Sumber Gambar: https://nasional.tempo.co |
Oleh : Chairul Harun
Pada zaman dahulu para penyamun melemparkan mayat korban-korbannya ke Batang Anai. Ketika sudah ada jalan kereta-api dan jalan-raya maka korban yang hanyut
di Batang Anai biasanya karena kecelakaan bus atau kereta-api. Mulai dari hulu di kaki Gunung Tandikat sampai ke Kayutanam, air sungai itu mengalir deras melalui lembah yang sempit. Air yang jernih seperti berloncatan meninggalkan batu besar berwarna hitam.
Air itu juga menyentuh, menggoyang pohon Pimping yang tumbuh di sepanjang sungai. Bila berdiri di sebuah jembatan gantung antara Kayutanam dan Induring, memandang ke hulu, maka tampak tegak Gunung Tandikat, seolah memberi perlindungan dan perasaan tenteram kepada anak negeri di sekitar Lembah Anai itu.
Daerah yang subur itu berhawa segar. Buah-buahan, makanan yang berkhasiat, gerakan tubuh yang teratur menyebabkan perempuan-perempuannya molek dan tampak-nya selalu muda. Mereka selain menjadi perempuan-perempuan yang subur juga merupakan perempuan yang memikat. Suatu siang.
Sekitar tahun 1959 di Gunung Tandikat sering hujan.
Hujan turun waktu sore, hingga Batang Anai menjadi keruh, tetapi pagi hari sungai itu kembali jernih. Siang hari itu seorang laki-laki dengan tangan terikat ke belakang berjalan di tengah jembatan gantung. Jembatan gantung itu hanya bisa untuk orang berjalan kaki. Lantainya dari papan, sudah banyak yang rengkah dan bolong. Tidak ada yang memperbaiki. Tidak jelas siapa yang harus memperbaiki.
Laki-laki itu tiba-tiba disuruh berhenti, persis di pertengahan jembatan. la disuruh menghadap ke hilir. Dan tak lama kemudian terdengar serentetan tembakan. Laki-laki itu terpelanting ke dalam Batang Anai. Hanyut tak ada yang mengejar. Seorang lagi jadi janda,... kata Sutan Larangan yang sedang
bergotong-royong bersama kawan-kawannya di sebelah ke hulu jembatan itu. Karena ia melawan dan punya istri cantik.... kata Malin Pamenan.
Perang saudara ini penuh kedengkian. Tak jelas pula prinsip apa yang diperjuangkan. Semuanya lari. Lari, dan yang ditinggalkan jadi konyol Sutan Larangan menyesali pemberontakan yang punya alasan simpang-siur itu. Kembali terdengar tembakan. Peluru melayang di atas kepala mereka. Apa yang kalian gunjingkan.
Kami, ah ….!
Cepat, kalau kalian lalai, semua kami tembak, seorang laki-laki yang berbadan gemuk pendek, berwajah bopeng berteriak dari pinggir sungai. Dua orang temannya yang memakai seragam OPR asyik memeriksai kantong dan pakaian orang-orang yang sedang bergotong royong. Mereka mencari uang, rokok atau apapun yang menurut mereka ada harganya.
Laki-laki yang bergotong-royong di bawah ancaman senjata itu ada dua-puluh orang. Hampir setiap minggu mereka melakukan pekerjaan yang mereka namakan
sebagai rodi yakni sejenis kerja paksa zaman kolonial Belanda,
Satu regu OPR telah menggiring mereka ke Batang Anai. Tiga orang berjaga. Yang lain menggerayangi rumah penduduk, almari pakaian dan perempuan.
Siang itu menurut rencana Bahar Karengkang Komandan OPR yang terkenal di daerah Pariaman akan patroli ke Induring. Ia mengendarai sebuah jip. Dalam sejarahnya tak pernah ada kendaraan bermotor sampai di Induring. Sejak Belanda mendirikan Pasanggrahan di Kayutanam yang bisa dibuat hanyalah jembatan gantung. Jembatan ini sering pula hanyut.
Tetapi Bahar Karengkang penguasa perang dalam daerah itu berhasil menyeberangkan kendaraannya.
Ini mengherankan penduduk dan mengerikan tentara PRRI yang asyik menyelamatkan diri ke hutan-hutan. Bahar Karengkang yang dimitoskan anak buahnya sebagai orang kebal tahan peluru dan senjata tajam,…. ditakuti pula oleh gerilyawan PRRI.
Asal mendengar nama Bahar Karengkang pemberontak itu gacar, lari menjauhi Batang Anai dengan wajah seperti mayat. Melantai Batang Anai merupakan gagasan Bahar Karengkang yang orisinal
mengerahkan penduduk di Kayutanam dan Induring untuk bergotong-royong
mengangkat batu, menyusun batu itu demikian rupa, hingga jipnya bisa
lewat.
Siang itu Bahar Karengkang telah mengirim satu regu anak-buahnya menyiapkan lantai di Batang Anai. Diberinya waktu dua jam untuk menyiapkan batu-batu dan menata batu itu. Ia sendiri menanti di sebuah negeri yang dikuasai komunis. Ia senang makan ketupat-pulut dan durian. Waktu itu musim durian, ia dan anak-buahnya tahu betul bahwa durian merangsang berahi.
Di Induring Bahar Karengkang punya simpanan. Walaupun resminya nagari itu dikuasai PRRI, tetapi tidak ada yang berani mengganggu simpanannya itu. Gangguan terhadap perempuan itu berarti pembakaran dan pembunuhan besar-besaran. Orang-orang PRRI berusaha mencegah Bahar Karengkang mengamuk.
Di antara laki-laki yang bergotong-royong di Batang Anai itu ada cucu Amai Kalimah. Perempuan tua ini kenal dengan Bahar Karengkang sejak Bahar lahir di Padang Panjang. Ia datang ke tepi Batang Anai mengantarkan nasi untuk cucunya. Cucunya itu sakit-sakitan dan merupakan satu-satunya laki-laki yang menjaga beberapa buah rumah kaum.
Amai Kalimah cemas cucunya ditembak OPR, dihanyutkan begitu saja. Perempuan tua itu banyak mendengar orang yang mati konyol. Sambil menangis ia terseok-seok berjalan ke tepi sungai. Ia berdoa agar cucunya tetap selamat. Ketika ia tiba di tepi sungai pasukan Bahar Karengkang juga tiba di sana. Melantai sungai belum seluruhnya selesai. Bahar kesal.
Udin Tonek yang terdekat dari kakinya ditendangnya. Pemuda itu tersungkur. Amai Kalimah terpekik melihat kaki Bahar Karengkang tiba di rusuk cucunya. "Bahar, apa kamu sudah gila. Itu kan adikmu juga." Bahar Karengkang memandang perempuan tua itu. la tahu siapa perempuan itu. Perempuan itu sayang padanya. Sejak di Padang Panjang; perempuan tua itu mengasuhnya, bila ibunya pergi ke pasar. Walaupun Udin Tonek cucu Amai Kalimah, namun komandan OPR itu tidak perduli. Ia kesal. Tubuhnya berkeringat. Durian cepat memanaskan tubuhnya.
"Bahar....!!!, gotong-royong seperti ini pekerjaan gila, Melantai Batang Anai pekerjaan bodoh. Datang air besar batu-batu itu hanyut"
" Amai tahu apa, Pulang, nanti aku tempeleng ! " Bahar Karengkang marah pada perempuan tua itu.
"Semua orang menertawakan kau. Sekarang memang kau yang berkuasa. Tetapi ingat. Hidup seperti roda pedati. Melantai Batang Anai pekerjaan yang sia-sia dan adikmu sendiri telah kau korbankan."
"Amai dungu. Akulah yang telah merubah keadaan di negeri ini. Siapa yang bisa membawa kendaraan ke Induring. Aku mengerti Amai, hanya akulah yang mampu membawa keajaiban di negeri yang kolot ini.."
"Tetapi kau telah membawa korban. Kau melakukan perbuatan sia-sia. Tidak ada yang berubah. Kalau air bah tiba, tidak ada lagi yang bisa kau banggakan dan panggakkan pada orang. Kerjamu ini hanya untuk menunjukkan kau berkuasa. Cerita dari mulut ke mulut akan mencatat peristiwa ini.."
"Aku tahu. Perempuan tukang gunjing. Laki-Iaki malas yang suka bercerita di lepau-lepau kopi akan mencatat ini. Aku bangga, hanya sekali ini kesempatan.."
Bahar Karengkang tertawa, mengejek perempuan tua itu. Anak buahnya ikut tertawa, mendekati perempuan tua itu. "Bawa Amai ini pulang," perintah Karengkang.
Dua orang anak-buahnya memegang siku Amai Kalimah. Perempuan tua itu meronta. "Aku pandai pulang sendiri," Amai Kalimah tersedu. Ia sedih melihat kebodohan Bahar Karengkang. Ia tidak marah pada anak nakal tetapi sedih kalau orang itu nakal karena dungu.
"Aku mau membawa Si Udin pulang. Ia sakit!"
"Bawalah,." kata Bahar Karengkang.
Baru beberapa langkah Amai Kalimah dan Udin Tonek berjalan, serentetan tembakan terdengar. Tembakan itu tertuju ke arah orang yang masih bergotong royong. "Aku bosan menunggu lebih lama.
Kalau belum juga selesai seluruh kalian tidur. Kalian yang akan aku jadikan lantai!" Bahar berteriak lantang.
Ia tak sabar. Bayangan perempuan muda, bertubuh semampai dan bergerak di mukanya. Masih tinggal setengah meter lagi. Semua laki-laki yang berada di bawah ancaman senjata itu mengerahkan seluruh tenaga mereka. Bahar Karengkang sudah naik, menghidupkan mesin jipnya, menancapkan gas. Kendaraan itu bergerak kencang melintasi Batang Anai. Sebuah batu yang belum tersusun terpelanting,... persis di kepala seorang laki-laki rengkeng. Laki-laki itu rebah.
Bahar Karengkang dan anak buahnya tidak mengurus laki-laki yang rubuh itu. Ismaniah masih kemenakan Wali Nagari. Wali ini seorang yang simpati pada komunis. Ia menyediakan uang dan emas untuk membiayai OPR. Kalau malam ia tidak tidur di Induring, tetapi di Kayutanam atau di Kepala Hilalang.
Orang-orang PRRI membiarkan keadaan seperti ini, selain karena tak berdaya, juga punya alasan akal sehat. Mereka juga tidak mengganggu Ismaniah. Ismaniah bangga kalau didatangi Bahar Karengkang, seorang Letnan yang terkenal. Bahar Karengkang setiap kali datang membawa oleh-oleh. Kadang-kadang sandal, sabun mandi. Ejekan dan cibiran orang kampung tidak diperdulikannya.
Ia tahu perempuan-perempuan yang mengejeknya melakukan perbuatan yang sama. Hanya mereka tidak terang-terangan. Dari jauh Ismaniah telah mendengar letusan pistol berturut-turut tiga kali. Kemudian menyusul bunyi kendaraan. la sudah tahu bahwa yang datang itu Bahar Karengkang.
Diperbaikinya sarung bantal dan seprei-nya. Ditaburkannya bunga rampai yang selalu disediakannya.
Rambutnya yang panjang, tebal dan hitam dilepaskannya. Ia berdiri di muka cermin sambil tersenyum. Tidak lama Ismaniah menunggu dalam kamamya. Ia mendengar derap sepatu di atas lantai papan rumah itu.Tidak ada ketukan pintu. Suatu tubuh yang kuat, mulut tipis dan kumis yang dipotong rapi hadir di hadapan perempuan muda itu.
Rambutnya yang panjang, tebal dan hitam dilepaskannya. Ia berdiri di muka cermin sambil tersenyum. Tidak lama Ismaniah menunggu dalam kamamya. Ia mendengar derap sepatu di atas lantai papan rumah itu.Tidak ada ketukan pintu. Suatu tubuh yang kuat, mulut tipis dan kumis yang dipotong rapi hadir di hadapan perempuan muda itu.
