Gambar: viamichilin |
SEJARAH SINGKAT KESULTANAN KUALUH - LEIDONG
Raja-raja Asahan, Bilah, Kota Pinang, Kualuh dan Panai mempunyai hubungan keluarga. Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah dengan adiknya sendiri (mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution).[1] Batara Sinomba dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri tersebut menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang bernama Siti Onggu.
Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan agar putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil. Dua putra Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan Sultan Aceh yang kebetulan lewat di situ.
Tentara Aceh tersebut ternyata mempunyai masalah dengan Batara Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba terbunuh, kemudian diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu. Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu. Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai mengadu ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan Aceh mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam pertandingan dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua.[2] Siti Onggu boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki harus menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan seorang putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil (Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak).
Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah masuk Islam, Haro-haro bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan Bahu Kiri.
Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam (1771). Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini, Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh Asahan sendiri.
Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kawin daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja di Bedagai.
Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali) dengan Raja Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan Raja Ishak menjadi Raja muda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong. Maka dinobatkanlah Raja Ishak menjadi Sultan di negeri Kualuh bergelar yang dipertuan Muda, pada tahun 1829.
Ketika yang dipertuan Muda Ishak mangkat Baginda meninggalkan putra dan putri. Untuk menggantikan marhum yang dipertuan Muda Ishak, dinobatkanlah Tengku Ni’mat menjadi Sultan dinegeri Kualuh dan Leidong. Setelah Tengku Ni’mat Syah menikah dengan permaisuri dan mempunyai seorang putra, dinamai Tengku Biyong. Sesudah Tengku Biyong berumur lebih kurang 6 tahun, berangkatlah Baginda dan permaisuri membawa anakanda Baginda ke Mekkah. Selain dari pada meyempurnakan rukun Islam yang kelima. Baginda menyampaikan juga nazar dan kaul untuk putranya.
Sejak itu Baginda bergelar Tengku Alhaji Abdullahsyah dan putranya Tengku Biyong bergelar Tengku Alhaji Muhammadsyah. Setelah selesai daripada mengerjakan haji kembalilah Baginda dan Permaisuri serta putranya ke Kualuh. Tiada lama kemudian dari pada itu, mangkatlah Permaisuri (Tengku Tengah), dimakamkan di Singgasana. Sesudah Permaisuri mangkat, Baginda beristri pula dua orang. Dari kedua istri itu Baginda memperoleh empat orang putra. Tak lama kemudian yang dipertuan Tengku Alhaji Abdullahsyah mangkat pada 29 hari bulan Rabi’ul akhir 1299 H (1882 M) dimakamkan di Kampung Mesjid. Ketika ayahandanya mangkat, Tengku Biyong bergelar Tengku Alhaji Muhammadsyah, putra mahkota dari kerajaan Kualuh dan Leidong, masih muda, karena itu belum ditetapkan Governement Hindia Belanda menjadi Raja.
Setelah diadakan musyawarah dengan orang-orang besar negeri Kualuh serta menimbang menurut adat negeri maka diangkatlah Tengku Uda Negeri Kualuh untuk menggantikan sementara Tengku Alhaji Muhammadsyah sembari menunggunya setelah dewasa. Setelah dewasa, sesuai dengan hasil musyawarah orang-orang besar Negeri Kualuh, maka digantikanlah tahta kerajaan oleh putra mahkota yang dipertuan Tengku Alhaji Muhammadsyah. Saat Baginda sudah dinobatkan menjadi Raja Kualuh, baginda belum mempunyai Permaisuri. Di dalam suatu musyawarah orang-orang besar di negeri Kualuh mempunyai suatu ketetapan untuk meminang putri dari Tengku Pangeran Nara Deli (Tengku Sulung Laut) Bedagai. Setelah selesai perkawinan Agung itu kembalilah Baginda membawa Tengku Zubaidah dengan segala pengiringnya ke Kualuh. Seraya ditabalkan menjadi Permaisuri dan diberi gelaran Tengku Puan.
Di kampung Mesjid sebelumnya kedudukan Kesultanan pindah ke Tanjung Pasir, dari Tengku Puan yang dipertuan Alhaji Muhammadsyah memperoleh putra-putri, yaitu: Tengku Randlah kawin dengan Tengku Mahsuri dari Sultan Mahmud Langkat. Tengku Mansyursyah, Tengku Besar Negeri Kualuh atau putra Mahkota. Tengku Kamilah kawin dengan Tengku Sahmenan, Putra dari Tengku Alang Yahya, Gep. Regent van Asahan. Tengku Salmah kawin dengan Tengku Ibrahim, Tengku Seri Maharaja Binjei. Dan yang terakhir adalah Tengku Darmansyah. Di masa kepemimpinan Tengku Alhaji Muhammadsyah lah ada berkembang cerita tentang sosok Tengku Raden.
Putra yang tertua dari yang dipertuan, ialah Tengku Mansyursyah. Setelah Tengku Mansyursyah tamat di H.I.S Tanjung Balai, beliau pergi ke Betawi melanjutkan pelajaran. Dengan besluit Gubernement tgl 10 Mei 1916 No. 25 Tengku Mansyursyah diangkat menjadi Tengku Besar. Tengku Mansyursyah merupakan Raja terakhir di Kerajaan Kualuh dan Leidong.
Tulisan di atas dikutip dari skripsi berjudul "Nilai Budaya Legenda Tengku Raden di Masyarakat Kualuh - Leidong" tulisan Rahmad Fadhlan Syahdi dari Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu, Departemen Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara, Medan, 2013.
