Catatan oleh Agam van Minangkabau:
Sekali lagi pengetahuan atas sejarah, adat, dan budaya Minangkabau diperlukan terutama sekali dalam menelaah sumber-sumber pribumi. Semoga hal ini mendatangkan kearifan dan kebijaksanaan dari pembaca sekalian.
Sekali lagi pengetahuan atas sejarah, adat, dan budaya Minangkabau diperlukan terutama sekali dalam menelaah sumber-sumber pribumi. Semoga hal ini mendatangkan kearifan dan kebijaksanaan dari pembaca sekalian.
Disalin dari: http://poestahadepok.blogspot.com
___________________________
Sejarah pemerintahan Padang dimulai tahun
1621. Sejarah ini ditemukan dalam catatan kuno yang berjudul ‘Permoelajan
Berdiri Poehoen’ (Oprichting van den Boom) yang transkripsinya diterjemahkan
oleh redaktur Sumatra-courant: nieuws-
en advertentieblad yang diterbitkan pada edisi 08-03-1883.[1] Catatan ini berisi sejarah Padang 1621-1814
yang mengacu pada pembebasan dari Atjeh tahun 1666. Periode 1621-1666 sebagai periode
kehadiran Atjeh di Padang dipisahkan dalam catatan tersebut.
Sumatra-courant, 20-03-1884 |
Dalam catatan kuno ini diuraikan bagaimana
datangnya Belanda dan bagaimana terjadinya pengusiran Atjeh (yang sudah sudah
berada selama 45 tahun). Juga diuraikan
tentang kedatangan Inggris dan kembalinya Belanda. Dalam lampiran catatan kuno
ini disajikan daftar pemimpin di Padang. Yang pertama menjadi pemimpin adalah Maharadja
Besar I yang bertitel Bandahara, suku Si Megat[3] bertahun 1621. Panglima tidak disebutkan, tetapi diduga yang
menjadi Panglima adalah orang Atjeh.
Sebagai perbandingan, ketika Belanda (era Pemerintahan
Hindia Belanda) memulai invasi ke Deli, Resident Riaou, Netscher yang memimpin
ekspedisi ke Deli bulan Februari 1863. Mantan Resident Tapanoeli ini menulis
laporannya yang dimuat di dalam surat kabar yang terbit di Batavia (1865)
menggambarkan Kota Laboehan (Deli) sebagai berikut: ‘Satu pemandangan yang
aneh, diantara beberapa ratus penduduk asli, tampak sejumlah pria Atjeh
dipersenjatai dengan belati dan pedang panjang Atjeh dengan gagang perak. The
House of sultan dikelilingi pagar. Juga terdapat empat rumah panggung rendah yang
dihuni oleh orang Batak. Bangunan rumah Batak ini ditutupi dengan serat dari
paku sawit dan rapi dengan dekorasi Batak seperti dicat. Rumah kepala Bataksche
seperti cottage, yang mengakui supremasi Deli. The Mesdjid adalah sebuah
bangunan papan yang cukup terawat dengan baik ukuran rendah…Populasi Deli ada
di pantai dari Maleijers [Melayu], di pedalaman Batak. Penduduk Melayu kecil jumlahnya;
mereka tidak lebih dari beberapa ribu jiwa. Mereka mendiami tanah pesisir
rendah dan terutama kampung Deli. Sementara sekitar dua puluh Cina dan sekitar
seratus Hindu berdarah campuran. Sedangkan Batak dapat dikatakan sangat banyak.
Daerah yang dihuni oleh Batak terhitung mulai dari pantai dan terus memanjang
hingga atas pegunungan tinggi. Dikatakan bahwa penduduk Batak ini ada kepala
suku yang memerintahkan sekitar 40.000 jiwa. Diantara mereka (Batak)
Mohammedanism tampaknya klaim telah dibuat…’.
Pada tahun 1666 (era VOC), setelah Atjeh terusir (dari Padang) yang
menjadi Panglima adalah Oerangkaja Ketjil[4] yang berasal dari suku Tandjoeng. Ini
berarti panglima pertama adalah Oerangkaja Ketjil, Dari catatan kuno ini yang
dimulai 1621 hingga 1814 disusun redaktur Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad yang diterbitkan pada edisi 20-03-1884. Dalam daftar ini juga
terdapat nama-nama Bandahara dan Panghoeloe (sejak 1621).
Sebagaimana diketahui lebih lanjut, Soetan Iskandar III (suku
Melayu) adalah Panglima ke-23 (1834-1867). Soetan Iskandar meninggal dan
digantikan oleh Merah Indra II (Si Megat) yang berlangsung dari 1867-1876 dan
kemudian Maharadja Besar III (Si Megat) sejak 1876 (Panglima terakhir).
