Ilustrasi Foto: Suara Riau |
Disalin dari kiriman FB Sailan Guide
LOBUO TUO MINANGKABAU
(Sejarah awal mula terisolasinya Rantau Subayang Kampar Kiri)
LOBUO TUO..
Di dalam dealek lokal Rantau Kampar Kiri Kata "Lobuo" adalah berarti " Jalan Raya" dari kata Lobua ini akan melahirkan kata "Palabuon" atau Pelabuhan.[1] Kata Palobuan adalah berarti " Tempat Transit atau tempat Singgah bagi para pejalan atau traveler. Sesuai dengan kondisi geografis dan kontur kewilayahan Rantau Kampar Kiri yang sebagain besar adalah dataran rendah, karena terletak di Patahan Halaban. Patahan Halaban ini membentuk dua bentang alam kewilayahan yakni Dataran rendah dan Dataran Tinggi. wilayah dataran rendah terletak dari wilayah Ujung Bukit (Tajung Belit/gema) sampai ke Hilir yakni Negeri Mentulik. Sedangkan dari Ujung Bukit menuju hulu sungai Sibayang-Singingi-Sitingkai terletak di Pinggang Patahan Halaban sehingga kontur alamnya berbukit-bukit.
Jalan Penghubung antara wilayah hilir dan perbukitan adalah "Batang Sungai Kampar Kiri yang tersambung dengan anak-anak sungai utama yakni Sibayang-Singingi dan Sitingkai. Batang sungai inilah yang disebut "LOBUA".
Sungai Sibayang adalah Sungai Utama di Rantau Kampar Kiri, sehingga Rantau Kampar Kiri itu sering di sebut dengan Nama "Antau Sibayang". Penyebutan ini karena Pelabuan/Pelabuhan besar pada masa dahulunya adalah " Palobuan Koto Tenggi" yang terletak di Muara Sungai Siontan, sebelum Kota Pelabuhan ini berpindah ketepi sebelah kanan mudik Sungai Sibayang yang disebut Palobuan "KUNTU TERABAH". Biasa disebut Palobuan KUNTU saja, dalam dokumen para sejarawan ada juga yang menyebutnya Pelabuhan KUNTU DARUSSALAM MINANGKABAU TIMUR.
Di Batang Sungai Sibayang (Lobua Tuo Minangkabau) terdapat dua "PANGKALAN" Kata Pangkalan ini berasal dari dealek lokal yakni Pangkae dan Jalan. Kata Pangkaegh atau Pangkal berarti "Awal" dan Jalan berarti "Cara untuk mencapai tujuan".
Pangkalan yang terdapat di batang Sungai Sibayang adalah " PANGKALAN SOGHAI ( Serai), Pangkalan ini terdapat di hulu batang Sibayang kiri/Kidaegh. Sedangkan PANGKALAN KAPE (Kapas), Palobuan Pangkalan Kapas terletak di hulu sungai Sibayang Kanan, disebut Juga hulu Batang Bio. Sedangkan di hulu Sungai Singingi (Juga Lobua Tua Minangkabau) juga terdapat sebuah negeri yang bernama PANGKALAN INDARUNG/NAWUANG. Sedangkan di hulu Batang Sitingkai tidak ada nama negeri "PANGKALAN" sebab hulu batang Sitingkai di sebelah kiri ( Batang Kotuo) berdekatan dengan hulu Batang Sibayang kanan/Batang Bio di Negeri Ludai/Pangkalan Kapas. Sedangkan hulu batang sitingkai disebelah Batang Ulak yakni negeri Baluang berdekatan dengan Negeri PANGKALAN KOTO BARU (Lobua Tuo Minangkabau) di hulu Batang Mahat di Kampar Kanan.
Dalam pemakaian dealek Lokal Rantau Kampar Kiri dapat di ketahui bahwa perbedaan antara "Lobua" dan Jalan" adalah Kata Lobua adalah sebuah sarana Jalan untuk trasportasi dimana Jalan tersebut dapat dilalui dengan sarana Trasportasi atau kendaraan yakni " Perahu" dalam dialek Lokal di Sebut " Pighau" atau "Piyau".
Sedangkalan Jalan adalah sebuah sarana jalan yang yang hanya dapat dilalui dengan sarana jalan darat yakni "Kaki" sehingga kata Jalan selalu identik dengan kaki manusia yakni "Jalan Kaki". Sementara Perahu tidak memiliki kaki. Pangkalan adalah sebuah Pelabuhan dimana Orang-Orang akan menukar sarana Transportasinya jika sampai disitu, orang-orang dari pegunungan Minangkabau akan menukar kebiasaannya berjalan dengan kaki atau kaki kuda [mengendara kuda] dengan menggunakan Lambung perahu atau Kapal, sedangkan Orang-orang Malayu (Orang-orang yang biasa berlayar/balayu) akan menukar kebiasannya menjadi berjalan dengan kaki atau menaiki kaki Kudo Boban.
Mengapa Rantau Kampar Kiri, di sebut sebagai LOBUO TUO MINANGKABAU UTAMA. Karena ada tiga PANGKALAN UTAMA ( PELABUHAN TRANSIT) menuju Ibu Kota Minangkabau (PAGARUYUNG) Terdapat di RANTAU KAMPAR KIRI. Pangkalan tua Minangkabau tersebut yaitu :
1. PANGKALAN SERAI
2. PANKALAN KAPAS
3. PANGKALAN NAWUANG/INDARUNG.
Wartawan Senior Provinsi Sumatera Barat, Fachrul Rasyid HF mengatakan, jalur perdagangan tertua yang menghubungkan Minangkabau dengan dunia luar adalah melalui Sungai Kampar, tulisnya dalam Artikel ‘Sumatera Barat Berkiblat ke Timur’ dalam Majalah Rantau Edisi Februari 2010. Sungai Kampar yang paling utama dimasa lalu itu adalah Batang Sungai Kampar Kiri.
Semua anak Sungai dari tiga Pangkalan Tuo ini akan bertemu di Negeri Lipat Kain, maka Negeri Lipat Kain ini dahulunya menjadi Palobuan transit bagi ketiga sungai. Setelah menghilir lebih kurang 3 hari menghilir dengan Perahu Kajang maka Batang Kampar kiri akan bertemu dengan muaranya yakni Muara Langgai.
Muara Langgai adalah Muara Sungai Batang Kampar Kiri akan bertemu dengan sebuah wilayah yang disebut " Ona Tanjuang Bungo" di Ona/Ranah Tanjung Bungo itu juga bertemu muara Sungai Sigati dan Muara Sungai Batang Kampar Kanan, ditempat yang sama. Di pertemuan tiga sungai ini akan ada sebuah negeri Tuo dahulu namanya Tambak yang kemudian hari berkembang menjadi Negeri LANGGAM.
Negeri Langgam adalah palobuan utama bagi masyarakat Adat Kampar sebelum melalui Batang Utama Sungai Kampar menuju Laut (Selat Malaka). Sebelum sampai keselat Malaka sebagai (PALALUAN) maka Perahu-Perahu Dagang pada masa lampau akan merapat pada sebuah Palobuan yang disebut TOLUAK MANTIE (TELUK MERANTI). Dari Teluk Meranti perahu Balungkang atau Jung-Jung akan melayari Selat Sempit untuk sampai ke Kota Malaka ataupun ke Kota Tumasik[2] sebagai PALOBUAN UTAMA (BANDAR DAGANG). Bagi Bangsa Malayu termasuk Bangsa Malayu dari Tanah MINANGKABAU.[3]
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan menyebutkan, bukti sejarah yang ditemukan di Sumbar, membuktikan sudah ada peradaban di sekitar sungai-sungai tersebut sejak abad ke-7 masehi. Sungai-sungai tersebut punya peranan besar dalam peradaban awal di Sumbar sebagai jalur transportasi dan perdagangan. Peranannya terus berlanjut ke masa setelah Islam masuk dan pada Zaman Hindia Belanda,” katanya.
Sejarah yang panjang di sepanjang jalur sungai, membuat terjadi pembauran budaya dan juga bahasa. “Salah satu bukti budaya yang bisa kita lihat sampai sekarang, adanya kemiripan logat dan penggunaan kata tertentu di daerah-daerah sepanjang jalur sungai,”.
Sejarah panjang Jalur rempah dan emas ini telah memberikan kemajuan dan Kemakmuran bagi Rakyat Rantau Kampar Kiri pada masa lampau. Rakyat Rantau Kampar Kiri menikmati semua kemewahan dan kemegahan pada zaman itu, emas dan permata, ilmu dan peradaban, persaudaran dan pembauran kebudayaan di Rantau ini dibawah oleh para pedagang, para cendikiawan, para bangsawan dan ulama yang hilir mudik antara Selat Malaka dan Bumi Minangkabau.
SAKALI AIEGH DALAM TITIAN BA'ANJAK
(Jalan mengalahkan Lobua)
Perdagangan di jalur Sungai Kampar Kiri terutama Sungai Sibayang dan Sungai Sitingkai mulai sepi setelah penjajah Belanda membangun jalan Kelok Sembilan tahun 1932. Setelah menguasai pelabuhan sungai Pangkalan Koto baru, Belanda membuka jalan di sepanjang Sungai Kampar Kanan, dari Danau Bingkuang ke Lipat Kain, hinggga ke Logas. Dari Logas Pemerintah Belanda membuka Jalan menuju Teluk Kuantan di tepi Sungai Kuantan/Indragiri.
Pada Masa kekuasaan Kekaisaran Jepang yang menguasai Kota Pekanbaru melalui Sungai Siak, pemerintah Pendudukan Jepang membelah Pulau Sumatera dengan membuka Jalan Kereta Api dari Kota Pekanbaru menuju Muaro Sijunjung, Jalur ini membuka isolasi Jalan darat dari Kota Pekanbaru menuju Sumatera Barat, semenjak itu Model transporasi darat mulai diperkenalkan kepada masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri. Sebab disamping membangun Jalan kereta api, Jepang juba terpaksa membangun Jembatan, dan terowongan untuk menembus bukit.
Pada masa kekuasaan tentara Jepang ini terjadi perubahan Jalur perdagangan dimana Perdagangan jalur Sungai Kampar Kiri melalui Langgam dan Teluk Meranti ke Selat Melaka berhenti. Berganti dengan jalur Perdagangan dari Sungai Kampar ke Bandar Darat utama yakni Kota Senapelan/ Pekan Baru (Pokan Baghu).
Pada masa kekuasaan tentara Jepang dan awal kemerdekaan Repubilik Indonesia, jalur transportasi darat ini di Rantau Kampar Kiri hanya sampai ke Negeri Lipatkain (Negeri Pertemuan Sungai). pada masa ini Negeri Lipatkain menjadi PALOBUAN BESAR. Nama Palabuan itu adalah UJUANG LOBUA, yang terdapat di MUARA SUNGAI SITINGKAI.
Pada masa awal kemerdekaan ada dua sungai yang belum tersentuh jalan darat, yakni sungai Sitingkai dan Sungai Sibayang. maka Pada masa ini palabuan masih ada yakni PALOBUAN KUNTU Dan Palobuan Ujung Lobua/Lipatkain. Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru mulai di Buka sarana Jalan darat menuju Hulu Sungai Sibayang dan Hulu Sungai Sitingkai. Pembukaan Jalan daratmenuju hulu sibayang pada masa ini hanya sampai ke negeri Ujung Bukit yakni tanjung belit tanpa sarana jembatan. Sedangkan Jalan darat menuju hulu Sitingkai baru dibangun pada tahun 1980-an pada masa kekuasaan Bupati dan Gubernur Riau bapak H.R SUBRANTAS.
Pada Tahun 1980-1983 jembatan besar di bangun di Negeri Lipat Kain, sehingga Rakit penyeberangan, Rakit Kociek (Muara Sitingkai) dan Rakit Godang (jembatan penyeberangan menuju Sungai Singingi Kota Teluk Kuantan selesai di Bangun. Jembatan ini meniadakan isolasi Jalan darat, sehingga wilayah yang terisolasi hanya tinggal negeri-Negeri di Sepanjang Batang Sibayang dan satang Sitingkai.
Semenjak tahun 1980-an tersebut telah dibuka jalan darat menuju Kuntu sampai Tanjung Belit di batang Subayang, serta Lubuok Oguang (4 Koto Sitingkai) sampai ke Muara Selaya di hulu Sitingkai (Batang Kotuo). Semenjak itu jalur Lobua Tuo Sungai Sibayang dan Sitingkai mulai sepi, beralih menggunakan jalan darat dengan sarana trasportasi Mobil dan Motor, walaupun dengn kondisi badan jalan yang sangat buruk.
Semenjak tahun 1980-an itu Palobuan Tuo yang masih berfungsi yakni Palobuan Tuo KUNTU di Dalam Batang Subayang, Sampai tahun 2000-an Pemerintah Kabupaten Kampar membangun Jembatan Besi untuk membuka isolasi wilayah menuju hulu Sibayang. Pembangunan Jembatan tersebut mengakhiri Riwayat "PALOBUAN KUNTU TURABA".
AKHIR RIWAYAT LOBUO TUO
Semenjak zaman REFORMASI tahun 1999, zaman DEMONTRASI tahun 2000-tahun 2014 serta Zaman DE RADIKALISASI tahun 2019- s/d 2024. Usaha usaha untuk membuka isolasi wilayah di hulu sungai Sibayang dan hulu sungai Sitingkai terus dilakukan. Pada masa ini PALOBUAN yang masih tersisa adalah " PALOBUAN GEMA" DI UJUNG BUKIT. Palobuan ini adalah dipergunakan oleh masyarakat adat yang masih bertahan di dalam suaka marga satwa BUKIT RIMBANG-BALING. Di dalam Hutan Tutupan negara ini terdapat Dua PANGKALAN TUO MINANG KABAU yakni PANGKALAN SOGHAI DAN PANGKALAN KAPE.
Menurut Penulis, memang akan sangat berat NEGARA untuk membuka status HUTAN TUTUPAN yang dibuat tahun 1982, melalui surat keputusan Gubernur Riau tersebut. Kawasan Tutupan SM Rimbang Baling ini telah menjadi Isu Nasional dan Internasional. Walaupun sudah ada Kebijakan Mentri Lingkungan Hidup untuk memberikan Pinjam-Pakai kawasan untuk pembukaan badan jalan untuk kepentingan masyarakat dengan luas dan panjang yang terbatas, serta tidak layak sebagai Jalur transpotasi darat untuk kepentingan dagang dan ekonomi, hanya untuk kepentingan pengawasan Hutan, Penelitian, Pariwisata serta kepentingan darurat lainnya. Sepertinya kebijakan Negara atas Sibayang Hulu itu untuk kedepannya akan tetap mempertahankan "PALOBUAN GEMA".
Berbeda kasus dengan Jalan darat yang terletak di hulu sungai Sitingkai, dimana badan jalan tersebut adalah Badan Jalan Provinsi Riau yakni Jalan Lintas Lipatkain tembus Kabupaten 50 Koto di Sumatera Barat. Badan jalan tersebut memang sudah dibangun semenjak tahun 1980-an dengan nama Jalan Teratana. Usaha-usaha masyarakat Rantau Kampar Kiri untuk peningkatan kondisi badan jalan memang suah diperjuangkan sangat lama. Berbagai macam alasan diutarakan oleh para pemangku kepentingan, kendala-kendala bagi peningkatan badan jalan menjadi Aspal atau beton, mulai dari soal Kewenangan, Keuangan daerah sampai alasan sosial politik dan ekonomi.
Dalam sebuah temu-muka penulis dengan seorang Pejabat di Kabupaten Kampar dalam sebuah penyampaian aspirasi rakyat Rantau Kampar Kiri oleh Himpunan Pemuda pelajar dan Mahasiswa Rantau Kampar Kiri (HIPPEMARKI) pada tahun 2000-an. Penulis bertanya kepada si pejabat tersebut "Apa Alasan Pemerintah Daerah Kampar ataupun Pemerintah Provinsi Riau terasa enggan untuk peningkatan kondisi badan jalan Lintas Lipatkain -Sumbar yang hanya sepanjang lebih kurang 70-an kilometer tersebut.
Pejabat tersebut menjawab, salah satu alasannnya adalah "Sosial Politik dan sosial ekonomi " Dimana jika jalan tersebut dibuka maka masyarakat Rantau Kampar Kiri akan beralih Kiblat sosial ekonomi ke Sumatera Barat. Khususnya Kota Payakumbuh dan Kota Bukit Tingggi.
Alasan tersebut cukup membuat penulis menjadi kaget, alasan tersebut menjadikan penulis kembali mengingat sejarah masa lampau Rantau Kampar Kiri pada era "LOBUA TUO MINANGKABAU". Pada masa lalu rute sungai yang menjadi sarana utama antara bumi Minangkabau dengan Selat Malaka yang menjadikan Rantau Kampar Kiri berada di tenga-tengah Jalur Rempah-Emas ibarat sebuah kota ditengah-tengah jalur Sutra Emas di Asia tengah disitu " Kemajuan dan Kemakmuran " Rakyat Rantau Kampar Kiri pernah terjadi. MENGAPA DIHALANGI TUAN.........!
UJUANG LOBUO.........11/1/2022
PENULIS
==================
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Lobuo dalam Bahasa Minangkabau Umum 'Labuah' yang berarti 'jalan' dapat mengacu kepada jalan di depan rumah, jalan kampung, jalan raya yang menghubungkan antara negeri/kota/provinsi.
[2] Tumasik=Temasek=Singapura
[3] Baca DISINI
[4]