Sumber Gambar: http://thina-holmes.blogspot.com |
Oleh : Andiko Sutan Mancayo.
Mula-mula sengsara tiba di badan,
Di negeri Kamang orang namakan,
Malam Selasa petang Isnayan.
Pukul tiga malam serdadu datang,
Pikul senapan serta kelewang,
Tegak di halaman bedil dipegang,
Kemendur Tiga opas sudahlah terang.
Sya’ir Parang Kamang ditulis oleh H. Ahmad Marzuki, anak dari Syekh Haji
Abdul Manan, seorang tokoh terkemuka di Kamang dan juga tokoh penting
dalam pemberontakan Nagari Kamang tahun 1908 terhadap Kompeni Belanda.
Kamang !.....
Pagi baru saja mendaki, perlahan matahari merambat, menjilat dinding-dinding rumah Gadang, waktu akan mengantarkannya ke bubungan, dan tentunya, pada puncak yang runcing, matahari yang tertusuk, akan memendarkan cahaya, menerangi beberapa rangkiang, satu si bayau-bayau dan satu Sitinjau Lauik.
Pagi baru saja mendaki, perlahan matahari merambat, menjilat dinding-dinding rumah Gadang, waktu akan mengantarkannya ke bubungan, dan tentunya, pada puncak yang runcing, matahari yang tertusuk, akan memendarkan cahaya, menerangi beberapa rangkiang, satu si bayau-bayau dan satu Sitinjau Lauik.
Bidin sedang bersiap, seorang pemuda tanggung yang hatinya sedang berbunga-bunga. Tiba-tiba sekeliling rumah gadang ibunya, berubah. Parak kecil,
tempat mandehnya menanam berbagai bumbu, telah berubah menjadi lautan
bunga, ada anyelir, kembang sepatu, bunga bakung, dan tentu saja
pokok-pokok mawar dan melati.
Yah begitulah perasaan ketika sedang jatuh cinta. Ah…....Bidin mendesah, lama sekali waktu berjalan. Tak sabar rasanya hendak melangkah ke halaman, kemudian menghilang ke kerumunan pasar, ya pasar. Hari ini Senin, November 1959, Pasar Kamang pasti sangat ramai.
Orang-orang akan berdatangan dari kampung-kampung di sekitar Kamang dan bahkan para penggalas akan datang dari kampung-kampung kecil di sekitar Agam. Tapi bukan itu yang sedang di pikirkan Bidin. Sejak sebuah senyum simpul dilemparkan Rukiah, si Gadih Rantih kembang nagari kepadanya ketika melintas di alek Nagari beberapa waktu lalu, Bidin seolah demam.
Air diminum seperti sekam, nasi dimakan serasa duri. Malam larut dan hening tak menghantarkannya pada dengkur menjelang pagi, tetapi justru mengantarkannya pada penyakit yang sulit obatnya.Ya….pitanggang, sebuah penyakit yang membuat orang tak bisa tidur-tidur, malam terlewati dengan menghitung kasau di langit-langit surau tempat ia tidur bersama teman-temannya.
Matanya menelisik tiap ikatan antara kasau dan lae, di sanalah atap disusun, dan disela-sela itu selalu ada senyum simpul itu, senyum simpul Rukiah. Bidin telah di racun rindu ! Ah….Bidin mendesah dan bergumam.
Alah den tutuik jo tapak tangan, namun di salo jari tampak juo.
..ondehhh Rukiah
Bidin sudah tidak tahan lagi. Seketika ia bergegas menuruni tangga rumah gadang mandehnya, lalu seperti orang ketinggalan kereta, Bidin berlari ke pasar Kamang. Cinta telah membuatnya tak peduli dengan desas desus, bahwa Bukittinggi telah jatuh ke tangan Tentara Pusat, nyaris tanpa perlawanan. Ya tanpa perlawanan !.
Jauh-jauh hari, tentara PRRI dan pejabat sipilnya telah mengungsi jauh ke arah Kumpulan dan membangun pertahanan di sana. Bidin mendengar, seorang Buya besar, juga ikut berada di sana. Sudahlah…..!, Bidin tak mengerti.
