Ilustrasi Gambar: https://www.saribundo.biz |
Episode : Tabantuaknyo Balai Saruang jo Balai Nan Panjang
Pengantar Janang : Banyak versi Tambo tentang kisah Datuak Katumanggungan jo Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Barikuikkan Janang turunkan kisah Tambo tantang tagaknyo Balai Saruang jo Balai Nan Panjang, tampek dirumuskannyo Adat Alam Minangkabau, yang sangat kental dengan ABS-SBK-nya.
Riwayat tentang Balai Saru-ang dan Balai Nan Panjang, berkaitan dengan kisah Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan di masa lalu.
Datuak Parpatiah Nan Sabatang pada masa kecil hingga mudanya bernama Sutan Balun. Datuak Katumanggungan juga punya nama kecil. Nama kecil Datuak Ketumanggungan yaitu Sutan Rumandung atau Sutan Rumanduang, atau kalau diterjemahkan menjadi Pangeran Matahari.
Sutan Balun dan Sutan Rumanduang masih bersaudara. Sutan Rumanduang yang tua dan Sutan Balun yang muda. Mereka berbeda ayah, tapi satu ibunya. Ayah Sutan Rumandung Raja di Rantau Tanah Jao, sedang ayah Sutan Balun adalah pegawai kerajaan.
Ketika saudara mereka naik nobat sebagai raja di Tanah Jao banyak terjadi pemberontakan, Maka mereka memutuskan untuk bahu-membahu membantu saudaranya itu. Sutan Rumandung karena pernah di besarkan dilingkungan kerajaan, maka tak kesulitan dalam merapatkan diri, sehingga ia kemudian diangkat menjadi Tumenggung.
Sedangkan Sutan Balun menempuh cara mambasuik dari bumi. Yaitu dengan cara menyusup dan menyamar sebagai rakyat biasa. Sebelum ke Tanah Jao ia malah singgah di Pulaiu Bali. Kemudian ia baru pergi ke ibukota kerajaan.
Namun karena kesaktian selaku anak dari Cati Bilang Pandai (Indo Jati) tak lama kemudian ia di angkat jadi bekel (ketua) prajurit istana. Berkat kecerdasannya dan ketangguhannya, selanjutnya ia diangkat pula jadi Patih. Bahkan taklama antaranya ia dipromosikan menjadi Mahapatih.
Semenjak itu mereka berdua sering bahu-membahu menyusun kekuatan membela kerajaan hingga kerajaan tersebut menjadi besar. Tentu saja tanpa banyak yang tahu, bahwa sesungguhnya Patih dan Tumenggung itu adalah dua orang yang bersaudara.
Setelah lama di rantau, suasana mulai berubah. Apalagi kekuatan kerajaan-kerajaan Islam semakin berkembang dan mendesak kekuatan pusat. Pertikaian di dalam kerajaan juga kian menjadi-jadi. Sutan Rumandung yang jadi Tumenggung sering mengalami kekecewaan, sehingga ia berniat pulang kampung ke Ranah Minang.
Setiba di kampung halaman suasana di Ranah Minang ternyata juga telah berubah. Ia merasa asing di tanah kelahiraannya sendiri. Apalagi ajaran Islam telah berkembang dengan pesat. Sementara ia dan pengiringnya menganut ajaran Bhairawa (satu sekte dari agama Budha)
Ia coba pindah dari Darmasyraya ke Pariangan. Ternyata di kaki gunung Marapi itu ajaran Islam lebih kental. Semula ia mempelajari Islam dengan tujuan untuk mencari kelemahannya.Tetapi, setelah beberapa tahun Ia malah memutuskan untuk bersyahadat.
Setelah menjadi muslim dan menjadi penganjur Islam yang taat, Ia didaulat menjadi Datuak Katumanggungan. Sejak itu ia kembali diterima oleh masyarakatnya. Karena itu pula ia bersama pemuka adat Minangkabau waktu itu merumuskan Undang Tariak Baleh (Hukum Qisas) sebagai pengganti Undang Si Lamo-Lamo dan Undang Si Gamak-Gamak.
***
Kini beralih cerita pada Sutan yang telah menjadi Mahapatih di Tanah Jao. Selama menjadi Mahapatih,ia tidak hanya bepergian untuk memimpin angkatan perang.Tetapi ia memanfaatkan untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan.
