NASIONALISME MASA MEDHANG HINGGA MAJAPAHIT MENGISTIMEWAKAN WARGA NEGARA SEBAGAI WONG YEKTI/wong mulia / wong agung. Jadi, orang asing itu jika mereka ada di wilayah Mataram kuno (Medhang) sampai di masa wilayah Majapahit, mereka bekerja sebagai pelayan dan tidak boleh lebih dari itu. maka tidak sia-sia rakyat menjadi militan membela ibu pertiwinya, tanah air dan udara karena selain untuk kesejahteraanya juga untuk anak keturunanya.
kakawin negarakrtagama pupuh 81.4 :
yekang janmi catur sujanman umijil/ sakeng hyang widhi, lingning sastra wnang sagatyanika de narendreng pura, kapwekapageh ing swasila kimutang kujanma traya, nang candhala mlecha tuccha pada yatna ring swakrama.
artinya :
Sistem penggolangan di Era Majapahit: Bukti Kehebatan Bangsa Nusantara
penggolongan masyarakat ke dalam beberapa jenis berdasarkan tugas dan aktivitasnya dalam masyarakat. Setiap orang dapat saja menduduki jabatan atau kedudukan manapun asalkan memiliki kemampuan, keahlian, keadaan dan kondisinya mengizinkan untuk itu, tergantung pada karmanya.
Lalu, berdasarkan pemaparan di atas, maka di era kerajaan Majapahit, leluhur kita telah membagi golongan itu bukan hanya sekedar empat (Bhrahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra) melainkan ada 7 golongan. Memang, adanya pembagian masyarakat seperti ini sepintas lalu kesannya sangat feodal dan tidak menghargai HAM. Karena ada warga yang berada di kelas tertinggi, yakni kelas 1, dan ada yang berada di kelas terbawa, yakni mereka yang digolongkan kelas ke 7. Padahal spiritnya bukan perbedaan kelas atau strata sosial masyarakat sebagaimana yang terjadi di masa kolonial Hindia Belanda atau yang berlaku umum di masyarakat Hindu di tanah India. Tapi lebih kepada pembagian berdasarkan realitas yang ada dan berdasarkan pada ukuran-ukuran yang diyakini saat itu, yang bersesuaian dengan fungsi dan peran kelompok warga dalam negara. Penggolongan ini pun tidak melekat selamanya pada setiap individu, karena ia boleh dan berhak mengubah golongannya berdasarkan kemampuan yang dimiliki.(Catur warna)
Parameter atau ukuran dalam pembagian golongan sosial masyarakat ketika itu ditentukan berdasarkan pada kuat tidaknya keterikatan seseorang atau kelompok warga pada materi atau urusan duniawi. Makin jauh ketertarikan seseorang atau warga dengan materi dan keduniawian, maka semakin tinggi martabatnya di tengah masyarakat. Sebaliknya, jika semakin kuat ketertarikan seseorang atau warga pada materi dan hasrat keduniawian, maka semakin rendahlah martabatnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini dijelaskan jenis golongan yang pernah ada di wilayah Majapahit. Di antaranya yaitu:
1. Brahmana
Golongan jenis ini adalah yang tertinggi di seluruh wilayah Majapahit. Di duduki oleh para rohaniawan yang umumnya juga sekaligus menjadi seorang budayawan. Mereka hidup di hutan, gunung, lembah, dan gua yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk perebutan akses dan penguasaan atas materi duniawi. Seluruh lapisan masyarakat yang ada dibawahnya sangat menghormati dan melindungi kaum rohaniawan ini (Brahmana, maharsi, Mpu). Mereka inilah yang dianggap sebagai warga kelas satu alias golongan tertinggi dan paling Y7mulia, karena tugasnya membimbing semua orang (sebagai guru) pada kebenaran.
2. Ksatria
Setelah Brahmana, berikutnya ada golongan Ksatria yang menjadi abdi negara. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak memiliki kekayaan pribadi, mereka mengabdi pada negara dan hidup dari negara (dalam arti dibiayai kebutuhan sandang, pangan dan papan). Termasuk dari golongan ini adalah raja dan keluarganya, para menteri dan pembesar kerajaan, para raja bawahan atau adipati, juga termasuk didalamnya adalah kalangan perwira tentara kerajaan. Mereka ini jika perang dan berhasil membawa harta pampasan perang, kekayaan itu bukan untuk dimiliki sendiri tapi untuk diserahkan kepada negara. Dan jika ada ksatria yang diketahui memiliki rumah pribadi yang megah, maka dia akan disebut ksatriapanten, yaitu ksatria yang harus dihindari atau dikucilkan. Masyarakat tidak boleh melayani orang seperti itu, dan negara harus bersih dari orang yang mempunyai pamrih pribadi.