Di bawah ayam jantan berkokok kemudian menggereseh ayam betina. Beberapa kali tembakan terdengar diiringi kelapa muda yang jatuh berdebam. Di dalam kamar itu dua kali lantai menggegar. Sepatu militer lepas dari kaki Bahar Karengkang, diloncatkan ke sudut. Ismaniah bermaksud menutup jendela. Bahar Karengkang merintangi dengan memegang bahu perempuan itu. Panas.
"Tidak ada orang yang berani mengintip." Ismaniah tersenyum. Bau durian, tangan kuat yang mendekapnya menjadikan ia nanar. Lama perempuan itu nanar dan lelah. Ia ingin membiarkan badannya terbaring.
"Tidak bisa! Ambilkan aku air. Aku haus," kata Bahar menyeka keringatnya yang berlelehan.
"Aku selalu saja lupa, menyediakan air dalam kamar ini," Ismaniah merasa
bersalah dan menyampaikannya sambil tersenyum dan membenahi pakaiannya. Ismaniah membawa air teh dingin seteko. la ingin bicara dengan Bahar.
Dengan bimbang ia bertanya: "Biasanya Uda datang menjelang Lohor. Kini terlambat." Bahar Karengkang menatap mata perempuan itu. Mata besar dan bulat itu mengaridung kecemburuan dan sekaligus rasa bersalah.
"Amai Kalimah mengganggu perjalananku.. Orang lambat melantai Batang Anai. Perempuan tua itu mengajak aku bertengkar. Ia mengatakan aku bodoh. Perempuan tua itu yang gila. Ia kolot. Semua orang baginya salah. Kau setuju aku melantai sungai itu ?"
"Uda membuat keajaiban. Semua orang mengagumi Uda, termasuk pemberontak." Perempuan itu menyenangkan Bahar.
Tidak pernah ia menyalahkan. Ia tidak marah ketika saudaranya yang ikut pemberontak ditembak OPR di rumah itu. Ia tidak marah kalau Bahar naik ke rumah perempuan lain, paling-paling ia hanya bertanya: Apa masakan perempuan itu enak? Apa ada bunga rampai di atas kasur? Apa sarung bantal berbunga bagus dan apa warna serta bahan kelambu.
Melalui dapur mereka meninggalkan rumah, pergi ke sebuah saluran, tempat orang kampung mandi. Selokan itu bersumber dari Batang Anai, mengairi persawahan di pinggir kampung itu. Keduanya mandi berpuas hati. Keduanya bersimbur-simburan, bergurau dan bergelut.
"Uda belum juga menepati janji, kata Ismaniah sambil mengeringkan rambutnya."
"Apa ?" tanya Bahar tak mengerti.
"Membawa aku ke Padang Panjang. Aku teragak menonton. Ada film India di Jaya. Shakila dan Mahipal,"
"Dulu kau pernah menonton filmnya Shakila, bukan? Ia cantik, rambutnya panjang seperti kau."Ismaniah mematut rambutnya yang panjang.
Hatinya senang, dirinya disamakan dengan bintang film India yang cantik itu. Ismaniah jadi lonte, ia dibawa ke Padang Panjang, kata seorang perempuan muda pada neneknya. Neneknya diam saja. Dulu, ketika muda, ia pernah menjalani kehidupan seperti Ismaniah. Dan ia menduga cucunya seperti Ismaniah pula. Cuma diam-diam.
Guru mengajinya pernah mengatakan, bahwa betapapun tampaknya orang itu alim, pastilah banyak dosa yang disurukkan. Orang yang dianggap jahat, dosa-dosanya diperlihatkannya secara terang-terangan kepada orang lain. la percaya pada ajaran guru mengaji itu. la malahan jatuh cinta pada gurunya itu.
Dan gurunya itu kemudian ketika akan meninggal pernah berkata: "Kita pernah berbuat dosa. Tapi hanya kita yang tahu. Aku akan tetap dihormati sebagai orang suci.."
Nenek tua itu memperhatikan pinggul dan tumit kaki cucunya. "Dengan suara yang serak la berkata:
Biarkan Tuhan menghukum si Is."
Biarkan Tuhan menghukum si Is."
"Andung setuju dengan si Is ?" Perempuan tua itu menggeleng.
" Aku lihat kau sudah lama tidak sembahyang. Kenapa ?"
Wajah cucunya itu pucat. Cucunya itu pergi. Gerakan pinggulnya menyebabkan neneknya menekur menggigit bibir.
Ismaniah duduk di samping Bahar Karengkang. la sendiri yang membawa jipnya. Sopirnya disuruhnya ikut dengan truk yang ditinggalkan di Kayutanam. "Kalau pemberontakan ini berakhir, apakah Uda lupa padaku?" tanya Ismaniah.
Bahar terbahak. Tangannya menepuk paha perempuan itu. "Aku tidak berharap pemberontakan ini cepat berakhir. Kalau pemberontakan ini berakhir berarti aku berhenti atau pangkatku tidak akan naik lagi."
"Apa Uda tidak takut mati ?"
"Takut. Karena itu aku mempelajari ilmu kebal."
"Aku juga takut mati," kata Ismaniah. Wajah perempuan itu pucat oleh ucapannya.
"Kau takut mati karena takut masuk neraka. Mungkin kita masuk neraka. Sebaiknya Uda mengawini aku, supaya, kita tidak lagi berbuat dosa.."
"Siapa yang mengatakan berdosa? Orang pengecut yang berkata begitu. Sekarang mereka lari ke hutan. Mereka tidak percaya pada doa-doa mereka sendiri. Mereka juga berzina."
Angin dingin menerpa muka mereka. Gerimis turun, Ismaniah bertambah pucat. Tubuhnya menggigil. "Hujan di hulu lebat, Da..., kata Ismaniah."
Bahar Karengkang tahu. Ia menancap gas. Jip menderu dijalan buruk dan sempit, seperti terbang menukik ke dasar sungai. Jip itu berhasil melewati lantai yang tidak selesai. Ismaniah mendengar deru yang dahsyat dari hulu. Seluruh lembah itu gelap.
" Lailah.." Ismaniah mengucap.
Deru lidah air makin dekat. Bahar mencoba mempercepat jipnya. Ia tahu bahaya yang mengancam. Maut, maut.
"Oh Tuhan.....," desis Ismaniah.
Lidah air memukul jip itu, Ismaniah terpelanting. Bahar Karengkang berusaha menguasai kendaraannya. Kendaraan itu terpental, tetapi mesinnya masih hidup, hingga lepas dari lidah air yang melanda dengan cepat itu. Bahar Karengkang menoleh ke samping, ke tempat Ismaniah duduk. Kosong.
la menoleh ke belakang. Jauh di seberang beberapa orang anak buahnya berdiri. Ada pula yang berdiri di atas jembatan gantung. Bahar Karengkang turun dari jipnya. Memandang ke hulu. Gelap. Hujan lebat dan petir. Disekanya mukanya yang basah dengan punggung tangannya. Diambilnya pistolnya. Letusan menggema.
Ia berteriak. "Apa yang kalian tonton,."
Anak buahnya berlari.
Mereka mengerti. Mereka beramai-ramai mengeluarkan jip itu. Tidak ada tuntutan atas kematian Ismaniah. Hanya ada pergunjingan sesaat. Bahar Karengkang sudah jarang ke Induring. Tidak ada lagi gotong-royong melantai Batang Anai sesudah lantai itu disapu lidah air yang menghanyutkan Ismaniah.
Bahar Karengkang bila melalui Kayutanam dari Padang Panjang, selalu berpaling ketika melintas di muka rumah Amai Kalimah. Ia takut berpandangan dengan perempuan tua itu.
Jakarta 17 Maret 1970
OPR = Organisasi Pemuda Rakyat, yaitu kelompok pemuda terutama Komunis yang dipersenjatai selama penumpasan PRRI oleh Apri
_____________________________________________
Disalin dari: http://prri.nagari.or.id/melantai.php