Ia menuntut berbagai ilmu di negeri orang. Ia bahkan beberapa kali sampai ke negeri Cina sebagai wakil kerajaan. Kecerdasan Sutan Balun tentu semakin bertambah.
Namun, akhirnya saudaranya yang menjadi raja mangkat. Selanjutnya digantikan oleh beberapa keturunannya. Tapi lama kelamaan ia menjadi tidak betah. Kebesaran kerajaan membuat masyarakat di lingkungan Istana menjadi pongah.
Bahkan ia sering kecewa pada berbagai pola dan kebijakan yang diterapkan di sana. Setelah rasa sabarnya tak lagi terbendung iapun berlayar ke tengah lautan. Ia meninggalkan jabatannya dan hilang dari pandangan masyarakat di sana.
Datang entah dari mana ,dan pergipun entah ke mana. Demikian orang di Tanah Jao menggambarkan keberadaannya. Sehingga hampir tak ada yang tahu kalau Sang Mahapatih itu bertolak pulang ke kampung halamannya di Ranah Minang.
Sutan Balun rindu pada kampung halaman. Ia juga rindu pada kakaknya. Apalagi Sutan Rumandung adalah kakak satu-satunya. Sementara ibu mereka telah tiada. Kerinduan yang mengharu-biru membuat ia segera ingin kembali bersama.
Sutan Balun akhirnya sampai di kampung halaman. Setelah sampai, Sutan Rumandung merasa lega. Kepulangan adiknya disambut dengan gembira. Ia segera mendatangi rumah kediaman adiknya.
Kedua bersaudara itu berjabat tangan dan berpelukan dengan penuh sukacitanya. Bahkan ia mengadakan upacara penyambutan bersama masyarakat dan mendaulat mantan Mahapatih yang kemudian dikenal menjadi Datuak Parpatiah Nan Sabatang...
Hanya saja ada kekecawaan yang mendalam di hati Sutan Balun. Ia merasa kecewa karena kakaknya telah menjadi muslim. Pada hal sewaktu sama-sama menjadi pembesar kerajaan di Tanah Jao musuh bebuyutan mereka adalah kerajaan-kerajaan Islam yang semakin menguat.
Akhirnya rasa kecewannya juga tak bisa dipendam lagi. Ia coba mencari akal. Bermodalkan kecerdasannya Sutan Balun mendebat Datuak Katumanggungan soal Undang Undang Tarik Balas. Sutan Balun mengatakan bahwa Undang-Undang ini mempunyai kelemahan. Kelemahan ini membuat rakyat kurang puas.
Bahkan hal ini menurut Sutan Balun membuat orang teraniaya. Mati satu maka harus mati satu lagi, sakit seorang maka harus sakit seorang lagi.
“Bagaimana bila di masa depan akan lebih banyak terjadi kejahatan. Orang yang akan menerima balasan tentu akan banyak pula”. ujarnya pada Datuak Katumanggungan.
Segala uneg-unegnya ia sampaikan kepada kakaknya. Ia sangat cinta kepada kebenaran. Rasa kemanusiaannya memancar menyinari otaknya, karena itu ia bertekad untuk memperjuangkan agar hukum yang sedang berlaku dikoreksi kembali.
Setelah disampaikan, Sutan Rumandung merasa kagum pada pikiran adiknya. Ia dapat merasakan apa yang dirasakan Sutan Balun. Hampir sama dengan apa yang pernah dirasakannya sebelum ia paham dengan ajaran Islam yang mulia. Ia tentu juga tak ingin memaksa adiknya untuk segera sepaham dengannya. Karena itu dengan bijak Datuak Katumanggungan berjanji untuk mempertimbangkannya usul adiknya.
Semula Sutan Balun merasa gembira. Tapi ternyata kakaknya tidak berbuat apa-apa. Ia mulai tak sabar. Padahal Datuak Katumanggungan sebenarnya ingin adiknya mau mempelajari Undang Tariak Baleh dengan lebih rasional. Bukan dengan emosional.
Namun Sutan Balun dan pengikutnya justru tampak menjadi curiga, dan mengira Datuak Katumanggungan takut kalah pamor dari adiknya.
Untuk menghindari hal yang kurang menyenangkan hati Sutan Balun dan pendukungnya, maka dengan penuh kebijakan ia mengundang pemuka-pemuka masyarakat untuk membicarakannya. Dalam keikhlasannnya yang kini dituntun oleh aturan yang disukai Allah SWT, maka ia yakin, akhirnya Allah SWT akan memberikan hidayah pula pada adiknya. Seperti yang tertuang dalam pantun Minang berikut :
Nan bana tak lakang dek paneh, nan hak tak lapuak dek hujan,
Walaupun nafasu nan mambateh, hancua luluah dek kanyataan.
(Yang benar tak rengkah oleh panas, Yang hak tak lapuk oleh hujan,
Walaupun nafsu yang membatas, hancur luluh oleh kenyataan.)
Datuak Katumanggungan mengusulkan agar saran Sutan Balun dan pendukungnya itu dibahas dengan pemuka-pemuka masyarakat. Setelah musyawarahlah itulah akan ditetapkan, apakah memang perlu dibentuk undang-undang yang baru.
Agar pembicaraan jangan sampai diketahui oleh umum, dan tidak memancing keributan, sebelum diputuskan maka diperlukan sebuah tempat yang aman untuk mengkaji persoalan. Sutan Balun mengusulkan agar Balai Nan Panjang di Nagari Tabek diambil seruang yang yang ditengahnya. Balai yang seruang ini dipindahkan ke Pariangan dan dinamakan Balai Saruang.
Setelah Balai Saruang di Pariangan siap, dimulailah rapat tersebut. Menurut Sutan Balun, peraturan yang akan dirumuskan hendaklah sesuai dengan kehendak masyarakat (Mambasuik dari bumi dalam proses duduak sahamparan, tagak sapamatang ) dan logis (berdasakan puncak pemikiran yang cerdas atau bodi catni arga) yang tidak melanggar kebenaran. Hal ini karena yang akan memakai adalah masyarakat juga.
Pendapat-pendapat dan keinginan rakyat harus diterima sebagai bahan pertimbangan. Pendapat ini bisa menjadi pedoman dalam membentuk undang-undang.
Sementara Datuak Katumanggungan yang telah sangat mantap dengan ajaran Islam mengatakan bahwa manusia hanyalah makhluk ciptaan Allah SWT. Karena itu segala aturan yang akan dirumuskan harus didasarkan kepada ajaran yang telah diturunkan oleh Allah SWT (Titiak dari ateh, bajanjang naiak batanggo turun : Nan babarih nan bapaek, nan baukua nan bakabuang ). Jadi setiap aturan yang dirumuskan haruslah aturan yang disukai oleh Allah SWT.
Musyawarah itu akhirnya menjadi wadah sambung rasa. Terutama karena Datuak Katumanggungan tidak pernah mencela apalagi menyalahkan pendapat Sutan Balun.
Perdebatan memang berlangsung sengit. Tetapi bukan membuat keduanya sama-sama berkeras untuk memaksakan pahamnya. Melainkan mereka sama-sama berusaha membuat pihak lawan untuk berpikir jernih. (Inilah kemudian yang menjadi cikal budaya Alua Pasambahan)
Karena ia dihormati dengan santunnya oleh pihak Datuak Katumanggungan, lama kelamaan nuraninya tergugah. Tirai yang membuat ia jadi berjarak dengan kakaknya tersibak. Ternyata apa yang ia inginkan tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi roh dari Undang Tariak Baleh.
Bahkan ia merasa gagasannya menjadi semakin lengkap ketika pihak Datuak Katumanggungan beserta pendukungnya menjabarkan konsep Islam tentang gagasannya itu.
Akhirnya dengan sangat bijak rapat di Balai Saruang itu menetapkan kesepakatan untuk tidak sepakat. Di mana kedua paham dari pihak Sutan Balun dan pendukungnya, serta paham Datuak Katumanggungan dan pendukungnya sama-sama boleh diterapkan di Minangkabau. Adat inilah yang kemudian dikenal sebagai Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah.....
Akhirnya hasil rapat ini dibawa ke Balai Nan Panjang untuk dikukuhkan untuk dimaklumkan kepada umum. Untuak ditabukan ka nan rami, dilewakan ka nan banyak......
(Dikutip dari Buku Yulfian Azrial, Raja (rujukan) BAM (Budaya Alam Minangkabau) hal 21-25)
Pengantar Janang : Banyak versi Tambo tentang kisah Datuak Katumanggungan jo Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Barikuikkan Janang turunkan kisah Tambo tantang tagaknyo Balai Saruang jo Balai Nan Panjang, tampek dirumuskannyo Adat Alam Minangkabau, yang sangat kental dengan ABS-SBK-nya.
Riwayat tentang Balai Saru-ang dan Balai Nan Panjang, berkaitan dengan kisah Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan di masa lalu.
Datuak Parpatiah Nan Sabatang pada masa kecil hingga mudanya bernama Sutan Balun. Datuak Katumanggungan juga punya nama kecil. Nama kecil Datuak Ketumanggungan yaitu Sutan Rumandung atau Sutan Rumanduang, atau kalau diterjemahkan menjadi Pangeran Matahari.
Sutan Balun dan Sutan Rumanduang masih bersaudara. Sutan Rumanduang yang tua dan Sutan Balun yang muda. Mereka berbeda ayah, tapi satu ibunya. Ayah Sutan Rumandung Raja di Rantau Tanah Jao, sedang ayah Sutan Balun adalah pegawai kerajaan.
Ketika saudara mereka naik nobat sebagai raja di Tanah Jao banyak terjadi pemberontakan, Maka mereka memutuskan untuk bahu-membahu membantu saudaranya itu. Sutan Rumandung karena pernah di besarkan dilingkungan kerajaan, maka tak kesulitan dalam merapatkan diri, sehingga ia kemudian diangkat menjadi Tumenggung.
Sedangkan Sutan Balun menempuh cara mambasuik dari bumi. Yaitu dengan cara menyusup dan menyamar sebagai rakyat biasa. Sebelum ke Tanah Jao ia malah singgah di Pulaiu Bali. Kemudian ia baru pergi ke ibukota kerajaan.
Namun karena kesaktian selaku anak dari Cati Bilang Pandai (Indo Jati) tak lama kemudian ia di angkat jadi bekel (ketua) prajurit istana. Berkat kecerdasannya dan ketangguhannya, selanjutnya ia diangkat pula jadi Patih. Bahkan taklama antaranya ia dipromosikan menjadi Mahapatih.
Semenjak itu mereka berdua sering bahu-membahu menyusun kekuatan membela kerajaan hingga kerajaan tersebut menjadi besar. Tentu saja tanpa banyak yang tahu, bahwa sesungguhnya Patih dan Tumenggung itu adalah dua orang yang bersaudara.
Setelah lama di rantau, suasana mulai berubah. Apalagi kekuatan kerajaan-kerajaan Islam semakin berkembang dan mendesak kekuatan pusat. Pertikaian di dalam kerajaan juga kian menjadi-jadi. Sutan Rumandung yang jadi Tumenggung sering mengalami kekecewaan, sehingga ia berniat pulang kampung ke Ranah Minang.
Setiba di kampung halaman suasana di Ranah Minang ternyata juga telah berubah. Ia merasa asing di tanah kelahiraannya sendiri. Apalagi ajaran Islam telah berkembang dengan pesat. Sementara ia dan pengiringnya menganut ajaran Bhairawa (satu sekte dari agama Budha)
Ia coba pindah dari Darmasyraya ke Pariangan. Ternyata di kaki gunung Marapi itu ajaran Islam lebih kental. Semula ia mempelajari Islam dengan tujuan untuk mencari kelemahannya.Tetapi, setelah beberapa tahun Ia malah memutuskan untuk bersyahadat.
Setelah menjadi muslim dan menjadi penganjur Islam yang taat, Ia didaulat menjadi Datuak Katumanggungan. Sejak itu ia kembali diterima oleh masyarakatnya. Karena itu pula ia bersama pemuka adat Minangkabau waktu itu merumuskan Undang Tariak Baleh (Hukum Qisas) sebagai pengganti Undang Si Lamo-Lamo dan Undang Si Gamak-Gamak.
***
Kini beralih cerita pada Sutan yang telah menjadi Mahapatih di Tanah Jao. Selama menjadi Mahapatih,ia tidak hanya bepergian untuk memimpin angkatan perang.Tetapi ia memanfaatkan untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan.
