Foto: Swastika Advertising |
Belajar sejarah itu ibarat bermain puzzle, memverifikasi fakta penggalan yang satu dengan penggalan lainnya, dari sejumlah literatur, arsip, kronik dan lain lain.Kemudian kita analisis keabsahannya, lalu kita interpretasi menjadi sebuah narasi tulisan sejarah dalam bentuk yang logis, diterima kebenaran objektifnya oleh akal pikiran kita.
Belajarlah dan pelajari sejarah itu pada ahlinya supaya kita tidak sesat. Jangan belajar sejarah pada mithos dan rekayasa, pasti sesat dan suatu saat akan terbongkar. Jangan hanya membaca dan mengelaborasi dua tiga literatur anda sudah berpretensi menjadi seorang sejarawan, tanpa memahami metode dan metodelogisnya.
Disertasi Doktor yang menguliti bidang sejarah-antropologi ini telah lama diterbitkan Pustaka Kompas Gramedia dengan judul, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Saya coba elaborasi dan ulas serta kaji dalam tulisan ini.
Menurut Danial Peret label Melayu dan Batak bukan etnis, istilah ini adalah label budaya. Siapa saja dapat menjadi Melayu asal dia Islam, beradat istiadat Melayu dan mengaku Melayu.[1]
Label Batak menurut Perret muncul sebagai pelengkap Melayu. Orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya (civilized), sedangkan semua orang yang non Melayu, seperti Karo ,Pakpak, Simalungun, Toba dan Mandailing serta Angkola yang berada di wilayah pedalaman dan lembah Bukit Barisan. Dipandang sebagai orang tidak berpengetahuan, berprilaku kasar dan bahkan kanibal, diberi label Batak.
Istilah Batak ini disebutkan dengan konotasi merendahkan, seakan memiliki cap atau stigma negatif dan cacat sosial. Istilah Batak ini bukan berasal dari orang orang yang bermukim di pedalaman. Label ini muncul dari luar ranah budaya mereka. Mirip Colombus memberi stigma Indian terhadap penduduk asli Benua Amerika.
Daniel Perret mencatat dari beberapa dokumen dari prakolonial. Bahkan dalam hikayat Deli 1825, istilah Batak hanya sekali digunakan, sedangkan dalam syair Putri Hijau 1924, sama sekali tidak ada
menyinggung Batak atau Melayu. Baik dalam pustaka Kembaren 1927, maupun pustaka Ginting 1930, tidak dijumpai kata kata Batak.
Selain itu BS. Simanjuntak mencatat bahwa kata kata Batak tidak dijumpai dalam pustaka Toba. Memang dalam stempel Sisingamangaraja, yang tertera hanya kalimat " Ahu Raja Toba ", bukan " Ahu Raa Batak ".
Kehidupan orang orang Melayu di pesisir banyak bergantung pada orang orang di kawasan pegunungan itu, seperti tenaga pekerja untuk mengelola perkebunan, hasil hutan dan istri istri. Karena label Batak dibawa dari luar, maka label ini menjadi sebuah yang kabur dan menyesatkan (evasive identity). Ketika seorang menganggap orang lain Batak, maka dia merasa lebih tinggi dari orang lain. Sikap rasis dan diskriminatif.
Perubahan perubahan sosial ekonomi yang kurang kondusif di Aceh pada permulaan abad ke 20, menyebabkan kesultanan kesultanan Sumatera Timur mengembangkan ruang budi daya pertanian kopi, lada dan gambir serta kapas ke daerah dataran tinggi/pegunungan. Maka ruang antara Melayu dan Batak berobah menjadi produk pertanian yang produktif.
Kohesi antara pesisir ( Sultan Sultan ) dan pedalaman ( Panglima Panglima ) ditumbuhkan dalam kelembagaan " Datuk Empat Suku". Proses Melayunisasi dari kelembagaan ini sejalan dengan islamisasi. Sehingga ruang kehidupan orang orang Batak ( Uncivilized/tak berbudaya ) menjadi semakin sempit. Akhirnya kelompok kelompok Baru ( yang disebut Melayu dusun ) ini, menjadi otonom.
Waktu pihak asing datang mereka telah dapat menjalin hubungan langsung tanpa minta persetujuan Sultan Sultan Melayu. Dalam kesempatan berhubungan langsung dengan elit pedalaman ini, para kontroleur Belanda yang ditempatkan di dusun dusun ( Simalungun, Karo, Toba ) memperkuat keterpisahan mereka dengan Sultan Sultan Melayu pesisir, dan mendorong tumbuhnya perasaan komunitas dan kesadaran etnis sendiri sebagai orang Batak.
Mulai 1888 kontrolir kontrolir yang di tempatkan di dusun dusun ditugaskan untuk menangani urusan Batak, yaitu membela kepentingan orang Batak berhadapan dengan orang Melayu. Disamping itu, pemerintah kolonial menciptakan ruang hukum untuk dusun dan dikatakan sebagai " ruang hukum " Batak, sedangkan untuk daerah pesisir dimasukkan dalam ruang hukum Melayu.
Dengan keterpisahan ini Belanda dapat dengan mudah memancing konflik antara Melayu dan Batak seperti pecahnya Perang Sunggal 1872. Di satu sisi perkebunan asing/Belanda menerima konsesi dari tanah Sultan dengan sukacita, di sisi lain pemerintah kolonial merangsang timbulnya protes dari pemilik tanah penduduk asli setempat.
Demikianlah pemerintah Belanda menggunakan Label Batak untuk mempersatukan seluruh suku suku non Melayu sebagai sebuah identitas etnik. Pemerintah Belanda terus menerus memompakan label Batak dengan penguatan sosio - geografis tertentu, nilai nilai budaya dan kemudian agama Kristen. Sehingga keterpisahan kawasan Batak dengan Melayu menjadi lebih nyata dan kontras, tidak dalam pengertian budaya ( civilized and uncivilized ). Tetapi dalam pengertian kelompok etnik Melayu dan Batak.
Untuk mengukuhkan gerakan ini secara akademis, pemerintah Belanda di Universitas Laiden mendirikan Bataksch Institut. Beberapa cabangnya Bataksch Vereniging didirikan pada lokasi lokasi
tertentu seperti di Tapanuli dengan berbagai kegiatan, termasuk pertemuan-pertemuan. Mendirikan museum, opera Batak (Tilhang) yang diadopsi dari theater bangsawan Melayu, menulis adat Batak yang disusun oleh seorang kontroleur tahun 1900.
Sementara itu di bagian Selatan Tapanuli telah berdiri kelompok (bangsa) Mandailing yang berseberangan dengan kelompok Batak di Utara. Sebagai migran di kota Medan, mereka saling berhadapan pula dalam berbagai polemik wacana mengenai Batak. Bahkan konflik terbuka (peristiwa sungai mati tahun 1920 ). Orang Mandailing tidak mau disebut Batak. Karena mereka merasa sudah berbudaya tinggi (civilized). Jadi melulu bukan masalah geneologis.
Disertasi Daniel Perret ini menyimpulkan bahwa istilah Batak maupun Melayu bukanlah label etnik tapi label budaya (civilixed and uncivilized). Tetapi untuk kepentingan strategi kolonial, pemerintah Belanda telah mampu "memaksakan" orang orang Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Toba, Mandailing, Angkola menerima label Batak sebagai label etnik dan mematahkan jalinan sosial tradisional antara kawasan pesisir dan pegunungan (Melayu dan Pegunungan)
Bahkan Belanda menyediakan fasilitas unsur unsur pembentukan dan penegasan identitas etnis baru itu sebagai orang Batak. Semua itu untuk kepentingan strategi (devide et impera) kolonial Belanda masa itu.
Disalin dari kiriman FB: Wara Sinuhaji
Catatan kaki oleh admin:
[1] Kami belum mendengar istilah seperti ini, terutama yang terakhir. Yang ada ialah seperti yang diungkapkan orang tua-tua dahulu; Melayu itu ialah semua orang Islam yang beradat resam Melayu. Dan di Minangkabau tambah satu lagi yakni Mengisi Adat. Inti atau makna dari Melayu itu ialah Ukhwah Islamiyah. Bukan fanatik kesukuan atau aliran darah atau 'genetik'. Maka taklah mengherankan apabila dijumpai orang Melayu itu berbeda-beda rupanya, apakah itu tinggi badan, bentuk tubuh (fisik) warna kulit, ataupun warna rambut. Karena Melayu itu ialah perwujudan dari Islam itu sendiri. Ciri khas Negeri Melayu ialah menganut falsafah Adat Bersendi Syara' - Syara' Bersendi Kitabullah. Falsafah itu bukan hanya milik satu puak (sub suku) Melayu sahaja tapi semua Negeri Melayu menganut falsafah yang sama.