SUMPAH SATI BUKIK MARAPALAM. “ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABBULLAH”
Assalammualaikum Wr Wb.
FB YN Warman St. Bandaro Kayo - “Nan barih Manahan tiliak, balabeh hutang manjalehkan. Rueh jo buku kok tak tarang, ragu dek corak barang datang, intan disangko kilek kaco. Guno disabuik barih balabeh, nak basiaiah minyak jo santan, kan ganti jugalo tubuah, nak tantu hinggo jo batehnyo. Ingek dipangka kok tadaguah, malayuah sampai ka pucuaknyo. Pangka jo ujuang kok batimbang, ulu muaro kok batuka, Alam Minangkabau manangguangkan”.
Pada priode awal masuknya Islam ke Minangkabau, dikawasan ini sedang terjadi pertikaian yang agak tajam antara Kelarasan Bodi Caniago dengan Kelarasan Koto Piliang. Hal ini terungkap dalam berbagai Tambo, dengan sebuah mamang yang berbunyi:
“Bijo nan dari Banua Ruhun, Limbago nan dari Nabi Adam, Tuhuk parang di Limo Kaum, Rahasio di simpan di Batu Batikam”.
Dengan keterangan lainnya, bahwa Batu Batikam itupun ditikam dalam suasana “batuhuk parang” antara kelompok Datuak Katumanggungan dengan kelompok Datuah Prapatiah Sabatang, dan inilah yang mengawali pembentukan kedua Kelarasan Adat itu.
Mengenai perbedaan kedua kelarasan ini, seorang Belanda pernah mencatat dalam bukunya yang berjudul “Larassen in Minangkabau”, bahwa perbedaan Koto Piliang dengan Bodi Caniago, tidak hanya sekedar wilayah, tetapi kepada sistem Peradilan Adat, dimana jika timbul perselisihan atau sengketa mengenai Adat yang cukup penting, tidak hanya mengenai soal-soal nagari saja, maka oleh Koto Piliang dibawa ke “rapek saluak”, bila tidak selesai disana maka terus dibawa kepada Datuak Bandaro Putiah, Pumuncak Koto Piliang dan jika masih tidak selesai, di bawa ke Rajo Adat di Buo, selanjutnya jika masih perlu dibawa kepada Rajo Alam di Gudam Pagaruyuang.
Kalau peristiwa seperti itu terjadi di kawasan Bodi Caniago, maka setelah “rapek saluak”, kalau masih belum tuntas disana, langsung di bawa “karapek” di Balai Nan Panjang di Nagari Tabek, disini biang tabuak, gantiang putuih, oleh Datuak Bandaro Kuniang, Pucuak Bulek Bodi Canigo.
Disini nampak sekali perbedaan itu secara Adat, kemudian perbedaan itu terlihat pula dengan warna lain, yaitu bernuansa agama, dimana Koto Piliang menganut paham Sunny, sedangkan Bodi Caniago lebih cenderung kepada Sufi atau Tasawwuf.
Pengikut Adat Bodi Caniago lebih dahulu menganut agama Islam, dan penyebaran agama ini dilakukan pada awalnya oleh “orang Siak Sri Indrapura”, dan orang Siak inilah yang sangat berjasa mengembangkan agama Islam sampai ke Minangkabau, dan memang kawasan Bodi Caniago yang sedang bertikai dengan Koto Piliang tadi menjadi sasaran yang pertama-tama dimasuki oleh Agama Islam yang datang dari pintu Timur.[1]
Ajaran Islam yang datang dari pintu timur ini di bawa pada mulanya oleh seorang Syekh, lengkapnya ia bernama Syekh Burhanuddin yang datang dari Persia pada tahun 1280 M, dan ajaran yang dikembangkannya lebih nampak berbungkus tasawwuf atau sufi, dan ajaran ini memang sangat diminati di Persia waktu, dan oleh karenanya ajaran Islam yang diterima oleh Bodi Caniago lebih berupa tasawwuf atau sufi yang berpangkal pada ajaran Ibnu Arabi, seorang Syekh Akbar kata orang sufi.[2]
Setelah sesama orang Bodi Caniago Minangkabau memeluk Agama Islam, maka dengan pimpinan Kelarasan Adatnya, Datuak Bandaro Kuniang, Limo Kaum, dibuatlah sebuah kesepakatan di Bukik Tandikie (asalnya bernama Bukik Tuan Berzikr), dimana telah terjadi zikir bersama yang dipimpin oleh Datuak Bandaro Kuniang di bukit ini, dan dari kata “Tuan Berzikir” ini kemudian menjadi Tan Dikie (Bukik Tandikie).
