Disalin dari laman Perpustakaan Nasional
Majalah : JUMANTARA, Edisi : Vol. 5 No. 2 - Oktober 2014
Abstrak :
Hikayat Malim Deman sebagai peninggalan kesusastraan Melayu Klasik amatlah berharga. Melalui pendekatan didaktis yang ditekankan pada aspek estetik yang terdapat di dalam naratif, didapati bahwa hikayat ini tidak sekadar berfaedah sebagai penglipur lara. Nilai-nilai yang diperoleh dari hasil pembacaan secara tekstual maupun kontekstual dari hikayat ini menunjukkan bahwa ajaran tentang kebijaksanaan, kesetiaan, ketakziman, kesadaran dan kerja keras merupakan nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
Kata Kunci : Kesusastraan Melayu; Hikayat Malin Deman;
Filsafat; Islam
Pengarang : Moh. Taufiqul Hakim
Subyek : Cerita Rakyat Melayu Hikayat
1. Pendahuluan
Dunia kesusastraan yang dikenal pada umumnya tak lepas dari unsur keindahan. Disadari atau tidak, aspek keindahan dalam karya sastra merupakan daya tarik kepada khalayak pembaca. Pembaca pertama-tama akan melihat struktur bahasa hingga bentuk-bentuk diksi di dalam sebuah karya sastra yang dibacanya. Keindahan menjadi unsur penting, hingga menjadi pengukur terhadap karya sastra tertentu untuk laku atau tidaknya di masyarakat. Wujud keindahan di dalam sebuah karya sastra penting keberadaannya bagi karya sastra dari belahan dunia manapun. Dalam khazanah kesusastraan Melayu, istilah keindahan merupakan istilah pokok dalam sistem estetika kesusastraan Melayu (Braginsky, 1994:18).
Usaha keras pengarang dalam penciptaan karya sastra yang berbahasa indah merupakan satu tradisi dalam kesusastraan Melayu. Winstedt dalam bukunya A History of Classical Malay Literature (1969) mengklasifikasikan kesusastraan Melayu ke dalam beberapa kategori;
(1) sastra rakyat (Malay folk literature),
(2) sastra Melayu zaman Hindu (the Hindu Period),
(3) sastra Melayu berunsur Jawa,
(4) sastra Melayu transisi dari Hindu ke Islam,
(5) sastra legenda muslim,
(6) cerita-cerita bersumberkan muslim,
(7) sastra berbentuk teologi, perundangan dan sejarah muslim,
(8) sastra sejarah Melayu (Malay histories),
(9) hukum kanun (digests of Law), dan
[10] puisi Melayu (bahasa berirama, syair dan pantun) (Said, 2007:48).
Bagi orang Melayu, sastra rakyat atau Malay Folk Literature disebut sebagai cerita pelipur lara. Menurut namanya, cerita pelipur lara ialah cerita yang dipakai untuk melipur hati yang lara, yang duka nestapa, serta menjadi satu-satunya hiburan sebelum adanya TV dan radio. Tradisi bercerita dari rumah ke rumah ini pada zaman dahulu merupakan hiburan utama bagi khalayak umum. Meski para pencerita tidak tahu baca-tulis, mereka tidak pernah membuat kesalahan, lantaran sudah terbiasa mendengar cerita-cerita tersebut sejak kecil dari ayahnya dan datuknya yang juga seorang tukang cerita. Mereka inilah yang dinamai sahibul hikayat (Fang, 2011:33).
Cerita pelipur lara (Malay Folk Literature) sebagaimana disampaikan oleh Ahmad (1987:27) dalam bukunya Karya-Karya Sastra Bercorak Sejarah, pada umumnya bercerita tentang anak-anak raja. Cerita biasanya berpusat di seputar kelahiran, proses mendapatkan pendidikan baik secara formal maupun informal, percintaan, perkawinan dan pengembaraan yang kerap kali diakhiri dengan kembalinya tokoh cerita ke negeri asal (Sudibyo, 1996:79).
Sebagaimana yang dikatakan Wilkinson bahwa episode peperangan dan cinta merupakan hal yang penting di dalam cerita Melayu. Pencerita Melayu sangat mementingkan plot. Mereka amat detil dalam menyampaikan gaya, deskripsi peperangan, cinta, sayembara dan kata-kata jenaka dalam percakapannya (Wilkinson, 1907:27).
Tak hanya itu, dalam hikayat juga terkandung unsur-unsur kepercayaan masyarakat lama akan adanya peri, mambang, indra, bidadari, dewa-dewi dan raksasa yang bercampur dengan kepercayaan akan jin (Mulyadi, 1980:136). Mengenai unsur-unsur kepercayaan tersebut, menurut Mulyadi yang mengutip pendapat Wilkinson (1913:110), bagi orang Melayu percampuran unsur-unsur tersebut bukanlah sesuatu yang tidak pantas. Pengarang mengutamakan unsur keindahan baik dari bahasa maupun makna dalam karya yang ditulisnya.
Kehidupan alam raja selalu dilukiskan, dilindungi dan dibimbing kekuatan adikodrati serta selalu diidentikkan dengan kemegahan, keagungan, keindahan dan kehalusan budi pekerti. Hal ini berhubungan erat dengan faham kosmologi mistis yang menempatkan istana sebagai pusat dunia dan bahkan pusat ketertiban alam semesta yang menentukan tingkah laku dan pemikiran para pendukungnya (Sudibyo, 1996:79; Taslim, 1994:260).