3. Waisya
Golongan ketiga ini merupakan kaum petani, seniman, tukang bangunan/arsitek, dan nelayan. Kaum ini lebih rendah dibandingkan dua golongan di atas, sebab kaum ini dianggap sudah punya keterikatan pada materi keduniawian. Alasannya karena mereka sudah punya rumah, punya tanah dan pekarangan, punya sawah ladang atau kapal layar, punya ternak, atau dengan kata lain ada kepemilikan pribadi atas aset kekayaan yang notabene adalah manifestasi dari hasrat keduniawian. Meskipun demikian merekalah yang menjamin ketersediaan pangan dan kebutuhan hidup lainnya bagi seluruh warga. Untuk itulah, mereka tetap menjadi kelas yang cukup terhormat.
4. Sudra
Dibawah golongan Waisya ada kaumSudra, yaitu para saudagar, rentenir, para tuan tanah, atau mereka yang memiliki kekayaan berlebihan. Mereka ini tidak boleh berbicara tentang agama. Mereka tidak boleh membahas kitab suci. Menurut pandangan yang berlaku pada waktu itu, maka menumpuk kekayaan adalah manifestasi nafsu atau hasrat keinginan duniawi. Dan golongan Sudra ini dilarang berbicara tentang agama, sebab mental dagang dan mencari keuntungan mereka itu akan merusak agama, karena mereka ini akan menjual ayat-ayat agama demi keuntungan pribadinya.
Disini perlu digarisbawahi, sebenarnya ajaran Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara, khususnya di pulau Jawa sejak abad ke-7 atau 8 Masehi, tapi agama ini tidak bisa berkembang. Salah satu alasannya adalah pada waktu itu, pada masa awal kedatangannya, yang menyebarkan agama Islam adalah para saudagar. Di mata penduduk pribumi, saat itu profesi berdagang tidak cukup dipandang sebagai pekerjaan yang baik. Karena itulah agama Islam baru berkembang pesat dan bisa diterima secara luas oleh penduduk Nusantara pada abad ke-14, ketika yang datang menyebarkannya adalah para tokoh intelektual dan ulama yang punya wawasan luas dalam ilmu dan budaya, suci dari hasrat keinginan duniawi, yang tinggi tingkat spiritualnya, yang mereka ini kemudian dikenal sebagai para Wali, termasuklah Wali Songo.
5. Candhala
Setelah golongan Sudra maka ada golongan Candhala, yaitu mereka yang berprofesi sebagai jagal (pembunuh) dan termasuk didalamnya adalah petugas negara yang tugasnya membunuh terpidana mati seperti algojo. Mereka ini dianggap lebih rendah strata sosialnya karena untuk hidup saja mereka harus membunuh sesama makhluk. Meskipun pekerjaannya disahkan oleh negara, tapi hidupnya dibayar atau mendapatkan nafkah dari membunuh orang. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang pekerjaannya adalah mengkremasi mayat.
6. Mleccha
Golongan yang masuk dalam jenis ini adalah orang asing yang tinggal di Majapahit. Sejak zaman Mataram kuno (Medang), golongan ini memang sudah ada. Dimana semua orang asing dimasukkan ke dalam golongan wong kiwahan, yang artinya orang pelayan. Karena penduduk asli diberi kedudukan sebagai wong yekti, wong mulia atau wong agung. Jadi, orang asing itu jika mereka ada di wilayah Mataram kuno (Medang) sampai di masa wilayah Majapahit, mereka bekerja sebagai pelayan dan tidak boleh lebih dari itu. Jika mereka mau lebih, maka harus punya keahlian khusus dan setia kepada negara. Lalu pada saat itu, jika ada pribumi yang bekerja sebagai pelayan akan diadili. Karena tidak boleh ada pribumi yang bekerja sebagai pelayan. Negara mampu memberikan pekerjaan yang layak bagi warga pribumi, baik di darat maupun lautan. Sehingga ini berbanding terbalik dengan keadaan bangsa Nusantara kini, karena yang mulia itu justru orang asing, dan rakyat kita sendiri terus saja dijadikan pelayan dan buruh dari kepentingan asing (investor). Sungguh memalukan dan amat memilukan.
7. Tuccha
Golongan terakhir dibawah semua golongan di atas adalah kaumTuccha, yaitu kalangan pecinta materi duniawi dan yang tak mau memahami hak orang lain. Yang termasuk dalam golongan ini adalah para penipu, penjudi, pencuri, pelacur dan mucikari, begal atau rampok dan perompak (termasuk untuk istilah ini adalah mereka yang melakukan korupsi, tapi saat itu tidak ada korupsi). Mereka dianggap paling rendah dan hina martabatnya, sebab untuk hidup saja mereka justru senang melanggar hukum dan hak-hak orang lain.