Berdirinya Kesultanan Siak Sri Indrapura juga tidak terlepas dari desakan dan dukungan penuh para Batin disepanjang aliran sungai Siak kepada Raja Kecik untuk segera bersama-sama menubuhkan sebuah pemerintahan baru agar wilayah Siak dan sekitarnya, wilayah Riau daratan umumnya terlepas dari cengkeraman Kesultanan Johor Riau yang saat itu dalam genggaman Yang Dipertuan Muda (lanun bugis).
Raja Kecik yang saat itu berada di Bengkalis, beberapa tahun selepas menyingkir dari Kesultanan Johor Riau yg dikudeta oleh lanun bugis, hendak pulang ke Pagaruyung namun membatalkan kepulangannya karena didaulat oleh orang-orang besar, para kepala suku, dan para batin disepanjang aliran sungai Siak yg saat itu berkumpul di Bengkalis.
Dalam Syair Perang Siak, disebutkan Raja Kecik didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis dan Riau Daratan umumnya. Hal ini bertujuan untuk melepaskan wilayah Riau Daratan dari kekuasaan dan pengaruh Kesultanan Johor Riau / Melayu Riau yg mengklaim berdaulat sebagai pewaris Malaka atas wilayah Riau daratan dan memaksa rakyat Riau daratan agar mengaku sebagai Melayu Riau dan "Beradat Resam Melayu Riau" dan wajib tunduk kepada "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda) Melayu Riau.
Dalam prakteknya, "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda Melayu Riau) adalah penguasa sesungguhnya dan berkuasa menetapkan segala-galanya termasuk adat istiadat yg kini populer dg sebutan "Adat Resam Melayu Riau".
Sementara Sultan Johor Riau hanya berfungsi sebagai simbol semata. Bahkan ibaratnya hidup dan mati sang Sultan, nafas yg dihirupnya, ketersediaan makanan dan pakaiannya, dsb, tak ubahnya tergantung kemurahan hati dari "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda).
Itulah "Melayu Riau" yg sebenarnya.
Dalam cakap orang Riau Daratan dulu (setelah terbentuknya Kesultanan Siak), maka "Adat Resam Melayu Riau" lebih sering diplesetkan dg sebutan olok-olok "Adat Resam Lanun Bugis".
Pada masa pemerintahan Raja Kecik Sultan pertama Siak Sri Indrapura, terdapat beberapa perbatinan di sepanjang aliran sungai Siak. Yaitu, Perbatinan Gasib, Perbatinan Senapelan, Perbatinan Segaleh, Perbatinan Perawang.
Serta ada perbatinan lainnya serperti Batin Pandan, Batin Tenayan, Batin Minas, dan Batin Dolik.
Sementara di sebelah selatan kuala sungai Siak ada perbatinan Sakai dan perbatinan Pertalangan. Kemudian perbatinan di pulau-pulau seperti perbatinan Tebing Tinggi, Senggoro, Merbau dan Rangsang.
Nama Pekanbaru dahulunya dikenal dengan nama “Senapelan”, adalah wilayah adat Perbatinan Senapelan.
Senapelan ketika itu hanya sebuah dusun kecil yang letaknya di kuala Sungai Pelan, hanya dihuni oleh dua atau tiga buah rumah saja (sekarang tepatnya di bawah Jembatan Siak I).
Pada saat itu di sepanjang Sungai Siak, mulai dari Kuala Tapung sampai ke Kuala Sungai Siak (Sungai Apit) sudah ada kehidupan, hanya pada saat itu rumah-rumah penduduk jaraknya sangat berjauhan dari satu rumah ke rumah lainnya. Ketika itu belum ada tradisi dan kebudayaan, yang ada hanya bahasa, sebagai alat komunikasi bagi orang-orang yang tinggal di pinggir Sungai Siak.
Bahasa sehari-hari yang mereka pakai adalah bahasa Siak, bahasa Gasib, bahasa Perawang dan bahasa Tapung, karena orang-orang inilah yang lalu-lalang melintasi Sungai Siak.
Nuansa Adat Melayu Riau yang dipaksakan dari Kesultanan Johor Riau yg berpusat di pulau Bintan masih sulit dan langka ditemukan di wilayah ini.
Daerah ini terus berkembang menjadi kawasan pemukiman baru dan seiring waktu berubah menjadi Dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak.
Adalah Sultan Siak ke 4, Sultan Alamuddin (Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah), bergelar Tengku Alam (1766-1780 M), setelah berunding dengan Batin Senapelan, lalu atas restu Batin Senapelan, beliau memindahkan pusat Kesultanan Siak Sri Indrapura dari Menpura ke Senapelan.
Beliau membangun Istana di Kampung Bukit dan diperkirakan Istana tersebut terletak disekitar lokasi Mesjid Raya Pekanbaru di Pasar Bawah sekarang ini. Dan di sekitar mesjid ini dapat kita temui Makam Marhum Pekan.
Masa itu untuk jalur perdagangan Sungai Kampar, pusat perdagangannya terletak di Teratak Buluh.
Sedangkan pusat perdagangan jalur Sungai Siak terletak di Petapahan.
Senapelan yang merupakan simpang lalu lintas perdagangan itu semakin ramai setelah menjadi ibu kota Kesultanan Siak Sri Inderapura.
Baginda membangun sebuah pekan (pasar) yang baru untuk memotong akses monopoli perdagangan Belanda yang mencengkeram Petapahan, namun pekan yang baru itu tidak berkembang.
Kemudian usaha yang dirintis tersebut dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah dan lokasi pasar bergeser di sekitar Pelabuhan Pekanbaru sekarang.
Sedang dusun Senapelan yang lama (lokasi sekitar pasar yang pertama kali) itu di belakang hari berubah nama menjadi dusun Payung Sekaki.
Baginda lalu mengundang saudagar-saudagar dari Minangkabau agar membantu usaha yang dirintis ayahnya itu dan terus menerus mendorong saudagar-saudagar dari tanah Minangkabau yang sebelumnya berdagang di Petapahan untuk pindah berdagang ke pekan (pasar) yang baru dibuka di bandar Senapelan.
Karena pekan itu baru dibuka dan belum bernama, maka diantara sesama saudagar Minangkabau mulai tercetus istilah "Pakan Baru" sesuai logat Minang,
(Pakan = Pekan = Pasar sepekan sekali).
(Baru = baru dibangun saat itu).
Dan pada tanggal 21 Rajab hari Selasa tahun 1204 H bersamaan dengan 23 Juni 1784 M oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, nama pekan (pasar) itu akhirnya dibakukan dengan nama resmi "Pekan Baru", dan kemudian paska kemerdekaan RI ditulis "Pekanbaru".
Lanjut...
Selanjutnya, baginda membuka jalur transportasi menghubungkan dengan negeri-negeri penghasil lada, damar, kayu, gambir, dan rotan. Jalur tersebut menuju ke selatan sampai ke Teratak Buluh dan Buluh Cina dan ke barat sampai ke Bangkinang terus ke Rantau Berangin.
Saudagar-saudagar Minangkabau yang semenjak jaman Raja Kecik selalu mendukung Kesultanan Siak, ikut mendorong pedagang-pedagang baru yang datang dari Minangkabau untuk pindah ke pekan yang baru di Senapelan (Pekan Baru). Alhasil Bandar Senapelan semakin ramai dan maju.
Perekonomian yang semakin maju di Senapelan tersebut telah memotong jalur perdagangan ke hilir sungai Siak. Akibatnya, Mempura menjadi sepi dan Belanda dirugikan. Kerugian besar tersebut bahkan mendesak Belanda untuk menutup lojinya di Pulau Guntung pada tahun 1765.
Sultan Alamuddin mangkat di Senapelan pada tahun 1766 dan Muhammad Ali naik tahta dengan gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah.
Dengan dukungan para saudagar Minangkabau, Ia meneruskan usaha ayahnya membangun bandar Senapelan yang kemudian dikenal dengan nama Pekan Baru. Bandar ini menjadi pusat perdagangan di hulu sungai Siak, bahkan para saudagar Petapahan mulai menjual dagangan mereka ke Senapelan.
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah mangkat. Pusat Kesultanan Siak lalu pindah lagi.
Sejak ditinggal oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, penguasaan bandar Senapelan diserahkan kepada Datuk Bandar yang dibantu oleh empat Datuk besar Kesultanan Siak yaitu Datuk Lima Puluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Pesisir dan Datuk Kampar.
Keempat datuk itu tidak memiliki wilayah sendiri tetapi mendampingi Datuk Bandar.
Keempat Datuk tersebut bertanggungjawab kepada Sultan Siak Sri Indrapura, sedang jalannya pemerintahan bandar Senapelan berada sepenuhnya ditangan Datuk Bandar Senapelan.
---
Catatan :
Paska terbentuknya Propinsi Kepulauan Riau, bukankan sudah waktunya nama Propinsi Riau (Riau daratan) diganti menjadi Propinsi Siak Sri Indrapura.
Bukankah sudah waktunya nama milik sendiri yakni SIAK Sri Indrapura kembali dimunculkan.
Selama ini nama "Siak" tenggelam ditindih oleh nama "Riau" yg identik dengan pulau Bintan kepulauan Riau yg dulu milik Kesultanan Johor Riau, cikal bakal dari adat Melayu Riau, bukan milik wilayah yg kini disebut Riau Daratan.
Untuk apa lagi dan apa tidak malu menggunakan nama Riau itu sementara Riau yg asal telah melepaskan diri dan membentuk propinsi sendiri dengan nama yg memang asli miliknya sendiri, yakni Propinsi Kepulauan Riau.
Dimana harga diri sebagai rakyat Kesultanan Siak Sri Indrapura yg besar dan jaya.?
Sudah waktunya mengangkat kembali tuah, marwah, dan jati diri sebagai warga PROPINSI SIAK SRI INDRAPURA.
-
Disalin dari kiriman FB: Sutan Bandaro Sati
Foto: potretnews
Baca juga:
- Pekan Baru berawal dari Bandar Senapelan - potretnews
- Sejarah Kota - Andre Vetronius_Kompasiana