Sumber Gambar: https://www.wikiwand.com |
Oleh : Epy Buchari
Perbedaan yang tajam
Tepat 52 tahun yang lalu, tanggal 15 Februari 1958 terjadi peristiwa bersejarah yang amat sangat penting di ranah Minang, yang mampu mengubah sejarah perkembangan kawasan ini pada masa berikutnya.
Pada tanggal itu Dewan Perjuangan memproklamirkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, disingkat PRRI.
Proklamasi ini merupakan puncak dari rentetan peristiwa-peristiwa sebelumnya, yang bermula dari rasa ketidak puasan daerah-daerah di luar Jawa atas ketimpangan pembangunan yang terjadi antara Jawa dan luar Jawa. Republik Indonesia telah eksis sejak 17 Agustus 1945, perjuangan
mempertahankan kemerdekaan berlangsung sampai dengan 19 Desember 1949,
sewaktu pemerintahan kerajaan Belanda menyerahkan sepenuhnya kedaulatan
kepada pemerintahan Republik Indonesia.
Upaya pengisian kemerdekaan dengan demikian baru bisa dimulai sejak tahun 1950. Inipun berlangsung ditengah pertentangan politik yang sangat tajam,
yang antara lain ditandai dengan mulai bangkitnya kembali Partai Komunis
Indonesia. Ketidakpuasan di atas mula-mula dinyatakan dengan berdirinya Dewan
Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda di Sumatera dan Permesta di Sulawesi
pada tahun 1956 yang diprakarsai oleh panglima militer setempat.
Mereka melepaskan ketergantungan perdagangan yang selama ini dikelola
pemerintah pusat di Jakarta, dan menggantikannya dengan sistim barter
yang dilaksanakan langsung antara daerah dengan luar negeri.
Penentangan terhadap pemerintah pusat dari daerah daerah ini terus berlangsung, walau upaya untuk mengatasinya juga dilakukan. Di sisi lain daerah-daerah yang bergolak juga merapatkan barisan, yang antara lain ditandai dengan pertemuan rahasia di Sungai Dareh yang berlangsung pada tanggal 9 Januari 1958. Dan ternyata bulan berikutnya disusul dengan proklamasi dan pembentukan PRRI tersebut di atas.
Penentangan terhadap pemerintah pusat dari daerah daerah ini terus berlangsung, walau upaya untuk mengatasinya juga dilakukan. Di sisi lain daerah-daerah yang bergolak juga merapatkan barisan, yang antara lain ditandai dengan pertemuan rahasia di Sungai Dareh yang berlangsung pada tanggal 9 Januari 1958. Dan ternyata bulan berikutnya disusul dengan proklamasi dan pembentukan PRRI tersebut di atas.
Sudah sangat banyak buku, tulisan, artikel, di berbagai media dan
internet yang membahas dan mengupas peristiwa PRRI ini dari berbagai
sudut pandang. Campur tangan asing, khususnya Amerika, terjadi dalam permasalahan yang
pada hakekatnya merupakan permasalahan internal negara yang baru berumur
sangat muda. Bagi generasi muda Minang yang ingin mengetahui peristiwa bersejarah
ini, dapat mengikutinya dari copy tiga buah tulisan yang dapat dilihat
pada bagian akhir dari artikel ini.
di Palembangpun ada persiapan perang
Banyak hal yang dapat dipelajari dan hikmah yang dapat disimpulkan dari rentetan peristiwa PRRI ini. Saya sendiri berada di Palembang antara tahun 1950-1958, yang merupakan wilayah dari Dewan Garuda (Teritorium II = TT II Sriwijaya).
Sebagai siswa SMP saya mengikuti suasana pergolakan daerah ini melalui cerita orang-orang yang lebih dewasa, koran, siaran radio RRI, dan kemudian Radio PRRI yang disiarkan dari Malaysia dengan suaranya yang sangat jernih dan jelas. Suara bariton penyiarnya sangat khas, dan ada yang mengatakan bahwa penyiarnya itu adalah Des Alwi.
Pada waktu sejumlah pimpinan daerah Sumatera Selatan (Lampung dan
Bengkulu masih termasuk Sumsel) masih banyak yang dipegang urang awak,
seperti antara lain Dr. Isa, Dr. Adnan Kapau (AK) Gani, Kol. Hasan
Kasim.
