INDRAPURA, Ada di Mana-Mana.- Sebuah catatan refleksi perjalanan sejarah.
Alif.ID - Indrapura, nama indah ini ada di mana-mana.
Ada Siak Sri Indrapura di Riau, Indrapura Air Putih di Batubara, atau Indrapuri di Aceh. Pahang yang kita kenal sekarang dulu bernama Indrapura, termasuk ibukota Champa (Vietnam). Nama-nama tempat India kuno pun banyak memakai nama Indrapura. Indrapura, artinya lebih kurang yakni tempat bertahta raja Indra (raja tertinggi), demikian pernah ditulis budayawan prolifik Emral Djamal Datuak Mudo. Tapi bukan kebetulan jika Indrapura di ujung selatan Sumatera Barat juga ada di mana-mana.
Dalam buku Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (1981), Kesultanan Indrapura jadi pumpunan teks setebal 652 halaman tersebut. Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), membicarakan Indrapura sebagai pelabuhan penting penghasil lada hitam (merica) dan emas. Dalam buku yang lain, Kerajaan Indrapura (2013), Gusti Asnan (editor) bersama antara lain Yulizal Yunus dan Muhapril Musri, mengkaji sistem pemerintahan Indrapura.Tak kalah menarik, sebuah roman era Balai Pustaka, Hulu Balang Raja (cet.1, 1934) karya Nur Sutan Iskandar berlatar Indrapura. Tokoh-tokoh utamanya juga terdiri dari bangsawan Indrapura seperti Ali Akbar, Putri Ambun Sari, Muhammad Syah, Malafar Syah dan Raja Maulana. Masih banyak lagi Indrapura kita temukan dalam berbagai teks Nusantara baik klasik maupun kontemporer.
Indrapura (awalnya kerajaan, kemudian kesultanan) dianggap vazal[1] Pagaruyung. Namun pernah suatu masa sejak akhir abad ke-15 hingga abad 17, Pagaruyung mengalami jaman kegelapan, terkesan vakum dan seperti hilang dari hiruk pikuk sejarah.
Pada masa itu Pagaruyung sendiri, sebagaimana dinukil Amran, hanya muncul berupa mitos-mitos tak tepermanai yang rajanya ada dalam bayangan, walau toh tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat Minangkabau, termasuk di rantau-pesisir. Masa-masa gelap yang melahirkan tembang dan kaba seperti Kaba Cinduamato yang legandaris dan tetap hidup hingga kini. Seolah-olah secara fisik aura Pagaruyung seperti telah 'mangirok ka langik' dan pindah ke Indrapura.
Sementara itu Indrapura mulai aktif dalam percaturan sosial-politik pantai barat Sumatera. Indrapura memainkan politik “zig-zag” berhadapan dengan Aceh, VOC, EIC (Inggris)—sempat juga dengan Prancis.
Kesultanan Indrapura berjaya dalam kisaran abad ke-15 hingga akhir abad ke-18. Pelabuhannya Samuderapura, memanfaatkan Sungai Muara Sakai, berjarak sekitar 7 km dari pantai. Namun kini tidak tampak lagi sisa-sisa kejayaan masa lalu. Dimanapun bekas-bekas Kesultanan Indrapura suasana yang terasa kini tetap sama: sepi, sedih dan murung.
Bekas istana Kesultanan Indrapura terletak sejauh 15 km dari Jalan Lintas Barat Sumatera. Menempuh jalan kampung, kita akan bertemu masjid raya berkubah seng karatan dan pasar dekat tikungan. Kios penjual dan pengasah batu akik serta warung makan bermenu lokan terdapat di sepanjang jalan. Maklum, Muara Sakai dan Ujung Tanjung penghasil batu akik dan lokan. Sementara reruntuhan istana menyisakan tangga batunya saja. Makam raja-raja sepi peziarah. Dan sebuah istana baru sedang dibangun ulang, tampak terbengkalai. Semua itu menyiratkan masa lalu yang hilang.
