Sejarah Kolonianis J4w4 di Lampung


Sejarah Transmigrasi

Bagelen adalah sebuah nama desa yang dipercayai masyarakat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sebagai cikal bakal daeral asal-usul masyarakat Purworejo. Nama daerah yang berjarak sekitar 50 km sebelah utara kota Yogyakarta itu sejak tahun 1900-an tak hanya dikenal di Pulau Jawa, tetapi juga di Provinsi Lampung.
Itu karena pada tahun 1905 pemerintah Belanda memindahkan 155 kepala keluarga dari Desa Bagelen ke sebuah hutan belantara di Lampung melalui program perluasan areal pertanian (kolonisasi). Orang-orang dari Pulau Jawa diangkut ke Lampung untuk membuka areal pertanian untuk kepentingan Belanda.
Warga Bagelen yang dipindahkan ke Lampung juga menamai kampung barunya dengan nama Bagelen. Kolonisasi warga Bagelen itu merupakan program pertama yang dijalankan pemerintah Belanda di Indonesia.
Rombongan kolonis dari Jawa diangkut menggunakan kapal laut. Setelah sampai di pelabuhan Panjang, selanjutnya para kolonis itu berjalan kaki sejauh lebih dari 70 km menuju Gedongtataan, Lampung Selatan (sebelah utara Bandarlampung) selama 3 hari. Barang-barang bawaan dari Jawa dipikul. Kini Gedongtaan masuk Kabupaten Pesawaran.
Setelah ratusan kepala keluarga dari Bagelen diangkut ke Lampung, gelombang pemindahan penduduk dari Pulau Jawa pun terus berlanjut. Gelombang pertama tahun 1905 hingga 1911. Gelombang kedua tahun 1911 hingga tahun 1939. Gelombang ketiga terjadi ketika Indonesia sudah merdeka. Setelah merdeka, program perpindahan penduduk dari Jawa ke Lampung itu pun dilanjutkan. Namanya bukan kolonisasi, tetapi transmigrasi.
Penyelenggara transmigrasi awal itu juga beraneka rupa mulai dari Polri dan TNI, Dinas Sosial dengan program Trans Tuna Karya dan Trans Bencana Alam serta Trans Pramuka. Yang ikut dipindahkan pun bukan hanya orang-orang sipil, tetapi juga pensiunan tentara Indonesia (TNI). Itulah sebabnya sekarang di Lampung Selatan terdapat perkampungan yang sebagian besar penduduknya bekas anggota TNI.
Pada periode tahun 1950-1969 perpindahan penduduk ke Lampung mencapai 53.263 keluarga atau sebanyak 221.035 jiwa. Memasuki era Pembangunan Lima Tahun (Pelita), Lampung mendapat lagi tambahan penduduk sebanyak 22.362 kepala keluarga asal Jawa, Madura, dan Bali.
Gencarnya perpindahan penduduk itu berdampak pada terjadinya ledakan penduduk. Kalau pada tahun 1905 penduduk Lampung kurang dari 150 ribu dan didominasi suku asli Lampung, kini orang Jawa di Lampung mencapai sekitar 60 persen dari total penduduk Lampung sebanyak 7 juta jiwa.
Sama seperti para kolonis yang dibawa Belanda ke Lampung, para transmigran asal Jawa yang ditempatkan di Lampung pun mendapatkan aneka perbekalan dari pemerintah. Selain bahan makanan seperti beras, jagung, minyak, mereka juga mendapatkan rumah-rumah bedeng beratap seng atau asbes dan perabot rumah tangga seperti cangkul, sabit, sekop, piring, mangkuk, meja, dan kursi.
Program yang merupakan bagian dari politik balas budi Belanda itu, sebenarnya diarahkan untuk mendukung upaya Belanda mengelola tanah perkebunan di Lampung. Bukan hanya orang-orang Bagelen dipindahkan ke Lampung, tetapi juga orang-orang dari berbagai daerah lain di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali. Para transmigran awal itu ditempatkan di kawasan Gedongtataan (sekarang masuk Kabupaten Pesawaran, Gadingrejo (Kabupeten Pringsewu), Wonosobo (sekarang masuk Kabupaten Tanggamus), Metro, Lampung Tengah, Batanghari (Lampung Timur) dan Kabupaten Tulangbawang.
Tak hanya barang-barang yang mereka bawa dari Jawa Pulau Jawa. Para kolonis itu juga membawa nama desa dan kebudayaan mereka di tanah yang baru. Maka, sambil membuka hutan menjadi areal pertanian, para kolonis itu juga membangun desa-desa dan melanjutkan tradisi budayanya.