Yang paling terlihat jelas dengan jelas adalah suasana harian yang diwarnai oleh semangat perjuangan yang tampak melalui latihan tentara sukarela Sriwijaya Training Center (STC) yang setiap hari berlangsung di dekat kediaman saya di daerah Bukit Kecil, Palembang.
Acara-acara latihan ini sangat menarik bagi anak-anak, karena dapat
mengamati senjata-senjata baru yang tidak pernah dilihat sebelumnya,
dengan para sukarelawan yang memakai pakaian tentara Amerika yang
kedodoran (belum sempat divermaak).
Kalau mereka memakai singlet hijau militer, belahan singlet bagian bawah sudah sampai di pinggang mereka. Walau demikian dengan senjata barunya mereka tetap terlihat gagah. Semangat kedaerahan sangat menonjol saat itu, yang juga merasuki anak-anak dengan tingkat pemahaman yang masih terbatas.
Tiada perlawanan di Palembang
Sampailah pada suatu pagi di awal tahun 1958, sewaktu saya mengayuh sepeda menuju sekolah yang terletak di jalan Pagar Alam. Suatu pemandangan yang sama sekali tidak biasa tampak di sepanjang jalan
Pagar Alam tersebut pasukan berpakaian tempur lengkap berdiri berjaga
pada jarak-jarak tertentu. Sikap mereka tampak sangat profesional, dan ternyata mereka adalah pasukan KKO-AL (Korps Komando AL, sekarang: Marinir).
Tidak ada pertempuran, tidak ada kekacauan, tidak ada kerusuhan sama sekali, dan…... tidak ada tembakan. Sekolah berjalan seperti biasa. Sepulang sekolah ternyata mereka masih standby, tetapi tidak dengan wajah sangar atau menakutkan. Kami para anak-anak kecewa dan tidak mengerti (tidak habis pikir, bahasa
populernya), karena Palembang diduduki secara sangat mudah oleh Tentara Pusat.
Tentara TT II Sriwijaya dan STC ternyata tidak melakukan perlawanan sama sekali. Lapangan terbang Talang Betutu kemudian juga diduduki, dan sejak itu sejumlah pesawat fighter Harvard dan Mustang selalu ada di lapangan terbang tersebut. Kalau tidak salah, komando tentara Pusat berada dibawah Letkol. Juhartono.
Mendengarkan RRI Padang menjadi favorit
Yang jelas, sejak itu zaman terasa berubah. Radio PRRI tetap jadi favorit, juga koran dari Padang yang penuh dengan cerita-cerita pertempuran. Berita pendudukan Pekanbaru, Padang, yang dari waktu ke waktu diikuti
pula dengan kota-kota lainnya, sangat memukul warga Palembang, terutama
yang berasal dari Minang. Kehidupan terasa sulit atau dipersulit antara lain dengan adanya keharusan mengurus Surat-Jalan, jika akan pergi antar kota/daerah. Surat Jalan ini harus pula diketahui dan dicap di tempat tujuan.
Orang Minang (yang sering disebut sebagai orang Padang) berada dalam posisi terpojok mulai saat itu. Menjelang akhir peristiwa PRRI, tahun 1960-1961, banyak pasukan PRRI yang mayoritas anak muda yang menyingkir ke daerah Sumatera Selatan dan sebagian ada yang tertangkap oleh tentara TT II Sriwijaya. Di Palembang mereka ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) di Sekojo (bekas lapangan terbang militer Jepang).
Sesudah permasalahan PRRI ini diselesaikan pada tahun 1961, situasi & kondisi urang awak sudah sangat berbeda. Suasana dan semangat yang paling menonjol adalah rasa dikalahkan yang menyakitkan, dan rasa luka dan tertekan yang berlangsung bertahun-tahun. Saya pulang kampung tahun 1963 melalui Pakanbaru. Gubernur Riau dan Sumbar waktu itu sama-sama bernama Kaharuddin. Yang satu Kaharuddin Nasution, dan yang satunya lagi Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa.
Pada tahun itu jalan Pekanbaru-Bukittinggi rusak parah, terutama di wilayah Sumatera Barat. Jalan dengan batu-batu besar lebih mirip sungai kering, dengan
penyeberangan di sejumlah tempat masih berupa pelayangan/rakit karena
belum ada jembatan. Sejumlah besar jalan aspalnya telah terkupas habis.
Cerita di kampung masih didominasi cerita-cerita peperangan, seperti
kedatangan tentara pusat, pertempuran, perampasan, korban, dan lain
sejenisnya, serta trauma kekalahan. Tentara pusat berada sampai ke kampung-kampung dalam format Babinsa (Bintara Pembina Desa).
Pada tahun 1968 saya bertugas menginventarisasi seluruh jaringan jalan beserta jembatan di seluruh Sumbar dalam rangka pembuatan jalan Lintas Sumatera dan rencana perbaikan seluruh infrastruktur jalan sebagai bagian dari Pelita I. Pada saat itu luka-luka lama PRRI sudah berangsur pulih, pemerintahan Soekarno sudah berganti dengan Suharto yang anti komunis.
Warga Sumbar, orang Minang merasa lega karena salah
satu tujuan PRRI menyangkut PKI telah sejalan dengan kebijaksanaan
pemerintahan yang baru. Kepercayaan mulai tumbuh kembali kepada pemerintah pusat di Jakarta. Program mambangkik batang tarandam oleh
gubernur Harun Zein menggugah kembali semangat penduduk Sumbar, dan
berbagai hambatan yang selama ini dirasakan sebagai orang yang kalah
perang berangsur pupus sesuai dengan perkembangan zaman.
Itulah sekelumit kecil persentuhan saya dengan peristiwa PRRI, dengan kenang-kenangan sebagaimana di atas, dan rasa penasaran kenapa waktu itu TT II Sriwijaya membelot dan tidak ikut berjuang sesuai kesepakatan semula.
Pesan Bung Hatta
Ada pesan Bung Hatta dan Sjahrir kepada Ahmad Husein dalam bahasa Minang :
Kok bakisa duduak jan bakisa dari lapiak nan sahalai.
Akan tetapi Ahmad Husein yang semula bersedia melaksanakan nasihat Bung Hatta dan Syahrir ini, tapi tampaknya waktu itu dia telah dikepung oleh teman-teman militernya, sehingga ia mengingkari nasihat Bung Hatta dan Syahrir itu. Isi pesan itu menyadarkan saya akan kualitas Bung Hatta sebagai bapak bangsa yang ingin mempertahankan keutuhan NKRI, dan kemampuan beliau untuk membaca apa kira-kira akibat buruk dari sesuatu kebijaksanaan yang akan diambil.
Dan bagi saya pertanyaan sejak masa SMP di Palembang terjawablah sudah, kenapa TT II Sriwijaya dibawah komando Let Kol Barlian tidak meneruskan perlawanan terhadap pemerintahan pusat. Beliau patuh mengikuti petunjuk dan permintaan dari Bung Hatta tersebut. Wong Kito Palembang selamat tanpa korban, baik jiwa maupun masa depan daerahnya. Tidak ada trauma pada mereka.
Dan Bung Hatta amat sangat benar, Sumatera Barat tidak mengikuti saran
beliau, dan memang kemudian menjadi tertinggal selama minimal 1
generasi. Sesudah tumbangnya PKI pada tahun 1966, barulah secara berangsur
masyarakat Minang, baik yang di ranah maupun yang di rantau secara
berangsur mulai pulih dari trauma akibat peristiwa tersebut.
Historia nuntia vetustatis = Sejarah adalah pesan dari masa silam
Semogalah dengan mengingat dan mengenang kembali peristiwa proklamasi
PRRI pada tanggal 15 Februari 1958 yang lalu ini, kita dapat menjadi
lebih dewasa, arif dan bijaksana bertolak dari salah satu pelajaran yang
dapat ditarik dari peristiwa ini, yaitu bahwa kekerasan dan peperangan
bukanlah suatu solusi yang baik dan sejauh mungkin harus dihindari.
Khususnya bagi orang Minang, Allah memberi mereka kemampuan berfikir dan berdiplomasi yang memadai. Kalau tidak, mereka tidak akan menang dalam kisah adu Kerbau di zaman silam. Peperangan dan korban yang banyak ternyata dapat dihindarkan dengan kemampuan diplomasi dan kecerdikan. Bagi generasi muda yang ingin mengetahui latar belakang & sejarah
peristiwa PRRI dapat mengikutinya tulisan-tulisan peristiwa tersebut.
Jakarta, 2010
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/palembang.php