Catatan kuno berjudul ‘Permoelajan Berdiri
Poehoen’ yang diterjemahkan oleh redaktur Sumatra Courant pada tahun 1883 ke
dalam bahasa Belanda besar kemungkinan sumber awal tentang sejarah Padang yang
dibuat secara tertulis. Pertanyaannya: Dimanakah catatan kuno versi aslinya?
Panglima dan Regent van Padang
Catatan kuno pemerintahan di Padang yang
berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’ diduga dibuat pada era Panglima Soetan
Mansoer (Panglima ke-21) setelah beberapa waktu kehadiran kembali Belanda tahun
1814 (Pemerintah Hindia Belanda). Antara 1666-1814 tentu sangat lama. Oleh
karenanya daftar tahun pemimpin Padang hanya terlihat valid sejak 1783
(Panglima ke-16 Radja Djohan II). Ini mengindikasikan bahwa ketika catatan ini dibuat sekitar tahun 1814,
para orang tua masih ingat perubahan-perubahan yang terjadi 30 tahun ke
belakang. Redaktur yang menyusun daftar (1884) berdasarkan catatan kuno (1814)
tidak menemukan tahun antara 1666-1783. Karenanya dari daftar pemimpin Padang
tersebut tidak menyebut periodenya.
Artikel ini coba menelusuri dari surat kabar sejaman
(1666-1783). Namun itu tentu tidak mudah, karena porsi pemberitaan pemerintah lokal
di surat kabar berbahasa Belanda cenderung porsinya (sangat) kecil. Akan
disusun kemudian daftar baru berikut periodenya (jika memungkinkan).
Suksesi para panglima ini terus berlangsung
hingga tahun 1910. Sebagaimana sudah dideskripsikan pada artikel sebelumnya,
sejak era Panglima Soetan Iskandar II (panglima ke-23), jabatan pemerintah lokal
diintegrasikan dengan struktur Pemerintahan Hindia Belanda dengan titel Regent
van Padang. Dengan kata lain: Soetan Iskandar adalah panglima dan juga Regent
van Padang. Jabatan regent van Padang ini dimulai tahun 1834 ketika Residentie
Sumatra’s Westkust ditingkatkan statusnya menjadi Province Sumatra’s Westkust
yang dikepalai oleh seorang Gubernur. AV Michiels adalah gubernur pertama Province
Sumatra’s Westkust.
Soetan Iskandar menjadi Regent van Padang sejak 1834.
Pada tahun 1867 Soetan Iskandar meninggal dunia dan digantikan dengan Panglima/Regent
van Padang yang baru. Ini berarti Soetan Iskandar dengan posisi Panglima/Regent
van Padang selama 33 tahun. Suatu periode yang paling lama diantara para
panglima di Padang.
Penelusuran Surat Kabar
Belanda (VOC) secara teknis memulai aktivitas
di Batavia pada tahun 1621 (tahun yang sama Atjeh di Padang). Ekspedisi pertama
Belanda sendiri datang ke Nusantara pada tahun 1595 di bawah komandan Cornelis
de Houtman. Laporan ekspedisi ini telah dimuat dalam jurnal yang terbit tahun
1598. Dalam laporan ini belum terdeteksi Padang, bahkan di dalam peta baru yang
dibuat yang menjadi bagian dari jurnal 1598 tersebut.
Nama-nama tempat yang disebutkan dalam peta baru ini (Belanda)
sebagaimana juga disebut dalam peta Portugis 1619 di Pantai Barat Sumatra hanya
menyebut Baros dan Bathan (Batahan).
Laporan jurnalistik pertama dari Nusantara
baru ditemukan pada tahun 1827. Ini terkait dengan informasi pertama tentang
nama Batavia ditemukan dalam surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt,
&c edisi 31 Juli 1627. Nama Batavia dalam surat kabar tersebut mengacu pada
kutipan berita berikut: ‘Kapal kargo dari Batavia pada bulan Desember 1626
telah tiba di Texel pada tanggal 24 Juli 1627’.
Sejak berita kapal kargo yang pertama dari Batavia,
semakin kerap kapal kargo dari Oost Indisch yang dilaporkan yakni dari Batavia
dan Suratta (Sumatra?). Kapal kargo yang dilaporkan surat kabar Courante uyt
Italien, Duytslandt, &c. edisi 16-07-1633 memberitakan sangat rinci.