Cerita pelipur lara yang identik dengan keindahan, agaknya kurang tepat apabila hanya berfaedah sebagai penghibur hati dan penyembuh duka lara. Hikayat Malim Deman misalnya (selanjutnya disebut HMD), yang oleh Liauw Yock Fang (2011:33-37) digolongkan sebagai cerita pelipur lara ternyata lain. Hikayat ini digolongkan sebagai hasil sastra lama. Meski dari masa lalu, hikayat ini amatlah berharga, lantaran sangat tinggi mutunya. Hal tersebut dibuktikan dari sangat laku dan digemarinya hikayat ini sampai-sampai menyebar di daerah yang sangat luas, seperti Aceh, Minangkabau dan Batak (Roolvink, 1974:iii).
Dalam hikayat inipula dijumpai nilai-nilai kebijaksanaan, kesetiaan, ketakziman, kesadaran dan kerja keras. Maka, tepatlah kiranya apabila dikatakan bahwa nilai-nilai tersebut mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.
1. Landasan Teori
Tulisan ini menggunakan pendekatan didaktis yang ditekankan pada aspek estetik yang terdapat di dalam naratif teks Hikayat Malim Deman (selanjutnya disebut HMD). Teks dalam hal ini dipahami sebagai sesuatu yang jika dituliskan tampak seakan-akan terdiri atas kata dan kalimat, namun sesunguhnya terdiri atas makna. Makna itu diungkapkan, atau dikodekan dalam kata-kata dan struktur, dan selanjutnya dapat diungkapkan lagi dalam bunyi-bunyi atau lambang-lambang tulis. Teks harus dikodekan dalam sesuatu untuk dapat dikomunikasikan, tetapi sebagai sesuatu yang mandiri, teks pada dasarnya adalah satuan makna (Halliday, 1992:14; Soedewo, 2007:19).
Dalam lingkup yang lebih luas, teks adalah alat yang paling efektif untuk menyampaikan ide, termasuk ide yang kompleks dan terlalu sulit untuk disampaikan secara lisan belaka (Damshaucer, 2012:79). Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Pendekatan ini pada dasarnya juga merupakan suatu pendekatan yang telah beranjak jauh dari pesan tersurat yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Dalam pelaksanaannya, penggunaan pendekatan didaktis ini diawali dengan upaya pemahaman satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran tersebut pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan, maupun deskripsi peristiwa dari pengarang atau penyairnya (Aminuddin, 2002:47-48). Pengertian tersebut di atas serupa dengan hermeneutical circle –nya Paul Riceour yang diilhaminya dari Dilthey (1981:165).
Penggalian makna dari teks tergantung pada penafsiran pembaca atas teks. Dalam khazanah penafsiran, tugas hermeneutika tidak mencari kesamaan antara maksud penyampai pesan dan penafsir. Tugas hermeneutika adalah menafsirkan makna dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks. Teks itu sendiri tentu saja tidak terbatas pada fakta otonom yang tertulis atau terlukis (visual), tetapi selalu berkaitan dengan konteks. Hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Dengan demikian, analisis harus selalu bergerak dari teks, bukan sebaliknya (Saidi, 2008:377-378).
Sebagaimana diketahui pada umumnya, sebuah karya sastra harus indah. Aspek keindahan atau estetika selalu dirujukkan pada keindahan bahasa yang digunakan pengarang (Sikana, 2009:12).
Secara bahasa kata‘indah’ sama artinya dengan kata beautiful dalam bahasa Inggris. ‘Indah’ yang dimaksud berkaitan dengan manusia, benda, tempat dan pembuatan. Padanan kata untuk kata ‘indah’ antara lain cantik, permai, molek rupawan, sari dan cendayan (Jawa).
Dalam Kamus Besar Bahasa Melayu Utusan, kata 'indah' dipadankan dengan kata cantik, elok, permai, rupawan, jelita, kirana, bahari, sani dan majlis (Talib, 1998:8-9). Dalam khasazanah filsafat barat, prinsip pantulan (reflektif) keindahan transendental di dalam serapan rasa (yang melahirkan ‘keindahan’ persepsi karya artistik) itu memperoleh istilah sinonim ‘estetik’. Hal tersebut tertuang dalam buku yang berjudul Reflection on Poetry (1735) Alexander Gottlieb Baumgarten, penganut Sekolah Filsafat Rasionalisme Rene’ Descrates dan G.W. Leibniz.
Kata ‘estetik’ diturunkan dari bahasa Yunani ‘aisthetis’ yang berarti persepsi, cerapan atau sesuatu yang diterima dengan indra. Hasil olahan prinsip reflektif tersebut paling mula diciptakan dengan teknik ‘homoephatic’ atau tiruan (mimesis). Sumber tiruan (keindahan) didasarkan pada makhluk benda estetis yang dapat didengar-dilihat di sekitar, serta kegairahan, inspirasi dari bias-bias keindahan transendental bergreget di batin (Toda, 2005:49).
Pada tahap inilah daya imajinasi dan kreativitas pengarang diuji untuk menuangkan wawasan ‘keindahan’ yang diperolehnya dari lingkungan sekitar ke dalam proses cipta sastra.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keindahan dalam karya sastra tidak melulu perihal bahasa, melainkan juga mencakup tataran makna yang terkandung sebagai refleksi segala peristiwa yang ditemui pengarang dari lingkungan sekitarnya. Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, pembacaan teks HMD dalam tulisan ini akan dititikberatkan pada aspek keindahan makna yang bernilai. Untuk mengungkapkannya, dideskripsikan gambaran keindahan yang berangkat dari naratif teks HMD yang berkisah tentang siklus kehidupan meliputi kelahiran, kesejahteraan, pengembaraan, kematian, keajaiban, pengkhianatan, sayembara, peperangan, kemenangan dan kejayaan. Adapun dalam pengerjaan tulisan ini, naratif teks yang memuat keindahan seperti yang dimaksud tidak disajikan seluruhnya, melainkan dipilih sesuai dengan keperluan.
2. Naskah Hikayat Malim Deman
Penelitian ini menggunakan bahan utama berupa naskah yang diterbitkan oleh Penerbit Fajar Bakti SDN. BDN. Dalam terbitan tersebut didapati informasi bahwa naskah HMD ini didasarkan pada naskah Sir R.O. Winstedt dan A.J. Sturrock (Roolving, 1976). Teks HMD ini tergolong lama, sebagaimana yang tertera di paragraf awal pembukaan naskah yaitu: Entahkan beberapa zaman lama-nya cerita di-bawa ayer yang hilir, angin yang lalu dan burong yang terbang. Informasi terkait pencerita dan pengarang hikayat ini ditemui pada bagian paling akhir naskah. Pencerita HMD ialah seorang yang bernama Pawang Ana dengan pengarang cerita oleh Raja Haji Yahya dari negeri Perak. Sebagaimana yang tertulis sebagai berikut:
Demikian-lah di-ceritakan oleh Pawang Ana yang empunya cerita serta di-karangkan oleh Raja Haji Yahya di-Chenderiang di-dalam negeri Perak darul-ridzwan. Sebelum dideskripsikan gambaran keindahan dari naratif teks HMD, terlebih dahulu disajikan ringkasan teks HMD. Dalam hal ini penulis menggunakan ringkasan yang terlebih dahulu ada sebelum penelitian ini dilakukan, yakni yang pernah dilakukan oleh Liauw Yock Fang (2011:37-38) dalam bukunya Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik.
3. Ringkasan Hikayat Malim Deman
Malim Deman adalah putra raja dari Bandar Muar yang sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya. Setelah besar, Malim Deman bermimpi seorang Wali Allah menyuruhnya pergi ke rumah nenek Kebayan untuk mendapatkan Putri Bungsu dari kahyangan sebagai istrinya. Dengan pengiring yang banyak, pergilah Malim Deman ke rumah nenek Kebayan.
Dalam perjalanan, pengiring Malim Deman satu demi satu mati. Akhirnya sampailah ia ke rumah nenek Kebayan. Dengan bantuan nenek Kebayan juga, ia berhasil mencuri baju layang Putri Bungsu, sehingga Putri Bungsu tidak dapat kembali ke kahyangan. Nenek Kebayan lalu mengawinkan mereka.
Selang beberapa lama, mereka pun kembali ke Bandar Muar. Jamuan makan besar-besaran lalu diadakan. Malim Deman juga ditabalkan menjadi raja. Tidak lama kemudian ayahanda Malim Deman pun gering, lalu mangkat.
Sejak kematian ayahanda, Malim Deman pun lalai memerintah negeri. Setiap hari ia hanya asyik menyabung ayam saja. Dalam keadaan yang demikian, Putri Bungsu pun melahirkan seorang anak yang diberi nama Malim Dewana.
Arkian Malim Dewana besarlah, tapi Malim Deman tetap tidak mau kembali ke istana melihat putranya. Putri Bungsu sangat masygul hatinya. Kebetulan pula ia menemukan kembali baju layangnya. Maka ia pun terbang kembali ke kahyangan dengan anaknya Malim Dewana. Sepeninggal Putri Bungsu, barulah Malim Deman menyesal. Tujuh hari tujuh malam ia tidak tidur, tidak makan, leka dengan menangis saja. Akhirnya ia berazam pergi mendapatkan istri dan anaknya kembali.
Dengan susah payah, sampailah ia ke rumah nenek Kebayan dan bertanya di mana bisa diperoleh burung borak yang dapat membawanya ke kahyangan. Dengan bantuan nenek Kebayan, tahulah ia bahwa Putri Terus Mata ada menyimpan burung borak. Raja jin bersedia meminjamkan burung borak kepada Malim Deman dengan syarat bahwa Malim Deman harus kawin dengan anak perempuannya, yaitu Putri Terus Mata. Malim Deman menyanggupi hal ini.
Sesampai di kahyangan didapatinya Putri Bungsu akan dikawinkan dengan Mambang Molek. Malim Deman mengalahkan Mambang Molek dalam menyabung ayam. Maka timbullah pertikaian antara keduanya. Mambang Molek terbunuh. Demikian juga saudara-saudaranya. Sekali lagi Malim Deman dikawinkan dengan putri bungsu.
Selang beberapa lama, Malim Deman sekeluarga pun turun ke dunia kembali. Perkawinan dengan Putri Terus Mata lalu diadakan. Hatta Malim Deman pun menjadi seorang raja yang sangat bijaksana lagi gagah berani. Dan baginda ketiga laki istri juga sangat sayang kepada putranya.
4. Keindahan dalam Hikayat Malim Deman
Keindahan meliputi perkataan, watak atau cerita (Salleh , 2000:111). Malim Deman sebagai tokoh utama dalam hikayat ini digambarkan sebagai seorang putra yang sempurna. Ia lahir dari keluarga raja yang makmur negerinya. Kasih sayang kedua orang tuanya menjadikannya arif dan bijaksana. Sifat-sifat mulia Malim Deman terpancar dari wajahnya, seperti halnya kemakmuran negerinya yang begitu permai dan sejahtera.
