Istilah 'Muara Takus' itu sebenarnya adalah istilah pembodohan dari para sejarawan modern. Istilah 'Muara Takus' hanya pergeseran yang serampangan dari istilah lokal 'Muotakui'. Sama halnya dengan istilah 'Minangkabau' yang oleh sejarawan tukang copas diklaim berawal dari peristiwa adu kerbau jantan raksasa milik prajurit Majapahit melawan anak kerbau yang masih menyusu milik orang Minang. Anak kerbau minang itu sebelumnya oleh datuak minang dipasangi dua bilah pisau runcing di bagian tanduknya. Lalu karena lapar ingin menyusu maka anak kerbau itu langsung menyeruduk perut si kerbau jantan raksasa yang langsung tembus dan lalu matilah si kerbau jantan raksasa itu.
Sejak kapan pula binatang kerbau tidak punya naluri untuk membedakan mana kerbau jantan dan mana kerbau betina.? Apalagi anak kerbau secara naluri akan tau mana induknya dan mana yang bukan induknya. Apalagi kerbau jantan hanya punya otong tapi tidak punya susu. Lagipula gagang pisau tidak akan bisa menempel di kepala anak kerbau yang sama sekali belum punya tanduk.
Lagipula apakah prajurit Majapahit akan sebodoh itu membiarkan saja adanya kecurangan.? Jika peristiwa adu kerbau itu benar terjadi maka sudah pasti prajurit Majapahit adalah prajurit dan manusia paling bodoh sedunia dari semenjak jaman nabi Adam hingga jaman Jokowi..
Sialnya para sejarawan tukang copas itu dengan bangganya pula memasukkan cerita halu hantu balau adu kabau itu ke dalam buku pelajaran sejarah anak sekolah di Sumbar.. Baa gak ati tu sanak-sanak.? Untuanglah ambo ko urangnyo lai agak panyaba..
Lanjut...
Sedangkan istilah 'Muotakui' itu sendiri hanyalah kata singkatan dari istilah lokal "Mulo-mulo diulu diotok ditata diatu dibawah kekuasaan ulayat Indo Dunia'.
'Muotakui' itu bukan nama candi. Candi itu sebutan awalnya adalah 'Sijangkang', atau disebut juga 'Talago Undang', bukan Muotakui apalagi Muara Takus. Lha... muara dari mana.? Tapi ya sudahlah, kita sebut saja Candi Muara Takus atau Muaro Takuih, karena sebutan itu telah terlanjur populer.
Indo Dunia (Maharajo Indo Dunia), adalah anak laki-laki dari 'Sanghyang Dewi Puti Sari Dunia' (Puti Sari Dunia) dari Pariangan, trah dari Sanghyang Indra, penguasa di negeri Pariangan yang masa itu disebut negeri Para Hyang/Parahyang.
'Indo' artinya 'Indra'.
Setelah negeri Mahat (Maek), maka negeri Pariangan(Parahyang) adalah pusat dari agama Hyang, yang dalam istilah Minangkabau disebut agama Sinaro, dan dalam persepsi modern disebut agama Surayana atau agama Matahari, agama asli etnis Moloyou (Minangkabau, Malayu), jauh sebelum masuknya agama Hindu dan Budha.
Pemuka agamanya disebut 'Malim' atau 'Manglim'.Malim atau Manglim juga berperan sebagai penasihat sebuah Kedatuan di tanah Minang sebelum jaman hindu budha. Dan terutama berperan sebagai pendeta, guru, penopang kepercayaan asli orang Moloyou (Minangkabau, Malayu) di tanah Minangkabau yang disebut 'Agama Sinaro' alias 'Surayana' alias 'Agama Surya' atau 'Agama Matahari'.
Agama Sinaro bukan menyembah matahari melainkan menjadikan matahari dan puncak-puncak gunung tinggi sebagai kiblatnya. Pusatnya di Nagari Mahat (negeri seribu menhir) dan di Nagari Pariangan.
Malim/Manglim = nama jabatannya.
Sinaro = nama agamanya.
Mungkin di Kampar masih ada penerusnya yang mewarisi gelar 'Malim/Manglim', seperti misalnya 'Malim Phuti Bunsu' atau 'Manglim Puthi Bunsu'.
Umumnya sejarawan mengatakan bahwa agama awal orang Minang adalah Hindu Budha atau Budha Mahayana. Padahal tidak demikian halnya. Konsep ajaran Budha Mahayana yang sebenarnya sulit ditemukan jejaknya pada masyarakat Minang jaman lampau. Mungkin hanya Maharajadiraja Adityawarman saja yang menganut ajaran Budha Mahayana itu.