Tautan ke sumber asli:
Baca juga:
Catatan Kaki:
[1] Adik sendiri dalam perspektif Minangkabau mengacu kepada anak perempuan dari saudara perempuan ibu. Atau dalam bahasa yang lebih mudah difahami orang sekarang, sepupu perempuan dari pihak ibu. Dalam Adat Minangkabau, anak dari saudara perempuan ibu ialah saudara sendiri, perlakuan sama dengan saudara kandung. Yang membedakan ialah kewajiban dalam hal Syari'at.
[2] Kisah mengadu ayam ini perlu untuk dikritisi mengingat Kesultanan Aceh merupakan kesultanan yang mengamalkan Syari'at Islam secara ketat dan menjadi dasar dari Qanun Kesultanan.
Tambahan dari kolom komentar oleh @Mara Siregar
C. Kedatangan Sultan Batara Sinombah dari Minangkabau
Selama suku Batak dari Marga Dasopang dan Marga Tamba itu berkuasa, timbul percekcokan bahkan sering terjadi perkelahian antara kedua suku, karena masing-masing ingin menguasai daerah itu. Karena perselisihan tak dapat diselesaikan, maka mereka sepakat suapaya kekuasaan diserahkan pada siapa pendatang di daerah itu. Mereka pun sama-sama mencari orang yang mampu memimpin daerah itu. Dalam usaha mencari siapa yang akan diangkat jadi pemimpin, kala itu kedua suku tersebut menemukan seorang pendatang bernama Batara Guru Pinayungan. Sesuai ikrar, maka Batara Guru Pinayungan diangkatlah menjadi raja dan mengayomi seluruh masyarakat termasuk warga di luar kedua suku besar tersebut.
Sultan Batara Sinombah alias Batara Guru Gorga Pinayungan bersama saudaranya Batara Payung dan saudara tirinya perempuan Putri Lenggani meninggalkan Negeri Pagaruyung pergi ke daerah Mandailing. Dalam perjalanannya, Batara Payung memutuskan untuk tinggal di Mandailing dan menjadi asal-usul raja-raja di daerah itu. Sedangkan Batara Sinombah dan Puteri Lenggani meneruskan perjalanannya sampai ke Hotang Mumuk (Pinang Awan). Batara Guru Pinayungan memiliki kesaktian yang tinggi. Dia datang dari Pagaruyung melayang dan terdampar di Kotapinang. Sultan Batara Sinombah merupakan keturunan dari alam Minang Kabau Negeri Pagaruyung yang bernama Sultan Alamsyah Syaifuddin.
Setelah diangkat dan didaulat sebagai raja, Batara Guru Pinayungan menjadi raja dan bertempat tinggal di Kotapinang. Saat itu Lingga Gani ikut bersamanya memimpin desa kecil tersebut. Sedangkan Batara Guru Payung berpisah dari mereka dan pergi menuju tanah Mandailing bersama seekor anjing bernama Sipagatua.
Berdasarkan sejumlah bukti sejarah berupa kuburan dan sebagainya, diperkirakan Kotapinang telah berdiri sejak 250 tahun lalu. Menurut Hj Tengku Aznah seorang tetua di daerah itu, asal nama Kotapinang sendiri diambil dari kata Huta Pinangaon, yang artinya pinang yang mengawan atau pinang yang menjulang sampai ke awan. Pinang itu menurut cerita tumbuh di depan istana kesultanan Kotapinang.
Raja Pinang Awan (Kotapinang) Batara Sinombah (Marhom Mangkat Di Jambu) dari perkawinannya dengan permaisuri bermarga Dasopang memperoleh 2 orang putera dan seorang puteri bernama SITI ONGGU (Puteri Berinai). Kemudian ia kawin lagi dengan seorang hambanya bermarga Tamba dan memperoleh seorang putera. Wanita hamba ini dapat mempengaruhi Batara Sinomba agar puteranyalah yang akan menggantikan kelaksebagai raja sehingga kedua orang putera raja dari Ibu Gahara itu lalu diusir. Akhirnya mereka minta tolong kepada Sultan Aceh yang balatenteranya lewat di situ. Sultan Aceh lalu mengirim pasukan dipimpin Raja Muda Pidie. Pasukan Aceh lalu membunuh Batara Sinomba dekat sebuah pohon Jambu, dan mengangkat kedua orang putera raja dari ibu gahara itu sebagai raja disana, tetapi sebagai balas jasa mereka mengambil Siti Onggu sebagai isteri Sultan Aceh. Anak Sultan Aceh dari Putri Kotapinang yang bernama Sultan Jalil inilah kelak yang mendirikan Kesultanan Asahan.
D. Kesimpulan
Masyarakat asli wilayah Kotapinang adalah suku Batak dari Marga Dasopang dan Marga Tamba. Akibat konflik berkepanjangan antar kedua marga ini yang disebabkan keduanya ingin memerintah di wilayah ini, maka disepakati untuk mencari raja dari kaum pendatang yang dapat mengayomi mereka secara adil. Kedatangan Batara Sinombah yang merupakan suku pendatang Minangkabau dan berkekuatan sakti menarik minat kedua marga suku Batak itu untuk mengangkatnya sebagai Sultan yang memerintah wilayah Kotapinang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penduduk asli Kotapinang adalah suku Batak marga Dasopang dan Tamba, sedangkan keturunan Sultan yang berasal dari Minangkabau merupakan suku pendatang yang jumlahnya terbatas. Sehingga, pada hakikatnya budaya Kotapinang bukanlah budaya Melayu, melainkan perpaduan budaya dari masyrakat yang Batak dan Sultan yang Minangkabau