Selain mempunyai pemandangan alam yang indah, kondisi pertanian, perkebunan dan peternakan di Bandar Muar begitu makmur. Pelabuhan yang ramai menjadi tanda akan lancarnya perdagangan antarwilayah di negeri tersebut. Masyarakat hidup saling berdampingan dan sejahtera. Sebagaimana yang tertuang di bagian awal cerita, pengarang menampilkan sosok Malim Deman sebagai berikut:
Al kisah, maka tersebutlah konon sabuah negeri bernama Bandar Muar, raja-nya bernama Tuanku Gombang Malim Dewa, isteri-nya Tuan Puteri Lindongan Bulan. Adapun baginda itu ada berputera sa-orang laki-laki bernama Tuanku Malim Deman, sangat-lah arif bijaksana-nya, tambahan rupa-nya terlalu elok, cahaya muka-nya gilang-gemilang, tiada-lah berbanding kepada zaman itu. Maka terlalulah kaseh ayahanda-bunda-nya serta pula berpatutan dengan peratoran bangun sifat negeri itu, terlalu elok majelis rupa-nya.”
Dalam hikayat ini, keindahan selain merupakan sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh tokoh utama, kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negeri juga berperan penting. Kemasyhuran negeri yang ditampilkan dalam hikayat ini secara tidak langsung turut serta membentuk watak dan karakter Malim Deman, selain dari kasih sayang kedua orang tuanya. Peristiwa terkejut, heran, terpesona akan kecantikan, serta keajaiban membuat hikayat ini tampak indah.
Menurut Braginsky (1998:28-29), keindahan juga merupakan hal-hal yang membuat terpikat, semacam rasa birahi. Pertemuan Malim Deman dengan seorang Wali Allah yang membawa sebuah pesan kepadanya membuat ia terkejut, bahkan sampai menangis. Dalam mimpinya, Wali Allah menyuruh Malim Deman untuk segera menikah. Malim Deman disuruh pergi ke Ka-hulu Negeri Bandar Muar tepatnya di rumah Nenek Kebayan. Di rumah tersebut, ada seorang putri dari tujuh bersaudara yang cantik jelita. Bahkan, kecantikan si bungsu tersebut mengalahkan semua perempuan yang berada di kahyangan.
Meski sang Tuan Puteri Bungsu tersebut sudah bertunangan dengan seorang raja dewa yang bernama Medan Si Tangkal Ali, Wali Allah memberikan dorongan semangat kepada Malim Deman agar berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Dengan begitu, atas ijin Allah Ta’ala barangkali akan diberikan kemudahan.
Keindahan sang Tuan Puteri Bungsu yang dilukiskan oleh Wali Allah di dalam mimpinya, membuat Malim Deman terkejut dan masih terngiang-ngiang sewaktu terbangun dari tidurnya. Dilukiskan keindahan sang Tuan Puteri Bungsu sebagai berikut:
....seraya ia menangis berchuciran ayer mata-nya bagai nenek di-urai oleh terkenangkan perkataan wali Allah yang berkabarkan sifat Tuan Puteri Bungsu itu, seolah-olah-nya sudah terpandang kepada mata-nya chahaya muka Tuan Puteri itu seperti bulan penoh purnama empat belas haribulan, gilang-gemilang chahaya-nya. Maka terpandang-pandang sahaja-lah Tuanku Malim Demanl; jikalau di-pandang ka-kiri kelihatan; kalau dipandang ka-hadapan tertengok juga.
Lebih lanjut, kisah tentang perasaan Malim Deman yang begitu birahi digambarkan oleh pengarang dalam naratif berikutnya.
Rasa heran dan ketakjubannya timbul kembali tatkala ia menemukan batil emas yang hanyut di sungai. Si Kumbang, anjingnya yang setia mengikutinya dalam perjalanan mencari Tuan Putri Bungsu mengambilkan batil emas itu untuknya. Namun demikian, Malim Deman menjadi sedih ketika harus kehilangan Si Kumbang. Anjing kesayangannya itu mati di dalam sungai setelah mengambilkan batil emas untuknya. Si Kumbang menjadi pengikut Malim Deman yang terakhir mati setelah bala tentara dan Bujang Selamat mati terlebih dahulu di tengah hutan.
Agaknya pengarang cukup indah memainkan emosi pembaca. Peristiwa yang disajikan tampak naik turun. Dalam pengelanaannya, tidak hanya peristiwa takjub dan birahi yang dialami oleh Malim Deman. Peristiwa kesedihan juga tergambar di sela-sela peristiwa yang dianggap estetis dalam arti takjub, birahi dan bahagia. Kesedihan dan kesengsaraan yang terdapat dalam hikayat, dikategorikan oleh Salleh (2000) sebagai ciri keindahan di dalam hikayat (Sikana, 2009:15-16).
Dalam khazanah kesusastraan Islam, dikenal adanya semangat keislaman yang meliputi taat dan patuh kepada perintah Allah, bertawakal dan menyerah kepada Allah, ikhlas dan jujur dalam segala pekerjaan, serta sentiasa bertaqwa kepada Allah (Sikana, 2009:15).
Unsur-unsur estetik tersebut juga terdapat dalam hikayat ini. Ketika dalam perjalanan di hutan belantara, kesedihan Malim Deman akan tewasnya para pengikutnya membuat dirinya tetap sabar dan berserah diri kepada Allah. Bagi Malim Deman, melanjutkan perjalanan ke Negeri Bandar Muar untuk menemukan Tuan Putri Bungsu harus tetap dilanjutkan. Seperti yang tergambar dalam teks:
Si Kumbang sudah hilang, ia pun sampai ka-seberang sungai, lalu ia menangis karena teramat sangat sayang akan anjing-anjing-nya itu. Tetapi ia berjalan juga menyerahkan diri-nya kepada Allah subhanahu wata’ala menempoh duri dan semak. Maka badan-nya habislah lumat di-makan oleh duri; tuboh-nya di-palut selumbar tumboh di-atas ulu-nya. Hatta, selang antara beberapa lama-nya, dengan takdir Allah Subhanahu Wata’ala, berkat harap harap yakin-nya, sampai-lah ia ka-hulu negeri Bandar Muar.
Dalam keadaan serba kekurangan lantaran jauhnya perjalanan yang harus ditempuhnya, Malim Deman tetap bersikap jujur. Bisa saja ia berkata bohong kepada nenek Kebayan perihal cincin indah yang ditemukannya. Bahkan jika berkenan, Malim Deman juga bisa menjualnya untuk menyambung hidup di Bandar Muar. Akan tetapi, Malim Deman tetap kukuh pada pendiriannya. Ia mengatakan asal-usul cincin yang ditemukannya itu dengan jujur kepada nenek Kebayan. Lantaran sifat baiknya tersebut, justru nenek Kebayan membukakan jalan untuk bertemu dengan Tuan Putri Bungsu yang diidam-idamkan Malim Deman.
Percakapan antara nenek Kebayan dengan Malim Deman digambarkan oleh pengarang dengan lugas, tegas dan estetis di dalam naratif sebagai berikut:
Maka Nenek Kebayan pun terpandang-lah akan chin-chin yang di-jari kiri Tuanku Malim Deman lalu bertanya, ‘Ayohai Tuanku Malim Deman, di-mana-kah Tuanku beroleh chinchin yang teramat indah itu, chahaya-nya memanchar-manchar patek lihat.’
Maka titah Tuanku Malim Deman, ‘Adohai nenek, masa kami berjalan ini-lah berjumpa di-dalam sa-biji batil emas bertatah intan. Maka kami lihat chinchin ini sa-bentok dengan sa-helai rambut.’ Lalu di-tunjokkan oleh Tuanku Malim Deman batil emas dan rambut serta chinchin itu kepada Nenek Kebayan; di-lihat-nya di-tatap-nya seraya berkata, ‘Ayohai Tuanku Malim Deman, telah sa-benar-nya-lah perkakas itu Tuan Puteri Bungsu yang empunya dia.
Keindahan yang tergambar di dalam HMD juga meliputi kata elok, bunga, suasana kegembiraan, menghias diri, serta alunan musik yang ikut memeriahkan suasana. Pengarang menyampaikannya dengan bahasa yang indah, pun juga disertakan makna yang indah pula berupa pesan moral. Suasana kegembiraan yang tengah dialami para bidadari di rumah Nenek Kebayan membuat bidadari keenam tersadar, bahwa sesuatu yang berlebihan bukanlah perbuatan yang baik. Maka dari itu, ia berpesan kepada saudara-saudaranya agar menyadari perbuatan mereka. Seperti yang tergambar dalam naratif berikut ini:
Maka tuan puteri ketujoh naik-lah. Sa-ketika dudok lalu turun pula memetek bunga mengarang kuntum bersuka-sukaan. Telah sudah lalu bersiram, langsong berlimau, berbedak, chukup kasai yang ketujoh. Maka apabila sudah berlimau itu, tuan puteri yang ketujoh pun bermain berketimpong pula, ketimpong bernama gerenek dua belas, pechah empat di-pechah delapan, sa-habis pechah chukup dua belas...mendengarkan ketimpong Tuan Puteri Bungsu terlalu elok bunyi-nya. Maka di-lihat oleh tuan puteri enam akan kelakuan saudara-nya Tuan Puteri Bungsu bermain ketimpong itu seperti tiada sadarkan diri bersuka-sukaan hatinya.
Maka sabda tuan puteri enam, ‘Adohai adinda adek bungsu, jangan-lah adinda bersuka-sukaan sangat karena ada kata orang tua-tua dahulukala: “tiap-tiap suka itu duka ke-sudahan-nya.” Kapada pikiran kakanda jangan-lah adinda bersuka sangat, hari pun hampir petang.
Malim Deman digambarkan sebagai seorang pangeran yang berbakti kepada orang tua. Meskipun di luar istana ia sudah menikah dengan seorang bidadari, orang tua dan negerinya tak serta-merta dilupakannya. Begitu teringat akan kampung halamannya, ia sesegera mungkin bergegas pulang. Sambutan meriah nan megah pada akhirnya digelar oleh ayahandanya sebagai wujud kegembiraan yang tak ternilai. Digambarkan pula pada saat itu betapa takzimnya para penghuni istana beserta rakyat yang turut serta memeriahkan upacara penyambutan yang begitu megah. Sebagaimana yang tergambar dalam naratif berikut ini:
Maka sekalian orang besar-besar pun mengerahkan ra’yat tentera di-perbuat seperti yang di-titahkan oleh baginda bagaimana kealatan menyambut putera raja yang besar-besar. Maka terdirilah jogan alam, tunggul panji-panji dan payong ubor-ubor pun terkembang-lah enam belas jawatan bersambutan bunyi nobat napiri, terlalu amat azmat bunyi-nya. Maka terpasang-lah semboyan sembilan das, alamat baginda sendiri berangkat kedua laki-isteri menyambut akan puteranya. Maka baginda pun berangkat di-atas jempana yang keemasan di-iringkan oleh orang besar-besar, ra’yat tentera-nya turun ka-jambatan larangan hendak menyambut anakanda laki-isteri.
Dibalik sosok Malim Deman yang sebelumnya begitu diagung-agungkan lantaran sifatnya yang mulia, ternyata ia juga pernah khilaf. Kelalaiannya memimpin negeri sepeninggal ayahandanya membuat kehidupannya sengsara. Selain kesedihannya yang berlarut-larut sebab ditinggal istri beserta anaknya, orang-orang istana juga telah membencinya. Ia baru sadar diri ketika semua telah terjadi. Kebiasaan buruknya yang gemar menyabung ayam dan jarang berada di istana membuatnya lupa akan tugas-tugas negara, terutama kewajibannya sebagai seorang suami. Anak dan istrinya tidak pernah ditengok, bahkan abdi istana yang disuruh oleh istrinya untuk memanggil Malim Deman agar menengok anaknya yang baru lahir itu telah dihiraukannya.
Semenjak peristiwa tersebut Malim Deman dirundung kesedihan, pun dibarengi dengan kesadarannya atas perilakunya yang tidak seperti tabiat ayahandanya. Ia bertekad mencari anak dan isterinya. Sampai di rumah Nenek Kebayan, ia semakin sedih, lantaran Tuan Putri Bungsu yang dicarinya sudah tidak pernah berkunjung ke rumah itu. Ia berniat mencari Burung Borak untuk menyusul istrinya ke kahyangan. Malim Deman kembali memasuki hutan dan tiba pada suatu malam ia tertidur di bawah sebuah pohon besar. Dalam tidurnya itu, Malim Deman mengalami sebuah keajaiban. dikatakan sebuah keajaiban lantaran di alam mimpinya lagi-lagi ia dipertemukan dengan Wali Allah.
Agaknya sosok Wali Allah berperan penting dalam kehidupan Malim Deman. Pada permulaan kisah, Malim Deman bertemu Wali Allah di alam mimpi dan disuruhnya untuk menikah dengan seorang bidadari. Nenek Kebayan sebelum didatangi oleh Malim Deman juga telah bermimpi bertemu Wali Allah, agar kelak ketika Malim Deman ke rumahnya supaya dipertemukan dengan Tuan Putri Bungsu. Kini, ketika Malim Deman mengalami kesedihan yang boleh dibilang sebagai karmanya sendiri atas kesalahan yang telah diperbuatnya, juga bermimpi bertemu Wali Allah.
Pada mimpinya kali ini, Malim Deman mengaku bersalah atas perbuatannya selama ini dan ingin bertobat. Wali Allah akhirnya memberi nasehat kepada Malim Deman agar pergi ke hulu sungai untuk menemui Tuan Puteri Terus Mata, anak raja jin yang mempunyai Burung Borak yang dapat dipergunakan untuk pergi ke kahyangan. Keajaiban yang dialami Malim Deman dalam mimpinya, sebagaimana yang tergambar dalam naratif berikut:
Sa-telah di-dengar oleh keramat Wali Allah itu akan titah baginda, sabda-nya, ‘Ayohai anak-ku Tuanku Mallim Deman, pergilah berjalan ka-hulu sungai ini. Maka ada-lah seorang puteri bernama Tuanku Terus Mata, anak raja Jin Islam. Ia-lah yang ada menaroh borak kesaktian, pinjam-lah oleh anakanda.’ Telah sudah berkata-kata keramat Wali Allah pun hilang, baginda terjaga.
Secara tersirat, datangnya sosok Wali Allah yang secara ajaib tersebut terkesan begitu dramatis. Malim Deman yang tengah dirundung kesedihan bertekad kuat untuk merubah tingkah lakunya dan berniat mencari anak dan istrinya. Sifat dramatik dalam naratif tersebut merupakan salah satu sifat yang dikategorikan Shalleh (2000) sebagai ciri keindahan yang ada di dalam hikayat (Sikana, 2009:16). Keindahan di dalam HMD berlanjut pada kisah peperangan antara Malim Deman melawan Raja Mambang Molek yang hendak dikawinkan dengan Tuan Putri Bungsu di negeri kahyangan.Peperangan berlangsung sebagai persyaratan untuk memperebutkan Tuan Putri Bungsu kembali.
Awalnya, antara pihak Malim Deman dan Raja Mambang Molek bersabung ayam. Raja Mambang Molek berhasil dikalahkan dan merasa terhina atas perlakuan Malim Deman yang menyingsing lengan baju dan mengisar-isar ulu kerisnya. Akhirnya peperangan pecahlah. Kedua belah pihak beradu tanding dengan senjatanya masing-masing. Pada akhirnya Malim Deman berhasil mengalahkan Raja Mambang Molek dengan sabetan pedang Jenawi Jantan dari ikat pinggangnya. Kemenangan Malim Deman dalam peperangan tersebut juga berkat bantuan Wali Allah yang memberikan anugerahnya kepada Malim Deman, sehingga Malim Deman tidak terlihat oleh musuhnya di medan perang.
Sebagaimana dikatakan Salleh (2000:12) yang dikutip oleh Syaifuddin (2009:11-12) dalam pidato pengukuhan guru besarnya, menyatakan bahwa peristiwa perang dalam setiap karya tradisi bukan karena akibat puncak permusuhan. Dalam hikayat ini, peperangan dikisahkan sebagai sebuah puncak perjuangan dari pengembaraan Malim Deman untuk mencari anak dan istrinya. Disisi lain pula peristiwa perang adalah motif yang ampuh membangunemosional sehingga khalayaknya dibekali rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap makna cerita yang dihadapi. Artinya, peristiwa-peristiwa perang didalam cerita itu hanya sebagai cara dalam pengungkapan nilai-nilai keindahan atau estetika sastra Melayu tradisi dalam penceritaan.
Kesungguhan Malim Deman untuk menebus kesalahan yang telah diperbuatnya di masa lampau, tercermin pula pada kesetiaannya atas janji yang pernah ia buat kepada Tuan Puteri Terus Mata. Di tengah suasana heroik atas kemenangannya tersebut, Malim Deman tidak lengah. Ia menepati janji yang pernah dibuatnya. Ia juga berkeinginan untuk pulang ke negerinya, mengingat sudah cukup lama ia tinggalkan. Bahkan, saat ia berkunjung ke rumah Nenek Kebayan untuk berpamitan, seratus keping uang dinar dihadiahkannya kepada sang nenek. Malim Deman rupa-rupanya seorang yang tahu balas budi, ia tidak melupakan jasa-jasa Nenek Kebayan yang selama ini turut membantunya. Naratif yang menggambarkan sifat Malim Deman yang menaati janjinya tersebut digambarkan sebagai berikut:
Wahai adinda, sekarang sangat-lah lama kakanda meninggalkan negeri kita Bandar Muar itu. Entahkan apa kabar-nya di-perintahkan oleh orang besar-besar sahaja; sangat-lah dukachita hati kakanda memikirkan, tambahan pula kakanda ini sudah berhutang perkataan perjanjian dengan sa-orang raja, ayahanda Tuan Puteri Terus Mata, apabila kakanda balek ka-dunia hendak kawin dengan puteri-nya itu, baharu-lah kakanda di-lepaskan ka-keyangan mengikut adinda, dihantar-nya kakanda dengan burong borak kenaikan puteri-nya itu. Maka sekarang silakan-lah kita bermohon kapada ayahanda-bunda hendak kembali ka-dunia, ka-negeri kita dan kakanda pun bermohonkan izin adinda, kakanda hendak menyempurnakan perjanjian kakanda itu.
Malim Deman digambarkan sebagai seorang raja yang sukses membawa negerinya di puncak kejayaan. Tata kelola pemerintahan dikembalikannya seperti sedia kala, tatkala ayahandanya masih menjabat sebagai raja. Malim Deman juga seorang raja yang dihormati oleh rakyat, pegawai istana, serta hulubalangnya. Ia juga bertekad untuk berbuat adil dan menyejahterakan rakyatnya. Wibawanya sebagai seorang raja tercermin pada naratif berikut ini:
Ayohai manda sekalian raja-raja, orang besar-besar, menteri, hulubalang, ra’yat tentera sekalian ada pun kami ini dengan pertolongan Tuhan seru alam sekalian serta pula berkat keramat wali Allah, tambahan dengan beberapa do’a orang besar-besar, ra’yat tentera sa-isi negeri ini, sudah-lah selamat beta kembali dengan sejahtera-nya membawa anak isteri beta ini. Maka sekarang harap-lah beta akan sekalian raja-raja dan orang besar-besar masing-masing jaga pekerjaan jawatan-nya, masing-masing jangan teralpa sa-kali-kali melainkan balek seperti istiadat sediakala zaman ayah beta al-marhum yang dahulu, dan beta pun insha Allah ta’ala mengaku-lah beta melakukan keadilan dan kemurahan ka-atas ra’yat tentera sa-isi negeri ini sekalian.
Sebagai akhir cerita, penutup hikayat ini digambarkan dengan amat indahnya. Kegembiraan Malim Deman beserta penduduk negerinya disampaikan pula dengan bahasa yang indah. Malim Deman digambarkan sebagai seorang yang arif dan bijaksana, gagah berani dan tak tertandingi di zaman itu. Ia juga seorang kepala keluarga yang baik, menyayangi anak, istri dan mertuanya di kahyangan. Keindahan bahasa dan makna tersebut digambarkan oleh pengarang dalam naratif berikut ini:
Kalakian, tersebut-lah pula baginda ketiga laki-isteri bersuka-sukaan di-dalam istana serta pula beberapa senda, pujok chumbuan, shair madah sa-habis-habis kesukaan di-dalam hati-nya. Maka baginda pun terlalu-lah aman kaseh akan isteri-nya kedua itu. Maka termashhor-lah warita baginda kapada sa-genap negeri akan arif bijaksana serta pula gagah berani yang terlalu sakti-nya, tiada-lah berbanding zaman itu, semerbak-lah bau yang harum itu kapada seluroh alam dunia ini. Maka sangat-lah kaseh sayang baginda ketiga laki-isteri akan putera-nya itu, sa-barang kehendak semua-nya di-turutkan.
5. Estetika dalam Sastra
Hikayat sebagai Pengabdian Gagasan tentang sastra untuk pengabdian ini pernah dibahas oleh Mana Sikana (2009) dalam kajiannya yang berjudul 'Estetika di Sebalik Tabir Teori Sastera Melayu Islam'. Kajian Sikana tersebut difokuskan pada sastra Islam yang terinspirasi dari Abbas Mahmud Al-Akkad (1964:5-6) bahwa sastra Islam adalah sastra untuk pengabdian. Lebih lanjut, seni untuk pengabdian mempunyai dua tujuan penting yang terkandung dalam pengertian 'seni untuk pengabdian' itu. Pertama, untuk menguatkan aqidah dan kedua untuk meninggikan akhlak.
Sikana tidak terlalu jelas mendefinisikan pengertian sastra Islam. Akan tetapi kajiannya dimulai dari pengertian sastra Islam yang berarti Al-Qur’an. Ia kemudian mengembangkan konsep ‘sastra untuk pengabdian’ tersebut padaberbagai kesusastraan yang berisikan nilai-nilai Islam yang pada saat itu berfungsi sebagai penguatan iman dan atau aqidah.
Dalam HMD, terdapat pula unsur-unsur keislaman di dalam cerita. Hal tersebut seperti yang pernah dikatakan Mulyadi (1980:136), bahwa dalam sastra hikayat, tampak dengan nyata bahwa bermacam-macam unsur kepercayaan dan cerita rakyat dicernakan berpadu menjadi suatu cerita pelipur lara yang di sana-sini diberi rona keislaman. Sebagaimana penjelasan tersebut di atas, kiranya dapat dikatakan bahwa unsur-unsur estetik yang terdapat dalam HMD dapat berfungsi sebagai pengabdian. Bilamana dalam dunia sastra Islam konsep pengabdiannya ditujukan pada penguatan iman atupun aqidah, dalam HMD utamanya juga dapat ditujukan sebagai pemerkayaan kehidupan rohani pembaca.
Sejarah penceritaan hikayat sendiri apabila dicermati dulunya tersiar secara lisan. Apabila dilihat dari segi bahasa, keindahan yang dituturkan pada masa itu berfungsi untuk menarik masyarakat sekitar yang notabene sebagai pendengar cerita. Sedangkan jika dilihat dari sisi makna-makna estetik yang terdapat di dalam cerita, keindahan berfungsi sebagai pemerkaya kehidupan rohani. Makna-makna estetik tersebut sebagaimana yang telah disampaikan pada poin sebelumnya terkandung ajaran-ajaran tentang kebijaksanaan, kesetiaan, ketakziman, kesadaran dan kerja keras. Makna-makna tersebut, dengan demikian secara tidak langsung membimbing pembaca maupun pendengar HMD masa itu di dalam realitas kehidupan mereka. Makna-makna yang memberikan arti positif tersebut kiranya dapat dikatakan sebagai pengabdian sastra hikayat bagi masyarakat.
6. Penutup
HMD bercerita tentang siklus kehidupan yang meliputi kelahiran, kesejahteraan, pengembaraan, kematian, keajaiban, pengkhianatan, sayembara, peperangan, kemenangan dan kejayaan. Makna-makna estetik seperti kebijaksanaan, kesetiaan, ketakziman, kesadaran dan kerja keras yang terkandung di dalam hikayat ini merupakan warisan berharga bagi masyarakat. Makna-makna estetik tersebut di sisi lain dapat dilihat pula sebagai pengabdian si empunya cerita kepada masyarakat. Disadari atau tidak, si empunya cerita mengajarkan masyarakat untuk berlaku estetik sebagaimana yang tergambar di dalam hikayat.
Daftar Pustaka
Ahmad, Ali. 1987. Karya-Karya Sastra Bercorak Sejarah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Al-Akkad, Abbas Mahmud. 1964. Fi al-Fanni al-Islami. Kahirah: Dar al-Maarif.
Aminuddin, Drs., MPd. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Cet. IV. Bndung: Penerbit Sinar Baru Algensindo Offset.
Braginsky. 1994. Erti Keindahan dan Keindahan Erti dalam Kesusasteraan Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Damshauser,
Berthold. 2012. “Teks, Susastra dan Pertukaran Budaya” dalam Jurnal Kritik. No. 3. Tahun II. Depok: The Intercultural Institute dan Komodo Books.
Fang, Liauw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta:
YOI Halliday dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. terjemahan Asruddin Barori Tou . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mulyadi, Rujiati. 1980. “Rona Keislaman dalam Hikayat Indraputra”. Archipel. Vol 20. De la philologie a l’historie.
Ricoeur, P. 1981. Hermeneutics and The Human Sciences, Essays on Language, Action and Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.
Roolvink, R. 1976. Hikayat Malim Deman. Cet. 11. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD.
Said, Kamaruddin M. 2007. “Orientalist Mind and Post-colonial Mind: the Politics of Reading Hikayat Hang Tuah”. Akademia. Vol. 70. No. 1. Bangi: Faculty of Social Sciences and Humanities Universiti Kebangsaan Malaysia.
Saidi, Acep Iwan. 2008. “Hermeneutika, Sebuah Cara untuk Memahami Teks”. Jurnal Sosioteknologi. Vol. 13. Bandung: Faculty of Art and Design-Bandung Institute of Technology.
Salleh, Muhammad. 2000. Puitika Sastera Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Sikana, Mana. 2009. Estetika di Sebalik Tabir Teori Sastera Melayu Islam. Jurnal Melayu. No. 4. Tahun 2009.
Soedewo, Ery. 2007. “Perbandingan Representasi Pengalaman pada Teks Prasasti Trowulan dan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah”. Medan: Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Sudibyo. 1996. “Keindahan Sebagai Pelipur Lara”. Humaniora. Vol III. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM
Syaifuddin. 2009. “Estetika Sastra Melayu Tradisi Perekat Persahabatan dengan Berbilang Bangsa”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kesusastraan pada Falkutas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Medan:Universitas Sumatera Utara
Talib, Norlaili. 1998. “Konsep Keindahan dalam Pemikiran Orang Melayu: Satu Tinjauan dari Sudut Pengungkapan”. Kertas Kerja Projek Sarjana. Jabatan Bahasa Melayu, Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya.
Taslim, Noriah. 1993. Teori dan Kritikan Sastra Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Toda,
Dami N. 2005. Apakah Sastra?; Kumpulan Esai Kritik Teori Sastra Budaya Mengenang Almarhum Dr. H.B. Jassin. Magelang: Indonesiatera.
Wilkinson, R.J. 1907. Malay Literature. Kuala Lumpur: Goverment Press. ____________.1913. “The Religion of the Malays before Muhammedanism”. Noctes Orientales.
Singapore: Kelly and Walsh. Winstedt, R.O. 1952. An English Malay Dictionary. Singapura: Kelly and Walsh ___________. 1969. A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
==============
Baca juga:
- Hikayat Malin Deman - Minangkabau
- Hikayat Malim Leman di Batak
- Hikayat Malin Deman - Malaysia