Agama awal orang Minang adalah agama Sinaro, yang dalam praktek kesehariannya lekat dengan Manto (mantra) yang berbahasa Minang. Dan juga identik dengan menhir-menhir seperti menhir-menhir di Situs Mahat yang selalu menghadap ke arah puncak gunung Sago. Wah.., bisa panjang ceritanya kalau dilanjutkan bahasan tentang agama Sinaro ini.
Yang jelas mungkin anda bisa sedikit memahaminya jika anda pernah mempelajari atau mewarisi mantra-mantra Minang kuno yang sebelum pengaruh Islam (belum ada intervensi unsur-unsur Islam). Dijaman ini matra-mantra Minang kuno itu tentu saja bersifat rahasia, tidak bisa disebarkan atau diajarkan begitu saja. Mantra-mantra Minang yang umumnya bisa dipelajari dan bebas diakses hanyalah mantra-mantra setelah pengaruh Islam dan kekuatan mistiknya telah diredam sedemikian rupa.
Setelah berkuasanya Maharajo Indo Dunia, maka negeri Muotakui kemudian disebut Negeri Indo Dunia. Mungkin hari ini masih ada sebuah tempat di sekitar Muara Takus bernama 'Galangan lndo Dunia'.
Istilah 'Kampar' berasal usul dari nama sungai 'Batang Kampau' (Sungai Kampar yg sekarang), yakni sebuah sungai yang muncul bertahap setelah surutnya 'Laut Ombun'. Mungkin benar 'Kampau' itu artinya batang pohon Kamper yang masa itu banyak ditemukan hanyut di sungai itu.
Entah hanyut dari arah mana. Gak jelas. Tapi kok bisa istilah 'Kamper' lalu jadi 'Kampau' lalu jadi 'Kampar'.? Masih masuk akal jika istilah 'Kamper' lalu langsung jadi 'Kampar', sedang istilah 'Kampau' tidak ada. Tapi pohon Kamper itu sendiri tidak pernah bisa kita temukan tumbuh di daratan Kampar.
Pokoknya daratan sepanjang sungai Batang Kampau itu akhirnya disebut 'Daratan Kampau', dan sekarang disebut 'Kampar'. Tapi sebutan 'Kampar' bukanlah istilah untuk jati diri (identitas).
Nama jati diri orang Kampar yang sejatinya adalah ORANG ANDIKO, dan keseluruhan negerinya disebut ALAM ANDIKO, karena memang itulah nama yang disepakati oleh para datuak Kampar jaman dulu yang membentuk 44 negeri yang disebut 'Andiko Nan Ampek Puluah Ampek'.
Sedang adat istiadat negerinya tetap 'Adat Minangkabau' yang mereka bawa dari Pariangan. 44 negeri dan 44 datuak, yang dipimpin oleh 4 orang datuak bersaudara yang disebut 'Niniak Nan Barampek', yang turun dari Pariangan. Jadi jumlah total rombongan itu adalah 48 orang datuak. Sedangkan menurut Tambo Luhak Limo Puluah, jumlah semuanya adalah 50 orang datuak. Jadi jumlahnya 48 + 2.
Kurang jelas siapa pula datuak yang 2 orang itu. Mungkin datuak yang berdua itu hilang entah kemana, atau meninggal setelah sampai di Mahat.
Niniak Nan Barampek dan 44 orang datuak inilah yang disebut empat pemimpin utusan dari Sanghyang Dewi Puti Sari Dunia (Puti Sari Dunia) dari Negeri Pariangan (Para Hyang/Parahyang). Negeri Pariangan (Parahyang) adalah negeri tua yang terletak di dekat kota Padang Panjang (Minangkabau) yang sekarang.
Awalnya hanya 4 suku yang ditetapkan sebagai suku awal orang Andiko 44, yakni :
1. Suku Malayu.
2. Suku Piliang.
3. Suku Patopang.
4. Suku Domo.
Pembagian 44 negeri dan 4 suku awal itu dilakukan bertempat di negeri Mahat (Maek). Jejaknya masih bisa dilacak dan masih ada di Situs Mahat, tepatnya di Situs Balai-Balai Batu Koto Gadang Mahat, yaitu yang disebut 'Batu Pembagian Niniak Nan Barampek'.
Niniak Nan Barampek adalah empat orang datuak badunsanak (bersaudara), yakni :
1. Nan tuo, Datuak Maharajo Indo, memimpin wilayah Koto Laweh, Baruah Gunuang, Koto Tinggi, Pua Data, Talang Anau, Tanjuang Bungo, Sungai Naniang, Sungai Rimbang, Andiang, dan Limbanang.
2. Nan tongah, Datuak Siri Maharajo, memimpin wilayah Mungka, Jopang Manganti, Talang Maua, Simpang Kapuak, Gunung Bungsu, dan Gunuang Malintang.
