Majalah Gamma Aceh | 23/12/1999
Ditulis ; Nurlis Effendi dan Muhammad Shaleh.
=====
FB Adam Adhari | BUALAN Hasan Tiro cukup dahsyat. Mengelabui rakyat lewat nama besar Teungku Chik Di Tiro. Aceh pun banjir darah.
Syahdan, adalah seorang “sultan” yang hendak memegang tampuk kepemimpinan di Aceh, dengan nama monarkis yang amat panjang: Al Mudzabbir Al Maulana Al Malik Al Mubin Profesor Doktor Sultan Di Tiro Muhammad Hasan Ibnal Sultan Maat di Tiro. Memang panjang gelarnya itu. Sepanjang riwayat bualannya dari Swedia dan untaian Aceh yang berdarah-darah akibat ulah Hasan Al Chazibul Akbar Di Tiro.
Nama berbaris-baris itu terdengar jumawa. Anehnya, Hasan mengangkat anak tunggalnya, Karim Hasan, sebagai putra mahkota untuk menggantikan posisinya sebagai “raja” Aceh. Cara yang feodalistis dan dinastik ini sangat bertentangan dengan sikap masyarakat Aceh yang egaliter dan demokratis.
Hasan yang kini berusia 76 tahun juga sering mengaku sebagai keturunan ulama Di Tiro, bahkan berani mengklaim dirinya sebagai pewaris tunggal Teungku Chik Di Tiro. Padahal, menurut catatan sejarah, ahli waris Teungku Chik Di Tiro (dari garis keturunan laki-laki) berakhir pada 5 September 1910. Yakni, setelah wafatnya Teungku Chik Mayet di Tiro yang gugur membela Indonesia melawan Belanda.
Bukan seperti Hasan Muhammad Tanjong Bungong yang lari ke luar negeri diuber-uber tentara republik. Lelaki bertubuh kurus pendek ini lahir di Tanjong Bungong, Lamlo, Pidie, sebagai putra kedua Leubee Muhammad Tanjong Bungong, pada 1923. Tidak sebuah riwayat pun yang menukilkan ayahnya, Leubee Muhammad, sebagai seorang ulama maupun berdarah biru. Juga tidak ada pertautan dengan Teungku Chik Di Tiro. Hasan lahir sebagai anak petani.
Lantas, Hasan mulai mendoktrin ajaran yang digemarinya bahwa berjuang untuk memerdekakan Aceh cukup dengan 15 orang buta huruf. Jadi, setiap sekolah mesti dibakar. Mirip dengan teori Mao Tze Tung dari Cina.
Selain itu, pantang baginya mendengar ada anak buahnya menjawab perintahnya dengan kalimat “Insya Allah”, sebab menurutnya itu jawaban orang malas.
Itu menunjukkan, Hasan ternyata penganut ajaran Nietzsche dan Machiavelli. Hasan pernah menginstruksikan Fauzi untuk menembak dua pegawai asing di Mobil Oil dan pembajakan Kapal PT Sandiwijaya.
Alasannya, biar PBB cepat mengetahui pergolakan di Aceh. Setelah sempat perang mulut. Fauzi menggerakkan anak buahnya, akibatnya seorang pekerja asing itu tewas, dan satunya lagi luka tembak.
Rupanya, penembakan dua karyawan asing Mobil Oil merupakan awal bencana bagi Aceh Merdeka. Sebab, setelah peristiwa itu yang datang bukannya utusan PBB, namun sepasukan RPKAD yang dipimpin Letnan Satu Sjafrie Sjamsoeddin –kini Mayor Jenderal dan Staf Ahli Panglima TNI.
Hasan dan pengikutnya akhirnya menyelamatkan diri ke hutan. Lalu, Hasan bersumpah akan selalu bersama-sama dengan seluruh anggota Aceh Merdeka. “Hanya ada satu perjuangan, merdeka atau syahid,” kata Hasan, waktu itu.
Namun, setelah terdesak diuber-uber tentara terus, Hasan mulai mencari dalih menyelamatkan diri. Dia minta izin pada Doktor Muchtar, Wakil Wali Nanggroe, untuk berkunjung ke luar negeri selama dua bulan. Alasannya untuk mengambil senjata, berurusan dengan PBB, serta menjalin hubungan diplomatik dengan luar negeri.
Sementara, gerakan Aceh Merdeka mulai mengendur. Satu per satu stafnya ditangkap, di antaranya ada yang tewas seperti Muchtar. Pergerakan Aceh Merdeka pun terhenti.
Lalu, bergaung lagi tahun 1986-1989. Kembali Hasan menabur janji. Namun, hasilnya berbagai tindak kekerasan terjadi di Aceh. Operasi militer diberlakukan di Aceh hingga 1998 dengan korban tak kepalang.
Bila dikaji-kaji, sesungguhnya wajah Hasan yang sebenarnya tak banyak diketahui masyarakat ramai, termasuk juga di kalangan pengikutnya di lapis bawah.
Mungkin, karena tampil dari kewibawaan Daud Beureueh yang dicintai rakyat, pengikutnya menganggap Hasan adalah penerus perjuangan suci tokoh DI/TII yang telah tiada itu. Mitos pun berkembang semacam fanatisme buta.
Belakangan, terbukti banyak pengikut Hasan pada gelombang kedua ini keluar dari Aceh Merdeka, di antaranya memang tewas dan ditangkap.
Kini, gelombang ketiga kembali berkobar di Aceh. Hasan kembali berjanji bahwa Aceh akan merdeka tahun depan. Konon, sebuah kapal selam lengkap pengangkut senjata akan merapat ke pantai Aceh. Bualan apa lagi ini?