Gambar Ilustrasi: Wikipedia |
PENDAHULUAN
Sekilas Sejarah dan Asal Usul Padang
Dari penelitian Asal Usul Nagari Padang, Ninik Mamak Delapan Suku, ada simpul kecil yang menarik. Abad ke 17 Nagari Padang mencapai puncak kehadirannya sebagai sebuah Bandar Pelabuhan. Kejayaannya ditempa dan berkembang karena pertarungan berbagai konflik menjadi kota pantai yang tumbuh dan berkembang dengan percepatan.
Pernah menjadi ajang perebutan global berbagai kepenting an bangsa-bangsa asing seperti Portugis, Belanda, Inggris, Perancis dan pendatang-pendatang asing lainnya di pantai barat Sumatera, berbenturan pula dari dalam negeri sendiri berhadapan dengan kepentingan Aceh, serta berkaitan pula dengan masalah pertahanan wilayah Minangkabau bagian Pesisir Barat Sumatera Barat yang dipimpin Kesultanan Kerajaan Indrapura. Sekaligus memperlihatkan citra dan karakter spesifik sebagai kota pantai yang tangguh dan tegar dalam menghadapi berbagai konflik global di zamannya.
Nagari Padang menjadi symbol ajang perebutan pengaruh dan pertarungan kekuatan-kekuatan besar di Kepulauan Melayu dan kekuatan-kekuatan dagang asing dengan tujuan berbagai kepentingan sosial, budaya, politik dan ekonomi. Sasaran utama adalah perebutan kekuasaan monopoli perdagangan komoditi utama seperti emas dan lada di jajaran bandar-bandar yang terletak di sepanjang pesisir barat Sumatera ini. Menggeser berbagai bandar-bandar ternama seperti Meulaboh, Sibolga, Barus, Singkil, Air Bangis, Tiku, Pariaman, Sungai Nyalo, Carocok Tarusan, Bayang, Salido, Bandar Sepuluh, Muara Sakai-Indrapura dan Bengkulu.
Ini terbukti dengan pindahnya dan dibangunnya gudang-gudang penyimpanan hasil bumi, serta gudang-gudang persenjataan dan benteng pertahanan yang disebut Loji oleh Belanda, dari Pulau Cingkuk di Salido kemudian ke Pulau Pisang yang terletak di pinggiran pantai dekat Muara Batang Arau. Secara bertahap, dengan pindahnya kedudukan Belanda dari Salido ke Padang, pusat perdagangan hasil bumi juga bergeser dan akhirnya berbasis pada bandar pelabuhan Muara Batang Arau Padang. [1]
Sampai sekarang, nama “Padang” sendiri telah ditafsirkan dengan berbagai embel-embel pemahaman yang bermacam-macam. Saat ini orang-orang luar daerah Sumatera Barat telah menafsirkan sendiri bahwa orang Padang itu sama dengan orang Minang. “Si Padang” itu adalah “Padang Bengkok”, maka seperti disinyalir banyak orang dari luar Minang yang menganggap orang “Padang” itu “licik”, “galie”, “ongeh” dan sebagainya [2]
Hal ini tidaklah demikian, karena sebenarnya banyak nilai-nilai falsafah hidup “orang Padang” itu yang belum atau tidak dipahami oleh orang-orang dari “luar Minangkabau”. Dan sudah menjadi biasa pula banyak ungkapan-ungkapan tradisi Minangkabau yang ditafsirkan dangkal (secara harfiah), pada hal ajaran hidup orang Padang yang sebagian besar adalah keturunan orang Minangkabau memiliki nilai-nilai falsafah yang makna budayanya berlapis-lapis, seperti adanya makna atau pengertian yang tersurat, tersirat dan tersuruk. Bahkan harus ditelusuri lagi pemahamannya dalam tata ran makna mendatar, mendaki, melereng, dan menurun.
Meskipun menjadi rebutan pengaruh asing, sebenarnya Padang tidak pernah secara utuh mampu dikuasai penjajah sejak awal bernama Taluak Banda Lako, Kualo Air Batu. Walaupun Belanda pernah mendirikan Loji VOC pertengahan abad ke 17 ketika pengaruh Aceh secara de facto berakhir di sana, membentuk pemerintahan (Governemen) namun pihak asing itu tidak bisa sepenuhnya aman menancapkan pengaruhnya untuk menjadikan “Si Padang” menjadi “Si Belanda” di Padang, bahkan membuat mereka trauma, misalnya dengan peristiwa penyerangan dan pembakaran Loji VOC di Muara Padang pada abad ke 18 yang menjadi catatan penting bagi keberadaan sejarah kelahiran dan berdirinya Kota Padang.
Basis kekuatan pertahanan dengan berbagai strategi dan taktik yang dilakukan oleh Pariaman, Kototangah, Tarusan, Bayang, Indrapura dan Pagaruyung serta Salayo, Kubung Tigo Baleh berpusat di Pauh, Kototangah, dan Nagari Nan Duo Puluah. Basis itu tidak serta merta merusak atau merubah Adat Minangkabau atau Adat Penghulu di Pauh, Kototangah dan sekitarnya, bahkan menjadi kuat.[3].
Fenomena kekuatan komunitas adat ini berpengaruh kepada sikap mental penduduknya yang memperlihatkan character building yang self confident (percaya diri) tinggi dengan semangat kejuangan yang ditempa dengan berbagai kemampuan taktik dan strategi beladiri - bela nagari baik secara fisikal, maupun secara piskologis (mental dan spiritual). [4] untuk menghadapi berbagai gejolak dan tantangan dari pihak luar. Kehidupan masyarakat nagari Padang tumbuh menjadi sebuah lingkungan wacana percaturan berbagai kepentingan strategis politik, ekonomi sosial dan budaya, bahkan dari kalangan kaum agama.[5]
Ketika wacana publik muncul tentang eksistensi Padang yang heterogen, terjadi tarik menarik antara Pauh dan Kototangah dan Nagari Nan Duopuluah berkenaan dengan nagari Padang itu sendiri. Istilah “asli” dan “tidak asli”nya penduduk Padang seperti “api dalam sekam”. Tanpa disadari banyak para penulis mengungkapkan data sejarah yang miring dan salah kaprah.
Seperti diketahui bersama bahwa banyak sumber-sumber sejarah Belanda selalu memutar balikkan kenyataan yang ada, karena kelihaian politik adu dombanya yang mengkotak-kotakkan komunitas adat menurut versinya sendiri. Ini semua dari sisi Belanda adalah sesuatu yang wajar-wajar saja.
Namun diperlukan kehati-hatian dalam melihat sesuatu berdasarkan asumsi bahwa sebelum pihak asing datang menjarahi negeri ini, sebenarnya sudah ada sistem kekuasaan dan pemerintahan yang mengatur pertahanan wilayah pantai barat Sumatera ini. Yakni Kerajaan Kesultanan Indrapura di Pesisir Selatan yang diberi hak dan wewenang khusus sebagai Panglima Pertahanan Wilayah Pesisir Barat dengan jajarannya di sepanjang pantai barat Sumatera Barat.
Sementara Kerajaan Pagaruyung hanya bertindak sebagai pusat kordinasi wilayah Alam Minangkabau yang berkedudukan di daerah darat, dan tidak secara langsung mengurus pesisir barat, karena wewenang yang sudah dilimpahkan kepada Kesultanan Indrapura. Itu pulalah sebabnya kenapa Belanda atau Inggeris secara politis berusaha habis-habisan untuk mematahkan dan menghancurkan keberadaan Kerajaan Kesultanan Indrapura dengan berbagai taktik dan politik adu dombanya.
Akibatnya kaitan hubungan berbagai informasi sejarah negeri sendiri menjadi rancu bahkan hilang ditelan masa. Begitupun tentang asal usul nama Padang itu sendiri tetap menjadi wacana silang pendapat sampai hari ini. Apakah Padang merupakan wilayah Indrapura, Pauh, Kototangah, Pariaman, Kubung Tigobaleh, atau merupakan rantau Pagaruyung yang saling diperebutkan bangsa asing sejak dari masuknya bangsa Portugis, Kompeni Belanda, Ingge ris, Perancis, dan lain-lainnya itu.?
Padang selalu menjadi korban atas berbagai kepentingan-kepentingan strategis ini demikian juga Indrapura terutama dapat dirasakan dengan politik adu domba Belanda pada zaman kekuasaan Groenewegen dan Verspret.[6] Padahal Padang adalah juga wilayah Minangkabau yang diberi otonomi luas oleh Indrapura dan Pagaruyung sebagai bandar dagang yang dapat ditingkatkan menjadi sebuah kota pantai dan bandar pelabuhan utama di pesisir barat Sumatera.
Bahkan nantinya kemelut itu sampai kepada masaalah agama, yakni kepada adu domba antara kaum Paderi dan kaum Adat, “kaum muda dan kaum tua”, sementara Belanda mengambil kesempatan untuk memperteguh kedudukannya sebagai penguasa Minangkabau di Sumatera Barat dengan menghancurkan Indrapura, Bayang, Salido dan Tiku di Pariaman, serta mempertahankan dan menjadikan Padang sebagai bandar strategis.
Walaupun Padang berada dalam tangan-tangan kekuasaan asing, tidak berarti penduduknya juga harus menjadi asing di negerinya sendiri. Bahkan ada yang menganggap bahwa Padang adalah Kompeni Belanda, Menyerang Padang berarti menyerang Belanda [7]. Ungkapan ini tidaklah menguntungkan bagi integritas masyarakat Nagari Padang, seperti terkesan masih ada sisa politik adu domba Belanda dan masih menunjukkan dominasi pengaruh politik itu dalam masyarakat Sumatera Barat hari ini. Bahkan sepertinya menghasut masyarakat berfikir primordialisme berlebihan. Seperti terkesan pada penilaian terhadap kaum “bangsawan” Padang yang dianggap Belandaisme, sementara yang lain adalah “pahlawan”
2 Latar Budaya
Selain dari sistem pemerintahan nagari, pada abad ke 14 terdapat juga pemerintahan yang bersifat kerajaan rantau sesuai dengan adagium adat : Luak ba-Pangulu Rantau ba-Rajo. Yakni Rantau yang dikordinasikan ke kerajaan Pertuanan Pagaruyung, bahkan sebelum Aditiawarman berkedudukan di Pagaruyung.
Dalam usaha memperkokoh kerajaan dan memperkuat pertahanan wilayah Datuk Ketumanggungan mengadakan konsolidasi kekuatan dan memerintahkan untuk membuka wilayah-wilayah baru seperti mendirikan pemerintahan atau mengokohkan nagari-nagari kecil sekelilingnya sebagai kerajaan-kerajaan rantau yang memiliki otonomi luas. Salah satu usaha mereka adalah menyebarkan anggota kerabat kerajaannya beserta anak kemenakan yang menjadi rakyatnya bermigrasi ke berbagai daerah-daerah baru. Baik ke wilayah pesisir timur maupun ke wilayah pesisir barat, bahkan utara dan selatan Sumatera. Disamping untuk menjaga ketahanan dan kestabilan pemerintahan juga merupakan usaha perluasan daerah dan pembukaan lahan-lahan kehidupan yang baru, termasuk salah satu diantaranya ke Bandar Padang.
Perkembangan wilayah itu dari sudut kebudayaan dapat dijelaskan sebagaimana yang diterangkan oleh Najir Yunus (1974:76), bahwa daerah Minangkabau terdiri dari tiga Luhak dan dua Rantau.
“Tiga luhak yang dimaksud adalah Luhak Tanah Datar, yang terdiri dari Tanah Data Nan Diateh (kabupaten Tanah Datar sekarang), dan Tanah Data nan dibawah, meliputi sebagian besar daerah kabupaten Solok, serta sebagian besar Sawah Lunto Sijunjung. Kedua Luhak Agam yakni Kabupataen Agam, sebagian kabupaten Pasaman,[Kota Bukittinggi], ketiga adalah Luhak Limo Puluah Koto, terdiri dari Kabupaten Limo Puluah Koto,[Kota Payakumbuh], Bangkinang, termasuk Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Rantau Nan Duo adalah Rantau Hilir yakni daerah yang terletak sebel;ah aliran sungai kearah Timur seperti Kuantan, Indra Giri, Daerah Siak, Rokan, dan Negeri Sembilan, sedangkan Rantau Mudik yaitu daerah sebelah Barat Luhak, mulai dari Air Bangis sampai ke Taratak Air Hitam sebelah selatan dinamai Pesisir Nan Panjang atau Laut Nan Se didih .”
Di wilayah Pesisir Nan (Sabatang) Panjang, Laut Nan Sedidih inilah termasuk di dalamnya Nagari Padang. Bahkan pertumbuhan Padang menjadi pusat percaturan internasional menjadikan dirinya “dewasa” sebagai sebuah negeri di pesisir pantai barat Sumatera yang pantas untuk diperhitungkan sebagai pintu gerbang Minangkabau yang baru. Padang menjadi terkenal tidak saja sebagai kota pelabuhan, bandar dagang, bahkan pusat percaturan intelektual, politik, ekonomi, budaya dan agama. Inilah yang membuat Belanda menjadi gemas untuk menguasai Nagari Padang sebagai “pintu barat” menggantikan Salido dengan sasaran selanjutnya menguasai Minangkabau, Sumatera.
3. Padang Dalam Pemerintahan Adat
Dalam penyelenggaraan pemerintahan secara adat ada dua sistem kekuasaan yang diundangkan dalam adat, yakni system Bodi Caniago dan Koto Piliang. Sistem Bodi Caniago ditata oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, yakni berazaskan demokrasi kerakyatan dengan pimpinan pucuak tagerai (presidium). Koto Piliang ditata oleh Datuk Ketumanggungan yakni system Pertuanan (kerajaan) dengan pimpinan seorang raja Yang Dipertuan.
Dalam menata pemerintahan masyarakat di Minangkabau selanjutnya system tersebut digabungkan, yakni gabungan system Koto Piliang dan Bodi Caniago dengan paham egaliter dan kerakyatan yang tinggi, duduk sama rendah tegak sama tinggi, serta unsur musyawarah dan mufakat dalam kehidupan sehari-hari. Sementara pimpinan merupakan pucuak bulek kaganti rajo. tokoh yang didahulukan selangkah ditinggikan seranting. Ini berlaku dalam suasana damai, aman dan tentram.
Namun dalam masa kemelut dan darurat, kepemimpinan beralih kepada Tuan Gadang sebagai daulat perang, yang disebut Ampanglimo Basa, atau Ampanglimo Basa Harimau Campo Koto Piliang. Eksistensi Padang sebagai wilayah kerajaan rantau justru lahir, tumbuh dan dewasa dalam suasana darurat perang. Karena itu Padang dalam masa darurat dipimpin oleh seorang Ampanglimo Rajo dibantu oleh Hulubalang Rajo. Dalam pertumbuhannya, kegiatan dagang selalu mengalami gangguan, ancaman dan menjadi ajang perebutan antara para penjarah, penyamun dan perampok dengan berbagai kepentingan ekonomi maupun politik. Baik yang datangnya dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Inilah kemudian yang menjadikan Padang tumbuh sebagai negeri bandar pelabuhan dan kerajaan rantau termuda di Pesisir Barat Sumatera Barat.
Konflik-konflik yang terjadi ada yang bisa diselesaikan secara damai dalam sebuah balai musyawarah, namun tidak urung pula konflik justru terpaksa diselesaikan secara fisik. Penyelesaian secara fisikal ini berarti berhadapan dengan tokoh-tokoh pendekar pende kar parik paga nagari, urang-urang bagak yang tangguh dan ter nama, orang-orang yang alim ilmu serta kaum adat, penghulu mantri, satria-satria pendekar cadiek pandai serta hulubalang-hulubalang yang datang dari selingkar nagari Padang seperti dari Indrapura, Bandar Sepuluh, Salido, Bayang, Tarusan, yang melibat kan Kubung Tiga Belas, Agam, Tiku, Pariaman, dan bahkan dari Pagaruyung, Sungai Tarab dan Batipuh Pariangan Padang Panjang.
Dibawah kepemimpinan tertinggi seorang Panglima Raja yang berdaulat dalam kerajaan rantau Nagari Padang dibantu beberapa orang ninik mamak dari kalangan penghulu yang berani dan satria pendekar yang dijuluki “Tuanku Bagak”, Hulubalang-Hulubalang yang berada dalam komando Ampanglimo Basa-nya. mengadakan konsolidasi dan kordinasi kekuatan pertahanan anak nagari (rakyat) untuk tidua siang bajago malam, tagaknyo di pintu mati” mempertahankan eksistensi Nagari Padang. sebagai Bandar dagang utama, dan kerajaan rantau di Pesisir Barat Minangkabau dari penjarahan asing.*
4. Kerajaan Rantau
Menurut catatan dari sebuah “Tambo Nagari”, bahwa penataan sistem ini jauh sebelum Aditiawarman datang ke Pagaruyung, yakni pada masa itu Minangkabau masih bernama Alam Pulau Paco Tanah Andalas, yakni semasa kekuasaan Daulat Sulthan Paduka Besar yang kemudian bergelar Datuak Katumanggungan dan Sulthan Indera Alam yang kemudian bergelar Datuak Parpatih Nan Sabatang pucuk pimpinan Lareh Nan Duo yaitu Lareh Koto Piliang. dan Lareh Bodi Caniago Pada zaman itulah didirikan kerajaan-kerajaan kecil di dalam daerah Pulau Paco Tanah Andalas, yakni sebanyak 10 Kerajaan
1. Kerajaan di Bukit Batu Patah - Limo kaum
2. Kerajaan di Sungai Tarab
3. Kerajaan di Sumanik
4. Kerajaan di Batang Rantau Tiku Pariaman, Taluk Tuban Sungai Salak
5. Kerajaan di Bandar Padang, Taluak Bandar Lako Kualo Air Batu.
6. Kerajaan di Bandar Palembang
7. Kerajaan di Siak
8. Kerajaan di Rimbo Tambusai
9. Kerajaan di Tanah Jambi
10. Kerajaan di Tanah Aceh
Tatkalo maso purbakala itu, adat lamo pusako usang zaman itu sepuluh kebesaran Rajo yang bernobat. Itulah sepuluh kerajaan kerajaan awal di dalam Pulau Paco pada zaman kekuasaan bertampuk di Nagari Tuo Pariangan.
Sistem Adat Kerajaan Rantau Padang
Pada awal pembentukan sistem pemerintahan yang menerapkan sistem kelarasan, dimana wilayah sudah berluak dan darat sudah berantau, kampung sudah berjorong-jorong, dan masyarakatnya diatur dalam hidup bersuku-suku, secara rinci telah ditata oleh nenek moyang terdahulu disebutkan dalam Tambo bahwa :
Yang dinamakan Lareh Nan Duo yaitu Lareh Bodi Caniago pegangan Datuk Perpatih Nan Sabatang yaitu Limo Kaum XII Koto, panurangan Gajah Patah Gadiang. Wilayahnya sampai ke Pesisir Timur, ke Kuantan Batang Hari lalu ke Siak Indogiri hingga Palembang dengan Jambi sampai ke Deli Asahan, Pangkalan Koto Baru, Kuok dan Bangkinang. Dan Lareh Koto Piliang pegangan Datuk Katumanggungan meliputi Sungai Tarab Salapan Batu di dalamnya, lalu sampai keriak nan badabua, sampai ke laut nan sedidih hingga gunung Mahalintang hilir, hingga Sialang Ba lantak Basi, hingga Bangkahulu Mudik, berantau Hilir, berantau Tangah dan berantau Mudik.
Rantau Lareh Koto Piliang ini yang berada di Rantau Pesisir Barat Sumatera Barat terbagi tiga yaitu;
1. Rantau Hilir, terdiri dari Bayang-Pulut Pulut, Taratak, Ta usan, Lumpo, Salido, Batang Kapas, Surantih, Amping Parak, Kambang, Lakitan, Palangai, Sungai Nyalo, Punggasan, Air Haji, sampai ke Indrapura, Tapan dan Silaut. Kemudian jajaran negeri-negeri itu dalam perkembangannya bersatu dalam kesatuan yang lebih dikenal sebagai konfederasi nagari-nagari Koto Sebelas Tarusan, konfederasi Nagari Nan Tigo Kedudukan Rajo, yakni Bayang, Tarusan, Salido Painan, konfederasi nagari-nagari Bandar Serpuluh, dan konfederasi Nagari Tigo Lurah, yakni Tapan, Lunang, dan Selaut, serta Indrapura sebagai pewaris pusat kerajaan kesultanan usali dinyatakan berdiri sendiri dengan system pemerintahan adat kerajaannya.
2. Rantau Tangah, terdiri dari Padang, Nagari Tigo Lurah yakni Tanjung Saba Koto Di Hulu, Nanggalo Ujung Karang, Pauh Mahadang Koto Tangah, Bungus, Lubuk Kilangan, Air Manis Batu Bersurat. Nagari-nagari ini kemudian menyatu dalam federasi Nagari Padang Salapan Suku, federasi Nagari Pauh Sembilan dan Pauh Limo terdiri atas 9 dan 5 suku yang populer dengan sebutan Si Ampek Baleh, serta federasi Nagari Nan Duo Puluah, dari Lubuk Kilangan, Lubuk Begalung sampai ke Bungus, Teluk Kabung. Dan Nagari Koto Tangah terdiri atas 10 suku.
3. Rantau Mudik, terdiri dari Ulakan Pakandangan, Tiku Pariaman, Nagari Duobaleh Koto, Nagari Limo Koto, Tujuh jo Ampalu.*
Dalam upaya pengembangan wilayah baik dari segi pertahanan, keamanan, dan pembukaan daerah-daerah baru secara spontan maupun dari segi tatanan penyebaran penduduk yang terencana dan sistematis dari pusat Alam Minangkabau, masyarakat tersebar ke berbagai daerah di luar Luhak Nan Tigo
Negeri Padang pada awalnya belum bernama Padang, tetapi menjadi bagian dari wilayah rantau nan panjang Pesisir Barat, Sumatera Barat. Daerah Padang pada zamannya itu hanya merupakan wilayah pantai yang kosong, penuh rawa ditumbuhi pohon nipah, dinamakan Taluak Banda Lako. Dihuni oleh nelayan-nelayan yang datang dari daerah lain, singgah dan masih belum memiliki peraturan-peraturan perkampungan yang jelas. Karena mereka singgah dan tinggal masih bersifat sementara dalam usaha mencari kehidupan dan menangkap ikan untuk kemudian kembali lagi ke tempat asalnya masing-masing.
Sementara daratannya merupakan hutan rimba belantara dengan pohon-pohon kayu yang besar. Pohon-pohon kayu yang besar itu menjadi sarang sejenis kelelawar besar yang dinamakan Kalaluang, dan biasa disebut Kaluang saja. Hutan belantara itu kemudian terkenal dengan nama Rimbo Kaluang. Sepanjang hiliran Batang Arau arah ke pantai banyak ditumbuhi rumput ilalang yang luas.
Penduduk atau gelombang pertama yang pindah ke daerah Padang dari Darek Kubung Tigo Baleh (daerah Solok) sekitar abad ke 14 M. Mereka bentrok dengan urang Sikawak. Berikutnya “urang sikawak” lari ke laut dan daerah Padang dikuasai oleh masyarakat Darek (Luhak Nan Tigo) Minangkabau (A.Caniago Hr. Artikel, 1990). Masyarakat yang datang dari Darek itu membangun beberapa pemukiman termasuk Pauh dan Kototangah.
Menurut Marah Syarifuddin Arifin: “Nagari Padang pada awalnya dihuni oleh anak kemenakan dari penghulu nan ampek suku, yaitu Suku Tanjung yang dipimpin oleh Datuk Sangguno Dirajo turun dari Limau Manih, suku Caniago yang dipimpin Datuak Maharajo Basa dari Solok Salayo turun ke Binuang Sati, terus ke Padang. Suku Jambak (termasuk Caniago Sumagek-pen) dipimpin Datuak Paduko Magek langsung dari Singkarak, dan suku Melayu dipimpin Datuak Patah Karsani dari Salayo ke Batuangtaba terus ke Padang. Secara bergelombang mereka menetap di beberapa dataran yang subur, seperti Kapalo Koto, Andaleh Simpang Haru, Aie Cama, Parak Gadang, Gantiang, Ranah, Alanglaweh, Kampuang Jao, Balakang Tangsi. (2002: 12).
Sekitar tahun 1450 sampai 1556 anak kemenakan dari penghulu nan ampek suku tersebut semakin banyak, sehingga ada yang menaruko ke seberang Batang Arau (kemudian dikenal sebagai Seberang padang) sampai ke balik bukit. Dan diantaranya ada yang menjadi nelayan. Penghulu ninik mamak kemudian membuat koto sebagai tempat pertemuan beberapa kampung atau jorong dan menentukan wilayah Padang di bagian baratnya berbatas dengan pantai.
Pada hal sebagai penduduk wilayah rantau, Padang pada yang mulanya ditaruko leluhurnya turun melalui Kubuang Tigo Baleh, Solok-Salayo. Tetapi juga ada yang masuk dari Pesisir Bandar Sepuluah, Tarusan, Bayang dan dari Indrapura lewat Taratak Sungai Lun dang melintasi bukit Galanggang Kuaw, turun ke Lubuk Kilangan. Secara bertahap rombongan pertama konon menetap di hulu Limau Manih, Pauah. Karena daerah itu subur, maka datanglah rombongan berikutnya yang kemudian memencar ke Tanjung Saba Lubuk Baga luang terus ke Batuangtaba.
Seorang Sultan yang kawin dengan seorang perempuan dari suku Caniago Sumagek kemudian membuka sebagian daerah hutan tersebut dan menjadikannya perkampungan. Sultan tersebut menempatkan keluarganya di sana. Putri pertama yang lahir di sana kemudian terkenal dengan nama Puti (Putri) Rimbo Kaluang. Ibu sang putri yang dipersunting Sultan ini adalah kemenakan Datuk Bandaharo Basa dari Suku Caniago Sumagek, asal Singkarak, Kubung Tiga Belas. Kemudian kaum ini membuka perkampungan baru di kawasan yang luas ditumbuhi Ilalang, mendirikan rumah gadang yang sekarang dikenal dengan nama Alang Laweh. Kemudian diikuti pula dengan beberapa rumah gadang di Ranah Binuang, arah ke Pasar Gadang.
Bundo Hj. Lusma Anwar kemenakan Sutan Harun Al-Rasyid dari Keluarga Besar Rumah Gadang Atok Ijuak Suku Caniago Sumagek Alang Laweh Padang menceritakan pula bahwa :
“ Sejak nenek moyang kami kaum Suku Sumagek turun dari Ranah Tapian Danau Singkarak manaruko ke Alang Laweh (yang pada awalnya berasal Ilalang Laweh, begitu kata nenek kami bercerita kepada kami) untuk selanjutnya bermukim dan membentuk suatu komunitas baru, berupa kerajaan kecil sampai generasi ke – 7 turun temurun sampai sekarang menjadi tempat kami bermukim sesuai dengan Ranji yang ada pada kami secara berkaum-kaum di Alang Laweh ini. Semoga nama Alang Laweh akan tetap kekal abadi dan takkan pernah berganti nama dengan nama lainnya. Amin.”
Seorang perwakilan Raja Kesultanan Indrapura dari Pesisir Selatan, beserta keluarga dan hulubalangnya menetap di delta Pulau koto Padang, kemudian lebih dikenal sebagai Kapalo Koto, dekat Sungai Jirak (di selatan Seberang Padang sekarang). Ditandai dengan berdirinya sebuah Rumah Bagonjong masa itu. Semuanya hidup rukun dan damai, lalu pola hidup bernagaripun dibuat oleh ninik-mamak mereka.
Pada kurun waktu berikutnya seperti ditulis Rusli Amran, (Padang Riwayatmu Dulu), masyarakat Pauah dan sekitarnya dise rang Portugis. Bangsa Portugis mendarat di pantai barat Sumatera sekitar Padang pada tahun 1561, dan selanjutnya Portugis menye rang penduduk, dan masyarakat Pauah mengungsi ke daerah Kubung Tigo Baleh (1987:117).
Epos perjuangan rakyat melawan Portugis ini kemudian tercatat dalam berbagai kisah Kaba, Hikayat dan Folklore, yang sekarang langka diketahui. Salah satunya adalah Kisah Kaba Pusako Minangkabau : Bonsu Pinang Sibaribuik, yang baru terbit. Setelah pertikaian dengan Portugis usai, masyarakat Darek Minangkabau kembali memasuki daerah Padang yang terdiri dari delapan kelom pok, (tujuh kelompok dari daerah Solok, dan satu kelompok dari luhak Agam), yang meliputi :
Dari Guguak Solok
Dari Kurai Agam, melalui Tiku, Pulau Pisang terus ke Padang
Dari Saniang Baka, Sumani Koto Baru, Solok, Salayo, terus ke Durian Si Gaek, Kototangah Padang
Dari Cinangkiek, Kacang Rasam (dekat Aripan Solok) terus ke Kuranji Korong Gadang sampai ke Binuang Sati (Ranah Binuang Padang)
Dari Cupak Solok, menuju Batu Ratok Tigo, Guguak nan Duo Puluah (Koto Baru) Padang.
Kasiek Sumani terus ke Padang
Saniang Baka, Talang, Talago dadok, Buah Manggih Padang.
Di daerah baru pendatang membangun pemukiman baru hingga tercipta perkampungan di daerah Padang dan sekitarnya seperti Pauah, Koto Tangah, Padang Salapan Suku, dan daerah lainnya.
Nagari adalah kesatuan territorial dan pemerintahan, yang menjadi dasar Wilayah Alam Minangkabau dahulu. Tiap nagari mempunyai pemerintahan sendiri dan menurut penulis-penulis Barat, pemerintah nagari ini dulunya berjalan sangat baik, demokratis dan tidak dapat disalah gunakan. Kesempatan untuk menyeleweng sedikit sekali. Ini disebabkan kontrol langsung oleh rakyat melalui penghulu-penghulu mereka. Tiap nagari mempunyai balai tersendiri, masjid dan lain-lain. Terserah atas berapa Koto (suku) terdiri nagari itu, ada yang luas dengan beberapa balai, rumah adat, masjid, ada pula nagari yang kecil.
Karena nagari ini berdiri sendiri (mempunyai kekayaan, pengadilan adat, tempat beribadah dan lain-lain), maka berkurangnya kekuasaan rajo, tidak mempunyai pengaruh atas kedudukan tiap nagari tadi. Yang dianggap oleh adat, penduduk nagari ialah anggota dari keluarga-keluarga yang sudah lama berada di sana dan berhak atas harta pusaka. Satu nagari atau federasi dari 2 atau lebih nagari, adalah semacam republik mini, komplit dengan alat-alat pemerin tahannya. Kalau menurut kata-kata adat, syarat suatu suatu nagari :
bacupak bagantang,
baradat balimbago
bataratak bakapalo koto,
babalai bamusajik
balabuah bagalanggang,
batapian basasaran
Sebuah daerah penerukaan yang telah dihuni oleh pendatangnya, baru dapat menjadikan wilayahnya sebagai sebuah nagari apa bila telah memenuhi syarat sebagai sebuah nagari, yakni harus terdiri dari empat komunitas pesukuan, seperti disebutkan dalam petuah adatnya : nagari nan ampek suku. Setiap suku ini dipimpin oleh seorang kepala sukunya secara adat yang dipanggilkan Datuk sebagai Penghulunya. Kelompok peneruka-peneruka lahan baru ini dalam menyusun pembentukan system kekuasaan nagari tentulah mengacu kepada system tatanan dan struktur adat yang sesuai dengan system dan struktur adat di negeri tempat asalnya, untuk diterapkan pula pada negeri yang baru mereka buka.
Karena perkembangan penduduk akibat migrasi yang terus menerus dari tanah darat, akhirnya dari empat suku berkembang menjadi delapan suku. Anak kemenakan dari kaum-kaum Ninik Mamak Yang Salapan Suku yang membelah diri dari Kelarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang inilah kemudian disebut sebagai penduduk “bumiputra” di dalam Nagari Padang. Pada masanya, kaum kaum yang terdiri dari salapan suku mendiami Nagari Padang di bawah kepemimpinan Ninik Mamak Penghulu Sukunya masing-masing, yakni
1. Datuk Sangguno Dirajo di dalam suku Koto Piliang
2. Datuk Maharajo Besar di dalam suku Budi Caniago
3. Datuk Gunung Padang di dalam suku Koto Piliang
4. Datuk Rajo Dihilir di dalam suku Budi Caniago
5. Datuk Rajo Lelo di dalam suku Koto Piliang
6. Datuk Indo Bumi di dalam suku Budi Caniago
7. Datuk Rajo Dipadang di dalam suku Koto Piliang
8. Datuk Paduko Magek di dalam suku Budi Caniago
Datuk-datuk Delapan Suku ini juga disebut sebagai Ninik Mamak Delapan Selo Negeri Padang. Pada masa itu Ninik Mamak Dela pan Selo itu dipimpin oleh Tuanku Bandaharo Tuanku Sembah Nan Berjanggut Putih.
Kedudukan Panglima Pertahanan Indrapura di Padang
Indrapura adalah sebuah kerajaan Kesultanan tertua di Suma tera. Keberadaannya merupakan mata rantai yang tak dapat dihilang kan begitu saja atas keberadaan kerajaan-kerajaan Kesultanan Islam di Nusantara ini. Kerajaan ini sebagai sebuah Kesultanan Islam memiliki otonomi khusus dan berdiri sendiri dalam wilayah Alam Mi nangkabau yang berpusat kekuasaan di Pagaruyung. Antara Pagaru yung dan Indrapura saling terkait baik dalam hubungan kekera batan, keturunan, hubungan adat, ataupun dalam hubungan strategi pertahanan wilayah Alam Minangkabau. Hubungannya terjalin da lam ungkapan adat : bapucuak ka Pagaruyuang, ba-Urek Tung gang ka Indopuro.
Pagaruyung telah menyerahkan tanggung jawab bahwa wila yah pesisir barat Sumatera Barat dikendalikan dan dikawal oleh Ke rajaan Kesultanan Indrapura, dan dalam situasi darurat bertindak sebagai Panglima Pertahanan Wilayah Rantau Pesisir Barat, Suma tera Barat. Khususnya wilayah Rantau Hilir, Rantau Tangah dan Rantau Mudik seperti telah diuraikan lebih dahulu. Namun ternyata menurut Rusli Amran (1980:228) : Sekitar 1625-1630 bangsa Aceh sampai ke sana dan menempatkan seorang wakil. Bagi Aceh, terpenting ialah dagang dan mendapat lada. Aceh tidak mem bahayakan kemakmuran Indrapura. Bahkan Aceh pernah memberi kan upeti -persembahan kepada Indrapura berupa berbagai benda pusaka Kerajaan (dokumen tertulis tersimpan oleh ahli warisnya).
Justru kehancuran total kerajaan ini baru terasa semenjak VOC datang ke sana dan memaksakan monopolinya, persis seperti yang mereka kerjakan di Banten. Indrapura kemudian terjepit anta ra kepentingan-kepentingan Aceh, Belanda dan Inggeris yang bertentangan. Dari kenyataan ini Indrapura sebenarnya lebih ba nyak mengambil peran aktifnya dibandingkan dengan Pagaruyung, dalam penyelesaian konflik yang berkepanjangan di Pesisir Barat Sumatera, khususnya di Bandar Padang. Penduduk Bandar Padang sebagian besar terdiri dari penda tang-pendatang, saudagar-sau dagar - pengusaha dari Koto Tengah dan Pauh.
Dewan Pemerintahan atau Kerapatan Adatnya, terdiri dari federasi penghulu-penghulu dari Koto Tangah dan Pauh yang anak kemenakannya menyebar sampai ke Padang, dipimpin oleh seorang Bandaharo Rajo. Diantara pimpinan tersebut ada Perwakilan dari Kerajaan Kesultanan Indrapura, yang berpangkat / bertugas sebagai Panglima. (Tentu saja wewenang ini telah dikonfirmasikan kepada penguasa tertinggi wilayah rantau alam Minangkabau yang berkedu dukan di Pagaruyung). Antara nagari Koto Tengah dan Pauah selalu ada persaingan untuk merajai Bandar Padang. Dewan Kerapatan Adat di Padang yang terdiri dari Datuk Datuk Penghulu Delapan Suku dalam Nagari Padang, sering merupakan arena percaturan konflik antara berbagai kepentingan penghulu-penghulu dari Koto Tengah dan Pauh. Datuk-datuk Delapan Suku ini juga disebut sebagai Ninik Mamak Delapan Selo Negeri Padang. Salah seorang tokoh pimpinan terkenal Ninik Mamak Delapan Selo pada masa itu, adalah Tuanku Bandaharo Tuanku Sembah Nan Berjanggut Putih.
Bahwa Kerajaan Kesultanan Indrapura dalam sejarahnya disebut sebagai penguasa wilayah Pesisir Barat Sumatera Barat. Dengan demikian Padang pada zamannya termasuk dalam wilayah pemerintahan Kerajaan Kesultanan Indrapura. Oleh karena itu Kerajaan Kesultanan Indrapura menunjuk perwakilannya di Padang. Berdasarkan keterangan yang tertulis dari Naskah Ranji Indrapura (Transkripsi Emral Djamal, 1989), diantara Perwakilan Indrapura yang kemudian diangkat sebagai Panglima Raja di Padang, kemu dian menjadi Bandaharo Rajo, yang dirajakan di Padang yakni :
1791-1798 : Sultan Mansyursyah Gelar Sultan Ahmadsyah,
Salah seorang Panglima Indrapura yang ditunjuk menjadi Perwa kilan Kerajaan Kesultanan Indrapura di Nagari Padang. Sulthan ini wafat di Indrapura pada tahun 1789, berkubur di Gobah Tandikat Indrapura. Di Padang, beliau berkedudukan di Kampung Dalam Seberang Padang. Rumah Ga dang dan Istana (Balairung Sari) dan Gobah terletak di Jerong Kampung Dalam, Seberang Padang. Setelah beliau wafat, Perwakilan Raja Indrapura di Padang diganti kan oleh kemenakan yang sekaligus juga adalah menantu beliau.
1789-1825 : Sultan Mohammad Jaya Karma
Perwakilan Raja Indrapura di Padang yang kawin dengan seorang perempuan bernama Putri Ngetek anak dari Sulthan Mansyursyah. Sultan ini wafat di Indrapura pada 1827, berkubur di Gobah Tandikat Kampung Da lam Indrapura.
Pada masa Sulthan inilah di Padang disusun dan diatur kembali Penghulu Yang Delapan Selo, yang berhimpun di Kampung Dalam Seberang Padang. Begitupun Peng hulu Yang Empat Belas dan Penghulu Negeri Yang Dua Puluh, tempat berhimpunnya di Kampung Dalam Bi nuang. Di Binuang (Pauh Limo) juga ada Balairungsari, Gobah, dan Kampung Dalam.
1804 –1840 : Sulthan Hidayat (Hidayatullahsyah) Gelar Sulthan Inayatsyah,
Menggantikan kedudukan Sulthan Mohammad Jaya Kar ma sebagai Perwakilan Raja Indrapura di Padang. Dan setelah Sulthan Muhammad Jaya Karma wafat (1825) di Indrapura, maka Sulthan Hidayatullahsyah gelar Sul than Inayatsyah Kerajaan Indrapura, lansung meme rintah Negeri Padang, yakni kepada Penghulu Yang Dela pan Selo, begitupun kepada Penghulu Yang Empat Belas dan Penghulu Negeri Yang Dua Puluh.
1840 – 1860 : Sulthan Mohammad Arifinsyah Gelar Sul than Muhammadsyah,
Disebut Tuanku Belindung atau Tuanku Sembah, Kera jaan Indrapura. Sulthan Belindung ini, langsung meme rintah Negeri Padang, mengatur Penghulu Yang Delapan Selo, Penghulu Yang Empat Belas, dan Peng hulu Negeri Yang Dua Puluh.
1860 –1891 : Sulthan Muhammad Bakhi Gelar Sulthan Firmansyah,
Raja yang terakhir Kesultanan Indrapura, yang disebut juga sebagai Tuanku Belindung atau Tuanku Sembah. Pada masa beliau, Perwakilan Kerajaan Kesultanan Indrapura di negeri Padang, disebut masa itu sebagai Tuanku Panglima Regent, yang kemudian juga di angkat sebagai Pucuk Penghulu Yang Delapan Selo di Negeri Padang, oleh Ninik Mamak Delapan Selo di Padang.*
Jelas bahwa jauh sebelum Belanda datang ke Sumatera Barat ini, Minangkabau telah menata masyarakatnya dalam bentuk nagari-nagari dengan system Bodi Caniago atau bila berbentuk kerajaan disebut kerajaan nagari yang memakai system Koto Piliang, atau kombinasi keduanya. Namun dalam suasana yang baik, serta hu bungan yang harmonis pada awal-awal kedatangan Belanda, secara baik-baik merekapun diterima secara adat, sekaligus mewakili etnis luar lainnya yang berdomisili di Padang sesuai dengan bunyi pe patah :
dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung,
dimana nagari ditunggui di sana adat nan bapakai,
Sebagai tanda bukti bahwa Minangkabau dan Rantaunya juga biasa menerima kedatangan siapa saja secara damai, tanpa meng ganggu kestabilan wilayah negeri mereka. Namun nyatanya kemu dian Kompeni Belanda-lah yang mengkhianati sendiri atas kehor matan yang telah diberikan kepada mereka. Hal ini juga secara tidak langsung diakui oleh Stibbe (Rusli Amran, hl.62) yang mengatakan bahwa
“Nagari merupakan masyarakat di sesuatu daerah yang berdiri sendiri dengan alat-alat perwakilannya, hak milik, kekayaan dan tanah tanahnya sendiri. Berlainan dengan desa di Jawa, (nagari) telah berdiri sendiri sebelum kedatangan kita (orang-orang Belanda) di Sumatera Barat..”
Nagari Pariangan (foto:indonesia.com)
Keputusan diambil berdasarkan rapat penghulu, musyawarah dengan kata sepakat. Putusan dipatuhi karena para penghulu adalah wakil yang dipilih langsung oleh rakyat, orang-orang yang dituakan dan dianggap bijaksana. Pemerintahan adat begini dalam bentuk paling murni, tentu saja kita dapati di daerah asal Kerajaan Minang kabau, dilereng sebelah selatan Gunung Merapi, di nagari Pariangan-Padangpanjang.
Begitu kuatnya hingga dapat menentang segala pengaruh dari luar yang dimasukkan Belanda, misalnya seperti penghulu rodi atau penghulu kepala dan kepala laras yang digaji, namun bila diantara mereka adalah memang sorang Penghulu Adat yang sah dalam kaumnya, maka bagaimanapun secara adat mereka tetap dalam kesatuan dan persatuan tradisinya.
Semakin jauh dari daerah asal ini, makin kurang murni bentuk pemerintahan adat, apalagi di rantau. Kroesen (T.A.I Kroesen) yang pernah menjadi residen Padangsche Bovenlanden abad yang lalu telah melaporkan dalam tahun 1872 dalam tulisannya mengenai Pemerintahan pribumi di Sumatera Barat (Het Inlandsch Bestuur) mengenai system pemerintahan adat yang telah tidak murni lagi. Di daerah-daerah pesisir hanya tinggal nama saja, banyak penghulu an diko yang sama sekali tidak mempunyai kedudukan apalagi wibawa.
Selanjutnya Rusli Amran menjelaskan bahwa keterangan terbaik mengenai asal-usul nagari dan yang sering dikutip orang ialah yang diberikan oleh ahli adat De Rooy dalam karangannya “De Positie van de volkshoofden in een Gedeelte der Padangsche Bovenlanden, (1899)”, seperti kutipan di atas.
“Menurut cerita-cerita lama”, tulis De Rooy, “orang-orang pertama yang mendirikan beberapa nagari, dapat diusut sampai ke nagari Pariangan-Padang Panjang di kaki sebelah selatan Gunung Merapi ; di sana mereka berhenti sebelum sampai ke tujuan terakhir yang dengan jelas sekali dapat kita ikuti. Hubungan antara keluarga di suatu tempat dengan keluarga di tempat-tempat sebelumnya, tetap dijaga dan menjadi alasan kunjung-mengunjungi atau undang-mengundang guna merayakan pesta-pesta tertentu. Dengan pengembaraannya rakyat ke segala jurusan itu dari pusat tertua Pariangan – Padang Panjang, maka timbullah tempat-tempat tinggal yang dikerjakan oleh beberapa keluarga. Mereka berusaha mengerjakan pertanian, penangkapan ikan, atau berburu. Untuk itupun mereka harus sering berkelana di daerah-daerah sekeliling, di mana di sana sini pohon-pohon harus ditebang atau diberi tanda sebagai bukti bahwa mereka berhak atas tanah itu yang akan mereka kerjakan nanti atau disediakan sebagai cadangan untuk daerah-daerah pertanian. Lama kelamaan datang keluarga-keluarga yang sudah lebih dahulu datang ke sana. Mereka ini mengakui hak dari keluarga-keluarga pertama atas tanah yang telah mereka anggap kepunyaan mereka. Keluarga-keluarga yang baru datang, akan mencari tanah atau hutan-hutan yang belum ada yang punya, atau mengerjakan tanah dari dan dengan seizin keluarga-keluarga yang terdahulu. Dengan demikian di tanah-tanah yang gampang dikerjakan, berdirilah kelompok-kelompok manusia bertempat tinggal, biasanya di puncak bukit-bukit atau di atas punggung pegunungan rendah karena di sini orang merasa lebih aman. Jelas bahwa sejak dari semula, telah ada hubungan antara tetangga berdekatan dan kadang-kadang perselisihan pun timbul. Oleh karena itu ada pikiran menyatukan tenaga, merupakan semacam persekutuan. Karena persatuan ini, mereka merasa lebih kuat dan turun dari puncak-puncak bukit mendirikan tempat-tempat pertahanan di daerah terbaik yang disebut kota (koto), biasanya dimana air mudah didapat.
Tiap keluarga tetap mengerjakan tanah mereka atau yang telah mereka sediakan sebagai cadangan, atau mencari tempat-tempat pertanian baru yang lebih baik dan letaknya tidak begitu jauh. Dengan demikian, perlahan-lahan orang mendekati daerah-daerah datar, dimana para petani lebih mudah bekerja dan untuk ternak pun lebih mudah mencari makanan. Orangpun mengetahui bahwa tanah dapat dikerjakan beberapa kali setahun tanpa kehilangan kesuburannya. Kemudian orang sampai pada penanaman sawah dan ternyata bahwa dengan air orang bisa panen terus menerus dari tanah yang itu-itu juga. Ini menyebabkan orang bertempat tinggal secara permanen sedangkan hak-hak atas tanah asli yang terus dikerjakan, tetap berlaku. Karena adanya pendatang-pendatang baru, maka tanah-tanah di sekeliling tempat itu mulai lagi dikerjakan seperti pada waktu permulaan tadi. Maka timbullah kota-kota/koto-koto baru (kemudian nagari) yang juga mempunyai kekuasaan atas daerah tertentu yang berdiri pula. Semua jelas kelihatan karena ada bekas-bekas usaha pertanian dan tempat tinggal. Kemudian dibatasi dengan pagar hidup. Setelah membuat tempat-tempat tinggal yang tetap di daerah-daerah datar (terutama bagian selatan Gunung Merapi yang lebih subur), mulailah dibentuk pemerintahan. Tiap-tiap keluarga dikepalai oleh orang paling tua. Di antara kepala-kepala tadi, yang terpenting ialah yang mewakili keluarga tertua yang bertempat tinggal di sana. Semua kepala ini merupakan pemerintahan. Oleh karena terdiri atas begitu banyak kepala, sulit untuk mendapat kata sepakat dan sering pula terjadi perselisihan. Guna memecahkan kesulitan-kesul;itan inilah diminta bantuan dari raja di Pagaruyung yang terkenal bijaksana dan mempunyai kekuatan gaib. Salah satu jalan keluar ialah dibentuknya pemerintahan suku yang masih berjalan sampai sekarang. Semua keluarga yang terdiri atas begitu banyak keturunan, dibagi atas 4 suku. Tiap-tiap suku dikepalai oleh seorang penghulu yang menguasai soal-soal keluarga dalam sukunya dan juga bertindak sebagai penengah. Semua kepala suku itu menangani dan mengadili hal-ihwal persukuan atau mengenai seluruh nagari. Yang mengepalai keluarga tertua (keluarga inti) disebut penghulu andiko. Dialah orang yang tampil ke muka membicarakan soal-soal dalam nagari dan memilih anggota pemerintah adat. Di belakangnya berdiri kemenakan-kemenakan. Dalam segala hal, pendapat kemenakan-kemenakan ini dinilai terlebih dahulu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pemerintahan adat (adat bestuur) termasuklah seluruh rakyat,”
_________________________
(Makalah ini telah dipresentasikan pada diskusi tentang “ Padang Sejarah dan Budayanya “ yang diselenggarakan oleh Museum Adityawarman Padang, tgl Kamis 8 Nov 2007 )
================
Disalin dari tulisan berseri di laman boyhendratamin.com
================
Baca Juga: Sejarah Kota Padang berdasarkan Tambo