Foto. palukota |
SYEIK ABDULLAH RAQIE (Datuk Karamah)
Penyiar Agama Islam di Lembah Palu Sulawesi Tengah
Kedatangan orang Minangkabau ke Lembah Palu pertama sekali ditandai oleh kedatangan rombongan Datuk Karamah pada kurun waktu abad ke XVII seperti diberitakan dalam buku “Mengenal Tanah Kaili”. Nama lengkap beliau adalah Syeik Abdullah Raqie yang datang ke lembah Palu tahun 1650 menggunakan perahu layar (Sadi , 2021).
Menurut penuturan Bpk Ihsam Djahidin Djoremi Yeko Pue Mamua Pue Busi Lembah (50 tahun), seorang budayawan Kaili dari Museum Budaya Palu, bahwa Syeik Abdullah Raqie (Datuk Karamah) datsng bersama rombongan yang jumlahnya lebih kurang 50 orang. Tersebut pula Datuk Santari (Datuk Santri) yang bersama-sama dalam rombongan. Selain itu terdapat tokoh adat dan budaya, juru masak dari tanah leluhur di Minangkabau pulau Sumatra yang terdiri atas orang tua, anak muda dan juga pengikut-pengikut yang berasal dari tempat dimana pelabuhan tempat kapal mereka singgah mampir.
Dalam pelayaran tersebut terlebih dahulu mereka telah singgah mampir di beberapa tempat seperti di Johor, kemudian menggunakan jalur pelayaran tengah menuju pulau Salemo di Sulawesi Selatan, singgah di Sulawesi Barat hingga berlabuh di Teluk Palu tepatnya di “Karampe” (yang berarti tempat berlabuh) atau disebut juga “Lembuo”, dalam wilayah Talise sekarang, tepatnya di Pelabuhan yang sekarang telah di reklamasi oleh pengembang/pengusaha.
Menurut Adriani dan Kruijt (1912) dalam Nurdin dan Maddini (2018) bahwa nama Dato Karama sudah sangat terkenal sebagai salah seorang pembawa Islam di lembah Palu (dulu disebut Paloe) dan Parigi. Saat kedatangan Dato Karama, Palu masih merupakan desa yang letaknya agak jauh dari pantai. Suatu ketika penduduk yang sedang membuat garam di pantai melihat sesuatu yang aneh muncul dilaut ditengah gelombang yang tinggi dan tiba tiba muncul kapal rombongan Syeik Abdullah Raqie. Penduduk kemudian lari melapor kepada kepala raja Palu (Pue Nggari) yang kemudian datang dengan menunggang kuda ke pantai untuk melihat Dato Karama.
Ikut dalam rombongan [Dato Karamah] tersebut adalah istrinya yang bernama “Ince Jille”, iparnya yang bernama “Ince Saribanun”, dan putrinya bernama “Ince Dingko”. Rombongan ini datang bersama peralatan-peralatan kebudayaan Minangkabau antara lain berupa : payung Panji berwarna kuning keemasan, panji orang (dalam bahasa Kaili disebut “Ula-ula”), “Jumbai-jumbai” pelaminan serta alat musik karawitan asli Minangkabau yang terdiri atas : Talempong (Dalam bahasa Kaili disebut “Kakula-kakula”), Canang/Gong[1] (“tawak-tawak”), “gandang” (dalam bahasa Kaili disebut Gimba) serta Saluang, sejenis alat musik tiup yang terbuat dari sepotong bambu yang diberi 4 buah lobang (dalam bahasa Kaili disebut “Lalove”).
Di Lembah Palu ketika itu terdapat sebuah kerajaan yang rajanya bernama Pue Nggrae yang kemudian mendengar kedatangan Syech Abdul Raqi dengan rombongannya yang mendarat di Talise, Pue Nggrae memerintahkan “Pue Njidi” (seorang petinggi kerajaan) untuk mendatangi dan menemui Syeik Abdul Raqi dan mengatakan :
“ Coba lihat siapa yang datang, Kalau mereka membawa kebaikan maka terimalah dia”.