Bidin terus melangkah kearah pasar dan berhenti di tikungan kecil. Di sini, di tikungan kecil ini Bidin akan menunggu, ya menunggu si jantung hatinya lewat. Tak perlu menyapa, tetapi cukup menanti, menanti senyum simpul yang telah merusak ketenangan malam-malamnya. Bidin menunggu, harap-harap cemas. Kala itu, matahari semakin merambat naik.
Menunggu….pantaslah kata orang bijak mengatakan, menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Bidin berputar-putar di area yang tak lebih dari tiga kali tiga meter, berputar-putar sambil bergumam-gumam. Setiap berputar, yang tampak hanyalah sudut los pasar, kembali berputar ke belakang, hanyalah jalan lengang di belakangnya.Meskipun pasar sudah mulai ramai, keramaian orang tawar-menawar ketika
pagi itu, ibarat gerombolan kumbang yang marah, di tingkahi oleh denting
besi beradu dari tempat pengrajin besi, tukang titik.
Bagi Bidin, itu semua siksaan teramat dahsyat. Mata tertumbuk pada karung-karung cabe, sementara pikiran melayang pada penantian. Inilah kepedihan menanggung rindu, indah sekaligus konyol !.
Aha…….di kejauahan, terlihat melangkah gontai dua orang perempuan. Satu orang perempuan setengah tua sedang melangkah bersisian dengan seorang gadis yang melangkah riang. Gadis itu nyaris penampakan nyata dari gadis impian Minangkabau.
Pipi ibarat pauh dilayang, betis ibarat padi bunting, rambut bak mayang terurai, kalau berjalan, semut terinjak tak mati, tapi tertarung alu patah tiga. Begitu anggun. Bidin seperti mendapat serangan jantung, hampir saja dia lupa bernafas, salah tingkah.
Semakin dekat gadis itu melangkah ke arahnya, demam Bidin semakin meninggi. Jelas sekali gemuruh di dadanya. Hhhhhhhhhhh, Bidin menghirup nafasnya, menenangkan diri, menghirup nafas dan melepaskannya pelan-pelan. Dadanya terasa hangat, hangat karena nafas ditahan, tetapi lebih terbakar karena rindu akan senyum yang menikam. Bidin memperbaiki posisi berdiri, dengan sedikit bersandar, mencari posisi rileks sambil bersiul-siul kecil dan Rukiah semakin dekat !. Keduanya menunggu !.
Bidin menunggu senyum simpul itu, sementara Rukiah menunggu reaksi yang akan timbul karena senyum simpulnya. Mereka semakin dekat. Tepat ketika Rukiah melempar senyumnya dan Bidin dengan kesiapan mental penuh menanti dengan mata berbinar, di udara terdengar seperti siutan, hasil gesekan udara dengan benda keras...
Ssssssssssiiiiiiiiiiiiiuuuuuuuuuuut.....................
Tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah benda seperti jantung pisang, melayang terjun, hendak menghunjam bumi. Bidin terkesiap, jantungnya hendak berhenti berdetak, lidahnya kelu dan tubuhnya seolah lumpuh. Bidin hapal betul, benda apa itu, sebuah benda yang seketika akan
menciptakan malapetaka, benda yang akan mencerai beraikan ayah dengan
anak, memisahkan sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Itu benda maut, yang akan menceraikan nyawa dari badan.
Bidin menggigil. Bunyi suitan yang akan diikuti dengan sebuah ledakan dahsyat itu adalah ledakan peluru meriam mortir. Beberapa bulan lalu, Bidin bersama serombongan pelajar lainnya dilatih untuk menghadapi serangan yang akan datang dari Jawa. Tiga batalion utama tentara reguler telah dikirim ke Pekanbaru
menghadapi pasukan penerjun tentara Pusat yang di pimpin Ahmad Yani dan
Nasution.
Di Padang, tempat ia bersekolah, hanya tersisa pasukan yang terdiri dari pelajar dan pemuda-pemuda simpatisan yang diharapkan akan mempertahankan pantai barat dari gempuran tentara pusat yang datang dari laut. Sebagai persiapan, Bidin dan kawan-kawan diperkenalkan dengan berbagai senjata yang konon kabarnya diturunkan dari kapal selam di lepas pantai pulau Cingkuak di depan Padang.
Salah satu senjata itu adalah Mortir yang kini akan jatuh di keramaian pasar pagi Kamang,..........Bidin menggigil ! Sejurus kemudian, terdengar ledakan yang memekakkan telinga............
Buuaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr!
Seperti ada sebuah kekuatan, sudut pasar itu terlempar ke udara, tercerai berai. Setelah pecahan batu disertai bongkahan tanah terlembar ke udara dari tempat ledakan, terlihat lobang besar dan beberapa tubuh bergelimpangan-mandi darah di sekitarnya. Terlihat sebuah kaki telah berpisah dengan pemiliknya, darah merembes di sekitar itu.
Seketika rintihan dan teriakan kesakitan meningkahi riuhnya pasar. Orang-orang seperti kebingungan kemudian berlarian mencari perlindungan. Orang-orang sudah tidak peduli lagi, mencari keselamatan masing masing. Karena pasar demikian ramainya, mereka saling bertabrakan, panik dan rusuh. Nah saat itulah datang suitan yang menakutkan itu kembali.
Ssssssssssiiiiiiiiiiiiiuuuuuuuuuuut....................buaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr!!!!!
Ssssssssssiiiiiiiiiiiiiuuuuuuuuuuut....................buaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr !!!!
Ssssssssssiiiiiiiiiiiiiuuuuuuuuuuut....................buaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr!!!!!
Bidin terlonjak, badannya seperti terangkat. Bertubi-tubi jantung pisang itu berjatuhan dan meledak...tubuh-tubuh bergelimpangan, sementara Bidin, tersandar, dadanya sesak. Yang pertama dia pikir adalah terbang kedepan menyambar Rukiah dan mencari perlindungan. Tetapi kepalanya terasa pening dan telinganya seperti pecah.
Ledakan itu telah mengguncang nyalinya. Tetapi....tidak.....dia harus menyelamatkan Rukiah, harus, meskipun hujan mortir harus dihadangnya. Inilah kesaktian cinta itu dan Bidin telah di rasuki oleh perasaan aneh itu.
Bidin kemudian segera berdiri dan memukulkan tangan ke kepalanya untuk menghilangkan rasa pusing akibat efek ledakan itu. Kabut akibat debu jalan yang terhambur dihadapannya, mulai menipis dihembus angin, Bidin melangkah dan.........
Bidin merasakan langit seolah runtuh dan menghimpit dirinya, langkah kakinya terhenti di hadapan sesosok tubuh yang terkapar. Di sela rambutnya yang terurai itu, mengalir cairan berwarna merah, perlahan merembes ke sisi kiri dan membasahi tanah, cairan itu darah. Bidin terguncang, dihadapannya kini terbujur Rukiah tak bergerak !. Bidin terguncang !
Segera ia raih tubuh itu ke pangkuannya, ia dekap dan berusaha mengirimkan do’a agar perempuan yang dicintainya itu hanya mendapat luka kecil. Wajah Rukiah pucat pasi, darah terus merembes dan mengenai sarung Bugih yang di bawa Bidin. Bidin tak peduli, ia berusaha menutup luka yang mengeluarkan darah dengan sarungnya, tapi darah itu terus merembes. Semakin lama tarikan nafas Rukiah semakin lemah, matanya berkaca-kaca, perlahan dengan tenaga yang nyaris hilang, ia berusaha tersenyum.
Bidin terpaku diam, di sela matanya menetes satu cairan bening, merambat ke bawah menjalari rahang kokohnya dan menetes jatuh ke rambut Rukiah. Detik ketika air mata itu jatuh, senyum Rukiah terhenti berikut dengan nafas lemahnya. Satu kekuatan tak terlawan telah memenggal cinta mereka, Rukiah berpulang.
Bidin merasakan dadanya seperti rengkah, ada gelombang kemarahan yang sulit ia tahan. Ia baringkan tubuh kekasihnya di tanah dan berdiri menantang suitan mortir dan ledakan yang berjatuhan disisinya. Sarung yang dilumuri darah kekasihnya terhempas-hempas dipukul gelombang angin ledakan.
Dihadapannya, bergelimpangan tubuh-tubuh tanpa dosa para pengunjung pasar pagi itu, darah ada di mana-mana.
Kamang pagi itu di bombardir mortir tentara pusat.
Bidin berteriak, histeris ! Syair perang Kamang diatas, mengantar gigilnya, mengiring arwah kekasih pergi.
Jakarta, 7 Januari 2011
__________________________________
Disalin dari : http://prri.nagari.or.id/senyum.php