kedatangan Raja Kecil (Raja Kecik) yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak dan berhasil membebaskan rakyat Riau Daratan dari penjajahan dan perbudakan Melayu Riau.
Dalam Syair Perang Siak, disebutkan Raja Kecil didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis dan Riau Daratan umumnya. Hal ini bertujuan untuk melepaskan wilayah Riau Daratan dari kekuasaan dan pengaruh Kesultanan Johor Riau / Melayu Riau yg menjajah dan memaksa rakyat Riau daratan agar mengaku sebagai Melayu Riau dan "Beradat Resam Melayu Riau" dan wajib tunduk kepada "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda) Melayu Riau.
Dalam prakteknya, "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda Melayu Riau) adalah penguasa sesungguhnya dan berkuasa menetapkan segala-galanya termasuk adat istiadat yang kini populer dg sebutan "Adat Resam Melayu Riau".
Sementara Sultan Johor Riau hanya berfungsi sebagai simbol semata. Bahkan ibaratnya hidup dan mati sang Sultan, nafas yg dihirupnya, ketersediaan makanan dan pakaiannya, dan sebagainya, tak ubahnya tergantung kemurahan hati dari "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda).
Itulah "Melayu Riau" yg sebenarnya.
Dalam cakap orang Riau Daratan dulu (setelah terbentuknya Kesultanan Siak), maka "Adat Resam Melayu Riau" lebih sering diplesetkan dg sebutan olok-olok "Adat Resam Lanun Bugis".
Jadi menurut sejarahnya bahkan orang-orang Riau Daratan pun dari awal sudah menolak masuk menjadi bagian dari Melayu Riau dan menolak beradat resam Melayu Riau. Dengan terbentuknya Kesultanan Siak maka semakin dipertegas pemisahan dan perbedaan antara Siak (Riau daratan) dengan Melayu Riau.
Sultan Siak yang tidak ingin berkuasa sendirian lebih mempertegas lagi perbedaan itu dengan membentuk sistem pemerintahan dan adat istiadat istana yang sama sekali berbeda dg Kesultanan Johor Riau (Melayu Riou).
Tidak pula ada posisi "Yang Dipertuan Muda" sebagaimana yang di Melayu Riau adalah hak dan hegomoni dari "Lanun Bugis", dimana Sultan Johor Riau hanya berfungsi sekedar simbol saja, sementara yang berkuasa atas segala sesuatunya termasuk mengangkat Sultan adalah "Lanun Bugis". Dan dalam prakteknya Sultan memang wajib tunduk kepada "Lanun Bugis".
Sultan Siak menetapkan bahwa setelah posisi Sultan hanya terdapat Dewan Menteri. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak. Sama dengan "Undang Yang Ampat" di Negeri Sembilan, Malaysia.
Sultan Siak telah menetapkan bahwa tidak boleh ada kekuasaan tunggal dalam hierarki pemerintahan Kesultanan Siak. Dewan Menteri bersama dengan Sultan, menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya. Dewan menteri ini mirip dengan kedudukan dan fungsi "Basa Ampek Balai" di Kerajaan Pagaruyung.
Dewan menteri Kesultanan Siak terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar.
2. Datuk Limapuluh.
3. Datuk Pesisir.
4. Datuk Kampar.
Dari sinilah mulai ditetapkan untuk kembali kepada jati diri dan identitas semula sebelum dipaksa menjadi beridentitas "Melayu Riau" dalam paksaan dan tekanan Lanun Bugis. Dan dengan bersandar kepada Kesultanan Siak, mulailah mereka menyebut identitas jati diri mereka sebagai "ORANG SIAK", bukan lagi Orang Melayu Riau.
Jadi begitulah...
"Apakah orang Kampar itu lebih tepat disebut sebagai Orang Minangkabau, ataukah "Orang Kampau (Kampar), ataukah "Orang Siak".?"
Kalau kita kebetulan melihat langsung di Kampar atau melihat penampakan video dimana sebuah kaum sedang menyelenggarakan acara adat yang hampir persis sama dengan adat Minangkabau, maka jika saat itu ditanya langsung ke kaum tersebut dengan pertanyaan diatas maka sudah pasti mereka akan menjawab bahwa mereka lebih tepatnya disebut "Orang Kampar keturunan Minangkabau dan beradat Minangkabau", ... bukan "Orang Minangkabau yang tinggal di Kampar".
Alasannya antara lain :
1. Mereka sudah menjadi rakyat Kampar dan bagian dari masyarakat Kampar semenjak jaman dulu. Dan Kamparlah yg harus mereka besarkan dan junjung tinggi, bukan lagi negeri nenek moyang mereka (Minangkabau).
2. Wilayah Kampar bukan hanya dihuni keturunan Minang saja melainkan juga ada keturunan dari Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Batubara, Asahan, Jawa, dll. Hal itu sudah terjadi semenjak terbentuknya dan jayanya Kesultanan Siak dimana Datuk Kampar dan tiga Datuk lainnya bersama Raja Kecil telah mengasaskan Kesultanan Siak Sri Indrapura dan berhasil membebaskan Riau Daratan dari penjajahan Johor Riau (Melayu Riau) yang masa itu dibawah kekuasaan Lanun Bugis (Yang Dipertuan Muda) yang berpusat di Pulau Bintan.
Mulailah Kampar menjadi bagian dari Kesultanan Siak Sri Indrapura. Dari sinilah mulai ditetapkan untuk kembali kepada jati diri dan identitas semula sebelum dipaksa menjadi beridentitas "Melayu Riau" dalam paksaan dan tekanan Lanun Bugis.
Dan dengan bersandar kepada Kesultanan Siak, mulailah mereka menyebut identitas jati diri mereka sebagai "ORANG SIAK", bukan lagi Orang Melayu Riau. Secara umum rakyat Riau Daratan lebih tepat disebut "Orang Siak".
Dan memang hingga hari ini tubuh dan jiwa, falsafah dan perilaku dari Adat istiadat Kampar belum pernah berubah menjadi "Adat Resam Melayu" sebagaimana halnya adat orang Melayu Riau. Orang Kampar (terkhusus yang beradat Minangkabau) sebagaimana halnya orang Minangkabau secara etnis, keturunan, dan adat adalah "orang melayu yang asal" (MOLOYOU), bukan melayu sebagaimana halnya dengan Melayu Riau ataupun melayu-melayu pada umumnya yg beradat resam Melayu. Begitulah yang sesungguhnya terjadi hingga hari ini.
Yang salah adalah bila masih saja ada orang Kampar yang mengaku sebagai "Melayu Riau" karena itu sama artinya mereka hendak merendahkan diri dan menghinakan leluhur mereka yang telah bersusah payah membebas rakyat Kampar khususnya dan Riau Daratan umumnya dari penjajahan Melayu Riau dan Lanun Bugis.
Namun sekalipun begitu biarkanlah orang Kampar yang menetapkan identitas jati diri mereka sendiri karena merekalah yang lebih berhak.
Dan belum tentu juga "Melayu" yg dimaksud oleh orang Kampar dan Kuantan yang mengaku melayu adalah sebagaimana deskripsi Melayu atau Melayu Riau jaman now, yakni beradat resam melayu, sebagaimana halnya Melayu Riau Kepulauan.
Apa pasalnya.?
Aslinya orang Kampar, Minangkabau, Kerinci, Kuantan itu adalah orang Malayu (bukan Melayu), yang awalnya disebut "Moloyou". William Marsden, dalam karyanya The History of Sumatra (1811), chapter 18, menyebut "Malayo". Terutama suku Kerinci yang adalah suku Moloyou tertua bahkan tergolong suku tertua di nusantara.
Sebelum dikenalnya nama Minangkabau, maka orang Minangkabau, Kampar, Kuantan, Kerinci... aslinya disebut orang Moloyou, bukan Melayu. Sedang istilah Minangkabau hanyalah nama baru dari Moloyou tadi.
Moloyou atau Malayu itu jauh lebih tua dari Melayu-melayu jaman now seperti Melayu Riau, Malaysia, Deli, Serdang, dll. Dan adat Moloyou itu bukanlah adat resam Melayu. Sementara adat Minangkabau adalah adat Moloyuo itu sendiri. Minangkabau adalah Moloyou. Kampar adalah Moloyou. Kerinci dan Kuantan adalah Moloyou. Dan Moloyou itu bukanlah Melayu sebagaimana Melayu-Melayu jaman now seperti Melayu Riau, Malaysia, Deli, Serdang. dll.
Demikian juga pernyataan dari Ninik Ramli Datuk Rajo Dubalai, sbb :
"Olun bauwang nagoghi Rokan, olun banamo XIII Koto, olun lai Limo Koto, olun banamo Batang Kampau, uwang MALAYU punyo nagoghi ko, Minonga nomonyo, di tonga alam pulau Poco, dikaliliong dek Lauik Ombun."
[Belum berorang Negeri Rokan, belum bernama Tigo Baleh Koto, belum pula Limo Koto, belum bernama Batang Kampau. Orang Melayu punya negeri ini, Minonga namanya, di tengah alam Pulau Perca, dikelilingi ileh Laut Embun.]
Almarhum Ninik Ramli Datuk Rajo Dubalai XVIII adalah Pucuk (ketua) Adat Andiko Nan 44. Beliau juga dikenal sebagai Pemuncak Adat Lima Kabung Air (Sungai Rokan, Kampar Kiri, Kampar Kanan, Sungai Tapung, dan Sungai Kuantan) dan Pemuncak Niniok Nan Barompek Luak Limo Puluoh.
Diceritakan bahwa leluhur mereka turun dari kawasan tinggi di hulu Sungai Kampar paska surutnya Lauik Ombun (Laut Embun) menjadi Sungai Kamwar (Kampau, Kampar). Dengan demikian leluhur "Malayu" yang dimaksud lebih tepatnya datang dari "Peradaban Melayu Kuno" yang berpusat di Nagari Mahat, negeri purba yang hari ini terkenal dengan julukan "Negeri Seribu Menhir".
Salam damai...
-
Link postingan asli: https://www.facebook.com/100002639397292/posts/3192836980814250/?app=fbl
Postingan terkait :
"MELAYU RIAU, dimanakah itu.?"
CANDI MUARA TAKUS.
Dalam tulisan F.M. Schnitger, Ph.D
Disalin dari kiriman FB: Sutan Bandaro Sati
pada: 16 AGustus 2020
pukul: 13.25
gambar: Klik DISINI