Desa-desa baru yang mereka buka itu kemudian diberi nama sesuai dengan asal para kolonis. Maka, kini di Lampung pun ada daerah bernama Bagelen, Purworejo, Banyumas, Wonosobo, Purbolinggo, Pringsewu, Pacitan, Surabaya,Yogyakarta, Mataram, Bantul, Sidodadi, Sidomulyo, dan lain-lain.

Kesenian Jawa seperti wayang kulit, ketoprak, gending-gending Jawa, tayub, dan reog pun hingga kini juga berkembang di daerah-daerah kolonis di Lampung.

Kini para kolonis Jawa generasi pertama sudah sulit ditemukan karena umumnya sudah meninggal. Namun, hasil kerja keras mereka kini sudah tampak nyata. Antara lain berupa areal pertanian sawah yang subur, perkampungan dan kota-kota baru yang tertata rapi, dan anak cucu mereka yang sukses dalam pelbagai bidang kehidupan.

Meskipun fasih berbahasa Jawa, para anak keturunan para kolonis yang lahir di Lampung mengaku bahwa Lampung sebagai kampung halamannya. Bahkan, tak jarang ada keturunan kolonis yang juga fasih berbahasa Lampung karena sehari-hari mereka bergaul dengan masyarakat asli Lampung.

Belanda memilih Lampung sebagai daerah tujuan para pendatang asal Jawa karena daerah ini sangat luas, sementara penduduknya sangat sedikit.

“Ketika penduduk Sumatera Utara sudah satu juta orang, penduduk Lampung masih kurang dari 150 ribu. Mungkin juga Lampung dipilih karena orang asli Lampung dikenal sebagai masyarakat terbuka terhadap pendatang,” kata Anshori Djausal, salah satu akademikus Unila dan budayawan Lampung.

Proyek “balas budi” pemerintah penjajah Belanda yang dilanjutkan dengan program transmigrasi oleh pemerintah Indonesia kini sudah menuai hasilnya di Lampung. Tidak cuma dengan terbangunnya beberapa kota baru, ratusan ribu hektare sawah beririgaasi teknis, bendungan, aneka bangunan yang mencerminkan budaya modern; tetapi juga terciptanya harmoni antara warga pendatang dengan warga asli.

Memang, riak-riak perselisihan dan kecemburuan sosial masih sering muncul. Namun, semua itu masih bisa bisa diselesaikan masyarakat lokal Lampung maupun masyarakat pendatang. Warga asli Lampung sendiri memiliki kearifan lokal yang mereka junjung tinggi hingga kini.

Kini sudah tak terhitung para anak cucu keluarga kolonis dan transmigran asal Jawa dan Bali menuai sukses di Lampung. Tidak hanya sukses meraih gelar sarjana, para anak cucu keluarga transmigran itu kini juga sudah banyak yang meraih gelar doktor dan profesor.

Universitas Lampung (Unila), perguruan tinggi negeri di Lampung, misalnya, pernah dua kali dipimpin keturunan kolonis/transmigran asal Jawa. Yaitu Prof. Dr. Muhajir Utomo dan Prof. Dr. Sugeng P. Haryanto. Ada juga keturunan kolonis yang menjadi kepala daerah. Misalnya Eddy Sutrisno (mantan Walikota Bandarlampung), Pairin (kini Wakil Bupati Lampung Tengah), dan Lukman Hakim (kini Walikota Metro).

“Peran transmigran sangat penting dalam membangun bangsa dan negara. Makanya, saya selalu memberi semangat kepada para anak transmigran agar bangga menjadi anak transmigran. Sebab, mereka telah menjadi pelopor pemersatu lintas etnis, budaya, dan agama di Indonesia,” kata Prof. Muhahir Utomo, yang juga ketua Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Anak Transmigrasi Republik Indonesia (PATRI).

Muhajir menolak program transmigrasi diidentikkan dengan Jawanisasi. Menurut Muhajir, transmigrasi yang menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia, pada era reformasi terbukti menjadi perekat persatuan Indonesia.



Disalin dari kiriman FB: Jamal Degtyarev

Tidak ada komentar:

Posting Komentar