Kapal-kapal yang tiba tersebut terdiri dari kapal Prins Willem, Hollandia,
Zutphen, Amelia, Rotterdam, Hoorn dan Amboina. Kapal-kapal ini di bawah
komandan Jenderal Specx. Muatan kapal-kapal tersebut berisi 36 jenis komoditas
yang dirinci menurut volume (seperti pon, pikul). Komoditi tersebut antara lain
lada, rotan, puli, getah dammar, gambir, indigo, kelapa, pala, berlian dan
permata. Secara keseluruhan komoditi tersebut komoditas tahan lama. Selain itu
juga terdapat kain (sutra dan katun) yang kemungkinan diangkut dari
pelabuhan-pelabuhan di India.
Dari tahun ke tahun frekuensi kapal kargo
dari Batavia semakin tinggi. Jumlah kapal juga semakin banyak, jenis komoditas
semakin banyak dan volume masing-masing komoditas semakin besar. Seperti
dilaporkan surat kabar Ordinaris dingsdaeghse courante, 11-08-1648 kapal-kapal
tersebut dicarter oleh Nederlantfe Geoctroyeerde Ooft-Indifche Compagnie
(VOC?).
Berita ini mengindikasikan bahwa perjalanan kapal kargo
ini sejak dikirim dari Batavia hingga tiba di Texel membutuhkan waktu tujuh
bulan. Suatu waktu yang sangat lama, tapi begitulah pelayaran saat itu. Sejak
itu, berita-berita dari Batavia terus bergulir tetapi hampir semuanya tentang
berita kapal.
Ketika VOC (Belanda) memperluas perdagangan
ke Pantai Barat Sumatra tahun 1664, posisi Atjeh sudah lama eksis, yang di
Padang sendiri dimulai pada tahun 1621. Antara Belanda dan Atjeh inilah yang
menjadi pangkal perkara catatan kuno berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’.
Nama Padang sebagai nama suatu tempat di Pantai Barat Sumatra paling tidak baru tahun 1744 mulai dikenal (lihat Amsterdamse
courant, 11-02-1744). Nama Padang sebagai suatu tempat yang penting dipertegas
dengan adanya laporan bahwa kapal Winter berangkat dari (pelabuhan) Padang
(Leydse courant, 22-09-1745). Dari nama kapal ini, Winter diduga adalah kapal
Inggris. Selanjutnya Inggris tahun 1752 mendirikan maskapai di Natal dan Tapanoeli
yang berada di bagian utara Pantai Barat (lihat Groninger courant, 14-12-1824).
Sebagaimana dilaporkan Amsterdamse courant, 07-07-1757,
bahwa kapal de Princes van Oranje tiba di Porto Chinco; tanggal 30 Juli kapal
Ouwerkerk tiba di Padang dan kapal de Chaloup de Overmaas tiba Porto Chinco.
Juga ditemukan kapal de Spaarsaamheid tanggal 7 Maret tiba di Padang (Leydse
courant, 06-07-1759). Kapal Pasgeld tanggal 23 Februari (1760) akan berangkat
ke Padang dan China (Leydse courant, 12-12-1759).
Pada tahun 1761 terjadi pertempuran antara
dua negara yang berseteru di Eropa di laut Pantai Barat Sumatra. Dalam hal ini
Perancis mampu mengalahkan Inggris. Lalu Perancis mengambil alih pantai barat
Sumatra dari Inggris. Laporan mengenai perseteruan Perancis dan Inggris ini
dapat dibaca pada surat kabar Leeuwarder courant edisi no 219 tanggal 15-07-1761.
Dalam perkembangan berikutnya, Inggris kembali mendapatkan kekuasaannya di
pantai barat Sumatra.
Leydse courant, 26-06-1761: ‘..4 Februari 1760, kapal
Perancis berlabuh di fort Ayer Bongi (Air Bangis), 7 Februari 1760 Inggris
mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal ini diduduki oleh 40
Eropa dan 60 orang pribumi.
Pada dekade-dekade tersebut, kekuatan laut
Inggris yang berbasis di India sangat kuat namun kecolongan di Pantai Barat
Sumatra. Tempat-tempat yang menjadi perebutan tiga negara (Inggris, Perancis
dan ditambah Belanda) di Pantai Barat Sumatra tampak silih berganti seperti di
Bengkulu (dan Moco-moco), Padang (dan Pariaman), Air Bangie dan Nata; Tapanoeli
(dan Baros). Struktur pemerintahan Belanda (VOC) pada tahun 1764 di Pantai
Barat Sumatra adalah sebagai berikut:
yang diangkat sebagai Letnan Gubernur yang berkedudukan di Padang adalah
Henry van Haveren dengan perangkat-perangkatnya termasuk di Pulau Chinco, Air
Bangies dan Baros.
