“PEMBESALAGHAN HANDDOEK PAKAI TANDA SWASTIKA
Kira2 20 loesin banjaknja.
Kemarin oleh politie bahagian PID dikota ini telah didatangi tokonja seorang Indonesier bernama B. di pasar Batipoeh dimana telah dapat dibeslag sedjoemlah kira2 20 loesin handdoek jang pakai tanda Swastika.
Seperti diketahoei pemakaian tanda Swastika ini dilarang baik pada apa sekalipoen, pada waktoe sekarang ini.”
***
Laporan surat kabar Sinar Sumatra edisi Selasa 4 Februari 1941 (No. 26, Tahoen ke 37) tentang razia terhadap lambang swastika yang merupakan simbol gerakan Nazi Jerman di bawah komando diktator Adolf Hitler.
Sebagaimana dapat dibaca di atas, pedagang pakaian pun rupanya juga dirazia. Seorang pedagang di pasar Batipuah yang menjual handuk bergambar lambang Nazi (swastika) pun kena dampaknya: polisi menyita handuk-handur bergambar swastika itu.
Laporan ini merefleksikan kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda akan penyebaran ideology fasisme Jerma di Indonesia. Akan tetapi laporan ini juga merefleksikan phobia kekuasaan otoriter dimana-mana di dunia. Setiap lambang yang asosiatif dengan kekuatan oposisi yang dianggap akan membahayakan kekuasaan mereka dimaknai sebagai ancaman simbolis. Semua itu ditentukan oleh siapa yang sedang berada di tampuk kekuasaan. Kalau di zaman Orde Baru, lambang palu arit dianggap berbahaya, di zaman sekarang, lambang-lambang tertentu yang bernuansa Islami cenderung dicurigai oleh penguasa. Phobia lambang mungkin akan terus berlangsung sampai akhir zaman.
Suryadi – Leiden University, Belanda / Padang Ekspres, Minggu, 19 Maret 2016
__________________
Dicopas dari blog Engku Suryadi Sunuri: https://niadilova.wordpress.com