Kesepakatan ini terjadi kira-kira Abad ke 13 M, jadi Islam masuk ke Minangkabau abad itu, bermula dari Kuntu, dan orang Siak Sri Indrapuro sangat berjasa, sehingga sampai sekarang sebutan terhadap guru mengaji di surau atau mesjid, masih juga disebut “orang siak”, dan sebutan umum terhadap orang yang pandai mengaji dikampung-kampung adalah “urang siak”.[3]
Kesepakatan ini hanya berlaku sesama orang Bodi Caniago saja, dan mengapa orang Bodi Caniago segera memeluk Agama Islam dan melepaskan agama yang sebelumnya dianut, yaitu agama Budha, sebabnya adalah yang penting karena dalam agama Islam tidak ada perbedaan sesama manusia, semua sama, yang membedakannya adalah tingkat ketaqwaan seseorang terhadap TUHAN, tidak mengenal kasta-kasta. [4]
Dan alasan kedua adalah karena pertikaiannya dengan Koto Piliang yang semakin memuncak, tidak hanya karena masalah Adat, tetapi juga masalah ekonomi, dimana orang Bodi Caniago yang mempunyai sumber emas (tambang-tambang emas) dan perdagangan komoditi ( kopi dan cabe ), dan Koto Piliang dengan semua jajaran Kerajaan Pagaruyuangnya, mengawal semua pintu keluar masuk perdagangan, dimana terlihat pintu dagang melalui Batang Hari dikawal oleh Tuanku Sati di Pulau Punjuang, pintu dagang Batang Kuantan di kawal oleh Sumpur Kudus, pintu dagang kebarat dikawal oleh Batipuah Sapuluah Koto bahkan sampai Tiku dan Pasaman, sehingga orang Bodi Caniago tidak lagi leluasa berdagang.
Setelah beberapa masa berlalu, terjadi pula sebuah perjanjian di Kayu Tanam, sebuah perjanjian yang dimotori oleh seorang Syekh dari Arab bernama Syekh Abdullah Arif, disebut juga Syekh Madina (karena ia datang dari Madinah), atau dikenal dengan sebutan Syekh Aie Sirah.
Syekh Abdullah Arif ini adalah guru pertama dari Si Kunun (yang kemudian dikenal dengan Syekh Burhanuddin, ulama Ulak’an)[5] dan ulama besar ini telah berhasil mengIslamkan orang dikawasan “Ikua Darek”, Sicincin, Kayu Tanam, Guguak, Kapalo Hilang, dan di Kayu Tanam inilah terjadi satu perjanjian sesama orang Islam dengan tujuan lebih giat lagi menyebarkan ajaran Islam, dan menyesuaikan Adat dengan syarak, disini dikenal ungkapan “Syarak mangato, Adat mamakai”, dan kemudian ajaran Islam ini dibawa oleh orang-orang (ulama-ulama) Kayu Tanam ke daerah Luak Nan Tigo, dan oleh orang Luak Nan Tigo, dikenal ungkapan “syarak mandaki, Adat manurun”, syarak mandaki dari rantau, adat manurun dari Luak Nan Tigo ke Rantau, dan terhadap hal ini ada pula penafsiran lain yang menarik, yaitu adat manurun ditafsirkan sebagai beberapa kaidah adat yang dihapus dan diganti dengan kaidah agama (syarak mandaki).
Sekarang kita lihat Minangkabau yang ISLAM, baik Koto Piliang maupun Bodi Caniago, yang pertama lebih EXSOTERIS, yang kedua lebih ESSOTERIS. Yang pertama Koto Piliang berangkat dari pangkalan FIKIH yang kokoh, legal formal yang mulai digandengi oleh formalitas. Sedangkan yang kedua Bodi Caniago lebih syahdu dan dalam.
Perbedaan atau katakanlah pertikaian Koto Piliang dengan Bodi Caniago di Minangkabau yang semula bernuansa Adat, sekarang dibebani oleh muatan agama, antara penganut Islam yang EXSOTERIS dengan yang ESSOTERIS. Kedua ajaran ini saling berkejaran mengembangkan ajarannya masing-masing. Pada tahun 1679 M, seorang Syekh ahli Fikih mengajar di Nagari Pasie Laweh, dan Nagari Pasie Laweh ini adalah nagari yang sangat Koto Piliang. Syekh ini didukung sangat oleh Pamuncak Koto Piliang, Datuak Bandaro Putiah, Sungai Tarab, muridnya banyak, berdatangan dari berbagai penjuru Minangkabau, namanya guru tersebut adalah Syekh Hafadal, seorang ulama tamatan Aceh, seorang yang sudah diberi izin mengajar.
Dan pada tahun 1683 M, di Parambahan, Kapalo Koto Limo Kaum, mengajar pula seorang guru bernama Syekh Maranggo, karena dia mengajar di surau yang terletak di kampung Maranggo (sekarang kawasan itu masih terlihat bekas-bekasnya), yang murid-muridnya juga banyak sekali berdatangan dari berbagai penjuru Minangkabau.
Ajaran kedua Syekh ini berlawanan, atau berbeda, yang pertama Syekh Hafadal lebih exoteris, yang kedua Syekh Maranggo sangat essoteris, dan kedua ajaran ini telah menimbulkan bentrokan pisik dilapangan, saling membatalkan kaji satu sama lain, bahkan telah terjadi perkelahian antara kedua kelompok.
Ditingkat bawah telah terjadi keresahan akibat bentrokan kedua ajaran itu, walaupun kedua guru (Syekh Hafadal dan Syekh Maranggo) pernah dipangil oleh Raja Minangkabau untuk diselesaikan, namun Raja Minangkabau yang waktu itu ada di Saruaso tidak berhasil dalam usaha mendamaikan kedua Syekh itu, sehingga Syekh Maranggo meninggalkan sidang tanpa permisi.
Jadi perkara ini sudah menjalar luas dan membesar, sudah berskala Minangkabau, oleh karena itu, maka tiga Datuak Bandaro (Datuak Bandaro Putiah, Datuak Bandaro Kuniang dan Datuak Bandaro Kayo) melakukan perundingan dengan keputusan akan diadakan rapat besar menghimpun semua petinggi Adat dan Agama serta cadiak pandai Minangkabau, berunding untuk menyelesaikan masalah ini.
Adapun peserta pertemuan besar itu berjumlah 99 orang, dengan perbandingan 50 orang Alim Ulama (termasuk Syekh Hafadal dan Syekh Maranggo). 49 orang Niniak Mamak dan Cadiak Pandai. Tempat berunding di Bukit Marapalam yang terletak antara Tanah Data di Ateh dengan Tanah Data di Baruah, itulah Bukik Marapalam yang terletak antara Nagari Andaleh Baruah Bukik dengan Nagari Batu Bulek (Lintau).
Dalam pertemuan ini Nampak tokoh-tokoh Suny ingin membatasi gerak kaum Sufi, mereka saling berhujah, pertemuan itu sempat memanas, namun disinilah terletak kepiawaian ketiga Datuak Bandaro yaitu Datuak Bandaro Kayo, Lantak Tungga Lareh Nan Panjang, Pariangan; Datuak Bandaro Kuniang Pucuak Bulek Bodi Caniago, Limo Kaum; dan Datuak Bandaro Putiah Pamuncak Koto Piliang, Sungai Tarab, ketiganya segera mengiring peserta pertemuan kearah pemantapan agama Islam secara menyeluruh, sehingga disini tidak terjadi saling menghukum. ………. Bersambung….
Catatan, R.Dt. Rajo Manso. Wakil Ketua LKAAM Kabupaten Tanah Datar.
====================
Catatana Kaki oleh Admin:
[1] Adat Menurut, Syarak Mendaki. Maksudnya Adat berasal dari Darek lalu turun ke daerah rantau. Sedangkan Syarak (Islam) datang dari Pesisir lalu naik ke Darek. Ketika menafsirkan 'mendaki' maka beberapa orang menafsirkan dari Pantai Barat, karena pada masa dahulu Pantai Barat lebih ramai dan banyak dituju oleh para pedagang lintas negara. Maka dari itu Barus yang terletak di Pantai Barat dikenal sebagai tempat awal Islam berpijak atau sekarang dinamai dengan 'Titik Nol" Kedatangan Islam. Adapun dengan kedatangan Islam dari Pantai Timur sangat jarang (kalau tak boleh dikatakan 'tidak pernah' disebut orang). Dan Perihal 'Orang Siak' maksudnya Negeri Siak penghasil ulama sehingga banyak orang dari Minangkabau belajar agama ke Siak pada masa dahulu. Sehingga para guru agama di Minangkabau dikenali juga dengan sebutan "Urang Siak". Belum pernah terdengar perihal Islam yang disebarkan oleh Orang Siak ke Minangkabau.
[2] Menarik mendapati suatu pendapat yang baru dan berbeda dari yang sudah lazim di dengar. Syekh Burhanudin yang orang Persia ini samakah dengan Syekh Burhanudin yang dimakamkan di Ulakan. Di Persia sebelum berkuasanya Dinasti Syiah dan menetapkan Syi'ah sebagai mazhab resmi kerajaan mereka, faham Sunni juga banyak dianut oleh orang-orang Persia. Banyak ulama Sunni, ilmuwan, dan ahli fikir lainnya berasal dari Bangsa Persia.
[3] Apakah mungkin begitu masuk Islam langsung menyebar dan dianut? Buya Hamka telah menjelaskan bahwa Islam telah masuk pada abad ke-7 yang bertentangan dengan pendapat para orientalis dan para ahli (sekuler) lainnya yang umumnya berpendapat pada abad-13 - 14 lah Islam masuk.
[5] Jadi Syekh Burhanudin pada catatan kaki no.2 berbeda dengan Syekh Burhanudin Ulakan yang disebutkan pada paragraf ini?
======================
Baca juga:
- Sumpah Satia Bukik Marapalam
- Kisah Syekh Burhanudin dan Penyebaran Islam di Minangkabau
- Modul Penguatan Pemangku Adat Minangkabau atau DISINI.