Ganbar: news detik |
SUMPAH SATI BUKIK MARAPALAM. “ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABBULLAH”
Bagian 1 klik DISINI
FB YN Warman St. Bandaro Kayo - Kedua ajaran yang saling berebut ini dibiarkan berkembang secara damai, tidak boleh ada lagi darah sesama muslim tertumpah, sesama muslim haruslah saling memelihara satu sama lainnya. Disinilah diputuskan dan diterima secara bulat Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, dan disini pula diterima pula putusan yang diusulkan yang menyatakan Syarak Mangato, Adat Mamakai, dan keputusan penting lainnya adalah mengulang penataan seluruh nagari di Minangkabau. Jadi seakan-akan dibentuk baru dengan struktur yang mengacu kepada Islam, dan mengakat Pangulu-Pangulu baru untuk mengisi struktur baru itu, jika Pangulu yang ada tidak mencukupi dan menetapkan persaratan pembentukan sebuah nagari, dimana disaratkan harus ada sebuah MESJID (balabuah batapian, ba balai ba musajid) yang sebelumnya tidak ada. Setiap nagari harus mempunyai Imam, Khatik, Bilal (tingkat nagari).[1]
Pada priode setelah Sumpah Sati Bukik Marapalam ini kehidupan masyarakat mulai tenang, para Niniak Mamak dan Alim Ulama serta Cadiak Pandai disetiap nagari melakukan permufakatan pula mengulang penantaan nagari, itulah hasilnya yang kita temui sekarang, nagari yang penataannya secara Islam, baik jajaran Koto Piliang, maupun Bodi Caniago, penataan ini hampir serentak dilakukan diseluruh Minangkabau, sebab acuannya sudah jelas, yaitu ISLAM.
Penataan ini berjalan dengan baik, sehingga tampak sekali Nagari-Nagari di Minangkabau terstruktur secara Islam, dan bentuk ini adalah satu-satunya di dunia ini.
Bila melihat kenyataan sekarang, ternyata Nagari-Nagari ini ditata dengan acuan:
a. Shalat, rakaat shalat, gerak tubuh dalam shalat, jumlah rakaat shalat, rukun shalat.
b. Huruf Basmallah.
c. Huruf Sahadat.
d. Rukun Iman.
Sehingga ada Nagari dengan susunan Niniak Mamak Nan 13, atau Niniak Mamak Nan 17, atau Niniak Mamak Nan 19, Niniak Mamak Nan 24 dan sebagainya. Ada juga jumlah kampung yang 24 atau 13, atau 17 dan sebagainya. Ada pula jumlah suku yang mengambarkan unsur-unsur Islam. Demikianlah keadaannya sehingga nuansa Islam nampak sekali.
Sejak priode inilah mulainya kehidupan orang Minang yang Islami dengan Adatnya yang bersendikan Syarak, Syarak Basandikan Kitabullah, suatu tata kehidupan yang benar-benar tentram, damai, walaupun pelaksanaan Agama Islam masih belum sempurna, namun Niniak Mamak melaksanakan pemerintahan Adat dengan bimbingan Alim Ulama, artinya setiap Niniak Mamak akan mengambil keputusan tentang Nagari dan Anak Nagari, terlebih dahulu minta nasehat kepada Ulama Nagari, Ulama menentukan syah atau batal, halal atau haram, yang dahulu disebut dengan istilah “BAMUTI” (bermufti, artinya minta nasehat ulama).[2]
Di atas sudah disebutkan bahwa puncak perbedaan pendapat antara fihak kaum Suni dengan kaum Sufi di Minangkabau adalah ketika dua orang guru mengaji ( Syekh Hafadal di Pasie Laweh dan Syekh Maranggo di Parambahan) seakan-akan menjadi pelopor baru dalam pengembangan agama Islam di Minangkabau, dan memang mungkin saja demikian, sebab keberagaman di zaman itu tentu saja belum belum begitu mantap, masih saja diwarnai oleh hal-hal yang dilarang agama, seperti masih saja ada perjudian, menyabung ayam dan sebagainya yang sebenarnya sudah dilarang oleh agama Islam, tetapi masih saja banyak terjadi di masyarakat. Oleh karena itu kedua guru mengaji tadi mencoba untuk memantapkan pelaksanaan beragama, yang satu berorentasi Fikh yang kokoh, yang satu lagi lebih berorentasi Sufi. Tetapi malah yang terjadi penganut keduanya bentrok sampai saling membunuh, saling membatalkan kaji, menimbulkan keadaan yang tidak lagi aman dimasyarakat.