Ia menuntut berbagai ilmu di negeri orang. Ia bahkan beberapa kali sampai ke negeri Cina sebagai wakil kerajaan. Kecerdasan Sutan Balun tentu semakin bertambah.
Namun, akhirnya saudaranya yang menjadi raja mangkat. Selanjutnya digantikan oleh beberapa keturunannya. Tapi lama kelamaan ia menjadi tidak betah. Kebesaran kerajaan membuat masyarakat di lingkungan Istana menjadi pongah.
Bahkan ia sering kecewa pada berbagai pola dan kebijakan yang diterapkan di sana. Setelah rasa sabarnya tak lagi terbendung iapun berlayar ke tengah lautan. Ia meninggalkan jabatannya dan hilang dari pandangan masyarakat di sana.
Datang entah dari mana ,dan pergipun entah ke mana. Demikian orang di Tanah Jao menggambarkan keberadaannya. Sehingga hampir tak ada yang tahu kalau Sang Mahapatih itu bertolak pulang ke kampung halamannya di Ranah Minang.
Sutan Balun rindu pada kampung halaman. Ia juga rindu pada kakaknya. Apalagi Sutan Rumandung adalah kakak satu-satunya. Sementara ibu mereka telah tiada. Kerinduan yang mengharu-biru membuat ia segera ingin kembali bersama.
Sutan Balun akhirnya sampai di kampung halaman. Setelah sampai, Sutan Rumandung merasa lega. Kepulangan adiknya disambut dengan gembira. Ia segera mendatangi rumah kediaman adiknya.
Kedua bersaudara itu berjabat tangan dan berpelukan dengan penuh sukacitanya. Bahkan ia mengadakan upacara penyambutan bersama masyarakat dan mendaulat mantan Mahapatih yang kemudian dikenal menjadi Datuak Parpatiah Nan Sabatang...
Hanya saja ada kekecawaan yang mendalam di hati Sutan Balun. Ia merasa kecewa karena kakaknya telah menjadi muslim. Pada hal sewaktu sama-sama menjadi pembesar kerajaan di Tanah Jao musuh bebuyutan mereka adalah kerajaan-kerajaan Islam yang semakin menguat.
Akhirnya rasa kecewannya juga tak bisa dipendam lagi. Ia coba mencari akal. Bermodalkan kecerdasannya Sutan Balun mendebat Datuak Katumanggungan soal Undang Undang Tarik Balas. Sutan Balun mengatakan bahwa Undang-Undang ini mempunyai kelemahan. Kelemahan ini membuat rakyat kurang puas.
Bahkan hal ini menurut Sutan Balun membuat orang teraniaya. Mati satu maka harus mati satu lagi, sakit seorang maka harus sakit seorang lagi.
“Bagaimana bila di masa depan akan lebih banyak terjadi kejahatan. Orang yang akan menerima balasan tentu akan banyak pula”. ujarnya pada Datuak Katumanggungan.
Segala uneg-unegnya ia sampaikan kepada kakaknya. Ia sangat cinta kepada kebenaran. Rasa kemanusiaannya memancar menyinari otaknya, karena itu ia bertekad untuk memperjuangkan agar hukum yang sedang berlaku dikoreksi kembali.
Setelah disampaikan, Sutan Rumandung merasa kagum pada pikiran adiknya. Ia dapat merasakan apa yang dirasakan Sutan Balun. Hampir sama dengan apa yang pernah dirasakannya sebelum ia paham dengan ajaran Islam yang mulia. Ia tentu juga tak ingin memaksa adiknya untuk segera sepaham dengannya. Karena itu dengan bijak Datuak Katumanggungan berjanji untuk mempertimbangkannya usul adiknya.
Semula Sutan Balun merasa gembira. Tapi ternyata kakaknya tidak berbuat apa-apa. Ia mulai tak sabar. Padahal Datuak Katumanggungan sebenarnya ingin adiknya mau mempelajari Undang Tariak Baleh dengan lebih rasional. Bukan dengan emosional.
Namun Sutan Balun dan pengikutnya justru tampak menjadi curiga, dan mengira Datuak Katumanggungan takut kalah pamor dari adiknya.
