Gambar: encyclopediofbritanica |
Disalin dari Langgam ID
Perang Padri dalam kebanyakan buku teks sejarah nasional Indonesia ditulis sebagai perang kaum agama menentang kebiasaan perjudian, sabung ayam, menghisap candu/ madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan persoalan adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Tema ini terlihat luas. Namun salah satu agenda yang menarik dicermati adalah kebiasaan menghisap candu/madat yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau masa itu. Setelah dibaca aneka sumber ada secuil kisah menarik untuk dicermati, kisah yang lebih mirip perang candu.
Di negeri Cina, Perang Candu atau Perang Anglo-Cina, berlangsung dari tahun 1839 – 1842 dan 1856– 1860. Perang ini bermula akibat disegelnya gudang candu Britania oleh Tentara Qing dibawah pimpinan Lin Zexu dan tentara Qing juga membuang 1 juta candu ke laut. Lin Zexu juga mengirim surat damai ke ratu Victoria walaupun tak pernah sampai ke beliau, tulis William Travis Hanes, dalam bukunya Opium Wars: The Addiction of One Empire and the Corruption of Another (2002).
Cina kalah dalam perang ini. Akibatnya setelah Perjanjian Nanjing dan Perjanjian Tianjin ditandatangani, Hong Kong, Macau, dan Taiwan diserahkan kepada Britania Raya, Prancis, dan Portugis.
Jika dilihat dari rentang waktu Perang Candu di Cina, Minangkabau lebih jauh mengawalinya, yaitu melalui tokoh-tokoh yang termasyhur semasa Perang Paderi. Siapa lagi kalau bukan Tuanku Imam Bonjol dan sahabat-sahabatnya.
Perdagangan Candu di Minangkabau
James Rush, dalam bukunya Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910 (2000) memberi informasi, bahwa candu merupakan komoditi yang legal diperdagangkan, yang dimonopoli dan dikontrol oleh penguasa Kolonial.
Akan halnya perdagangan candu di Minangkabau bemula dari kebijakan perusahaan dagang Hindia Belanda alias Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Pada tanggal 9 September 1792, VOC mengeluarkan kebijaksanaan perdagangan, yang isinya adalah liberalisasi perdagangan. Setiap pegawai VOC atau pun tidak, dan bangsa apa pun juga, bebas datang untuk berdagang di Sumatra Barat.
Semua boleh diperdagangkan kecuali alat-alat perang dan lada yang tetap dipegang oleh VOC. Berdagang candu pun boleh, asal candunya dibeli di Batavia dan dari perusahaan yang ditetapkan Belanda, tulis Rusli Amran dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, (1981:334). Candu dibawa dari Padang dan Pulau Cingkuak. Salah satu bangsa pedagang candu terbesar adalah bangsa Cina.
Perdagangan candu ini mendapat perlindungan dari penerus VOC, yaitu pemerintah kolonial Belanda. Para pedagang candu, terutama bandar besar mendapat keistimewaan. Sejak mendapat lisensi penjual utama candu di Hindia Timur tahun 1754, Belanda bertanggung jawab mengontrol penjual-penjual opium grosiran yang kebanyakannya dimiliki oleh saudagar-saudagar Cina yang kaya.
Intensifkasi perdagangan candu ke dalam masyarakat semakin terlihat saat Residen Padang dijabat oleh James Du Puy. Du Puy menyodorkan dokumen perjanjian kontrak kepada para pemuka adat. Salah satu isi perjanjian itu adalah agar “Pemimpin-pemimpin rakyat harus menjalankan lagi peraturan-peraturan mengenai penjualan candu (amfioempacht) dan untuk ini mereka mendapat bayaran uang,” tulis Rusli Amran, (1981:371).
Sementara, gudang-gudang opium di Pariaman, semakin gencar mengirim opium ke pelbagai pasar di Minangkabau. Belanda juga membuat kontrak dengan bandar candu. Kontrak itu berisi jaminan kepatuhan bahwa para bandar untuk mengambil opium hanya dari Belanda.
Gudang opium lainnya ada di kawasan Muaro Padang. Di sana ada empat orang saudagar besar Cina di Padang saat itu, yakni Lie Gieng, Lie Matjiaw, Lie Sing dan Hoi Atjouw. Saudagar Cina ini juga pemegang pacht (kontrak) pengedaran candu, serta penarikan pajak pasar dan cukai pelabuhan. Untuk melindungi para bandar tersebut Belanda juga memberi jabatan Letnan kepada salah seorang dari komunitas Cina itu, tulis Eko Yulianto dkk (Tim Penulis BI) dalam buku Mengawal Semangat Kewirausahaan: Peranan Saudagar dalam Memajukan Roda Ekonomi Sumatera Barat (2018:72).
Dari cara berdagang seperti ini, jelas Belanda bermain menang saja. Mereka mendapat keuntungan besar sebagai penyuplai utama. Keuntungan berasal dari hasil penjualan candu dan pajak-pajak penjualan.
Respon Padri
Berdasarkan cerita di atas, candu dengan jenis opium mulai diperdagangkan secara bebas di pasar-pasar Minangkabau semenjak akhir abad ke-18. Dampaknya tentu saja negatif bagi rakyat. Kebiasaan madat mulai tumbuh di masyarakat. Tidak hanya masyarakat kebanyakan, para penghulu adatpun terpapar kebiasaan buruk itu. Dari sinilah bermula perjuangan memberantas kebiasaan menghisap candu/madat yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau masa itu.
Pihak Padri tentu saja resah dengan situasi tersebut. Pada Desember 1824 merekapun membuat perundingan dengan pihak belanda yang dimediatori oleh saudagar Belanda Van Den Berg. Dari kalangan Padri langsung dihadiri oleh Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Itam dan Tuanku Nan Gapuak, serta saudagar Paderi yang bernama Peto Magek, sebagaimana ditulis Eko Yulianto (2018:72).
Sebenarnya itu tidak mirip perundingan. Pihak Padri justru hanya meminta bantuan Belanda untuk secara bertahap melarang menghisap candu dan mengadu ayam. Permintaan ini tidak diindahkan sampai akhirnya terjadi perjanjian Masang antara Padri dan Belanda pada 15 November 1825. Setelah perjanjian Masang, Belanda berjanji akan mengendalikan perdagangan candu agar tidak terlalu jauh merusak masyarakat Minangkabau.
Respon lainnya terjadi beberapa tahun kemudian. Tuanku Nan Cerdik salah satu pentolan Padri di Pariaman mulai berperang melawan perdagangan candu ini pada tahun 1829. Tuanku Nan Cerdik awalnya bekerja sama dengan Belanda, namun pada akhirnya ia mulai memberi perlawanan demi melihat kerusakan yang terjadi akibat perdagangan candu ini. Tuanku Nan Cerdik menyuruh bunuh orang-orang Cina penjual candu, sumber pemasukan uang Belanda. Belanda marah dan mulai melancarkan tuduhan untuk memojokkan Tuanku nan Cerdik.
Di antara tuduhan yang dialamatkan kepada Tuanku Nan Cerdik adalah bahwa ia diduga telah membunuh orang Cina berkaitan dengan bisnis candu di Pariaman. Tak tanggung-tanggung, Belanda menjanjikan hadiah ḟ1.000 (seribu gulden) kepada siapa yang dapat menangkap Tuanku Nan Cerdik dari Naras, demikian kata J.C Boelhouwer dalam bukunya Kenang-kenangan di Sumatera Barat: selama tahun-tahun 1831-1834 (1986:45).
Artinya, perang candu di Minangkabau (Sumatera Barat) bukanlah “perang dagang” langsung seperti perang candu di Cina. Perang ini sesungguhnya berawal dari niat pemimpin Padri agar rakyat hidup menurut ajaran agama yang sebenarnya. Agar terbebas dari kebiasaan yang tidak baik seperti berjudi, sabung ayam dan mengisap barang haram, candu atau opium yang dijual Belanda itu.