Inilah yang menjadi latar belakang terjadinya Sumpah Sati Bukit Marapalam, sehingga diperkirakan tahun terjadinya Sumpah tersebut tahun 1684 M. (ingat kembali bahwa Syekh Hafadal mengajar di Pasie Laweh tahun 1676 M, sedangkan Syekh Maranggo, di Parambahan mengajar tahun 1683 M.) (salah satu versi Sumpah Sati Bukik Marapalam, perlu kajian)
Semenjak adanya Sumpah Sati Bukit Marapalam, perjalanan agama berangsur baik, tapi masih diwarnai oleh hal-hal yang sebenarnya sudah dilarang oleh Agama itu sendiri, seperti menyabung ayam yang di zaman agama Hindu tidak dilarang,[3] masih juga terlihat dimana-mana, demikian juga masih juga terlihat orang berjudi, tetapi Surau-Surau yang telah mulai banyak juga waktu itu secara intensif mengajarkan pengajian Agama Islam dengan baik, dan secara berangsur-angsur kaidah-kaidah Islam dilaksanakan oleh Masyarakat Minangkabau dengan pimpinan para Pangulunya.
Banyak Pangulu yang sekaligus Ahli Agama, atau Ulama yang sekaligus Pangulu, sehingga pengajaran Agama Islam ini berjalan baik, dan Niniak Mamak memahami posisinya dengan benar, sehingga jika mereka bermusyawarah, kata sepakat mereka bulat, “bulek sageleng, picak salayang” dan “data bak lantai papan, licin bak dindiang kulik”.
Memang perjalanan yang ditempuh oleh Agama Islam ini tidak semudah yang dikirakan, banyak juga onak dan duri, banyak juga ranjau-ranjau yang dilaluinya selama perkembangannya.
Ahli Agama yang Exsoteris yang lebih melihat Lahir Syariat, memacu pengembangan Agama ini dengan mencetak sebanyak-banyaknya Ahlu Fikih, secara beranting mengembangkan kajiannya dengan landasan Fikih yang kuat, sedang dipihak lain terlihat pula para Sufi atau Tassawuf memacu pula pengembangan kajiannya, menekankan pada kedalaman, kesyahduan tidak hanya mengaji kulit saja, tetapi sampai pada kedalaman yang luar biasa dan banyak guru-guru Tassawuf bermunculan diberbagai pelosok Minangkabau.
Tetapi ada lagi masyarakat yang beragama Islam, namun juga sebagai seorang pencuri, penjudi, penyabung ayam, jadi terlihat pula hal-hal yang berlawanan dengan agama Islam ini.
Disamping perangai-perangai orang Minang yang masih banyak yang belum sejalan dengan Agama yang dianutnya, beda pendapat yang berpangkal dari dua paham, yaitu kajian lebih bersifat Exsoteris dengan pendekatan lebih formal, bahkan telah digandengi oleh Skripturalistik Intelektual, sebuah pemahaman yang hanya melihat segi Lahiriyahnya saja, berhadapan dengan pemahaman yang menukik pada kedalaman yang dapat mengungkap hal-hal yang tak bisa terungkap secara Exsoteris, dan mereka yang mempunyai pemahaman ini disebut pemahaman Esoteric, menamakan dirinya orang-orang Tarekat, mereka adalah orang Sufi. Kajian Tarikat ini memang berkembang di Minangkabau, bahkan Syekh Abdurrauf Singkil dan Syekh Burhanuddin Ula`an, Pariaman, juga penganut Tarekat, keduanya menganut Tarekat Syattariah.
Keadaan beragama seperti ini berlangsung cukup lama, namun pada priode ini Agama Islam sudah menjadi satu-satunya Agama yang dianut oleh orang Minangkabau, hanya cara mereka melaksanakan Agama itu agak berbeda-bada, seperti yang satu melihat kulit, atau mengaji kulit saja, yang lain mengaji isi saja, yang lain lagi mengaji kulit sampai kepada isi, jadi ada yang melaksanakan ajaran kulit saja, dan ada pula yang melaksanakan isinya saja, dan ada pula yang melaksanakan dari kulit sampai kepada isinya.
Hal-hal seperti inilah yang kemudian menurut sebahagian Ulama harus dibersihkan, dan pembersihan ini dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh yang didorong oleh 3 Haji yang baru pulang dari Mekah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang yang kepulangannya itu terjadi setelah Mekah dapat di kuasai oleh paham Wahabi (cabang Mazhab Hambali) yang waktu itu melakukan pembersihan Tauhidnya dengan kekerasan, dengan pedang.
Tuanku Nan Renceh yang kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Imam Bonjol dengan Harimau Nan Salapannya melakukan pembersihan demi pembersihan dengan kekerasan, dengan pedang, namun mendapat tantangan dari Pakieh Sagier, dimana yang terakhir ini berpendapat pembersihan itu tidak boleh dengan pedang, tetapi cukup dengan disiarkan saja dengan lembut. Kedua mereka ini, Tuanku Nan Renceh dan Pakieh Sagier adalah murid Tuanku Nan Tuo di Koto IV Angkek, dan Tuanku Nan Tuo ini adalah guru dari ulama-ulama Paderi, baik seluruh Tuanku Nan Salapan maupun Tuanku Imam Bonjol sendiri pernah belajar kepada beliau.
Dalam hal ini, Tuanku Nan Tuo, Syaikhul Masyaik (guru dari sekalian guru) memihak kepada Pakieh Sagier yang lembut. Akibatnya semua yang disebut “Harimau Nan salapan” berontak melawan gurunya, mereka tanggalkan Imamat dari Tuanku Nan Tuo, Syaikhul Masyaik tadi dan diserahkannya kepada Tuanku Mansiangan di Koto Laweh, Padang Panjang, maka diamlah Tuanku Nan Tuo, sebab Tuanku Mansiangan Koto Laweh itu adalah anak dari gurunya, yaitu Tuanku Mansiangan Nan Tuo.
Disini terlihat pembersihan yang dilakukan oleh kelompok Tuanku Nan Renceh dengan kekerasan, dengan pedang telah menimbulkan perpecahan di kalangan Ulama Islam sendiri, dan api perperangan sudah bergejolak, sudah banyak nyawa sesama muslim melayang, namun pembersihan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh berjalan terus, tak mempan lagi nasehat-nasehat guru, sehingga kelompok Pakieh Sagier hanya dapat berhubungan secara sembunyi-sembunyi, ada yang saling berkirim surat sesamanya, ada yang datang bertemu sesamanya pada malam hari dan dengan sangat tersembunyi.
Maka dengan takdir ALLAH SWT, antara Pangulu-Pangulu dan Ulama-Ulama di Luak Nan Tigo, hendak membuat rapat besar yang tersembunyi tempatnya di Koto Empat Angkat, Agam. Disinilah didudukan segala persoalan, dan diputuskan dalam rapat itu untuk minta bantuan kepada pihak Belanda yang waktu itu sudah ada di Kota Padang, lengkap dengan serdadu dan pembesarnya.
Pada rapat yang kedua diputuskan cara yang ditempuh menemui Belanda di Padang itu, yaitu dengan berkirim surat minta bantuan, surat mana ditandatangani oleh Pangulu-Pangulu dan Tuanku-Tuanku Ulama Kaum Tua yaitu Tuanku Diharo, Tuanku Nan Tuo, Tuanku Sam`ik dan surat itu dibawa oleh Bagindo Khatib, dari Nagari Biaro Gadang, di ikatkan dipahanya, maka pergilah Bagindo Khatib seperti layaknya seorang Siak pergi mengaji dan inilah alasan bagi Belanda (yang memang sudah ingin memasuki kawasan Luak Nan Tigo) untuk akhirnya masuk ke Minangkabau, dan terjadilah perang selama bertahun-tahun, sampai akhirnya tahun 1837 M.
…..bersambung II …
Catatan, R.Dt. Rajo Manso.
===================
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Khatik pelafadzan bahasa Minang untuk Khatib. Bila berasal dari nama Bilal bin Rabah, mu'adzin rasulullah
[2] Bamuti merpakan pelafadzan lidah Melayu di Minangkabau untuk kata Mufti yang merupakan jabatan tertinggi bagi imam dalam suatu negeri Islam.
[3] Di Sumatera Barat belum didapat peninggalan Hindu, melainkan peninggalan Budha. Kebanyakan orang beranggapan Hindu dan Budha itu sama dengan acapnya terulang kata Hindu Budha. Adityawarman sendiri yang dianggap salah seorang raja di Minangkabau beragama Budha aliran Tantrayana.
====================
Baca juga: