Majapahit - Dharmasraya - Cina di abad ke 14 dan 15 : Keberadaan Etnis Tionghoa di Sumatera
Pada tahun 1286 Kertanagara Raja Singhasari terakhir di Jawa Timur mengirim Sebuah ekspedisi Pamalayu ke Dharmasraya. Pada Ekspedisi ini Kertanagara juga mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya. Prasasti Padangroco, tempat dipahatkannya Arca Amoghapasa menyebutkan bahwa arca tersebut adalah hadiah persahabatan dari Maharaja Kertanagara untuk Maharaja Tribhuwanaraja. Tujuan dari Ekspedisi Pamalayu adalah menjalin persekutuan dengan Dharmasaraya (Melayupura) untuk kemudian bersama sama membendung pengaruh Monggol. Namun tahun 1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh pemberontakan Kediri (Daha) dan Singhasari jatuh.
Dikutip dari “The 6th overseas Chinese state, Nanyang Huaren”. Lanjutan bagian tentang Palembang (Ku-kang). Kertanagara, Raja Singasari yang terakhir, pada thn.1289 telah menantang wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Cina. Ia memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tersebut Kertanagara pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara.
Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol/Cina yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana ia akan menyerah dengan resmi pada wakil Kublai Khan. Ditengah perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah hadiah yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Kublai Khan mangkat pada 18 Pebruari 1294. Antara tahun 1325 hingga 1368 hubungan Majapahit dengan Cina telah membaik. Sang Adityawarman, sebagai Wedana Menteri Majapahit (1316-1347) telah mengunjungi istana kaisar Cina pada tahun 1325 dan 1331 sebagai duta atau utusan Majapahit. Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit kemudian menjadi Raja di Melayupura (Dharmasraya) (1347-1375). Sifat pengaruh Cina pada saat itu berbeda bumi dan langit dengan sifat kolonialis Eropa.
Cuplikan-cuplikan berikut adalah hasil penyelidikan beberapa pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan tsb. O.W. Wolters dalam bukunya “The fall of Srivijaya in Malay history” :
Pada tg. 30 oktober 1371 kaisar T’ai-tsu mengeluarkan pengumuman dengan petunjuk untuk para pejabatnya: "menguasai tanah yang terlalu besar tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja terlalu berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan."
Pernyataan T’ai-tsu kepada para penguasa asing mengandung banyak saran kebijaksanaan. Daripada menganjurkan kepada mereka untuk berdagang dengan Cina, ia menginginkan mereka berkuasa dengan adil, memelihara hubungan baik dengan negara tetangganya dan saling menghargai tapal-batas masing masing. Jika T’ai-tsu curiga ada penguasa asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan maksud yang tidak jujur, ia lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya, upeti perampas kuasa tidak dapat diterima olehnya.
Hubungan Cina-Siam (Ligor) pada jaman itu terdapat unsur saling memanfaatkan. Hubungan ini mengandung unsur yang di satu pihak berdasarkan “vanity” (pengakuan diri) dan di lain pihak berdasar pada “rapacity” (nafsu menggarong, lebih jelek daripada serakah/greedy). Raja Siam mengaku dirinya sebagai pembayar upeti terhadap kaisar Cina bukan karena terpaksa dan bukan karena berada dibawah kekuasaan kaisar, melainkan demi menghindarkan pembayaran bea bagi kapal kapal yang berlayar dan mebawa utusannya Cina. Para utusan tersebut mempersembahkan bunga dari mas sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari kaisar hadiah hadiah yang jauh lebih berharga sebagai tanda penghargaan. Negara negara lain yang lebih lemah mengakui kaisar Cina sebagai imbalannya mendapat perlindungan terhadap gangguan gangguan dari luar.
Pada tahun 1376 ketika dinasti Yuan sudah digantikan oleh dinasti Ming (1368-1644) raja Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama aslinya, kemungkinan yang dimaksud adalah Sang Adityawarman. Kawasan yang dipersoalkan menyangkut tanah bekas kerajaan Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan oleh puteranya yang disebut sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt mungkin putera tsb. adalah Maharadja Wuli, tetapi menurut Slamet Muljana beliau ini Maharadja (Dinasti) Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya maharaja mengirim upeti kepada kaisar Cina berupa barang barang dan binatang binatang khas dalam negeri. Utusannya menyampaikan pesanan bahwa maharaja tersebut segan naik tahta atas wewenang sendiri serta mohon mendapat ijin kaisar dengan maksud mendapat perlindungannya. Kaisar memuji perasaan tanggungjawab maharaja dan memberi perintah untuk menyampaikan segel (seal) disertai pengangkatan sebagai Maharaja San-fo-tsi (Dharmasraya).
Menurut Majapahit, pada waktu itu Dharmasraya (Sumatera) sudah menjadi vassal Kerajaan Jawa (Majapahit). Raja Majapahit sangat murka mendengar kaisar telah melantik raja untuk San-fo-tsi dan mengirim ekspedisi ke Sumatera (Pamalayu II) untuk menduduki beberapa kota penting serta membunuh utusan kaisar. Setelah kejadian ini lambat-laun San-fo-tsi jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari kawasan itu. Catatan tsb sesuai dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya terlantar dan kacau. Victor Purcell dalam buku “The Chinese in Malaya” menyatakan setelah kerajaan Dharmasraya (Melayupura) ambruk, Palembang telah dikuasai orang-orang Cina untuk 200 (duaratus) tahun kemudian.
Ketika Palembang memasuki masa kekacauan sekian ribu orang Cina dari Fukien dan Canton yang telah menetap disana telah memerintah diri sendiri. O.W. Wolters menulis dalam buku “The fall of Srivijaya in Malay history”, bahwa di Palembang tidak ada penguasa kepada siapa dapat ditujukan peringatan kaisar Cina T’ai-tsu. Tindakan kaum pedagang Cina mencerminkan bagaimana besarnya kekacauan pada waktu itu. Mereka telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh Palembang dengan pemerintah Cina perantauannya (with its overseas Chinese government) untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan pandangan bahwa orang Cina telah menyaksikan suatu keadaan yang tak dapat dibiarkan dan mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.
Gambaran tersebut diatas sesuai dengan catatan Dinasti Ming Cina, bahwa orang Jawa tak mampu menguasai seluruh negara sesudah San-fo-tsi (Dharmasraya) ditaklukkan. Karena itu, demikian catatan Dinasti Ming Dynasty tsb, orang Cina setempat telah berdiri sendiri. Seorang dari Nan-Hai (Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming telah terpilih sebagai pemimpin. Ia menguasai sebagian negara dan puteranya ikut dengan utusan kaisar kembali ke Cina. Pada tahun 1405 kaisar mengutus seorang kurir dari desa asalnya Liang Tau-ming dengan perintah agar Liang Tau-ming menghadap ke istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng Po-k’o berangkat membawak produk setempat sebagai upeti. Mereka pulang dengan membawa hadiah yang berlimpah. Tidak lama setelah itu pada 1407, Laksamana Cheng Ho mendirikan komunitas Islam Cina di Palembang. Pada 1415 Palembang oleh Kaisar Cina diakui berada dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit).
Keguncangan akibat perang saudara dan belum terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus bekas tanah San-fo-tsi (Dharmasraya) yang sudah ditaklukkan. Perang Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam thn. Pada 1405 Laksamana Cheng Ho diutus ke Majapahit yang pada saat itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur dan Raja Barat. Tahun berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur dikalahkan dan kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan2 kaisar kebetulan berada di negara Raja (Majapahit) Timur. Ketika prajurit prajurit Raja (Majapahit) Barat masuk ke sebuah pasar, 170 orang dari utusan kaisar terbunuh, hal ini membuat Raja (Majapahit) Barat kuatir serta mengirim utusan minta maaf.
Kaisar mengeluarkan pengumuman mencela Raja Barat dan menuntut pembayaran enam-puluh ribu tail mas sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho sekali lagi diutus ke negara ini dan Raja (Majapahit) Barat memberi sepuluh ribu tail mas. Petugas Dewan Kerajaan di Cina melihat jumlah tidak cukup dan bermaksud memenjarakan utusan yang membawanya. Tetapi kaisar mengatakan: “Yang saya kehendaki dari mereka yang hidup dijauhan agar mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak ingin memperkaya diri dengan masnya.” Seluruh denda dikembalikan. Sedari itu mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun, ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan Cheng Ho seringkali mengunjungi Majapahit.
Malay Annals yang masih diperselisihkan itu menyebutkan pada tahun. 1443 Swan Leong (Arya Damar) oleh Haji Tan Eng Chou (Arya Teja) telah ditunjuk sebagai kapten Muslimin Cina di Palembang sekalian menjadi penguasa atas nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu Suhita dari Majapahit. Tan Eng Chou adalah kapten Cina di Tuban, Jawa Timur. Ia oleh Ratu telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti penghargaan terhadap jasanya.
Slamet Muljana berkesimpulan hal tersebut menunjukkan suatu sikap yang sangat baik dari pihak keluarga Raja Majapahit terhadap orang Cina. Mengenai pemerintahan orang Cina Perantauan di Palembang, Amen Budiman juga menunjuk pada dokumen sejarah Dinasti Ryukyu dan pada reset yang dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinologist yang berpangkal di South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini Palembang terkenal sebagai tempat yang tidak anti-Cina.
Slamet Muljana menulis buku “Runtuhnja keradjaan Hindu-Djawa dan timbulnja negara negara Islam di Nusantara”. Buku ini tahun 1971 sempat dilarang oleh Kejaksaan Agung. Didalamnya dijelaskan secara panjang lebar perbandingan data dalam “The Malay Annals of Semarang and Cerbon” didalam buku “Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries". Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun dari 1294 hingga 1478. Setelah itu menjadi sub-state dibawah para penguasa Kerajaan Islam (Kesultanan) Demak hingga Majapahit tiada lagi, yaitu thn.1527.
Bacaan.:
Morris Rossabi “Khubilai Khan, his life and times”
Slamet Muljana “A story of Majapahit”
W.P. Groeneveldt “Notes on the Malay Archipelago and Malacca”
V.Purcell “The Chinese in Southeast Asia”
“The 6th overseas Chinese state” Nanyang Huaren, 1990.
Disalin dari kiriman FB: Riff ben Dahl