Jalan itu buntu di tepian sungai yang kotor oleh sampah berserakan. Alur sungai menyempit, penuh enceng gondok dan gelagah. Sebuah jembatan gantung tua dan lapuk terentang ke seberang, ke Kampung Pasir Ganting. Kampung kecil itu dulu sempat menjadi pusat kesultanan, setelah sebelumnya berpusat di Muara Gedang (saat Indrapura bernama Airpura), untuk akhirnya pindah ke Muara Sakai. Tahun 1684 maskapai dagang Inggris mendirikan gudang di pelabuhan. Tetapi tak pernah menduduki tempat penting, tulis William Marsden (1986). Belanda lalu mendirikan bangunan lebih banyak. Salah satu yang bersisa adalah bekas gudang garam yang kini masih dimanfaatkan warga.
Saya menyusuri jembatan gantung sepanjang lebih 70 m di atas sungai sambil melepas pandang ke alurnya yang berliku dari hulu, nun di kaki Gunung Kerinci. Di atas jembatan, saya berpapasan dengan lelaki tua berblangkon dan menyandang alat penyemprot hama. Kontras dengan suasana di sekitarnya, ia energik dan ceria. Namanya Pak Hadimatikno, transmigran asal Pekalongan. Mbah Tikno punya kebun sawit di Pasir Ganting, dan ia menetap di Indrapura sejak tahun 70-an.
Lebih dari orang-orang trans, keberadaan “orang luar” sudah biasa di Indrapura. Dalam Sensus Penduduk 1852, misalnya, meski hanya menyebut “Daerah Selatan” (saya duga mencakup Bandar Sepuluh dan Indrapura) jumlah orang Eropa tercatat 32 jiwa, orang Cina 73 dan orang Asia lainnya 17 jiwa. Sensus tahun 1920, terdapat 82 orang Eropa, 844 orang Cina dan 79 orang Asia lainnya (Elizabeth E. Graves, 2007: 93). Bahkan dalam kekerabatan istana Indrapura, sebagaimana dicatat Emral Djamal, terdapat keturunan Singosari yang diberi gelar Nakhodo Basa. Begitu pula orang Gresik dan Tuban diberi gelar Rang Kayo Mat Meti dan Rangkayo Gom Sati. Mereka disebut dengan hormat sebagai,”enggang nan datang dari lawik” (burung enggang yang datang dari laut).
Menjelang siang, saya berkunjung ke reruntuhan istana sultan. Tak jauh dari situ terdapat rumah panglima dan rumah perdana menteri. Keduanya masih utuh berdiri. Pondasinya dari semen tinggi, berdinding papan hutan Sumatera. Terlihat kokoh. Tapi istana sendiri hanya tinggal bekas tapak dan anak tangga. Saya melipir menuju lokasi reruntuhan. Belum sempat saya bidikkan kamera, seorang ibu dari jendela sebuah rumah tiba-tiba mengulurkan kepalanya,”Minta izin dululah, Pak, bapak masuk kawasan sultan.”
Agak jengah juga saya diperingatkan, meski sejujurnya nada suaranya lembut-mengiba dan wajahnya teramat sayu. Saya tidak menduga ada keluarga sultan yang “berjaga”. Dalam kunjungan sebelumnya, rumah tersebut belum berdiri dan saya juga diantar langsung seorang kerabat istana. Tapi saat datang sekarang, kerabat yang menjadi camat di Tapan tersebut sedang di Padang. Jadi saya segera minta maaf dan mohon izin kepada si ibu. Setelah itu, saya diantar seorang pemuda melihat reruntuhan istana.
“Bayangkan, tangganya saja begini besar, bagaimana bangunannya?” tanya sang pemuda seolah pada diri sendiri. Memang, sepasang tangga itu cukup besar, dan bekas pondasinya luas. Di ujung pondasi terdapat rumah papan sangat sederhana tempat tinggal keturunan sultan yang lain. Bebek-bebek dan angsa menyongsong saya di atas pondasi—saya titi dengan tubuh nyaris oleng karena pikiran diharu-biru gremeng masa lalu.
Dari Aceh Darussalam Hingga Brunei Darussalam
Menariknya, Kesultanan Indrapura bukan hanya ada dalam teks, namun ada di sejumlah tempat penting Nusantara. Ada keterhubungan historis, nasab dan silsilah. Di Aceh, Indrapura sempat menempatkan raja dan sultanah. Denys Lombard (1991), menyitir Hikayat Aceh menyebut bahwa Sultan Aceh,
‘Ali Ri’ayat Syah (Raja Buyung) merupakan anak Munawar Syah, Raja Indrapura.
Di referensi lain disebutkan bahwa seorang putri Indrapura, Raja Dewi, dinikahi pangeran Aceh. Putra mahkota itu naik tahta, tapi tak lama kemudian wafat. Raja Dewilah yang menggantikannya dengan gelar Sultana Sri Ratu Nagiatuddin Nurul Alam. Meski hanya memerintah selama tiga tahun, ia berhasil meletakkan dasar undang-undang Aceh Darussalam. Pengaruh Indrapura bertahan sampai tahun 1588, dimana saudara kandung Raja Dewi berhasil naik tahta, yakni ‘Ali Ri’ayat Syah II.
Di Bantam (Banten), Indrapura masuk melalui seorang putri yang menikah dengan “orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Jawa dan berkuasa di Banten” (William Marsden, 2008: 325). Indrapura memang punya hubungan dagang yang kuat dengan Banten dan Jawa.
Air Bangis, Pasaman, konon dibangun bangsawan Indrapura, Urang Kayo Lanang Bisai, sebagaimana Natal dan Barus di utara. Alkisah, nama Air Bangis muncul abad ke-17 diberikan rombongan Kesultanan Indrapura yang bermigrasi karena situasi Indrapura makin tak kondusif akibat campur tangan VOC. Lanang Bisai menyatukan Patibubu yang didirikan orang Mandailiang dengan wilayah Ujang Biang yang didirikan orang Tiku menjadi Air Bangis (Zusneli Zubir, 21 Juni 2007).
Begitu pula Natal di Mandailing. Dalam “Kisah Negeri Natal” sebagaimana dinukil buletin Forum Lintas Rantau (Volume VII, 2007), berdasarkan buku Natal Ranah Nan Data susunan Puti Balkis Alisyahbana (1966), disebutkan, rombongan Indrapura membawa sebungkus tanah dari selatan. Di setiap tempat pemberhentian mereka mencocokkan tanah yang dibawa dengan tanah yang didatangi. Di Natallah tanah itu dianggap cocok atau memiliki kesamaan. Maka mereka mendirikan pemukiman. Kawasan ini meluas meliputi Tabuyung, Singkuang dan Batumundam.
Sebagian rombongan Indrapura melanjutkan perjalanan menyusuri Tepian Nauli (Tapanuli). Seorang pangerannya bahkan masuk ke pedalaman Toba dan beroleh pengikut di Bakara dan Pasaribu. Kemudian ia memutuskan turun ke Barus. Di Barus dia menjadi Raja Hilir, sebagaimana dikisahkan Jane Drakard (2003) menukil Kronik Raja-Raja Barus yang merujuk dua manuskrip abad ke-18. Pada abad ke-16 di Barus bertahta dua orang raja, yakni Raja Hulu bernama Sutan Marah Sifat dan Raja Hilir yang dikenal dengan nama Tuan Ibrahim. Dalam kronik itu disebut Tuan Ibrahim berasal dari Tarusan (utara Indrapura), namun rombongan di Tarusan itu pun berasal dari Indrapura.
Indrapura juga memiliki hubungan kuat dengan Kerinci, Jambi. Kerinci merupakan hinterlands (daerah pedalaman) yang memasok berbagai komoditas bagi pelabuhan Samudrapura. Karena itu, dalam upaya menaklukkan Indrapura, Belanda pun merasa perlu menaklukkan Kerinci. Belanda memaksa orang Indrapura sebagai penunjuk jalan yang berakibat pecahnya Perang Kerinci.
Indrapura punya hubungan trah dengan Kerajaan Muko-Muko melalui Sultan Muhammad Syah gelar Raja Adil. Marsden (2008) mencatat bahwa daerah Anak Sungai Bengkulu diserahkan kepada Raja Indrapura sebagai tebusan terhadap pembunuhan salah seorang pangeran. Anak Sungai kemudian muncul sebagai kerajaan baru (1691), mula-mula berpusat di Majunto, kemudian pindah ke Muko-Muko. Rajanya Mansyur Syah atau Sultan Gulemat, putra Raja Adil.
Akibat hubungan-hubungan ini, sejumlah tokoh bangsa memiliki latar historis dengan Indrapura. Sebutlah Fatmawati, ibu kandung Megawati. Fatmawati merupakan anak pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah, putri Kesultanan Indrapura. Chadijah dinikahi Hasan seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah. Hasan Din juga bersahabat dengan Soekarno ketika tokoh pergerakan kemerdekaan itu dipindahkan dari Banda Neira ke Bengkulu dalam pengasingannya. Jadi Megawati memiliki darah Indrapura, meski dalam hitungan matrilinial ia merupakan “anak seberang”.
Di Bengkulu memang tersebar anak-keturunan Indrapura. Bukan saja karena bertetangga, tapi raja-rajanya satu ranji/silsilah. Bengkulu juga menjadi tempat perlindungan keluarga kesultanan Indrapura ketika Belanda makin membabi-buta. Raja terakhir pun melarikan diri dalam perlindungan Inggris di Benteng Marlborough.
Saya intip di wikipedia, Sutan Takdir Alisjahbana merupakan keturunan Indrapura kelahiran Natal. Ibunya, Puti Samiah, turunan Rajo Putiah, bangsawan Indrapura. Sutan Takdir Alisjahbana dari pihak ibu berkerabat dengan Sutan Sjahrir, perdana menteri Indonesia pertama. Di sisi lain, Sjahrir merupakan “oom” penyair Chairil Anwar karena punya hubungan kekerabatan dengan ibunya, Saleha. Apakah Chairil juga punya darah Indrapura, menggenapi Taeh dan Medan dalam hidupnya? Mungkin akan dianggap berlebihan.
Tapi ada fakta yang lebih mengejutkan. Sultan Brunai Darussalam, Hassanal Bolkiah, juga memiliki darah Indrapura. Menurut cerita, salah seorang trah Kesultanan Brunai adalah Bandaro Harun dari Minangkabau yang dipercaya merupakan Sultan Harun Syah Sultan Bengawan dalam silsilah Indrapura. Ibu Bandaro Harun adalah Putri Lelo Ambun Ratna Gumala atau Lenggogeni Dewi Alam Syah, raja perempuan Indrapura. Ini pernah ditulis Bupati Pesisir Selatan, H. Darizal Basir, di sepucuk surat bertanggal 4 Maret 2002 yang dikirim kepada “Yang Mulia” Sultan Bolkiah (lihat blog Romadanirajab).
Begitulah. Indrapura ada di mana-mana…
Apapun, penyebaran dan keterhubungan ini merupakan hal menarik, meski nilai sejarahnya berbaur dengan mitos. Tapi justru karena itu menarik dikaji, ibarat memisahkan minyak dengan air. “Pemisahan” ini bukan menyoal baik-buruk, positif-negatif, melainkan memetakan mitos dan sejarah pada tempatnya.
Toh, mitos dan tambo, imajinasi atau sekedar cerita, tetap dapat tempat sebab semua itu lahir bukan dari ruang hampa. Ada peristiwa atau situasi tertentu melatarinya. Sebagaimana kisah Mande Rubiah di Lunang (tak jauh dari Indrapura) yang dipercaya sebagai keturunan Bundo Kanduang Pagaruyung, lengkap dengan makam Puti Bungsu, Dang Tuanku dan Cindur Mato. Betapapun versi sejarah mencoba mendudukkan perkara, versi tambo dan mitologi tetap berterima.
Terlepas dari itu, hubungan kawin-mawin, perkongsian, persekutuan, perlawatan, “migrasi”, termasuk mungkin penaklukan, telah membentuk “jaringan raja-raja” Nusantara. Pulau Penyengat di Kepulauan Riau, misalnya, menjadi salah satu titik temu jaringan itu. Di sana bukan hanya kuasa anak jati Melayu tapi juga turunan Bugis. Keturunan Bugis lazim menjabat Yang Dipertuan Muda (YDM), setara dengan perdana menteri; rajanya orang Melayu. Dua Pahlawan Nasional dari Provinsi Kepri berdarah Melayu-Bugis. Yakni, pahlawan Perang Teluk Ketapang, Haji Fisibilillah dan cucunya, pahlawan “bahasa Indonesia” dan penggubah “Gurindam Duabelas”, Raja Ali Haji.
Begitu juga di Aceh. Ada regenerasi dan periode kekuasaan sultan yang terhubung dengan trah Bugis, Minang, Arab, dan Aceh sendiri. Di Loloan, sebuah kampung kecil diaspora di Jembrana, Bali, keterhubungan itu ditandai kedatangan berbagai suku bangsa: Bugis, Makassar, Mandar, Banjarmasin, Pontianak hingga Trengganu. Mereka datang ke dalam beberapa periode dari abad 15 hingga ke-16. Dalam kehidupan lebih belakangan, berbaur pula orang-orang Jawa dan Madura. Masih banyak lagi contoh yang bisa didedah.
Jelas, hubungan saling-silang tak mengenal batas geografis dan suku bangsa. Bukan pula sepenuhnya soal penyebaran agama, sebagaimana jamak dikenal selama ini. Jika motif silang-budaya itu semata soal (penyebaran) agama, maka terasa betapa “hambarnya” interaksi yang ada. Jika demikian, bahkan hal-hal seputar keagamaan itu sendiri bakal sulit berkembang, seperti shalawat dan tarekat. Padahal selalu ada anomali. Kolonialisme dianggap mencengkram dunia timur dengan menggelorakan 3-G (Gold, Glory, Gospel). Tapi lebih mengemuka “Gold and Glory”-nya. Dalam banyak kasus, pemerintah kolonial abai melindungi misi “Gospel”-nya dengan membiarkan misionaris atau zending jalan sendiri. Begitu pula orang-orang adat dan agama di Minangkabau. Semula mereka bertikai dalam soal pemurnian agama sehingga mengundang campur-tangan Belanda. Belakangan, mereka bersekutu melawan kolonial melebihi urusan agama. Dalam konteks ini juga banyak contoh lain bisa dicari.
Jadi kian jelas bahwa jaringan dan silang budaya bukan hanya berlatar agama nan suci, tapi juga hal-hal “duniawi”. Mulai mencari kongsi dagang, babat alas, mendirikan pusat kerajaan baru, bahkan menyangkut upeti dan ekspansi. Karena itu cukup beralasan kenapa Christine Dobbin (1983) mengkorelasikan Perang Padri dengan “gejolak ekonomi” dan “kebangkitan Islam” di Minangkabau. Pendek kata, soal-soal kultural, khususnya dalam langgam kekuasaan, ikut mewarnai silang-budaya Nusantara.
Merujuk kisah sejarah mainstream di kurikulum dan juklak sekolahan, prosesnya disebut damai-adem-tenteram. Tapi apakah memang sepenuhnya demikian? Menyangkut kekuasaan, damai itu rasanya relatif. Kecuali bahwa kekuasaan juga punya mantiq-nya sendiri: diplomasi. Dan diplomasi, saya percaya, mengandalkan kecakapan budaya tingkat tinggi, dan “agama” kadang cukup sebagai legitimasi.
Atas hal inilah kiranya tesis Azyumardi Azra (1994) tentang “jaringan ulama”, menurut saya bisa dikembangkan alih-alih diperluas menjadi “jaringan kultural”. Dalam jaringan ini, yang dapat tempat bukan hanya sanad keilmuan, mursyid atau silsilah ulama/tokoh berpengaruh; tapi juga membuka lanskap partisipatif khalayak luas alias pemilik kebudayaan yang mewarnai setiap titik peta jaringan.
Demikianlah, di tepi Pelabuhan Muaro Sakai, Indrapura, saya merangkai ingatan dan harapan, seperti merangkai batu cincin dan kulit lokan. Gemerincingnya semoga mengingatkan kita pada dimensi kultural jejaring Nusantara yang tak kalah kompleks dan menyebarnya dibanding agama. Seperti Indrapura yang ada di mana-mana.
(Disalin dari sebuah tulisan).
============================
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Vazal, dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti 'Taklukan'. Dalam laman wikipedia dijelaskan seseorang yang menjalin hubungan dengan monarki yang berkuasa—biasanya dalam bentuk dukungan militer, perlindungan bersama, atau pemberian upeti, dan menerima jaminan dan imbalan tertentu sebagai gantinya.[1][2] Sistem ini telah ada sebelum hingga berakhirnya feudalisme di Eropa pada abad pertengahan. Selain di Eropa, sistem yang hampir mirip juga ditemukan pada kekaisaran Mongolia, Jepang (Gokenin), dan lainnya.