Habib al Fatih | Menikah, siapa yang tak ingin menikah? Saat ada rejeki dan usia mencukupi, hanya ada dua golongan yang tak mau menikah. Yang pertama, orang yang "tukar selera" (Anda tahulah maksudnya), yang kedua orang yang biasa seks bebas suka-suka. Tapi aku yakin, para pembaca bukanlah salah satu golongan di atas bukan?
Selain sunnah agama Islam, menikah juga merupakan fitrah manusia yang akan menimbulkan banyak kerusakan jika ditinggalkan.Aborsi menjadi fenomena rutin, membengkaknya populasi anak buangan, tatanan hidup bermasyarakat yang mulai menyerupai hewan. Intinya menolak fitrah akan menimbulkan kerusakan.
Karena hal fitrah, tak heran jika menikah di masing-masing suku dan kebudayaan memiliki aturan-aturan tersendiri. Di Ranah Minang, menikah biasanya didahului dengan acara adat seperti batimbang tando dan lainnya. Menikah dalam adat Minang pun memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi. Untuk saat ini, permasalahan larangan manikah sasuku paling banyak diserang oleh orang-orang yang tak paham. Makanya, saya ingin menyampaikan mengapa Adat Minang melarang pernikahan sasuku, ditinjau dari logika dan manfaat sosial.
Tinjauan Logika
Sebelum menyelam ke dalam kajian adat yang pasti masih banyak yang tidak paham, ada baiknya penulis memberi analogi yang mudah dicerna dan memang terjadi di sekitar kita.
Tentu Anda pernah menikmati masa-masa indah di sekolah bukan? Ah, tak usahlah jauh mengenang adik kelas yang dulu menawan atau PR menumpuk yang sering membuat kewalahan. Saya hanya ingin Anda mengingat tentang aturan berseragam dan berpenampilan.
Baiklah, umumnya sekolah-sekolah melarang para murid laki-lakinya untuk memiliki rambut panjang. Nah, lho! Bukannya rambut panjang sah-sah saja karena tidak ada larangannya dalam agama? Betul sekali! Tetapi bukankah sekolah juga berhak melarang para murid laki-lakinya berrambut panjang karena melihat aspek manfaat keseragaman dan kerapian bukan? Makanya larangan berambut panjang boleh-boleh saja diberlakukan.
Ada lagi, tentu Anda pernah pergi ke pasar, boleh pasar swalayan, boleh juga pasar ikan. Saya juga tak ingin pikiran Anda melayang pada becek pasar ikan ataupun kasir swalayan yang rupawan, namun coba pikirkan, adakah aturan membuka toko dan lapak?
Tentu saja ada! Negara melarang pembukaan toko liar yang tak punya izin dan belum punya nomor pajak. Padahal agama menganggap dagang itu sah-sah saja tanpa membayar pajak bukan? Namun bukankah negara juga punya hak untuk melarang karena mempertimbangkan maslahat kerapian tata kota serta keteraturan lokasi perdagangan?
Poin penting yang dapat kita tarik di sini adalah bahwa sebuah institusi, perkumpulan ataupun lembaga boleh saja melarang sesuatu yang dibolehkan agama karena mempertimbangkan maslahat yang ada di dalamnya. Yang tidak boleh itu adalah melarang sesuatu yang diwajibkan agama. Saat lembaga melarang pelaksanaan salat, jilbab, khitan dan kewajiban-kewajiban lainnya, maka angkat suara adalah tindakan yang harus dilakukan.
Ini pulalah salah satu bentuk komprehensifnya ajaran Islam. Ada taat kepada Allah, taat kepada Rasul Saw, ada pula taat kepada ulil amri. Sekolah, negara, dan adat adalah di antara bentuk ulil amri yang wajib ditaati selama bukan dalam maksiat.
Tentu semua orang di negara ini sepakat dengan dua analogi yang tadi saya paparkan. Sekarang mari kita kaitkan dengan fenomena larangan nikah sasuku.
Manikah dalam agama Islam boleh dengan siapa saja, selama bukan dengan anggota keluarga yang terikat hubungan mahram. Ingat, sepupu itu bukan mahram, sehingga bersentuhan dengan sepupu lawan jenis dapat membatalkan wuduk. :D
Namun kenyataan yang kita hadapi kini adalah bahwa adat melarang pernikahan yang terjadi antara dua insan yang memiliki suku yang sama, berada dalam satu nagari[1] yang sama, dan memiliki datuak yang sama. Wow! Berani sekali adat melarang sesuatu yang dibolehkan agama?
Pikirkan kembali! Dalam hal ini adat tidak melarang sesuatu yang diwajibkan agama, namun adat melarang sesuatu yang didiamkan agama. Tidak diperintahkan, tidak pula dilarang. Masih banyak pasangan yang bisa didapat dari luar suku si calon pengantin. Jikapun hati telah terpaut hingga mencapai taraf hubban jamma, hidup bersama tidak di atas tanah pusako bukan masalah besar bukan? :)
Berbeda halnya, jika ada perintah agama yang memerintahkan kita untuk menikahi kerabat satu suku, dan adat melarangnya. Ini baru patut digugat. Tapi ternyata tidak ada perintah demikian bukan?
Tinjauan Manfaat-Mudarat
Seperti yang saya paparkan tadi, sebuah lembaga tak mungkin melarang sesuatu tanpa melihat manfaat serta mudarat yang bisa saja dimunculkan. Apalagi adat Minang yang sedari dulu terkenal dengan cadiak-pandainya. Dalam hal larangan manikah sasuku, saya bisa menjabarkan beberapa manfaat serta mudarat yang memang dapat terjadi jika larangan ini tak diindahkan.
Semua orang Islam tahu bahwa agama Islam adalah agama rahmat bagi sekalian alam, sehingga seluruh muslim dianjurkan untuk menjalin silaturrahmi serta pandai-pandai mencari kawan. Leluhur Minangkabau dahulu pastinya juga sudah meraba hal ini, sehingga mereka membuat aturan larangan manikah sasuku, karena menikah dengan kerabat satu suku hanya akan mempersempit pergaulan. Saat pernikahan terjadi antara dua suku yang berbeda, maka tak diragukan lagi dua suku tersebut akan memiliki ikatan, sehingga tercipta keharmonisan.[2]
Lagi pula, bukankah menikah dengan orang yang satu suku, satu ormas, satu partai, adalah bentuk fanatisme buta? Lain cerita kalau menikah dengan yang lain agama. Ini baru kita gugat.
Ah, iya, saya juga teringat kepercayaan yang banyak tersebar, entah salah atau benar, namun tak ada salahnya menjadi bahan pertimbangan karena kepercayaan ini bagi sebagian orang sudah mengakar. Kepercayaan itu adalah, semakin jauh hubungan darah antara suami dan istri, maka semakin berkualitas keturunan yang akan dianugerahkan. Umar bin Khatthab pun pernah berkata, "Kalian sudah mulai melemah. Nikahilah wanita-wanita asing (yang jauh kekerabatannya, agar didapatkan keturunan yang kuat)."
Tentang mudarat, tentu Anda tahu bahwa pernikahan tak selalu berjalan mulus. Terkadang pernikahan berakhir di tengah jalan, bahkan tak jarang cinta yang melandasi pernikahan dulu kini berubah menjadi kebencian. Dahulu loyang sekarang besi, dahulu sayang sekarang benci, ungkap sebuah pantun lama.
Pasangan satu suku yang menikah, kemudian pernikahan tersebut berakhir kebencian dapat memberi dampak buruk pada eksistensi suku tempat keduanya bernaung. Perpecahan tak dapat dihindarkan. Tentu saja nanti akan ada pihak yang membela istri, ada pula yang akan membela suami. Perpecahan di dalam satu suku adalah sebuah aib besar, karena pasti akan susah untuk didamaikan.
Berbeda dengan pertengkaran suami-istri yang berbeda suku. Saat pertengkaran mencapai titik puncak, masing-masing pihak bisa mengirim utusan untuk melakukan perundingan. Kapan perlu, datuak dari masing-masing suku bisa turun tangan. Makanya tak heran jika menikah dengan pasangan berbeda suku lebih diutamakan.
Mari sama-sama kita ubah mindset, karena tak dapat dipungkiri, beberapa orang yang baru belajar Islam[3] menggeneralisir seolah semua adat itu bertentangan dengan agama. Pikirkan lagi! Dua abad lalu perpecahan antara kaum adat dan kaum agama seperti yang terjadi sekarang pernah terjadi,[4] namun dengan bijak perpecahan tersebut dapat terselesaikan. Apa penyelesaiannya? Itulah asas “Adaik basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah, Adaik manurun, Syarak mandaki, Adaik nan kawi, Syarak nan lazim, Syarak mangato Adaik mamakai, Tuhan basifat Qadim, manusia basifat khilaf” yang dikenal dengan Sumpah Sati Bukik Marapalam tahun 1837.
Pahamilah Islam, dalami pula adat,[5] maka Anda akan temukan bahwa Tuanku Imam Bonjol serta pendahulu Minang lainnya adalah orang-orang cerdas yang dapat menegakkan Islam di Ranah Minang, menghapus segala bentuk maksiat dari adat, membalutnya dengan ajaran taat.
Pasti ada di antara pembaca yang akan bertanya-tanya, jika memang tulisan ini saya dedikasikan untuk kawan-kawan Minang, dan memang membahas persoalan adat Minang, kenapa saya tidak tulis langsung berbahasa Minang saja? Ah, tentu Anda tahu bahwa kebanyakan orang yang memprotes permasalahan larangan manikah sasuku ini kebanyakan adalah orang yang tak paham adat. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim, mereka tidak bisa berbahasa Minang yang baik dan benar. Maka saya pun mengajak saudara untuk menjaga bahasa ibu kita ini. Lihat di sini : Punahnya Bahasa Minang. [6]
Saya pun tidak menulis ini dengan bahasa berat seperti bahasa skripsi dan disertasi. Saya tulis dengan bahasa ringkas, mudah dipahami dan dengan sedikit humor saya bumbui. Semuanya agar Anda tidak pusing saat membaca, tidak pula merasa digurui.
Jika terdapat kesalahan, saya mohon maaf. Terakhir saya juga minta Saudara pembaca untuk mendoakan saudara-saudara kita sesama muslim di seluruh dunia agar dikuatkan akidah, diistiqamahkan amal, serta dimudahkan dalam segala urusan. Doakan pula saya agar dapat menyelesaikan pendidikan di sini dengan hasil memuaskan seperti yang diharapkan.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik..
========
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Nagari merupakan unit pemerintahan terendah di Minangkabau, sering disamakan dengan Desa ataupun Kelurahan oleh Pemerintah Pusat, yang mana disamakan dengan Desa atau Kelurahan. Hal ini merupakan salah kaprah dan pengkerdilan terhadap salah satu Kearifan Lokal di Minangkabau. Karena Nagari sesungguhnya lebih luas dan besar dari Desa, dalam satu Nagari dapat dimasukkan 3-4 desa.
[2] Minangkabau sebagai salah satu puak dari Bangsa Melayu tidak mentasbihkan diri mereka atas kesamaan asal usul atau kode genetik melainkan kesamaan agama (Islam) dan cara hidup (Adat). Demikian pula dalam Melayu; seseorang dikata Melayu ialah apabila ia beragama Islam dan Beradat Resam Melayu. Demikian pula dalam Minangkabau memiliki persyaratan yang sama dengan tambahan Mengisi Adat (silahkan baca: Keturunan Minang bukan Orang Minang, Minang tak Hanya Aliran Darah). Sehingga orang Minangkabau berasal dari bangsa yang berbeda-beda, singkat kata percampuran. Oleh karena itu, untuk merekatkan dan mempertautkan hati orang Minangkabau maka dibuatlah aturan (adat) yang melarang kawin sesuku sehingga terjadi percampuran guna menghilangkan sikap keras dan fanatik serta meagung-agungkan suku dan garis keturunan. Hal ini menyebabkan orang Minangkabau lahir menjadi orang yang fleksibel, tidak fanatik, mudah menerima pembaruan, tidak kaku, dan lapang dada. Satu-satunya yang difanatiki oleh orang Minangkabau ialah Islam dan ini merupakan satu keharusan.
[3] Baru belajar Islam, masih sedikit pengetahuan dan dangkal pemahaman mengenai Syari'at dan tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman apapun soal adat. Sehingga tak tahu diri dan keras hati sehingga langsung menilai dan mencap adat itu bid'ah bahkan ada yang mengatakan kafir.
[4] Perpecahan yang terjadi dimasa Gerakan Kaum Putih tidak sama dengan yang terjadi dengan masa sekarang, belum ada pengaruh dari ideologi dan filsafat Barat dalam kehidupan orang Minangkabau demikian pula dalam beragama, pemahaman yang dianut lebih banyak berorientasi sufistik (Nagsabandiyah & Syatariyah). Berlainan dengan masa sekarang dimana ideologi, falsafah Barat, serta Manjhaj Salafi-Wahabi mewabah mempengaruhi cara berfikir, bersifat, bersikap, dan beragama orang Minangakabau.
[5] Wasiat orang tua-tua di Minangkabau; Belajarlah dari Alif sampai Ya, pelajari satu persatu Huruf Hijayiyah itu beserta makna di sebaliknya. Ini ndak!!! Alif nan tegak lurus itu belum selesai engkau kaji, sudah pandai pula engkau berhujjah.
[6] Salah satu dari banyak hal yang tidak diketahui oleh orang Minangkabau pada masa sekarang ialah salah satu yang menjadi 'Adat' di Minangkabau yaitu apabila bercakap (bicara) Kami menggunakan Bahasa Minang, apabila menulis kami menggunakan Bahasa Melayu. Silahkan baca DISINI.