Untuk menghindari hal yang kurang menyenangkan hati Sutan Balun dan pendukungnya, maka dengan penuh kebijakan ia mengundang pemuka-pemuka masyarakat untuk membicarakannya. Dalam keikhlasannnya yang kini dituntun oleh aturan yang disukai Allah SWT, maka ia yakin, akhirnya Allah SWT akan memberikan hidayah pula pada adiknya. Seperti yang tertuang dalam pantun Minang berikut :
Nan bana tak lakang dek paneh, nan hak tak lapuak dek hujan,
Walaupun nafasu nan mambateh, hancua luluah dek kanyataan.
(Yang benar tak rengkah oleh panas, Yang hak tak lapuk oleh hujan,
Walaupun nafsu yang membatas, hancur luluh oleh kenyataan.)
Datuak Katumanggungan mengusulkan agar saran Sutan Balun dan pendukungnya itu dibahas dengan pemuka-pemuka masyarakat. Setelah musyawarahlah itulah akan ditetapkan, apakah memang perlu dibentuk undang-undang yang baru.
Agar pembicaraan jangan sampai diketahui oleh umum, dan tidak memancing keributan, sebelum diputuskan maka diperlukan sebuah tempat yang aman untuk mengkaji persoalan. Sutan Balun mengusulkan agar Balai Nan Panjang di Nagari Tabek diambil seruang yang yang ditengahnya. Balai yang seruang ini dipindahkan ke Pariangan dan dinamakan Balai Saruang.
Setelah Balai Saruang di Pariangan siap, dimulailah rapat tersebut. Menurut Sutan Balun, peraturan yang akan dirumuskan hendaklah sesuai dengan kehendak masyarakat (Mambasuik dari bumi dalam proses duduak sahamparan, tagak sapamatang ) dan logis (berdasakan puncak pemikiran yang cerdas atau bodi catni arga) yang tidak melanggar kebenaran. Hal ini karena yang akan memakai adalah masyarakat juga.
Pendapat-pendapat dan keinginan rakyat harus diterima sebagai bahan pertimbangan. Pendapat ini bisa menjadi pedoman dalam membentuk undang-undang.
Sementara Datuak Katumanggungan yang telah sangat mantap dengan ajaran Islam mengatakan bahwa manusia hanyalah makhluk ciptaan Allah SWT. Karena itu segala aturan yang akan dirumuskan harus didasarkan kepada ajaran yang telah diturunkan oleh Allah SWT (Titiak dari ateh, bajanjang naiak batanggo turun : Nan babarih nan bapaek, nan baukua nan bakabuang ). Jadi setiap aturan yang dirumuskan haruslah aturan yang disukai oleh Allah SWT.
Musyawarah itu akhirnya menjadi wadah sambung rasa. Terutama karena Datuak Katumanggungan tidak pernah mencela apalagi menyalahkan pendapat Sutan Balun.
Perdebatan memang berlangsung sengit. Tetapi bukan membuat keduanya sama-sama berkeras untuk memaksakan pahamnya. Melainkan mereka sama-sama berusaha membuat pihak lawan untuk berpikir jernih. (Inilah kemudian yang menjadi cikal budaya Alua Pasambahan)
Karena ia dihormati dengan santunnya oleh pihak Datuak Katumanggungan, lama kelamaan nuraninya tergugah. Tirai yang membuat ia jadi berjarak dengan kakaknya tersibak. Ternyata apa yang ia inginkan tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi roh dari Undang Tariak Baleh.
Bahkan ia merasa gagasannya menjadi semakin lengkap ketika pihak Datuak Katumanggungan beserta pendukungnya menjabarkan konsep Islam tentang gagasannya itu.
Akhirnya dengan sangat bijak rapat di Balai Saruang itu menetapkan kesepakatan untuk tidak sepakat. Di mana kedua paham dari pihak Sutan Balun dan pendukungnya, serta paham Datuak Katumanggungan dan pendukungnya sama-sama boleh diterapkan di Minangkabau. Adat inilah yang kemudian dikenal sebagai Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah.....
Akhirnya hasil rapat ini dibawa ke Balai Nan Panjang untuk dikukuhkan untuk dimaklumkan kepada umum. Untuak ditabukan ka nan rami, dilewakan ka nan banyak......
(Dikutip dari Buku Yulfian Azrial, Raja (rujukan) BAM (Budaya Alam Minangkabau) hal 21-25)
_________________________
Disalin dari kiriman facebook Urang Minang Sedunia
pada 12 Juni 2010