Leydse courant, 04-05-1764: ‘Sumatra Westkust. Untuk
Komandan Letnan Gubernur ditunjuk Merchant Henry van Haveren; Untuk
Adminiflrateur pertama Gubernur adalah pedagang (Koopman) Mr. John Anthony
Thierens, Sedangkan untuk Fifcaal dan Caffier disini digantikan oleh Merchant
Jan Kalkoen van Limburg; Untuk pengawas adalah Pedagang Roeland Palm yang
merangkap sebagai Rcsident dari (pulau) Chinco, dan Jan Boudewyns di
Ayerbangis; serta Anthony Hend.Siebens untuk Baros. Sementara itu Adminiftreiur
kedua di Padang ditunjuk untuk mempekerjakan orang lokal dibawah Koopman Frans
Douglass dan yang terakhir untuk Sekretaris yang merangkap kepala Policie
adalah di bawah Koopman Jan Fredrik William Nicolay’.
Berdasarkan informasi-informasi tersebut sulit untuk mengkonfirmasi catatan kuno yang
berjudul ‘Permoelajan Berdiri Poehoen’ tentang periode kepemimpinan panglima sebelum
tahun 1783. Namun yang jelas, pemerintahan VOC sudah terindikasi di Padang
sejak tahun 1764 (berdasarkan berita surat kabar Leydse courant, 04-05-1764). Pada
tahun ini juga terindikasi VOC mulai melibatkan (pemimpin) orang local.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Lebih tepatnya 'Sejarah pemerintahan Padang versi Belanda'. Jika mengacu kepada kata 'pemerintah' maka itu berlaku semenjak mula didirikan oleh Orang Minangkabau, kemudian masa berada di bawah pengaruh Kerajaan Aceh, lempas itu silih berganti dikuasai Eropa, dan berakhir di tangan Belanda.
[2] Sekali lagi diperlukan pengetahuan tentang Kebudayaan Minangkabau dalam membahas tarikh (sejarah) salah satu daerah di Minangkabau. 'Puhun' merupakan salah satu kosa kata bahasa Minangkabau Lama yang telah punah penggunaannya. Tertiggal jejaknya hanya pada beberapa fragmen dalam kehidupan Minangkabau sekarang, salah satunya ialah pada nama salah satu suku yakni 'Jambak Puhun'.
'Puhun' memiliki bermacam makna salah satunya ialah 'ke bawah' atau 'arah ke bawah'. Kata 'puhun' juga ditemukan pada karya sastra Melayu Klasik, contohnya 'puhunkan hamba' yang maknanya 'maafkan hamba' atau 'maafkan saya' .
Apabila kita kaitkan dengan salah satu data sejarah di atas, maka kata 'puhun' mengacu ke pada arah ke bawah dimana kawasan Muaro berada di arah selatan Kota Padang sekarang.
[3] Kata 'Megat' di Minangkabau mengacu kepada kalangan bangsawan atau ahli kerajaan. Dalam hal ini D. Maharaja Besar I kemungkinan berasal dari golongan bangsawan atau kerajaan di Negeri Padang masa itu atau merupakan salah seorang pangeran dari Pagaruyuang.
[4] Urang Kayo Kaciak, pemimpin dari 8 (delapan) suku di Negeri Padang.
[2] Sekali lagi diperlukan pengetahuan tentang Kebudayaan Minangkabau dalam membahas tarikh (sejarah) salah satu daerah di Minangkabau. 'Puhun' merupakan salah satu kosa kata bahasa Minangkabau Lama yang telah punah penggunaannya. Tertiggal jejaknya hanya pada beberapa fragmen dalam kehidupan Minangkabau sekarang, salah satunya ialah pada nama salah satu suku yakni 'Jambak Puhun'.
'Puhun' memiliki bermacam makna salah satunya ialah 'ke bawah' atau 'arah ke bawah'. Kata 'puhun' juga ditemukan pada karya sastra Melayu Klasik, contohnya 'puhunkan hamba' yang maknanya 'maafkan hamba' atau 'maafkan saya' .
Apabila kita kaitkan dengan salah satu data sejarah di atas, maka kata 'puhun' mengacu ke pada arah ke bawah dimana kawasan Muaro berada di arah selatan Kota Padang sekarang.
[3] Kata 'Megat' di Minangkabau mengacu kepada kalangan bangsawan atau ahli kerajaan. Dalam hal ini D. Maharaja Besar I kemungkinan berasal dari golongan bangsawan atau kerajaan di Negeri Padang masa itu atau merupakan salah seorang pangeran dari Pagaruyuang.
[4] Urang Kayo Kaciak, pemimpin dari 8 (delapan) suku di Negeri Padang.