Gambar: liputan6 |
SUMPAH SATI BUKIK MARAPALAM, “ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABBULLAH”
.
YN Warman St. Bandaro Kayo - Dan ada lagi pendapat lain memandang perang Paderi ini berawal dari pertikaian antara Mazhab Syafi’I dengan Mazhab Hambali (induk mazhab wahabi) dan melihat bahwa ini merupakan pertikaian antara Kaum Tua dengan Kaum Muda, namun nasi sudah jadi bubur, perang telah berlangsung, korban telah berjatuhan, dan yang penting harus dilihat disinilah mulainya Minangkabau dijajah oleh Belanda, dan penjajahan itu efektif sejak tahun 1840 M, usainya perang Paderi itu.
Nagari-Nagari yang sebelumnya diperintah oleh para Pangulu dengan bimbingan Alim Ulama dan pengawasan Cadiak Pandai, semua dihapus oleh Belanda, dan Pemerintah Belanda mengabaikan Kaum Ulama dan mengapungkan hanya hanya para Pangulu, sehingga setiap pengakatan Kapalo Nagari dizaman Belanda itu selalu Pangulu, tidak dimungkinkan para Alim Ulama menjadi Kapalo Nagari, bahkan Pangulupun diutamakan yang berposisi tinggi di Nagari, umpamanya Pucuk Adat Nagari, atau salah seorang Pangulu Suku Adat dan yang berhak memilih Kapalo Nagari ialah Kerapatan Pangulu yang anggotanya dibatasi pada posisi Pangulu Suku Adat.
Waktu itu Nagari mulai bersentuhan dengan birokrasi modern zaman itu, tetapi sangat sederhana sekali, sebab dikantor Kepalo Nagari waktu itu hanya ada Kepalo Nagari, seorang juru tulis dan beberapa Hulubalang, dibawahnya ada semacam Wali Jorong yang namanya waktu itu Datuak Suku, yang orangnya adalah ditunjuk oleh Kepalo Nagari dengan persetujuan pihak Pemerintah diatasnya, jadi tidak hanya Pangulu yang dapat diangkat, seorang diluar Pangulu, kemudian dipangilkan sebagai Datuak Suku, namun pihak Alim Ulama tetap tidak dapat menjabat jabatan ini.
Jadi di zaman Pemerintahan Belanda, Nagari-Nagari di Minangkabau telah dipreteli dan dizaman itu yang dikatakan Adat adalah apa yang dikatakan oleh para pejabat penjajahan, sehingga Adat Islamiah yang telah dipaterikan di Bukit Marapalam, dikesampingkan oleh Belanda dan orang Minangkabau diajar mengenang kembali situasi dizaman sebelum Islam masuk dan dikatakan oleh pejabat Belanda itulah yang Adat Minangkabau yang asli dan tentang Struktur Nagari yang sudah dipreteli oleh penjajahan tadi dikatakan bahwa itulah susunan yang benar dan asli Minangkabau, dan orang Minangkabau diajar melupakan piagam Bukit Marapalam.
Dizaman penjajahan Belanda peranan Niniak Mamak sangat dikemukakan dan peran Ulama dipinggirkan, begitu pula peran Cadiak Pandai sama sekali tidak dihiraukan, satu-satunya panutan adalah Niniak Mamak, sehingga Pemerintahan berjalan tanpa Tungku Tigo Sajarangan.
Peminggiran peran Ulama di Minangkabau ini oleh Belanda memang sangat beralasan, yakni perang Paderi, yang oleh Belanda dipandang sebagai Perang Agama, yaitu Agama Islam beperang dengan Nasrani yang polemik tentang pertikaian ini sedang membara di Eropah, diabad ke XIX M. Dan alasan kedua adalah untuk memecah kekuatan masyarakat, yaitu pecahnya kekuatan Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin, sehingga masyarakat menjadi tak berdaya lagi.
Berbagai Stadblad telah dikeluarkan oleh Pemerintah Jajahan Belanda, terakhir dikenal dengan Stadblad No. 490 / 1938 M. Namun semua Stadblad-Stadblad itu kerjanya hanya memecah dan atau menggabungkan Nagari, sehingga makin kaburlah struktur yang telah dibentuk berdasarkan piagam Bukit Marapalam yang penuh dengan nuansa Islam. Sehingga pada dasarnya Nagari-Nagari yang kita temui sekarang adalah Nagari yang ada pada Stadblad No.490/1938 M itu.
Penjajahan Belanda efektif di Minangkabau sejak usainya perang Paderi tahun 1837 M, dan kekuasaan Belanda itu mulai kira-kira 1840 M dan berlansung sampai Jepang masuk 1942 M, jadi berlangsung selama 100 tahun, berlangsung selama kira-kira empat generasi.
Selama priode itu berbagai Reglemen atau Stadblad dikeluarkan oleh pemerintahan jajahan Belanda itu, terakhir kita mengenal Stadblad no.490 tahun 1938 M.
Selama penjajahan Belanda berlangsung, ada 2 hal yang perlu kita perhatikan.
1.Nagari banyak yang dipecah dan digabung-gabungkan, artinya seperti Nagari A dipecah menjadi dua bahagian, Nagari B demikian pula, kemudian bahagian Nagari A tadi digabungkan dengan Nagari bahagian B tadi, contoh adalah Nagari Cubadak, di Kecamatan Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar, yang terdiri atas Cubadak dan Supanjang. Pernah Cubadak masuk Nagari Padang Magek, Supanjang masuk ke Nagari Rambatan, sedangkan kawasan IV Koto (Ngungun, Panti Pabalutan dan Sawah Jauah) pada waktu itu satu Nagari bernama nagari Pabalutan IV Koto.
Kemudian IV Koto ditarik masuk Nagari Rambatan (sampai sekarang), Supanjang dilepaskan oleh Rambatan, sedangkan Nagari Cubadak dikeluarkan dari Nagari Padang Magek, kemudian di jadikan satu dengan Supanjang yang dikeluarkan dari Rambatan, menjadilah dia Nagari Cubadak sekarang, padahal baik Cubadak maupun Supanjang secara Adat adalah Satu Nagari, ia mempunyai kelengkapan Adat yang cukup untuk disebut sebagai sebuah Nagari.
2. Peranan Tungku Nan Tigo Sajarangan dihapus oleh Belanda, terutama peranan “Alim Ulama”, dan peranan “Cadiak Pandai” dikesampingkan oleh Belanda, dan pihak penjajah waktu itu sengaja menempatkan Niniak Mamak atau Pangulu menjadi pemain tunggal, namun Niniak Mamak yang disebut dengan istilah “Lid A dan Lid B”, yang bersurat dengan yang tidak bersurat.
Penghapusan peran Ulama di Minangkabau adalah cara Belanda meminggirkan Islam, mungkin karena baru saja keluar dari perang yang dikenal dengan perang Paderi, akan tetapi memang pada waktu itu adalah abad dimana kaum Kristen di Eropah sangat gencar-gencarnya mendeskreditkan Islam, dan makanya orang-orang Islam yang disebut Alim Ulama di Minangkabau dipinggirkan saja, tidak boleh ikut memerintah, dan dikatakan kepada orang Minangkabau, bahwa Adat yang asli di Minangkabau adalah Adat tanpa Agama Islam, dan harus dikembalikan sistem Pemerintahan Nagari kepada para Pangulu.
Semenjak itu orang Minangkabau hanya mengenal Niniak Mamak selaku pemimpin dalam Nagari, semuanya disandarkan kepada Niniak Mamak atau Pangulu, yang oleh Pemerintahan jajahan Belanda sengaja dipupuk, dan rakyat digiring untuk menghormati Niniak Mamak sedemikian rupa, sehingga rasa hormat kepada Alim Ulama jauh tertinggal dibelakang, apalagi terhadap Cadiak Pandai. Inilah cara Belanda memecah kesatuan kepemimpinan Adat di Minangkabau, dimana yang tadinya sudah ditegaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi kitabullah, Syarak mangato, Adat mamakai, semenjak Belanda memerintah di Minangkabau, semuanya itu tidak boleh lagi dilaksanakan, bahkan diingatpun tidak boleh, dan orang Minangkabau sudah digiring berpendapat bahwa yang dikatakan Adat itu adalah menempatkan Niniak Mamak pemain tunggal dalam Pemerintahan dan masyarakat nagari. Tetapi para Ulama Islam, walaupun tidak lagi diberi peran memerintah bersama dalam Tungku Nan Tigo Sajarangan, atau Tali Tigo Sapilin, mereka secara intensif mengajar di Surau-Surau, mendidik orang Minangkabau.
Keadaan inilah yang oleh orang Minangkabau generasi yang hidup dipenghujung penjajahan Belanda (awal abad XX) yang dialaminya, dan dilihat serta dirasakannya, kemudian diwariskannya kepada generasi awal abad ke XX itu, dan hal inilah pula yang diwariskan selanjutnya kepada generasi dipertengahan abad ke XX, sampai kepada generasi yang lahir tahun 1930, mereka hanya menerima warisan bahwa Niniak Mamak memenggang peranan tunggal pemerintahan di Nagari, terus berlanjut sampai sekarang pendapat itulah yang ada.
Sebelum Belanda masuk ke Minangkabau, sistem Pemerintahan itu berbentuk Tungku Tigo Sajarangan, dimana Niniak Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai bersama-sama Memimpin Nagari, Niniak Mamak sebagai Lembaga Eksekutifnya, Alim Ulama sebagai Suluah Bendangnya, tempat minta fatwa, sedangkan Cadiak Pandai, Orang Nan Tahu Tampek Batanyo, Orang Nan Pandai Tampek Baguru.
Di zaman pemerintahan Kolonial Belanda, setelah usainya perang Paderi 1821–1837 pemerintahan jajahan Belanda mulai mengatur pemerintahan Nagari di Minangkabau secara efektif dan sejak itulah semua Kajian tentang Nagari yang diatur menurut acuan Islam, dibenamkan oleh Belanda dan mengapungkan kembali limbago struktur kuno sebelum Islam dan dipaksakan kepada rakyat untuk menerapkannya, dikatakan inilah aslinya Minangkabau. Sejak itu orang Minangkabau hanya mempunyai kajian tentang Minangkabau seperti apa yang dikatakan oleh Belanda itu, dan itulah yang diwariskan kepada generasi berikutnya, dan jika kita melihat atau mendengar kajian orang tua-tua kita yang hidup priode 1900 an, maka kaji mereka persis apa yang diungkapkan oleh Pemerintahan Belanda, oleh Hakim Belanda, oleh Tentara Belanda, dan kajian yang sejatinya, dimana terlihat Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, telah dimarjinalkan, telah dibenamkan, dan kajian kemasan Belanda lah yang diagung-agungkan oleh para orang tua kita, itulah pula yang banyak DIWARISI oleh orang Minangkabau sekarang. Inilah suatu yang perlu dikaji ulang oleh generasi sekarang.
“Kok bana dibawo lalu, jiko indak minta diasak”.
Wassalam.
Catatan, R. Dt. Rajo Manso
====================
====================
Baca juga:
- Sumpah Satia Bukik Marapalam
- Kisah Syekh Burhanudin dan Penyebaran Islam di Minangkabau
- Modul Penguatan Pemangku Adat Minangkabau atau DISINI