Disalin dari: http://poestahadepok.blogspot.com
_______________________
Jabatan wali kota (Burgemeester) sesungguhnya
baru diadakan pada tahun1916 di Kota Batavia dan Kota Soerabaja. Kemudian
menyusul di Kota Medan (1918) dan Kota Bandung (1920). Di Kota Padang sendiri
jabatan wali kota kali pertama diadakan tahun 1928. Tidak semua kota di Hindia
Belanda memiliki walikota. Fungsi pemerintahan di kota-kota lainnya
dilaksanakan oleh Asisten Residen. Namun tidak semua wali kota didampingi oleh
wakil wali kota (Loco Burgemeester).
Dr. Abdoel Hakim (1949) |
Dalam sejarah Hindia Belanda (baca: Indonesia), hanya ada dua kota (gemeente) yang pernah
memiliki wakil wali kota (loco burgemeester) yang berasal dari orang pribumi.
Dua wakil wali kota tersebut adalah M. Husni Thamrin di Kota Batavia dan Abdoel
Hakim di Kota Padang. Menariknya, jabatan wakil wali kota Kota Padang ini
dipegang Abdoel Hakim selama 11 tahun (1931-1942). Suatu waktu yang terbilang
sangat lama bagi seorang wakil wali kota, apalagi pribumi.
Siapa yang menjadi wali kota merupakan hasil proses
‘tawar menawar’ antara keputusan dewan kota dengan Gubernur dan atau Gubernur
Jenderal. Profil kandidat wali kota selalu dipilih berdasarkan portofolio
tertinggi. Dia harus mampu (kapabel) mengelola kota (karena taruhannya untuk
mampu mengkreasi pendapatan). Kandidat juga harus dapat diterima (akseptabel)
oleh penduduk (melalui wakil di dewan). Lamanya seorang (tetap) menjadi wali kota
tergantung kedua hal tersebut. Dua wali kota yang berumur panjang adalah wali kota
Medan (Daniël Mackay dari tahun 1918 hingga 1931) dan wali kota Padang WM.
Ouwerkerk (selama 12 tahun tahun, dari 1928 hingga 1940). Demikian juga dengan
kandidat wakil wali kota juga dipilih dan ditetapkan atas dasar kapabilitas dan
akseptabilitas baik yang berasal dari orang-orang Eropa/Belanda dan (kemudian)
dari orang pribuni.
Gemeenteraad
Nama Abdoel Hakim semakin menguat di Kota
Padang pada tahun 1919. Ini sehubungan Abdoel Hakim gelar Soetan Isrinsah yang
telah lama bertugas sebagai dokter di West Sumatra diangkat menjadi ‘kepala
dinas kesehatan’ di West Sumatra yang berkedudukan di Kota Padang (lihat De
Preanger-bode, 30-05-1919).
Dalam berita ini juga di Telok Betong,[1] Dr. Haroen Al Rasjid
(Nasoetion) diangkat sebagai fungsi yang sama seperti Abdoel Hakim. Kedua
dokter asal Sumatra ini sama-sama alumni Docter Djawa School di Batavia. Haroen
Al Rasjid lebih senior dari Abdoel Hakim.
Orang-orang yang dikenal luas dan telah
memberikan kontribusi buat daerah yang cenderung menang dalam pemilihan. Dr.
Abdoel Hakim terbilang sukses mengatasi epidemic dan meningkatkan status
kesehatan di West Sumatra. Di Medan, pribumi pertama yang terpilih adalah
seorang penilik sekolah di Medan bernama Kajamoedin Harahap, gelar Radja
Goenoeng. Mantan guru di Tapanoeli ini yang telah banyak menulis buku-buku
pelajaran sekolah terbilang sukses sebagai penilik sekolah di Medan karena
berhasil mereformasi pendidikan di Sumatra’s Oostkust.
Dewan kota dibentuk pada tahun pendirian kota (gemeente).
Yang menjadi anggota dewan kota adalah pimpinan eksekutif (asisten residen dan
controleur, pimpinan perusahaan tertentu, pimpinan adat (local) seperti Sultan
dan pimpinan komunitas tertentu seperti Kapitein Cina. Anggota dewan kota dari
kalangan pribumi baru muncul kemudian ketika ada kebijakan baru dimana anggota
dewan kota dipilih melalui pemilihan (pilkada). Untuk kelompok Eropa/Belanda
dipilih orang dewasa (umur 17 tahun). Sedangkan untuk kelompok pribumi dan
Tionghoa dipilih oleh pemilih yang didasarkan atas kriteria tingkat pendapatan
tertentu. Pemenangnya di Medan adalah Radja Goenoeng, sementara di Padang
adalah Abdoel Hakim. Sedangkan di Kota Soerabaja adalah Radjamin Nasoetion
(dokter alumni STOVIA yang berposisi sebagai ‘kepala pabean’ di Soerabaja).
Di sekitar tahun-tahun ini, terjadi dinamika politik
yang luar biasa di Sumatra (karena politik etik Belanda yang condong ke Jawa
dan Sumatra terabaikan). Boedi Oetomo (BO) di Jawa semakin gemuk karena
mendapat dana yang besar dan alokasi beasiswa untuk sekolah ke Belanda.
Perhimpunan Pelajar (Indisch Vereeninging/IV) yang berhaluan nasional (yang
didirikan Soetan Casajangan tahun 1908 di Leiden) mulai digembosi oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Tatkala, secara psikologis anggota-angota IV yang
berasal dari Jawa sudah ‘berkiblat’ ke BO, anak-anak Sumatra semakin gerah dan
lalu ‘memproklamirkan’ berdirinya Sumatranen Bond di Belanda.
Pada tanggal 1 Januari 1917 mahasiswa-mahasiswa asal
Sumatra di bawah arahan seorang mahasiswa senior membentuk Sumatranen Bond.
Mahasiswa senior yang mengabil bidang studi kedokteran di Utrecht bernama Sorip
Tagor (Harahap). Pembentukan organisasi daerah ini lebih pada untuk merespon adanya
euphoria Jong Javanen yang tengah tumbuh di Jawa. Dewan Sumatranen Bond adalah
sebagai berikut: Presiden, Sorip Tagor; Wakil, Dahlan Abdoellah; Sekretaris
merangkap bendahara, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Salah satu
anggota bernama Tan Malaka (lihat De Sumatra post, 31-07-1919). Di Batavia juga
didirikan [Jong] Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa
STOVIA yang berasal dari Sumatra. [Jong] Sumatra Bond yang disebut Jong Sumatra di
Batavia didirikan pada tanggal 8 Desember 1917. Susunan pengurus Jong
Sumatranen di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir
Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki
sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918).
Het nieuws van den dag voor NI, 09-07-1919 |
Dalam kongres berikutnya tahun 1921 turut
hadir ketua Jong Sumatranen (Bond) cabang Tapanoeli, Parada Harahap dan ketua cabang
West Sumatra, M. Hatta.[2] Pembina Sumatra Bond di Padang adalah Dr. Abdoel Hakim,
sedangkan Pembina Sumatranen Bond di Sibolga adalah Dr. Abdoel Karim (Abdoel
Hakim dan Abdoel Karim sama-sama sekelas di Docter Djawa School di Batavia).
Dinamika politik di seluruh Hindia Belanda pada mulanya
bereaksi di Bandoeng. Sarikat Islam di bawah pimpinan Dr. Tjipto, meski orang
Jawa tidak setuju dengan pendekatan yang dilakukan oleh BO yang ‘menyusu’
kepada pemerintah. Dr. Tjipto sejak Kongres SI di Bandoeng mulai ‘melancarkan’
serangan ke pihak pemerintah dan mengusulkan pembentukan Dewan Nasional (kelak
disebut Volksraad) yang menyertakan orang-orang pribumi di dalamnya.
Dalam perkembangannya Volksraad yang baru, dimana
pribumi diakomodir melalui pemilihan, tetapi (pulau) Sumatra hanya dijadikan
satu ‘dapil’ dan hanya satu wakil ke Volksraad di Pedjambon. Meski demikian
adanya, kandidat dari Sumatra yang muncul sangat banyak dalam ‘pemilu’ pertama
tersebut (lihat De Sumatra post, 05-01-1921). Salah satu kandidat yang muncul
adalah Dr. Abdoel Hakim di Padang.
Dalam daftar kandidat ini adalah Abdoel Hakim, dokter
swasta di Padang, Abdoel Moeis, wartawan
di Weltevreden, Dr. Abdoel Rasjid Siregar, Inlandsch Docter di Penjaboengan
(Tapanoeli); Abdoel Rivai, dokter swasta, Darwis gelar Datoek Modjolelo, demang
di Manindjau, res. SWK, Ibrahim Datoek
Tan Malaka, guru di Senembah, Tandjong Morawa, lsmail, guru di Medan, Kajamoedin
Harahap gelar Radja Goenoeng, penilik sekolah di Medan, Loetan
gelar Datoek Rangkaja Maharadja, demang di SWK, Abdoel Firman Siregar galar Mangaradja
Soangkoepon, anggota dewan kota di Sibolga, Hadji A. Salim, editor Neratja di
Djocjakarta, Soetan Mohamad Zain, pemimpin redaksi Volkslectuur di Weltevreden,
Mohamad Roesad gelar Soetan Pepatih di Padang, Todoeng Harahap gelar Soetan
Goenoeng Moelia, guru di Kota Nopan (Tapanoeli)’. Nama-nama tersebut merupakan
tokoh-tokoh penting di West Sumatra, Tapanoeli dan Oost Sumatra. Alumni Belanda
adalah Firman, Todoeng, Tan Malaka dan Zain.
Di Kota Padang muncul hasil keputusan dewan
kota (gemeenteraad) dan juga keputusan dewan kota di Medan agar ‘pemilih’ yang
ditetapkan di Kota Padang dan Kota Medan agar memilih, untuk orang Eropa kepada
James dan para calon lnlandsche, Loetan, Zain, Abdoel Hakim dan Darwis (lihat De
Sumatra post, 08-01-1921). Sebagaimana kita ketahui pada akhirnya yang memiliki
raihan suara terbanyak dari Sumatra Abdoel Moeis (23 suara) dan pesaing dekatnya
Dr. Abdoel Rasjid Siregar (21 suara). Dengan demikian anggota Volksraad pertama
yang terpilih untuk wakil Sumatra di Pedjambon adalah Abdoel Moeis (dari SI
Bandoeng).
Pada ‘pemilu’ berikutnya (pulau) Sumatra dibagi ke dalam
empat ‘dapil’: Noord Sumatra (Tapanoeli en Atjeh), Oost Sumatra, West Sumatra
dan Zuid Sumatra. Dari masing-masing dapil ini satu orang mewakili konstituen
ke Volksraad di Pedjambon, Batavia. Pemenang dari dapil Noord Sumatra adalah
Dr. Ali Moesa Harahap, dari dapil Oost Sumatra adalah Mr. Abdoel Firman Siregar
gelar Mangaradja Soangkoepon; dari dapil West Sumatra adalah Loetan Datoek
Rangkajo Maharadjo, dan dari Zuid Sumatra Mochtar. Pada periode berikutnya lagi
masih tetap dengan empat dapil. Uniknya dari dapil Noord Sumatra terpilih Dr.
Abdoel Rasjid Siregar (pesaing Abdoel Moeis di pemilu pertama) dan dari dapil
Oost Sumatra adalah incumbent Mr. Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja
Soangkoepon yang mana keduanya abang-adik kandung. Uniknya lagi, Abdoel Firman,
Abdoel Rasjid dan Ali Moesa sama-sama kelahiran Kota Padang Sidempuan. Satu
lagi anggota Volksraad yang lahir di Padang Sidempuan pada periode ketiga ini
adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (yang baru meraih gelar
Ph.D di Belanda), tidak melalui pemilihan tetapi pengangkatan oleh pemerintah
mewakili golongan pendidikan pribumi. Pada pemilu periode keempat tiga anggota
dewan masih diwakili oleh Firman, Rasjid dan Todoeng namun ditambah Radjamin
Nasoetion (sebagai anggota pengganti dari Parindra) mewakili Oost Java
(Radjamin Nasoetion adalah Wethouder dari Kota Soerabaja).
Di Pantai Barat Sumatra isu Jawa vs luar Jawa
terus bergulir. Aktivis Sumatranen Bond terus menggelorakannya,
mahasiswa-mahasiswa (dan pelajar) asal Sumatra di Batavia, Buitenzorg, Bandoeng
serta di Belanda terus melakukan konsolidasi dan memperkuat barisan. Momen ini
direspon aktivis pembangunan di Padang dengan mengapungkan perlunya otonomi.
Dengan membentuk subkomite mempromosikan kemerdekaan yang diketuai oleh Dr. Abdoel Hakim.
De Sumatra post, 14-01-1922: ‘De autonomie-actie. Di
Padang membentuk subkomite untuk mempromosikan kemerdekaan Hindia Belanda.
Ketua adalah Dr. Hakim’.
Loco Burgemeester Padang
Dalam situasi dinamika politik nasional
seperti itulah, di Kota Padang Dr. Abdoel Hakim dipilih dan diangkat pemerintah
untuk menjabat Wakil Wali Kota Kota Padang. Proses ini terjadi pada tahun 1931.
Pengangkatan Dr. Abdoel Moeis adalah suatu kejutan. Sebab pada akhir tahun 1929
meski MH. Thamrin yang diangkat sebagai Wakil Wali Kota di Batavia, namun itu
dapat dimaklumi karena Thamrin dianggap masih memiliki darah Eropa. MH. Thamrin
diangkat sebagai Wakil Wali Kota untuk menggantikan orang Eropa yang
mengundurkan diri.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-01-1930 Batavia, Januari 21 (Aneta). Dalam
pertemuan pagi ini Dewan Walikota dan Aldermen, Mr Thamrin diangkat wakil
walikota kedua Batavia.
Di Batavia dengan dinamika politik yang terus
berkembang apalagi pasca Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) di
Batavaia tahun 1928.
Sebagaimana diketahui Ketua PPPKI adalah MH. Thamrin dan
sekretaris Parada Harahap. Sebagaimana sebelumnya diketahui Parada Harahap
adalah Ketua Sumatranen Bond cabang Sibolga, setelah hijrah ke Batavia tahun
1923 tetap aktif di Sumatranen Bond, Kini, Parada Harahap adalah sekretaris
Sumatranen Bond (pusat) yang juga sekretaris PPPKI.
Dr. Abdoel Hakim dipilih dan diangkat
pemerintah sebagai Wakil Walikota Kota Padang karena wakil yang sebelumnya juga
mengundurkan diri.
Het nieuws van den dag voor NI, 09-12-1931 |
Sebagaimana MH. Thamrin menjadi Wakil Wali
Kota Batavia yang juga anggota dewan, maka di Kota Padang pribumi yang memiliki
portofolio tertinggi adalah Dr. Abdoel Hakim. Satu-satunya warga Padang yang
layak untuk memimpin warga Kota Padang sebagai Wakil Wali Kota adalah Dr.
Abdoel Hakim.
Portofolio Dr. Abdoel Hakim juga semakin tinggi mengingat
baru-baru ini lima utusan pribumi ke Belanda termasuk diantaranya Abdoel Hakim.
Utusan ini untuk membahas program mayoritas penduduk pribumi di Hindia Belanda.
Empat tokoh pribumi lainnya adalah Husein Djajadiningrat (West Java), Raden Hadiwidjojo
(Midden en Oost Java), Ratoelangi (Manado/Minahasa) dan Mr. Todoeng Harahap
dari Tapanoeli (lihat De Indische courant, 11-04-1928). Dalam hal ini Dr.
Abdoel Hakim mewakili West Sumatra.
Popularitas Dr, Abdoel Hakim di Padang dan
sekitarnya juga diperkuat dengan sangat dekatnya Abdoel Hakim ke berbagai
lapisan masyarakat. Dr. Abdoel Hakim juga adalah Presiden sarikat sepakbola
Minangkabau dan IPE=Inlandsch Padang Elftal (lihat De Sumatra post, 08-12-1928).
Siapa Abdoel Hakim?
Abdoel Karim dan Abdoel Hakim berangkat dari
Padang Sidempoen dalam waktu yang berbeda. Abdoel Karim diseleksi langsung di
Padang Sidempoean dan kemudian dibawa ke Batavia tahun 1898 dengan pendampingan
seorang dokter. Sementara Abdoel Hakim direkrut pada tahun 1899. Kedua siswa
ini berasal dari sekolah yang sama: ELS (sekolah Eropa) di Kota Padang
Sidempoean.
Bataviaasch nieuwsblad, 12-03-1898: ‘telah berangkat dari
Padang dengan kapal s.s. Reael, Abdoel Karim yang didampingi oleh dokter djawa
Sie Amat’. Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 28-01-1899:
‘seorang pemuda belia bernama Abdoel
Hakim, murid sekolah Eropa di Padang Sidempoean akan diambil sebagai
murid sekolah untuk pelatihan dokter pribumi (docter djawa)’. Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indië, 27-11-1902: ‘sejumlah siswa di Doktor Djawa School dipromosikan ke tingkat lima
dan ke tingkat empat. Siswa yang dipromosikan ke tingkat empat (diantaranya) Abdoel
Hakim van Padang Sidempoean dan Abdoel Karim van Padang Sidempoean’.
Dari delapan siswa yang naik ke tingkat lima
pada tahun 1902 terdapat tujuh siswa (satu gagal) adalah siswa-siswa yang
berasal dari kota-kota di Jawa. Sedangkan yang naik ke tingkat empat sebanyak
sembilan siswa dimana lima diantaranya berasal dari luar Jawa (dua dari Padang
Sidempoean, masing-masing satu siswa dari Ambon, Padang dan Manado). Abdoel
Karim dan Abdoel Hakim seangkatan dengan Tjipto Mangunkoesoemo. Pada tahun 1904
Abdoel Karim dan Abdoel Hakim naik dari tingkat lima ke tingkat enam. Sedangkan
yang naik dari tingkat empat ke tingkat lima terdapat sembilan siswa yang mana
tiga diantaranya dari luar Jawa (Manado, Ambon dan Padang).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1904: ‘di dokter djawa school yang naik dari tingkat empat ke tingkat lima terdapat sembilan siswa yang mana tiga
diantaranya dari luar Jawa (Manado, Ambon dan Padang). Sedangkan yang naik ke
tingkat enam sebanyak 10 siswa (diantaranya) Abdoel Karim dan Abdoel Hakim. Satu siswa mengulang’. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 07-11-1905: ‘Ujian Docter-Djawaschool yang lulus ujian akhir terdapat tujuah siswa (diantaranya) Abdoel Hakim dan Abdoel
Karim’.
Abdoel Hakim dan Abdoel Karim akhirnya lulus
Dokter Djawa School November 1905 dan berhak mendapat gelar dokter. Mereka
berdua berdinas dan ditempatkan di kota yang berbeda. Dr. Abdoel Karim
ditempatkan di Sawah Loento Januari 1906, sedangkan Dr. Abdoel Hakim
ditempatkan ke Padang Sidempoean, kampong halamannya. Dr. Abdoel Karim berdinas
di Sawahloento tidak sampai satu tahun, lalu kemudian Desember 1906 dipindahkan
ke Goenoeng Sitoli (Tapanoeli). Abdoel Karim terbilang cukup lama di Goenoeng
Sitoli hingga akhirnya dipindahkan ke Fort van der Capellen Agustus 1912.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
07-11-1906: ‘oleh Pelayanan Medis Sipil, ditempatkan dari Batavia ke
Padang Sidempoeau, dokter asli Abdoel Hakim’. Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indië, 25-04-1910: ‘dokter asli ke Bindjei (pantai
timur Sumatera), Abdoel Hakim’. Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1912: ‘van Goenoeng
Sitoli naar Fort van der Capellen de inlandsche arts, Abdoel Karim’.
Itulah fase prndidikan Dr. Abdoel Hakim dan
awal karir Abdoel Hakim menjadi dokter yang bertugas di Tapanoeli, Oost Sumatra
dan West Sumatra. Dr. Abdoel Hakim setelah beberapa waktu bertugas di Oost
Sumatra ditempatkan ke West Sumatra. Sebagaimana disebutkan di awal, pada tahun
1919 Dr. Abdel Hakim diangkat sebagai kepala ‘dinas kesehatan’ di West Sumatra,
yang menjadi titik tolak karir Dr. Abdoel Hakim selanjutnya.
Keluarga Dr. Abdoel Hakim: Adik Bungsu dan Anak Sulung
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama
yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
___________________________
Catatan Kaki: (Oleh Agam van Minangkabau)
[1] Teluk Betung terletak di Bandar Lampung
[2] Perlu diselidiki lebih lanjut karena pada tahun 1921 Bung Hatta sudah berangkat ke Belanda melanjutkan sekolah.