3. Nan tongah, Datuak Bandaro, memimpin wilayah Mahat.
4. Nan Bonsu, Datuak Rajo Dubalai, memimpin wilayah Muaro Takuih dan Kampar, dan disepakati menjadi pucuak Andiko 44.
Semenjak itu mulailah populer panggilan OCU (Nan Bonsu) sebagai sebutan bagi masyarakat Muaro Takuih dan Kampar yang dipimpin oleh Datuak Rajo Dibalai. Bonsu, artinya yang bungsu, adik yang paling kecil. Jadi istilah 'Ocu' itu hanya panggilan akrab, bukan sebutan identitas/jati diri. Sebutan identitas asli bagi masyarakat wilayah Kampar adalah 'Orang ANDIKO',.... bukan 'orang Ocu' dan bukan 'orang Kampar'.
Datuak Rajo Dibalai sebagai adik yang bungsu tapi langsung ditetapkan sebagai pucuak (pimpinan) Andiko 44 itu tentulah bukan tanpa alasan. Bagaimanapun juga wilayah Muaro Takuih yang kebetulan dipimpinnya adalah bakal wilayah kedudukan bagi Puti Sari Dunia yang nanti akan menyusul turun dari Pariangan.
Namun tentu saja Nan Bonsu tetap saja adalah Nan Bonsu, tidak akan pernah menjadi Nan Tuo. Maka sungguh menggelikan tingkah sebagian kaum milenial Kampar yang dengan arogan dan tanpa malu mengklaim sebagai yang paling tua.
Dan kemudian di sekitar lokasi candi Muara Takus itu ditetapkan sebagai pusat negeri dan dibentuklah Kedatuan Andiko 44. Dan lalu Kedatuan itu dipimpin oleh Puti Sari Dunia. Dikemudian hari Indo Dunia (Maharajo Indo Dunia), anak laki-laki dari Puti Sari Dunia menggantikan ibunya sebagai penguasa Kedatuan Andiko 44.
Kedatuan Andiko 44, kemudian dikenal juga dengan sebutan 'Kedatuan Sribijaya'. Kedatuan Sribijaya, dalam bahasa lokal disebut 'Kedatuan Sibijayo' atau 'Saibujayo'. Kesalahan sebagian sejarawan adalah memplesetkan 'Sribijaya' sebagai 'Sriwijaya', dan memplesetkan 'Saibujayo' sebagai 'Seribu Raja'. Itulah asal mula kenapa ada sebagian para sejarawan Kampar dan Riau tukang copas dan cocokologi mulai mengklaim bahwa lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya adalah di Muara Takus. Klaim halu yang hingga kini tidak bisa dijelaskan dengan logis mana ujung dan mana pangkalnya.
Candi Muara Takus dalam tulisan Dr. F.M. Schnitger.
Dr. F.M. Schnitger yang datang langsung guna meneliti keberadaan candi Muara Takus di tahun 1935, 1936, 1938, 1939, telah menulis laporannya dalam bukunya berjudul The Forgotten Kingdoms in Sumatra, yang berbahasa Inggris. Poin-poin penting tulisannya tentang Kampar dan Candi Muara Takus antara lain;
(Salinan)
1. Penduduk tertua Moeara Takoes adalah keturunan Poetri Seri Doenia, yang datang bersama keluarganya dari Pariangan Padang Pandjang (Menangkabau). Kecantikannya menjadi sangat terkenal sehingga seorang penguasa Hindu melamar dia. Sang putri menerima lamarannya dengan syarat bahwa dia harus membangun istana untuknya. Ini yang dilakukan sang radja, dan sisa-sisa istana ini masih dapat dilihat di Moeara Takoes. Kemudian radja kembali ke negaranya sendiri untuk membuat persiapan pernikahan.
2. Poetri Sri Doenia menikah dengan seorang datoe dari Menangkabau. Dia melahirkan seorang anak laki-laki, yang dia sebut Indo Doenia dan sampai saat ini ada sebuah tempat di Moeara Takoes bernama Galangan lndo Doenia. Pemuda ini kemudian menjadi penguasa Moeara Takoes dan digantikan oleh Radja Pamoentjak (Datoe di Balai), yang dikenal dalam sejarah pada masa ketika negara itu masuk Islam.
3. Moeara Takoes sebelumnya disebut Si Djangkang (tumbuhan) atau Telago Oendang. Nama tersebut konon berasal dari Takoet, nama anak sungai Kampar, dinamakan demikian karena di tempat ini masyarakat mulai takut pada penguasa Moeara Takoes (takoet = takut).
Kerajaan ini pernah menguasai seluruh negara sekitarnya, dan ingatan akan fakta ini belum memudar. Sampai hari ini penguasa Rokan harus berziarah ke Moeara Takoes sebelum penobatannya agar kepalanya diolesi dengan jus lemon.
Wallahu a'lam.
------
Link postingan: https://www.facebook.com/100002639397292/posts/4448403735257562/
Disalin dari kiriman FB St. Bandaro