Dari sastra lisan yang berkembang di Lembah Palu dikatakan bahwa Syeik Abdul Raqie berserta rombongan diterima dengan baik oleh penguasa Lembah Palu ketika itu dan sejak itu menetap di Lembah Palu. Maka mulailah beliau menyiarkan Dakwah agama Islam dengan cara mengislamkan pimpinan setempat bersama keluarganya hingga meluas kepada masyarakat umum, bahkan dalam menyiarkan Islam di Lembah Palu tersebut pula sebuah tempat bersejarah di desa Bangga, Kabupaten Sigi Biromaru yang bernama “Ue Islam”, sebuah sumber mata air yang jernih tempat sang Datuk mengambil air Wudhu di desa tersebut yang lokasinya tidak jauh dari makam “Pue Bongo” (salah seorang bangsawan Kaili). Sekarang daerah tersebut dijadikan situs budaya oleh pemerintah Sulawesi Tengah.
Dari akulturasi budaya bahkan terjadi perkawinan antara Ince Dingko (Putri dari Datuk Karamah) dengan bangsawan Kaili, maka seluruh alat kebesaran yang dibawa oleh rombongan Datuk Karomah dari ranah Minangkabau diserahkan kepada raja untuk mempererat tali kekeluargaan, dan sejak itulah para raja di tanah Kaili menggunakan benda-benda tadi sebagai media kebesaran pada upacara kebesaran seperti dalam perkawinan, kematian dan sebagainya. Dari tradisi lisan di Tanah Kaili disebut bahwa bangsawan Kaili yang pertama memeluk agama Islam adalah Pue Ndjidi/ Bangsawan Kabunena.
Dari proses interaksi antara rombongan Datuk Karomah dengan masyarakat Kaili di lembah Palu maka terjadilah proses asimilasi, dimana sebagian budaya Kaili dipengaruhi oleh budaya Melayu Minangkabau, misalnya pada pakaian, warna adat, pelaminan, yang sering digunakan pada upacara perkawinan dan kematian serta alat musik seperti :Talempong” (dalam bahasa Kaili dsb “Kakula-kakula”), “Saluang (“Lalove”) . Bahkan pada jenis ragam makanan seperti ; “Kalio” (dalam bahasa Minangkabau), dalam bahasa Kaili disebut “Kalia”. (Komunikasi pribadi dengan Ihsan Djahidin Djoremi Yeko Pue Mamua Pue Busi Lembah, 50 tahun).
Selanjutnya ditambahkan bahwa hasil perkawinan antara anggota rombongan Datu Karamah dengan bangsawan Kaili, beberapa dari mereka masih menggunakan nama “Ince” terutama yang menetap di sekitar Kampung Lere dan Kampung baru.
Datuk Karomah dan beberapa dari anggota rombongan wafat dan dimakamkan di Kampung Lere, sebuah lokasi pemakaman yang sekarang menjadi Cagar Budaya Pemda Sulawesi Tengah, sedangkan Datuk Santri dimakamkan di desa Lolu, kota Palu. Konon yang memberi nama kampung Lere adalah Datuk Karamah juga. Kawasan itu dulu bernama “Panggona”, namun ketika beliau jalan-jalan sekitar kawasan tersebut bersama dengan Tokoh masayarakat kaili, beliau menemukan banyak tumbuhan yang hidup di pinggir pantai yang bernama “Lalere” (Ipomoea pes-caprae/Convolvulaceae), hingga sejak itu kawasan tersebut berganti nama menjadi Kampung Lere.
Gambar 1 : Lokasi makam Datuk Karamah yang sekarang ditetapkan sebagai Cagar Budaya (Atas). Gambar bawah: Alm. Mukhlis Djambak, SE (Ketua IKMST 2010-2013, 2016- 2018), Prof. Dr. Ramadhanil Pitopang (Ketua DPW IKM Sulteng 2019-2024), Juru kunci makam dan Kol. Marinir (Purn), H. Azwar Syam (Mantan Ketua DPRD Sulteng)
(Sumber Fb Ramadhani Pitopang)
Disalin dari kiriman FB Yudhi Tanjung
Catatan Kaki oleh admin:
[1] Canang berlainan dengan Gong, Canang berukuran lebih besar dari talempong. Sedang Aguang memiliki ukuran dan bentuk seperti 'Gong' di Jawa.