Tradisi Berhari Raya Dahulunya

Gambar: https://niadilova.wordpress.com
NAGARI JANG ROYAAL
            
Pada kita dikabarkan orang, waktoe hendak berhari raja di nagari Pasir Lawas dalam bilangan Tilatang, orang soedah memotong kerbau dan djawi sedjoemlah 29 ekor.

            Pemotongan hewan bersama sama ini ada menoeroet kebiasaan dalam negeri negeri hampir di sekitar Minangkabau ini. Akan tetapi dimoesim soesah dalam zaman malaise ini, kebiasaan jang demikian telah dioebah orang ertinja tidak dipakai lagi. Akan tetapi berlainan keadaannja dengan Pasir Lawas jang mesti soesah dinasihati oleh Kepala Negeri dan Asistent Demang, mereka tidak mengindahkan nasihat itoe dan achirnja pemotongan hewan itoe diteroeskan djoega.

            Njatalah jang disana orang tidak mengenal malaise hingga Pasir Lawas tetap dalam pemandangan orang orang jang berkelilingnja, sebagai soeatoe nagari jang royaal.

            Berlain keadaannja dengan Sipisang dalam bagian itoe djoega, jang meskipoen pendoedoek[nja] ada bermaksoed djoega hendak memotong hewan sebagai kebiasaan setiap tahoen, tetapi setelah dinasihati oleh Kepala Negerinja teroetama setelah diperingati bagaimana kesoesahan hidoep dimasa ini, maka maksoed itoe dengan ragam telah ditoeroet oleh anak negerinja.

***


Laporan surat kabar Sinar Sumatra, No. 3, Tahoen ke 32, Hari Saptoe 4 Januari 1936/10 Tjap Dji Gwee 2486 -9 Sjawal 1354) tentang tradisi menyembelih hewan (mambantai) dalam perayaan Idul Fitri di Minangkabau. Hewan yang disembelih biasanya kerbau dan sapi (jawi). Sebagaimana berlaku sampai sekarang, selepas shalat Idul Fitri (shalat Hari Raya), masyarakat pergi ke pambataian untuk menyaksikan pemotongan kerbau dan sapi secara beramai-ramai. Daging hewan sembelihan dibagi-bagi (dionggok) untuk dijual kepada anggota masyarakat. Biasanya tunjang kerbau dan sapi yang disembelih akan diperuntukkan bagi lebai, penghulu atau anggota kelas atas dari kampung yang bersangkutan dengan cara melelangnya.

Rupanya ini tradisi mambatai di Hari Raya ini diadakan dengan cara cukup besar-besaran di nagari-nagari tertentu. Jumlah hewan yang disembelih lebih besar dari jumlah hewan yang disembelih pada Hari Raya Haji atau Idul Adha.

Mungkin aktivitas “mendarahi nagari” ini merefleksikan primordialisme dan kepurbaan manusia. Akan tetapi dalam konteks Minangkabau, “ritual menyembelih hewan” di Hari Rayo Gadang (Idul Fitri) ini tampaknya juga sebagai cara untuk menunjukkan gengsi satu nagari. Kita sudah mengetahui bahwa masing-masing nagari memiliki kedudukan yang sama, sehingga mereka saling menunjukkan gengsi melalui berbagai aktivitas, antara lain adalah aktivitas menyembelih kerbau dan sampi setelah shalat Idul Fitri.

Laporan di atas merefleksikan suara kritis terhadap tradisi ini. Disebutkan bahwa walaupun negeri (Hindia Belanda) sedang mengalami krisis ekonomi (malaise), penduduk nagari Pasir Lawas (Pasia Laweh) di darek tetap melaksanakan penyembelihan (mambantai) kerbau sebanyak 29 ekor, walaupun warga nagari itu sudah dinasehati oleh pemimpin setempat (Kepala Nagari dan Asistent Demang) untuk tidak melaksanakannya demi penghematan.

Sebaliknya, anak nagari Sipisang, nagari tetangga Pasia Laweh, tidak melakukan penyembelihan sapi dan kerbau secara besar-besaran seperti biasanya, karena mereka mengikuti nasehat para pemimpin mereka untuk berhemat karen malaise sedang melanda Hindia Belanda.

Laporan ini memberi refleksi kepada kita sejauh mana krisis ekonomi tahun 1930-an mempengaruhi masyarakat Hindia Belanda. Dapat dikesan bahwa efeknya dirasakan sampai jauh ke pelosok kampung.

Dr. Suryadi – Leiden University, the Netherlands / Padang Ekspres, Minggu 4 Agustus 2019

_____________________________

Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri: Niadilova.wordpress.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar