Pict: topsumbar |
𝗧𝗲𝘄𝗮𝘀𝗻𝘆𝗮 𝘀𝗶 𝗣𝗔𝗧𝗔𝗜 (𝘀𝗶 𝗣𝗜𝗧𝗨𝗡𝗚)
𝗡𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗴𝗮𝗹𝗮 𝗠𝗔𝗛𝗔𝗥𝗔𝗝𝗢 𝗝𝗔𝗠𝗕𝗜
FB Wedia Purnama | Jauh sebelum zaman pergerakan kemerdekaan, kota Padang pernah dihebohkan dengan keberadaan tokoh yang dianggap menjadi pahlawan bagi rakyat kecil, namun penjahat bagi kalangan bangsawan dan penjajah.
Si Patai, juga merupakan pimpinan gangster bernama 𝘚𝘢𝘳𝘦𝘬𝘢𝘵 𝘋𝘫𝘪𝘯 yang sangat ditakuti oleh masyarakat dan juga pemerintah kolonial yang berkuasa waktu itu.
Menurut catatan, si Patai bukanlah sekadar penjahat biasa. Keberadaannya di Padang waktu itu juga memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi keberadaan penjajah Belanda. Si Patai dapat merongrong pemerintah yang berkuasa pada waktu itu, sekira tahun 1908.
Namanya semakin mencuat saat Pemerintah Belanda membuat dan memberlakukan kebijakan wajib pajak. Ketidak senangannya terhadap kesewenang-wenangan penjajah membuatnya melawan dengan berbagai cara.
Pada 1908, ketika pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kebijakan belasting (pajak) di ranah Minang, Dan mulai berlaku sejak 1 Maret tahun itu.
Ketentuannya meliputi hoofd belasting (pajak kepala), inkomsten belasting (pajak pemasukan suatu barang/cukai),hedendisten (pajak rodi), landrente (pajak tanah), wins belasting(pajak kemenangan/keuntungan), meubels belasting (pajak rumah
tangga), slach belasting (pajak penyembelihan), tabak belasting (pajak tembakau), adat huizen belasting (pajak rumah adat).
Kebijakan baru ini dilawan oleh urang awak. Nagari Air Bangih, Painan, Padang Panjang mengeluarkan resolusi penentangan. Luhak Agam tidak memenuhi undangan kepala laras saat sosialisasi. Ada juga yang berunjuk rasa ke kantor asisten residen di Bukittinggi. Dalam aksinya demonstran merobek blanko pembayaran belasting.
Karena Belanda memaksakan kehendaknya, 15 Juni meletus perang Kamang. Esok harinya, Pasukan 17 pimpinan Mande Siti menyerbu tangsi Belanda di Manggopoh. Di Lubuk Alung, pasukan berjubah putih bertempur habis-habisan dengan sandi perang “𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢𝘬𝘣𝘢𝘳!!!”.
Di sekitar Padang, pemberontakan dipimpin oleh Si Patai, dari kalangan dunia hitam. Mula-mula Si Patai memimpin gerombolannya membuat onar di Pauh. Beberapa pegawai pemerintah dibunuh. Perlawanan Pauh mirip seperti perang gerilya. Jika tentera berpatroli, rakyat seperti tidak acuh saja. Yang di ladang terus bekerja.
Bila berpapasan di jalan, mereka meletakkan ujung jarinya seperti prajurit menghormat pada perwira. Kalau jumlah yang berpatroli sedikit, ketika hendak kembali ke Padang, mereka dihadang di pesawangan. Tapi yang paling sering ialah mereka merampoki rumah orang-orang kota yang bekerja sama dengan pemerintah di tengah malam. Si Patai aktornya.
Melihat itu, akhirnya Belanda meminta bantuan ke Batavia untuk mengirimkan marsose, pasukan elite belanda untuk menangkap Si Patai.
“𝘗𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘴𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘰𝘮𝘦𝘯𝘵𝘶𝘮 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘮𝘢𝘯𝘧𝘢𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 (𝘚𝘪 𝘗𝘢𝘵𝘢𝘪–𝘳𝘦𝘥) 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘶𝘱𝘢𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘭𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯,” tulis Rusli Amran, pendiri dan pemimpin redaksi Harian Berita Indonesia, koran pertama yang terbit di zaman Indonesia merdeka.
Untuk meringkusnya, pemerintah kolonial mengandalkan dua orang Mantri Polisi Padang yang baru diangkat pada 1905, Bariun Sutan Batang Taris dan Abdullah Umar Marah Saleh Siregar.
Suatu hari, Batang Taris mendapat laporan Si Patai dan Sampan sedang berada di lapau Ma Anjang di Air Pacah. Pukul 00.00 WIB sebanyak 24 tentara bersenjata lengkap bergerak ke sana. Rombongan ditambah lagi dengan sejumlah pegawai dari Alai. Semua berjumlah tidak kurang 35 orang.
Pukul empat pagi lapau Ma Anjang dikepung rapat. Batang Taris berteriak menyeru tantangan. Bukannya gentar, Si Patai melompat keluar seraya menyerang Batang Taris dengan kelewangnya. Seorang serdadu Belanda yang coba-coba ikut campur, kena sabetan kelewang Patai.
Sejurus kemudian…door! Si Patai tersungkur. Mukanya kena peluru. Saat tergeletak di tanah, seorang tentara menembaknya dari jarak dekat. Sebutir peluru menembus dadanya. Si Patai tak berkutik.
Dalam keadaan terluka parah, ia dipertontonkan kepada orang-orang. Beruntung di dalam penjara kesehatannya berlangsung pulih. “Tiga tahun lamanya dia mendekam di hotel prodeo,” tulis Rusli Amran.
Suatu hari saat bulan puasa 1926, orang-orang dari kalangan “dunia hitam” kota Padang menggelar rapat rahasia. Keputusan rapat itu; mendirikan organisasi bawah tanah bernama Sarekat Djin. Si Patai dipilih jadi pemimpin. Mula-mula jumlah anggotanya 40 orang. Kemudian terus meluas.
Semasa itu, di samping Sarekat Djin, berdiri pula organisasi bawah tanah, Sarekat Hantu dan Sarekat Itam.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang, Mestika Zed dalam buku 𝘗𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘰𝘯𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘒𝘰𝘮𝘶𝘯𝘪𝘴 𝘚𝘪𝘭𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 1927 menulis, pembentukan organisasi-organisasi bawah tanah tersebut adalah realisasi dari gagasan pembentukan DO di Sumatera Barat berdasarkan instruksi dari CC PKI pada akhir Maret 1926.
Malam tahun baru 1927 ranah Minang bergolak. Partai Komunis Indonesia, partai politik pertama yang menggunakan nama Indonesia melakukan pemberontakan.
Si Patai ambil bagian. “Saat pemberontakan PKI meletus awal 1927, Si Patai dan Sarekat Djin-nya banyak membunuh pejabat pemerintah Hindia Belanda,” kata Mestika Zed.
Akhirnya keluar lagi perintah dari Betawi, supaya marsose dikerahkan menyerbu pengacau di desa Pauh. Perintah itu diteruskan residen pada komandan tentera dengan tambahan: “Kalau Si Patai tidak berhasil kamu tangkap, itu tandanya kamu komandan tidak becus. Aku lapor ke Betawi. Tahu?” ucapnya.
Komandan tentara itu merasa jabatannya terancam. Suatu malam, dibawah pimpinannya sendiri, sepasukan marsose memasuki Pauh menjelang dini hari. Beberapa laki-laki yang dapat disergap langsung dibunuh. Bagi komandan itu tidak penting artinya jiwa rakyat. Yang terpenting hanyalah jabatannya sebagai komandan.
Ketika pagi datang mayat-mayat itu dikumpulkan di halaman mesjid. Seluruh penduduk disuruh mengenali mayat tersebut. Beberapa orang menunjukkan salah satu mayat itu Ujang Patai namanya. Bukan main leganya hati komandan itu. Lalu dia memerintahkan kepala Ujang Patai dipenggal untuk dibawa ke Padang sebagai bukti keberhasilan operasinya.
“𝘈𝘳𝘢𝘬 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘬𝘦𝘭𝘪𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘬𝘰𝘵𝘢. 𝘉𝘪𝘢𝘳 𝘳𝘢𝘬𝘺𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘱𝘰𝘬 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘸𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩.” kata residen kepada komandan tentera.
Maka kepala yang terpenggal itu ditusuk pada ujung tombak. Pasukan marsose yang tubuhnya dilumur cat hitam mengarak penggalan kepala itu berkeliling kota sambil menari dan berteriak-teriak gembira, diiringi genderang yang dipalu terus menerus.
Semua rakyat keluar dari rumah masing-masing melihat arak-arakan itu. Mana yang merasa ngeri kembali lagi tergesa-gesa masuk ke rumahnya. Ada perempuan yang jatuh pingsan demi melihatnya. Kisah hebat Si Patai tamat.
“Hari itu kota Padang menjadi gempar,” kenang Hasjim Ning yang menyaksikan arak-arakan itu, sebagaimana dicuplik dari buku Pasang Surut Pengusaha Pejuang—Otobiografi Hasjim Ning karya A.A Navis.
"𝘚𝘪 𝘗𝘢𝘵𝘢𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘰𝘯𝘵𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘸𝘢𝘯 𝘉𝘦𝘭𝘢𝘯𝘥𝘢. 𝘐𝘢 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢. 𝘛𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘨𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘥𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘳𝘪 𝘭𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢,” kata saudagar terkemuka dari zaman Sukarno hingga Suharto itu. Waktu jasad Si Patai diarak, Hasjim kanak-kanak. Tapi dia masih ingat.
Namun, ada cerita lain, kalau Si Patai bukanlah orang yang dipenggal. Sebab, Tuanku Laras yang kenal dengan Si Patai dan tahu bahwa kepala itu bukan kepala Si Patai, melapor kepada residen, bahwa komandan tentera itu telah salah penggal.
“𝘉𝘪𝘢𝘳 𝘴𝘢𝘫𝘢. 𝘗𝘰𝘬𝘰𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩 𝘉𝘦𝘵𝘢𝘸𝘪 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘬𝘴𝘢𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯. 𝘏𝘢𝘣𝘪𝘴 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘢𝘳𝘢. 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘉𝘦𝘵𝘢𝘸𝘪 𝘵𝘰𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘚𝘪 𝘗𝘢𝘵𝘢𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢.” kata Residen.
“𝘛𝘢𝘱𝘪, 𝘛𝘶𝘢𝘯 𝘉𝘦𝘴𝘢𝘳, 𝘢𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘗𝘢𝘥𝘶𝘬𝘢 𝘛𝘶𝘢𝘯 𝘉𝘦𝘴𝘢𝘳 𝘥𝘪 𝘉𝘦𝘵𝘢𝘸𝘪 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘚𝘪 𝘗𝘢𝘵𝘢𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘮𝘢𝘵𝘪, 𝘤𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢.” kata Tuanku Laras.
“𝘉𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘵𝘢. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘤𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢.” kata Residen sambil menggebrak meja dengan kedua telapak tangannya.
Oleh laporan yang dibuat residen ke Betawi, resmilah Si Patai dinyatakan mati. Sedangkan tak lama kemudian Tuanku Laras, yang tahu persoalan yang sebenarnya, dipecat dengan tuduhan penggelapan uang pajak. Tak lama kemudian Tuanku Laras jatuh sakit. Kata orang sakit muno. Sakit orang berkuasa yang kehilangan jabatannya secara tiba-tiba. Sakit kehilangan harga diri.
Untuk menghindari desas-desus salah bunuh itu, residen memerintahkan seluruh pegawainya, tidak lagi membicarakan tokoh yang bernama Si Patai. Sebuah koran secara bersambung mengisahkan suksesnya operasi tentera menumpas gerombolan Si Patai.
Sehingga lambat laun rakyat di kota pun percaya, bahwa penggalan kepala yang diarak berkeliling itu, betul-betul kepala Si Patai. Sebaliknya rakyat yang membenci Belanda menganggap bahwa kepala yang terpenggal itu, kepala seorang pahlawan bangsa.
Kisah lainnya, yang disadur dari berbagai Sumber, menyebutkan kalau melihat begitu banyak korban, anak-anak jadi yatim dan perempuan menjadi janda, para penghulu Pauh minta kepada Si Patai agar meninggalkan kampung untuk sementara.
Sampai situasi aman. Karena menurut para penghulu itu, melawan pemerintah yang bersenjata kuat, hanyalah akan menambah kesengsaraan rakyat. Konon Si Patai menyingkir ke Teluk Kuantan. Dari sana dia menyeberang ke Semenanjung, yang kini bernama Malaysia.
Namun dendam rakyat yang keluarganya terbunuh, isteri-isteri yang kehilangan suami, anak-anak yang kehilangan ayah, tidak hilang sama sekali oleh kekejaman operasi tentera yang mereka alami itu.
Dua puluh tahun kemudian, generasi yang lain melakukan pemberontakan lagi. Berbaringan dengan pemberontakan komunis tahun 1926. Namun mereka pun masih dikalahkan. Dua puluh tahun pula setelah itu kembali rakyat melawan. Perlawanan yang terakhir ini dalam rangkaian perang kemerdekaan bangsa ini.
Si Patai Maharajo Jambi, sampai matinya, telah menunjukkan penentangannya terhadap sifat busuk kolonialisme itu.
*dari berbagai sumber