Gambar Ilustrasi: MDPI |
RAJA KECIL SIAK DALAM PANDANGAN NETSCHER: BENARKAH BELIAU ORANG MINANGKABAU?
Disalin dari kiriman FB A'Al
Pada akhir abad XVII Sultan Mahmud, yang tampaknya sudah sakit‐sakitan menjadi Raja Johor. Konon dia menolak perempuan, tetapi sebaliknya pada malam hari berhubungan dengan hantu perempuan. Salah satu abdi perempuannya (tidak bisa dikatakan sebagai selirnya) bernama Ence Apong, putri Laksamana, diminta memuaskan nafsu raja secara diam‐diam, namun Ence Apong hanya mau membersihkan tempat tidur raja saja. Pada suatu pagi, tatkala sedang bekerja, Ence Apong menemukan bekas‐bekas hawa nafsu (air mani) Sultan Mahmud, dan karena patuh kepada perintah, Ence Apong menyembunyikan apa yang dijumpainya dengan akibat tidak lama setelah itu dia hamil.
Tetapi Sultan Mahmud tidak mau menerima kelahiran anaknya yang gaib itu. Istri salah seorang bangsawannya, yaitu Magar Sri Rama,[1] yang sedang hamil tua diperintahkannya untuk dibedah perutnya sebagai hukuman bahwa wanita itu tidak melakukan perlawanan terhadap mangkapit yang dipersembahkan bagi raja. Suaminya, yang memberitahu Bendahara Sri Maharaja (yang menjadi raja setelah kematian Sultan Mahmud yang disumpahi oleh Magar Sri Rama) menduduki tahta, menikam raja. Sultan Mahmud dipikul (dijulang) di atas pundak salah satu abdinya untuk dibawa ke mesjid. Dari situlah dalam Hikayat Melayu, dia disebut Marhum Mangkat Dijulang (meninggal ketika sedang dipikul).
Laksamana memikirkan nasib cucunya, anak Sultan Mahmud yang tidak merasa aman berada di dekat raja baru itu, segera membawanya pergi dan menyerahkannya kepada Raja Negara, penguasa Singapura yang sebaliknya kembali menyerahkan anak itu kepada Raja Moar. Dari situ dia dikenal dengan nama Tuan Bujang. Oleh seorang pedagang Minangkabau yang bernama Nakhoda Malim, dia dibawa ke Palembang di mana dia mengawini putri Dipati Batu Kucing, yang disebut Ence Kecik atau Jenamal. Setelah melahirkan seorang putra, dalam sejarah dikenal sebagai Raja Alam, dia bersama pedagang itu berangkat ke istana raja Pagaruyung, di mana dia tampaknya disambut baik dan menerima gelar Yang Dipertuan Raja Kecil.[2]
Raja Pagaruyung membantu Raja Kecil dalam maksudnya untuk menguasai tahta ayahnya, dan memberinya perintah juga kepada semua orang Minangkabau yang tinggal di Siak dan Johor agar membantunya, yang perintahnya dipahatkan pada sebuah lempengan tembaga, sementara dari setiap luhak (daerah) Agam (Pasisir),[3] Tanah Datar dan Lima Puluh seorang bangsawan diperintahkan untuk mengumpulkan dan membawa kawula luhak‐nya.[4] Tampak bahwa Raja Kecil di pedalaman Siak tidak menemui banyak perlawanan. Penduduk yang tinggal di sana (keturunan Minangkabau) lebih banyak tunduk kepada seorang raja yang dibantu oleh Pagaruyung untuk melawan Johor daripada raja asing yang berusaha memungut cukai di kuala.[5]
Setibanya di Sabah Aur, syahbandar Johor di sana menolak mengijinkan Raja Kecil dan pengikutnya lewat, apabila mereka tidak membayar pajak kepala yang harus disetorkan oleh setiap orang yang berlalu. Tampaknya Raja Kecil saat itu tidak memiliki uang, setidaknya terjadi perdebatan tentang pembayaran yang diminta antara dirinya dan syahbandar, di mana Raja Kecil atas dasar keturunannya menolak untuk membayar uang lewat itu. Tetapi ini tidak membantu, dan dia terpaksa membayar.
Saat itu dia memotong seutar tali uncangnya yang terbuat dari emas, yang diserahkan kepada syahbandar sebagai bukti pembayaran dengan ancaman bahwa apabila dirinya (Raja Kecil) menjadi raja di Siak dan Johor, dia akan meminum darah syahbandar itu (uncang adalah sejenis kantung kecil untuk menyimpan sirih, tembakau dan lain‐lain). Kisah ini, yang tidak disebutkan oleh Netscher, bisa menjelaskan bahwa di Siak, kebiasaan ini sekarang tidak lagi berperan.
Dalam laporan Netscher, nasib Raja Kecil diuraikan panjang lebar sampai dia menduduki tahta Siak. Dalam tulisan ini hanya cukup disebutkan bahwa dia pada mulanya berhasil menduduki tahta Johor pada tahun 1717. Setelah itu dia menikah dengan Tengku Tengah, putri sulung Sultan yang diturunkan olehnya, tetapi yang diceraikannya demi adiknya Tengku Kemariah, yang biasanya dikenal dengan nama Mak Bongsu, kemudian sebagai Tengku Poan. Tengku Tengah kemudian menikah dengan seorang pelaut Bugis Daeng Parani dan membujuk saudara tertuanya Raja Suleiman agar bersama suaminya menurunkan Raja Kecil dari tahta. Setelah itu dia akan menjadi Yang Dipertuan Besar dan Daeng Parani diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda.[6]
Setelah banyak konflik dan kerusuhan, Raja Kecil diusir dari Johor dan Riau dan akhirnya dia harus mengungsi ke Siak di mana dia berusaha bertahan dan tinggal di Buantan. Istrinya Tengku Kemariah juga harus ditinggalkan sehingga jatuh ke tangan musuh di Riau. Di sana wanita itu melahirkan seorang putra yang diberi nama Raja Buwang, yang kemuddian dikenal sebagai Sultan Mohamad. Raja Kecil beberapa saat setelah itu mendapatkan kembali istri dan putranya, setelah ia berhasil menebus istrinya melalui perebutan yang nekad dari tangan lawannya, seperti yang dikisahkan oleh Hikayat Melayu atau Hikayat Bugis, sesuai dengan kesepakatan ketika Raja Kecil mengucapkan janji bahwa dia tidak akan mengganggu lagi Raja Suleiman dari Johor.[7]
Setelah beberapa saat Johor dan Siak bisa hidup saling berdampingan, masing‐masing berada di bawah dinastinya sendiri. Setelah Raja Kecil menduduki tahta Siak, dia melaksanakan sumpah yang diucapkannya untuk meminum darah Syahbandar Sabah Aur. Dia memerintahkan syahbandar itu ditangkap dan menyuruh dia dibunuh untuk bisa diminum darahnya. Oleh sekelompok sahabat syahbandar dan dari lingkungan raja, hukuman tersebut diubah sehingga syahbandar tetap selamat dan Raja Kecil bisa memenuhi sumpahnya. Dia membuat luka kecil di jarinya dan setelah itu menggunaan sedikit darah yang menetes dari luka tersebut tetapi juga menetapkan bahwa syahbandar itu dipecat dari jabatannya dan penduduk yang tunduk kepadanya menjadi persembahan bagi Raja Kecil dan kepada setiap orang penggantinya harus menyerahkan 16 orang budak. Adat yang disebut pungut‐pungutan ini sekarang masih ada dan akan diuraikan kemudian.[8]
Di sini tidak perlu menyampaikan lagi pandangan Tuan Netscher, bahwa Raja Kecil yang menaklukkan Siak tidak mungkin putra Ence Apong dan hanya seorang petualang yang mujur, yang telah mengakui dirinya sebagai putra Sultan Mahmud. Putra Ence Apong baru dilahirkan setelah Sultan Mahmud wafat, sementara Raja Kecil pada tahun 1717 telah menguasai Johor (jadi dalam usia 17 atau 18 tahun), terutama setelah menikah di Palembang dan menjadi seorang ayah. Setelah itu, seperti yang terbukti, cukup lama Raja Kecil tinggal di istana Pagaruyung untuk bisa mendapatkan dukungan dari raja di sana. Selanjutnya Raja Kecil yang meninggal pada tahun 1745 saat itu adalah seorang pria yang sangat tua.
Tuan Netscher menduga bahwa Raja Kecil adalah orang yang sama seperti Raja Hitam, seorang Minangkabau yang diusir dari Siak pada tahun 1685. Setelah kematian Raja Kecil, kedua putranya saling menggantikan dua kali, yaitu Raja Alam dan Sultan Mohamad (Marhum Buantan dan Mempura), sampai setelah pembunuhan yang terkenal di Pulau Guntung pada tahun 1759 (suatu tindak kejahatan yang mungkin lebih banyak disebabkan oleh ambisi Kompeni), Raja Alam pada tahun 1761 dengan bantuan Kompeni untuk ketiga kalinya menjadi Sultan, setelah Raja Ismail (putra Sultan Mohamad) yang menggantikan ayahnya setelah kematiannya pada tahun 1760, diusir.
----------
Dinukil dari "Nota Omtrent het Rijk van Siak" oleh Hijsman van Anrooij pada 1885 M. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wilaela, Nur Aisya Zulkifli, dan Khaidir Alimin dan diterbitkan oleh Asa Riau di Pekanbaru pada 2016 M dengan judul "Het Rijk van Siak".
================
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Megat Sri Rama
[2] Pada salah satu riwayat disebutkan bahwa semasa masih bayi ia dibawa ke Pagaruyuang dan dibesarkan dalam lingkungan istana hingga ia dewasa. Salah satu pegangan orang saat ini "Beraja ke Johor, bertuan ke Pagaruyuang" selengkapnya silahkan baca DISINI
[3] Konsep 'Luhak' di Minangkabau tiada sama dengan 'Daerah', serta wilayah Luhak Agam tidak mencakupi Pesisir. Jangan samakan dengan Kabupaten Agam sekarang.
[4] Riwayat mengenai kewajiban membawa kawula oleh para bangsawan tiada dikenal sejarahnya. Terkait 'kebangsawanan' di Minangkabau tiada sama dengan daerah lain. Kekuasaan seorang penghulu hanya pada kamanakannya dalam satu perut. Kemudian kata 'kawula' tiada dikenal di Minangkabau, ianya perkataan 'Jawa' yang padanannya ialah 'Hamba' atau 'Budak'. Tiada pula dikenal atau diketahui sebelumnya bahwa para budak ini dipekerjakan sebagaia tentara oleh induk semangnya.
[5] Pernyataan ini sangat menghasut, seolah-olah orang Minangkabau itu fanatik ke suku. Tiada orang Minangkabau yang fanatik ke suku melainkan menjadikan Syari'at sebagai landasan utama dalam menjalani kehidupan. Orang Minangkabau masa dahulu memandang puak Melayu lain sebagai saudara sebangsa, satu keturunan yakni keturunan Sulthan Iskandar Zulqarnain dan menganut pendirian atau falsafah serupa yakni "Adat Bersendi Syara' - Syara' Bersendi Kitabullah"
[6] Versi sesungguhnya menyebutkan:
Sengketa Cinta Raja Kecik ini adalah sebuah kisah trilogi cinta segitiga tentang Raja Kecik yang saat memerintah Kerajaan Johor mencintai putri penghuni istana Johor saat itu, bernama Tengku Mahbungsu (putri Raja Johor yang digulingkan Raja Kecik). Tetapi dalam percintaan mereka terhalang oleh sang kakak (Tengku Tengah). Tengku Tengah juga mencintai Raja Kecik tetapi konon tidak dengan rasa cinta yang tulus. Sang adik (Tengku Mahbungsu) ingin mengalah dengan meng-ikhlaskan Raja Kecik jatuh ke pelukan sang kakak (Tengku Tengah). Tetapi keinginan Tengku Tengah dihalangi oleh Mak Inang Juara, karena Tengku Tengah diketahui memiliki tujuan yang jahat, dia diketahui bekerja sama dengan Raja Sulaiman untuk menggulingkan Raja Kecik. Mereka ingin membalaskan dendam kepada Raja Kecik karena Raja Kecik adalah orang yang telah menggulingkan tahta ayahnya dan memisahkan mereka dengan sang Ayah. Raja Sulaiman dan Tengku Tengah mendatangi Daeng Perani (kepala kelompok lanun dari Bugis) untuk meminta bantuan menyerang Kerajaan Johor yang diperintah oleh Raja Kecik, dengan perjanjian sebagai imbalannya Daeng Perani diijinkan untuk mempersunting Tengku Tengah sebagai Permaisuri. Perjanjian itu tersebut di sanggupi oleh Daeng Perani dan ia berjanji akan membalaskan dendam Raja Sulaiman dan Tengku Tengah kepada Raja Kecik. Namun persekongkolan itu akhirnya berhasil dipatahkan oleh Raja Kecik. Daeng Perani dan para pasukannya dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Johor dan Datuk Tanah Datar. Daeng Perani tewas. Selengkapnya klik DISINI
[7] Versi sesungguhnya menyebutkan:
Raja Kecik adalah satu-satunya lelaki yang dicintainya, sedangkan Tengku Tengah adalah saudara kandungnya sendiri. Tengku Mahbungsu lalu meminta Raja Kecik untuk mengakhiri Peperangan. Maka demi cintanya, Raja Kecik pun mengabulkan permintaan Tengku Mahbungsu, ia bahkan memutuskan untuk mengalah dengan menyingkir ke Lingga dan kemudian ke Bengkalis untuk menghindari terulangnya perang saudara. Tengku Mahbungsu yg juga terancam pembunuhan oleh Raja Sulaiman akhirnya ikut Raja Kecik ke Bengkalis. Beberapa tahun kemudian Raja Kecik dan Tengku Mahbungsu sepakat menikah, lalu hendak pulang ke Pagaruyung untuk menghadapkan calon isterinya itu ke Bundo Kanduang. Namun ia terpaksa menunda kepulangannya karena didaulat oleh orang-orang besar, para kepala suku, dan para batin disepanjang aliran sungai Siak yg saat itu berkumpul di Bengkalis. Dalam Syair Perang Siak, disebutkan Raja Kecik didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis dan Riau Daratan umumnya. Hal ini bertujuan untuk melepaskan wilayah Riau Daratan dari kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Johor yang telah berubah menjadi Kesultanan Johor Riau / Melayu Riau telah pindah berpusat di tepian Sungai Riouw, pulau Bintan Kepulauan Riau, yang mengklaim berdaulat sebagai pewaris Malaka atas wilayah Riau daratan dan memaksa rakyat Riau daratan agar mengaku sebagai Melayu Riau dan "Beradat Resam Melayu Riau" dan wajib tunduk kepada "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda) Melayu Riau. Selengkapnya klik DISINI
[8] Kisah ini layaknya kisah-kisah dari para pembenci guna menjatuhkan marwah seseorang. Sedemikian bejatnyakah Raja Kecil sehingga bertindak lalim semacam itu. Lazimnya para orientalis yang memandang buruk dan rendah serta tak beradabnya Bangsa Timur, demikianlah cara mereka dalam menebar kebohongan. Baiknya dicari pembanding untuk kisah ini.
=================
Baca Juga: